27 Juni 2007 — 23 menit baca

Tanggapan Miftah H. Yusufpati terhadap A. Umar Said

Buku yang saya tulis “HM Soeharto, Membangun Citra Islam” mendapat tanggapan khusus A. Umar Said tanpa merasa perlu membaca buku tersebut, padahal saya sangat berharap Tuan Umar membaca dulu baru berkomentar agar tanggapan yang diberikan menjadi jernih dan layak dikonsumsi untuk kemaslahatan orang banyak. Buku tersebut diluncurkan menjelang hari ulang tahun mantan presiden Soeharto yang ke-86, yang jatuh pada tanggal 8 Juni 2007 dan Tuan Umar mengomentarinya pada 12 Juni 2007 setelah membaca berita dari Kantor Berita Nasional Antara.

Saya mencoba menunggu komentar lain dari kalangan netter karena Tuan Umar telah mengirim tulisannya tersebut ke sejumlah mailing list dan blog. Akan tetapi tanggapan lain yang saya tunggu tak juga muncul kecuali hanya beberapa, itupun tak begitu penting karena hanya memberikan suport kepada Tuan Umar dengan slogan “salam kiri”.

Saya ingin menanggapi tulisan Tuan Umar dengan pertimbangan agar para pembaca juga mengetahui pendapat saya tentang apa yang sudah ditulis Tuan Umar tersebut. Saya juga tidak bisa menutup mata atau merasa cuek dengan tanggapan yang begitu serius dari Tuan Umar.

Tuan Umar menulis bahwa judul “HM Soeharto Membangun Citra Islam” sebagai menyesatkan. Ia mengutip pernyataan saya yang dimuat Antara bahwa “Banyak perjuangan yang sudah dilakukan Soeharto terhadap Islam. Pak Harto terbukti telah menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan memperjuangkan toleransi beragama.”

Lalu Tuan Umar beropini; “Mungkin saja di antara kita ada yang tercengang, atau mungkin juga ada yang tertawa terkekeh-kekeh, atau, ada pula yang jengkel dan marah-marah. Sebab, mungkin saja, ada orang yang menganggapnya sebagai lelucon, atau sebagai bualan alias omong-kosong, atau bahkan sebagai hinaan yang amat besar kepada Islam.”

Saya baca berkali-kali kalimat tersebut; sangat terasa menghinakan, pernyataan tendensius dan apriori, tapi biarlah. Tuan Umar boleh beropini apa saja. Mungkin juga karena Tuan Umar jarang ke Indonesia dan terhanyut oleh provokasi kalangan pendendam Soeharto atau boleh jadi Tuan Umar adalah bagian dari para pendendam itu sehingga menganggap rakyat Indonesia ini sebagai sosok-sosok pembenci Soeharto sehingga perlu tertawa terkekeh-kekeh karena menganggap judul buku dan pernyataan saya sebagai lelucon, bualan atau omong kosong.

Akan tetapi begitu membaca tentang cv Tuan Umar serta beberapa tulisannya dalam situs pribadinya saya jadi maklum. Sebagaimana dikatakan KH. Dr. dr. Tarmizi Taher dalam bedah buku dimaksud saat mengomentari bahwa AM Fatwa memaaafkan Soeharto; “Hanya orang-orang PKI yang tidak memaafkan Soeharto.” Lalu, saya pun mencoba menerka mungkin Tuan Umar adalah bagian dari tokoh yang disebut Tarmizi tersebut.

Selanjutnya mari kita baca ulang tulisan Tuan Umar. Ia mengajak para pembaca untuk merenungkan secara dalam-dalam apakah sebutan “HM Soeharto membangun citra Islam” itu memang mengandung kebenaran, dan apakah sebutan itu akan mengangkat Islam, ataukah sebaliknya, malahan memperburuk atau merusak citra Islam. Sebab, terbitnya buku dengan judul yang demikian itu untuk memperingati hari ulangtahun Soeharto (Umar menulisnya Suharto– sesuai EYD, katanya) mencerminkan bahwa di kalangan sebagian golongan Islam memang terdapat anggapan bahwa Soeharto adalah tokoh pembangun citra Islam dan “penegak prinsip-prinsip ajaran Islam”. Hal yang demikian ini adalah sangat serius sekali. Dan menyesatkan sekali!

“Oleh karena itu, alangkah baiknya, kalau masalah ini dibicarakan dan ditelaah dengan teliti oleh para tokoh agama Islam di Indonesia, dan dijadikan bahan studi atau riset di universitas-universitas dan lembaga-lembaga ilmiah Islam. Singkatnya, masalah ini perlu sekali menjadi kajian secara luas oleh ummat Islam di Indonesia. Sebab, masalah apakah Soeharto telah “membangun citra Islam” atau malahan merusak citra Islam, adalah masalah penting yang bisa dipakai untuk menilai berbagai politik rejim militer Orde Baru, dan juga untuk menelaah sikap berbagai golongan Islam terhadap Soeharto dan Orde Baru. Sikap berbagai golongan Islam terhadap Soeharto dan Orde Baru adalah satu hal yang mempunyai pengaruh penting dalam persoalan politik dan sosial di negara kita, yang buntutnya masih sama-sama kita saksikan sampai sekarang ini.”

Sungguh, saya sepakat bahwa judul itu serius untuk direnungkan. Akan tetapi kalau judul itu dianggap menyesatkan tentulah kesimpulan yang terlalu dini, tanpa melalui analisa yang matang. Ini juga sangat berlebihan, bombastis—lebih sebagai pernyataan yang dilandasi sikap apriori dari sosok pendendam. Tuan Umar menggambarkan dirinya seakan- akan sangat peduli dengan Islam (semoga saja seperti itu) dan bukan sedang menghasut umat Islam untuk ikut-ikutan menghujat Soeharto. Teknik yang cukup cerdas dan matang sebagai seorang aktivis pergerakan “kiri”.

Sayangnya, tulisan-tulisan Tuan Umar adalah hujatan yang tak berkesudahan; suatu sikap yang jauh dari nilai-nilai Islam. Nama Umar diambil dari nama salah seorang khulafaurrasyidin yang memberikan penegasan bahwa Umar seorang muslim. Itu sebabnya saya berharap sedang berdialog dengan sesama muslim, sehingga saya patut menanggapi apa yang ditulis Umar tersebut. Dan saya tidak ingin mempertanyakan kadar keislaman Umar, sebab bukankah itu urusan Allah semata. Sebagaimana saya juga tidak perlu mempertanyakan kadar keislaman Soeharto. Tuan Umar selanjutnya menulis; “Soeharto memang pernah memberikan bantuan kepada sejumlah pesantren, memberikan sumbangan untuk membangun mesjid-mesjid, dan memberikan dana kepada sejumlah kyai- kyai dan para pemuka agama Islam. Soeharto juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak yatim piatu, atau memberi beasiswa kepada pelajar-pelajar.

Tetapi, perlulah sama-sama kita renungkan dalam-dalam, apakah itu semua telah dilakukan Suharto oleh karena memang ingin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan secara tulus, ataukah karena sebab-sebab dan pertimbangan lainnya. Selama pemerintahan rejim militer Orde Baru, memang Soeharto berusaha merangkul, menina- bobokkan, merekayasa, menggunakan, mensalahgunakan, bahkan menipu atau menjerumuskan sebagian golongan Islam.”

Sejauh mana atau sebesar apa, dan juga bagaimana saja cara-caranya Soeharto telah “merangkul” dan “menggunakan” sebagian golongan Islam ini, barangkali berbagai kalangan Islam sendiri dapat menganalisanya atau menelitinya berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit mereka masing-masing. Yang sudah jelas yalah adanya kebutuhan atau keharusan bagi Soeharto (artinya rejim militer Orde Baru) untuk “merangkul” sebanyak mungkin golongan Islam, demi kelanggengan diktatur militernya, dan untuk melawan lawan-lawan politiknya.

Pandangan Tuan Umar begitu tendensius, penuh fitnah dan menghasut dengan kelincahan goresan penanya tanpa data yang memadai. Kendati demikian, analisa seperti itu layak dikomentari. Menurut hemat saya, dalam kadar tertentu, tak ada salahnya menilai secara obyektif motivasi Soeharto menjalankan nilai-nilai Islam seperti itu. Lagi pula, Tuan Umar juga tidak sendirian dalam menilai ritual keagamaan Soeharto sebagai memiliki dimensi politis di samping tentu saja tak sedikit pula yang menilai secara obyektif, tak membabi buta seperti itu.

Donnald Emmerson, misalnya, menilai tidak semua aktivitas ritual Soeharto sebagai siasat politik melulu. Apalagi bila dihubungkan bahwa Soeharto pernah mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. Dan lebih penting lagi adalah keputusan Soeharto untuk mengambil KH Qosim Nurzeha, seorang da’i dari Bintal Angkatakan Darat, sebagai pembimbing kehidupan keagamaan Soeharto dan keluarganya.

Peranan KH Qosim Nurzeha dalam melakukan “Islamisasi” keluarga Presiden Soeharto hampir menjadi persepsi umum terutama dikumandangkannya tahlil berkali-kali pada prosesi pemakanan Ibu Tien Soeharto pada 1996 yang jelas menampakkan kultur Islam.

Mengenai semakin meningkatnya penghayatan keagamaan Pak Harto, Ketua MUI, KH Hasan Basri mengatakan: “Sebagai orang Jawa, saya lihat nilai-nilai spiritualnya sangat dominan. Mungkin pengaruh pendidikan beliau yang sejak kecil sekolah Muhammadiyah. Sedangkan di rumah, ia belajar agama dengan gurunya, KH Qosim Nurzeha. Dan perubahan baru yang saya lihat justru setelah beliau pulang ibadah haji dengan membawa nama baru… Sejak itu keberagamaan Presiden lebih intens, imannya tambah kuat. Sekarang segala kebijakan yang diambilnya dikembalikan pada nilai-nilai agama. Pola pikir beliau tidak hanya berdasarkan akal semata.”

Pendapat KH Hasan Basri patut dijadikan rujukan karena selain beliau dekat dengan Soeharto, sebagai ulama, pendapatnya tentu tulus dan jujur. Tapi bila Tuan Umar juga memasukkan kiai yang sangat terhormat itu ke dalam golongan tokoh Islam yang “dibeli” maka patut dipertanyakan tentang kejiwaan Tuan Umar.

Saat Soeharto mengakomodasikan kepentingan umat Islam, sampai kemudian berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) juga muncul tafsir bermacam-macam dari kalangan umat Islam sendiri. Sebagaimana ditulis Tuan Umar tadi, maka sebagian kalangan juga ada yang menganggap sikap presiden pada waktu itu sebagai bagian untuk mencari sandaran politik baru pasca renggangnya hubungan dirinya dengan ABRI terutama dengan LB Moerdani. Mengomentari pendapat seperti itu Dr. Imaduddin Abdurrahim menyatakan: “Kini yang terjadi bukan hanya sebuah upaya presiden untuk mengamankan dukungan sehingga bisa meredam pesaing-pesaingnya di militer. Tentu saja, terdapat ukuran-ukuran politik seperti itu, namun saya tak terlalu sinis. Saya kira Presiden Soeharto mempunyai mata dan ia menyadari bahwa 90% rakyatnya adalah muslim dan mereka harus diberikan peran dalam kehidupan nasional. Ini sebuah awal yang murni. Untuk pertama kali dalam 27 tahun kami diajak dalam kehidupan poltik negeri ini, dan kami harus mengambil keuntungan darinya. Kenyataan ini mungkin tak memuaskan harapan semua orang, namun sebuah kesempatan nyata.”

Imadudin Abdurahim adalah intelektual muslim yang bukan termasuk penikmat jabatan di zaman Orde Baru sehingga pendapatnya menjadi sangat penting untuk dikutip.

Tokoh lainnya, yakni Prof. Dr. Ismail Sunny menyatakan, “Tak perlu terlalu menyederhanakan motivasi Presiden. Presiden menyadari bahwa bila terdapat kelompok besar yang menentangnya, hal itu tak baik bagi kepentingan sendiri. Maka, tidak, ini bukan taktik sesaat di pihaknya, karena ia menaruh perhatian tak hanya pada pemilu tetapi juga dengan proses Islamisasi yang bakal memberikan pengaruh jangka panjang pada masyarakat Indonesia.”

Sebagai catatan, Ismail Sunny adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, yang punya pengalaman tidak menyenangkan saat berpolitik di zaman Orde Baru. Apakah Tuan Umar juga ingin mengatakan intelektual Islam sekaliber Imaduddin dan Ismail Sunny juga “dibeli” Soeharto?

Selanjutnya, Tuan Umar mungkin merasa kurang pas dengan pendapat para tokoh tersebut. Okelah, saya mencoba menerima pendapat Tuan Umar, andaikata tindakan Soeharto mengadobsi kepentingan Islam dan umat Islam itu berdimensi politik sekalipun sesungguhnya siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Ataukah Tuan Umar menghendaki agar Soeharto tidak perlu melakukan itu dan menindas saja umat Islam supaya apa yang dipersepsikan Tuan tentang Soeharto menjadi kenyataan?

“Soeharto sebagai musuh umat Islam atau merusak citra Islam?” Tuan Umar menulis; “(Soeharto) Merangkul golongan Islam untuk bersekutu dengan AS.” Ah, Tuan Umar memfitnah lagi. Dan lagi-lagi, Tuan Umar tidak menunjukkan data yang kongkrit tentang persekutuan itu sehingga kita juga sulit menilai apakah persekutuan dimaksud merugikan umat Islam atau menguntungkan? Atau mungkin, Tuan Umar menganggap bersekutu dengan AS dalam bentuk apa pun sebagai tindakan haram, sebagaimana dikatakan pula oleh Osama bin Ladin.

Tentang apa yang disebut dengan “persekutuan” dengan AS (baca Barat) hendaknya kita perlu berpikir jernih, tidak hantam kromo. Posisi ini pula yang telah diambil oleh Soeharto dan Orde Baru; bergaul dengan Barat dilakukan tanpa mengimpor secara mentah-mentah faham Barat, apalagi membebek dan mengabdi pada mereka. Satu pergaulan yang win win solution. Membenci Barat tak akan menyelesaikan masalah.

Kita juga tahu bahwa benturan kepentingan yang berlangsung ratusan tahun antara Islam, Kristen dan Barat telah menimbulkan reaksi umat Islam yang cukup beragam. Barat mengusung berbagai ideologi yang sedikit banyak mempengaruhi pola berpikir dan bertindak umat Islam. Di antara ideologi yang diusung oleh Barat adalah ide sekularisasi dan kapitalisme. Selain itu, keberagaman respon juga dipengaruhi oleh situasi lokal, kultur dan faham keagamaan. Secara kategoris, bentuk respon umat Islam tersebut terbagi ke dalam tiga kategori utama.

Pertama, sebagian kalangan menerima ide sekularisasi Barat tanpa ada reserve. Respon ini diperlihatkan terutama oleh gerakan Mustafa Kamal Attaturk ketika melakukan sekularisasi di Turki. Mustafa Kamal berhasil menghapus sistem kekhalifahan Islam yang terakhir. Sekularisasi yang dilakukan Mustafa juga berhasil mengubah praktik keberagamaan, misalnya praktik azan yang dibaca dengan bahasa Arab diubah dengan bahasa Turki. Kedua, sebagian kalangan lagi ada yang mengambil sekularisasi tetapi dengan batasan dan berbagai revisi.

Respon ini diperlihatkan dalam pembentukan negara-negara Muslim yang dibangun dengan kerangka demokrasi, seperti pembentukan Republik Indonesia dan pembentukan negara Malaysia. Format kedua negara ini sebenarnya dibangun atas ideologi nasionalis, namun tetap mengupayakan okomodasi nilai-nilai religius dan kultur setempat. Hanya saja sedikit perbedaan, Malaysia menempatkan Islam sebagai agama resmi negara, tetapi Indonesia memposisikan Islam sebagai agama yang dilindungi negara. Meskipun Islam dijadikan agama resmi negara, akan tetapi Malaysia tetap menggunakan konstitusi sekuler (artinya tidak menempatkan Al-Qur’an dan Hadist sebagai konstitusi formal, sebagaimana layaknya negara Islam yang memposisikan al- Qur’an han Hadist sebagai konstitusi tertinggi).

Ketiga, kelompok yang menolak segala bentuk modernitas yang berasal dari Barat, lebih khusus lagi sekulerisme. Respon ini dapat dilihat dalam format pembentukan negara Pakistan dan sejumlah negara Arab yang kemudian diteruskan Iran ketika dipimpin Khomeini.

Pilihan ini, selain mendasarkan pendiriannya pada perkembangan rasional politik, mereka sebenarnya tengah melakukan ijtihad untuk tetap dapat survive dalam menghadapi perubahan zaman. Namun demikian sejarah membuktikan dari ketiga respon tersebut, hanya umat Islam yang moderat saja yang dapat dianggap bertahan, paling ideal dan paling mempunyai masa depan cerah.

Latar pemikiran muslim moderat itu berbeda sebagaimana respon yang pertama. Kelompok yang menerima secara total ide sekularisasi Barat ternyata telah membawa pada situasi yang mengisolasikan diri dalam siklus teologi Islam dan tradisinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Mustafa telah membawa pada situasi yang tidak kondusif. Karena kebijakan radikal yang dilakukan Mustafa telah menimbulkan benturan yang sangat dahsyat, antara kebijakan strukturalnya dengan kultural dan tradisi Islam yang telah lama hidup dalam tradisi keagamaan umat Islam.

Paradigma pertama ini tidak jauh berbeda dengan respon ketiga, yang ekstrim. Mereka menolak segala bentuk modernitas dari Barat. Sebagai akibatnya, kelompok ini menjadi terisolasi Islam dalam lintasan global dan bahkan menjadi bahan atau obyek permainan negara Barat.

Sebagaimana negara-negara yang dibangun dengan semangat Islam fundamentalis sebagai negara-negara di Timur Tengah, Pakistan dan Afghanistan dalam perkembangan dinamika sosial-politik tidak menunjukkan prestasi yang dibanggakan. Negara-negara tersebut tetap menjadi negara yang terbelakang, meskipun memiliki sumber daya alam yang berlimpah, kondisi sosial dan ekonominya tidak mengalami kemajuan yang berarti.

Ini berbeda dengan negara-negara Islam yang mengambil sikap moderat, negara-negara ini telah mencapai kemajuan di berbagai bidang. Malaysia, misalnya, kini menjadi negara Islam modern yang telah sukses membangun berbagai sektor keagamaan baik yang menyangkut ekonomi, teknologi, pendidikan dan lembaga-lembaga keuangan Islam.

Demikian juga dengan Indonesia. Prestasi Malaysia dan Indonesia yang membanggakan itu, kini peta kekuatan Islam seolah telah mengalami pergeseran, semula di Timur Tengah beralih ke kawasan Asia Tenggara. Bukti ini juga diperkuat dengan dipercayai Malaysia sebagai pemimpin organisasi Islam yang bertaraf internasional itu. (hal 255-256).

Jadi, tidak ada yang salah dengan para pendiri bangsa ini dan penerusnya dalam merumuskan dan menerapkan sistem bagi bangsa ini. Begitu juga tentang persekutuan itu, sepanjang bermaslahat bagi umat, bangsa dan negara tidak ada salahnya. Meminjam istilah Ruslan Abdulgani; “jangan gebyah uyah”. Lalu apakah kita harus menyesali ‘bersekutu” dengan AS lantaran negeri itu di kemudian hari ternyata menyerang negeri-negeri Islam. Fakta seperti itu tidak ada hubungannya dengan kerja sama yang dibangun Indonesia dengan AS maupun negara lainnya selama ini.

Selanjutnya Umar menulis; “Seperti kita ketahui, stabilitas politik dan sosial telah dapat diciptakan rejim militer Orde Baru, dengan menggunakan tangan besi atau berbagai praktek otoriter, di samping merangkul, membujuk, menyiasati sebagian terbesar golongan Islam. Ada yang mengatakan bahwa Orde Baru telah berhasil “membeli” berbagai golongan Islam, dan menjadikan mereka sebagai pendukung berbagai politik rejim militer Soeharto, yang dalam jangka lama adalah pro-Barat dan mengabdi kepada kepentingan politik AS…dst”

Lagi-lagi hujatan dan fitnah itu datang dari goresan tangan Tuan Umar. Sebagaimana Tuan Umar juga ketahui bahwa masyarakat Indonesia dalam visi Soeharto adalah masyarakat yang berdasar Pancasila, di mana warga negara Indonesia hidup selaras dan berdampingan tanpa mempedulikan perbedaan di antara mereka. “Orde Baru adalah orde Demokrasi Pancasila yang mengutamakan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan golongan atau pribadi.” Dalam sebuah kesempatan Pak Harto mengatakan Orde Baru “mengejar institusional dan menolak individualisasi”. (hal. 57)

Tuan Umar menyebut dalam kekuasaannya Soeharto menggunakan tangan besi. Bila yang Tuan maksud adalah terhadap kelompok ekstem kanan atau ekstrem kiri, Soeharto memang keras terhadap mereka. Jadi memang begitu adanya. Tuan mungkin juga telah mencatat bagaimana negara lain dalam menghadapi kelompok seperti itu.

Lagi pula kebijakan tersebut juga dilakukan di awal-awal pemerintahan Orde Baru yang memang “harus” diambil karena tuntutan keadaan. Sebagaimana Tuan tahu bahwa Orde Baru dikonsepsikan sebagai koreksi total atas pemerintahan Orde Lama yang lebih berpihak pada kalangan kiri (komunis) dan Presiden Soekarno tidak mampu mempertanggungjawabkan kepemimpinan berkait dengan sejumlah persoalan seperti terbunuhnya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal dengan G30S/PKI, kemudian runtuhnya ekonomi bangsa dengan inflasi yang sangat tinggi serta pendapatan per kapita di tahun 1966 yang hanya 120 dollar Amerika.

Masa awal pemerintahan Orde Baru ini ditandai dengan integrasi yang kokoh antara umat Islam dengan militer serta kekuatan sosial lainnya ketika mereka menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pilihan stratejik Orde Baru adalah pembangunan yang berorientasi kepada modernisasi dengan antara lain rekayasa politik melalui restrukturisasi partai-partai politik. Soeharto tidak menjadikan politik sebagai panglima, ia lebih menitik-beratkan pada pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Pelajaran berharga tentang demokrasi yang dikembangkan Presiden Soekarno dengan Orde Lama-nya adalah carut marutnya tatanan politik. Itu sebabnya, pada masa Orde Baru pengalaman buruk itu tak perlu diulangi. Terlepas Tuan setuju atau tidak.

Tuan juga mungkin tahu bahwa sangat sulit memisahkan diri Soeharto dengan ideologinya yang anti-komunis dan menjunjung tinggi Pancasila. Saat menjadi prajurit ia terlibat langsung dalam memerangi pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 1948 dan menempatkan garda paling depan menumpas pemberontakan G- 30 S/PKI. Bahkan dari sinilah jasa Pak Harto sampai sekarang dikenang.

Kisah tentang bagaimana Pak Harto menumpas PKI sudah banyak ditulis dan diceritakan dari mulut ke mulut oleh banyak orang dengan penuh kekaguman. Tuan mungkin tak suka dengan itu, tapi Tuan sebaiknya masuk ke pesantren-pesantren NU atau Muhammadiyah supaya Tuan tidak terkaget-kaget lagi bila ternyata nama Soeharto amat dipuja di sana.

Selama kepemimpinannya, Soeharto tampak sangat curiga dengan gerakan kaum komunis. Peringatan akan bahaya komunis ini muncul dari waktu ke waktu. Soeharto tak bosan-bosannya mengingatkan bahaya laten komunis tersebut. “Bila kita mempelajari doktrin dan taktik-taktik PKI .. (kita akan menyadari) bahwa partai itu akan terus melancarkan gerakan-gerakan ilegalnya untuk berusaha muncul kembali,” kata Soeharto pada 11 Maret 1969.

Pada akhir tahun itu juga dan awal 1970, Soeharto berbicara tentang perlunya untuk terus menindak sisa-sisa Gerakan 30 September yang masih ada di tengah-tengah masyarakat. Tujuan PKI pada 1965 sama dengan ketika pada 1948, kata Soeharto pada peringatan tahun kelima Supersemar pada 1971. Lalu beliau mengatakan, “Mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk diganti dengan sistem yang lain.”

Kini bahaya laten PKI masih disuarakan sejumlah tokoh masyarakat termasuk TNI, menyusul dibukanya kran bagi mereka untuk bergerak lebih leluasa. Bukannya tidak mungkin di kemudian hari apa yang dikhawatirkan Soeharto tentang bahaya laten komunis itu bakal terjadi. Jadi, Soeharto memang benci PKI terus menumpas gerakan mereka. Tuan Umar juga tentu tahu, bahwa gerakan itu didukung kuat umat Islam Indonesia.

Selain kepada PKI, Soeharto juga sangat keras terhadap gerakan radikal Islam yang ingin menegakkan negara Islam di Indonesia. Tapi Tuan Umar mungkin juga harus bersikap jujur bahwa kebijakan Soeharto itu wajar adanya dan “harus” dilakukan untuk membangun bangsa yang plural seperti Indonesia.

Mungkin tepat bila kita mengaca pada kebijakan Gamal Abdul Naseer atau Anwar Sadat dalam menangani Ikhwanul Muslimin. Sadat yang lunak akhirnya tewas di ujung senapan pasukan khusus Al- Ikhwan. “Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa bila Soeharto membebaskan begitu saja kelompok ekstrem kanan untuk tumbuh dan berkembang tidak akan bernasib sama seperti Anwar Sadat?”

Tuan Umar menyebut Soeharto membeli umat Islam dan dalam jangka lama untuk mengabdi pada AS, satu pernyataan yang bisa jadi gegabah dan fitnah. Saya tidak mau berkomentar tentang asumsi bernada menghujat tanpa dasar seperti itu. Begitu juga Tulisan Tuan Umar selanjutnya; asumsi-asumsi, praduga tanpa bukti, hujatan dan fitnah.

Selanjutnya, Tuan Umar, tak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna, termasuk Soeharto. Hanya saja, menafikkan jasa para pemimpin bangsa ini adalah sikap yang tidak ada tempatnya di bumi Indonesia.

Boleh jadi kita sama-sama tidak sepakat terjadinya kekerasan dalam politik akan tetapi adalah suatu keniscayaan bahwa agama dan politik selalu diwarnai kekerasan bahkan teror. Secara konsepsional, doktrin Islam yang utama adalah penekanannya pada ajaran perdamaian. Kata Islam sendiri bermakna damai, aman, selamat dan penyerahan diri.

Kendati demikian, dalam sejarahnya, konsepsi di atas tidak selalu seiring dengan perjalanan umat Islam. Pada awal-awal lahirnya Islam, tidak kurang dari enam kali peperangan diikuti oleh Nabi, kendati dengan tujuan untuk menegakkan keadilan ekonomi, kesetaraan manusia dan bertahan dari penyerangan.

Demikian pula pada masa Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Peperangan yang dilakukan oleh mereka umumnya bermotifkan ekonomi, seperti penumpasan terhadap kelompok pembangkang yang enggan membayar zakat di masa Abu Bakar; pelebaran wilayah Islam, seperti yang terjadi pada masa Umar bin Khattab; dan perebutan kekuasaan seperti yang terjadi pada Ustman dan Ali.

Disebutkan dalam sejarah, sepeninggal Nabi Muhammad, tak kurang dari 70.000 orang Islam mati terbunuh dalam medan peperangan. Bahkan dua khalifah yang terakhir, yakni Usman dan Ali terbunuh secara mengenaskan dalam suatu peristiwa peperangan. Ahmad Amin menyebut peperangan besar dalam sejarah umat Islam ini sebagai fitnah kehidupan yang paling besar (al-fitnah al-Kubra).

Berbagai bencana kekerasan berlangsung sepanjang kekuasaan dinasti Islam, yakni pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekerasan pada masa ini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan intelektual yang diwujudkan dalam wujud pembunuhan terhadap beberapa pemikir yang dianggap dapat merugikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada Ghaylan al-Dimasyqi dan Al-Ja’d bin Dirham yang berpandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Islam bukanlah monopoli keturunan Arab (bangsa Quraisy) sebagaimana yang menjadi pandangan kelompok Sunni, atau dari keturunan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang menjadi garis politik Syiah, melainkan siapa saja dari umat Islam yang disetujui berdasarkan musyawarah (kesepakatan).

Kekerasan pada aspek politik lebih mengerikan lagi. Pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya dimasa Yazid bin Muawiyah, kepala Husain bin Ali dipenggal dari tubuhnya, dan kepala tersebut dibawa ke istana untuk dipermainkan. Seorang tua yang tahu masa kecil Husain dengan gusar berkata: “Saya pernah melihat wajah itu diciumi oleh Rasulullah”. Peristiwa ini disebut sebagai “tragedi Karbala”, sebuah momentum perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah pada tahun 64 Hijriah.

Demikian halnya pada masa Dinasti Abbasiyah. Akbar S Ahmed menggambarkan upaya kudeta militer Dinasti Abbasiyah terhadap Dinasti Umayyah sebagai berikut: “Sekali waktu Abdullah, seorang Jendral Abbasiyah mengundang 8 orang pemimpin Umayyah untuk makan malam pada musim panas bulan Juni tahun 750 M di rumahnya yang terletak di Jaffa. Ketika para tamu sedang makan, mereka ditangkap oleh para tentara. Setelah para tentara menikam semua pimpinan Umayyah tersebut, para pelayan menggelar tikar di atas tubuh mereka yang masih menggeliat-geliat dan para tamu lainnya melanjutkan makan malam sambil bersuka ria.” (Discovering of Islam).

Menjelang keruntuhan kekuasaan Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah yang terbentang dari wilayah Afrika dan seluruh jazirah Arab itu, tentara Kristen dari Eropa Barat menyerang dua dinasti Islam tersebut. Dengan misi perang suci untuk menaklukkan orang-orang “kafir”, umat Islam saat itu dihadapkan pada dua pilihan: beralih ke agama Kristen atau keluar dari wilayah kekuasaannya (migrasi).

Perang ini kemudian diikuti oleh sebuah perang lain yang dalam sejarah dunia disebut perang salib, sebuah perang yang menghabiskan waktu tidak kurang dari seratus tahun dan menyisakan trauma pahit bagi Kristen dan Islam. Pada awal-awal abad 20-an, beberapa wilayah yang berbasiskan umat Islam pun terdesak oleh negara-negara kolonial dari Eropa. Misalnya, Indonesia oleh Belanda; Mesir, Maroko, Aljazair oleh Perancis, Malaysia, Nigeria oleh Inggris dan Libia oleh Italia. Dan panggung sejarah umat Islam yang sempat penuh gemerlap itu terbenam ke bawah dasar permukaan, bagai sebuah cerita yang ditutup secara tiba-tiba.

Lalu bagaimana dengan terorisme? Syaikh Zaid bin Muhammad dalam kitabnya al-Irhab wa asaruhu ala al-afrad wa al-Umam menjelaskan bahwa sejarah terorisme dalam Islam telah berlangsung lama sejak masa awal Islam. Ia menyebut kasus-kasus pembunuhan khalifah Umar, Khalifah Ustman, khalifah Ali dan berbagai pemikiran Qodariyah dan Mu’tazilah merupakan tindakan yang dapat dikategorikan terorisme.

Pada Abad XX, umat Islam dikejutkan serentetan teror yang melanda dunia Islam yaitu dimulai dengan terbunuhnya Abdul Aziz al-Faisal al- Su’ud ketika tengah melakukan tawaf ifadah di putaran keempat. Selain peristiwa pembunuhan, masih di tempat yang sama di Masjidil Haram pada tahun 1400 H, pada awal bulan Muharam tiba-tiba sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul al-Qathami dengan juru bicara Juhaiman bin Salf al-`Utaibi melakukan intimidasi dan teror mengajak umat Islam untuk membaiat al-Mahdi. Dari dua kasus tersebut, fenomena makin berkembangnya terorisme mempengaruhi diskursus politik Islam.

Peristiwa lainnya adalah ketika dunia Islam dikejutkan dengan keganasan muslim fundamentalis membunuh Presiden Anwar Sadat dan Farag Faudah. Teror itu dilakukan oleh kaum fundamentalis yang tidak setuju atas kebijakan Anwar Sadat. Faktor utama pembunuhan terhadap Presiden Mesir ini lebih bermuatan politis dan mendapat legitimasi teologis yang mereka yakini.

Selain itu juga terjadi teror yang dialami oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Ketika umat Islam dijajah, seperti di Palestina, umat Islam mendapat teror dari kaum Yahudi. Di Bosnia telah terjadi pembersihan etnis, di Kasmir umat Islam terus mendapat teror dan mendapat perlakuan kekerasan, di Thailand dan di sejumlah negara yang penduduknya terdiri minoritas Muslim seperti di Rusia dan Cina di mana-mana partai komunis masih berkuasa umat Islam mendapatkan teror.

Setelah beratus-ratus tahun umat Islam menjadi sasaran gerakan teroris, muncul fenomena baru bahwa dunia luar membangun opini yang menuduh umat Islam sebagai dalang teroris. Opini ini didasarkan berbagai peristiwa seperti peledakan pesawat Okland, Peledakan kedubes AS di Nairobi, Kenya Darus Salam, Tanzania. Di Nairobi menewaskan 212 orang dan melukai 4000 di Darus Salam, menewaskan 11 orang dan melukai 72 orang lebih.

Selanjutnya juga teror yang dilakukan Usamah bin Ladin dengan pernyataannya; “Tuhan telah memberkati satu kelompok prajurit Muslim, yang menjadi baris terdepan Islam, untuk menghancurkan Amerika Serikat.” Serta fatwanya, “Kami telah mengeluarkan fatwa untuk seluruh umat Muslim: Perintah untuk membunuh warga AS dan sekutunya –baik sipil atau militer—adalah kewajiban pribadi bagi tiap Muslim yang bisa melakukannya di negara mana saja yang memungkinkan… Kami –dengan pertolongan Tuhan—berseru kepada setiap Muslim yang percaya pada Tuhan dan mengharapkan pahala agar mematuhi perintah Tuhan untuk membunuh rakyat Amerika dan merampas uang mereka di mana dan kapan saja.”

Dunia akhirnya mafhum bahwa gerakan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin adalah gerakan yang dibangun di atas semangat Islam, pelakunya Muslim dan mempunyai jaringan dengan berbagai gerakan Islam lainnya, seperti gerakan Jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekistan dan memiliki hubungan dengan Jamaah Islamiyah di ASEAN.

Pertanyaan kita selanjutnya, bila itu terjadi di Indonesia, apa yang ditempuh pemerintah yang berkuasa; menghidupkan atau membasmi gerakan seperti itu? Tuan mungkin tidak tahu, bahwa kini telah terjadi krisis moral dan etika begitu bangsa ini memasuki masa reformasi. Dan Tuan tentu sudah tahu bahwa kekerasan atas nama agama mulai merambah negeri kita. Apakah Tuan ingin pula menyalahkan Soeharto yang di masanya hal seperti itu tidak terjadi? Apakah Tuan juga ingin mengatakan itu adalah buah kebijakan Soeharto di masa lalu?