31 Mei 1997 — 8 menit baca

Suharto mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden

Pemilu 1997 telah melahirkan “parlemen” gadungan yang lebih buruk dari pada masa-masa yang lalu. Selanjutnya, massa rakyat terpaksa menyalurkan isi hatinya melalui saluran-saluran tidak konstitusional : di jalan, di pabrik, di pedesaan, di pesantren, di mesjid, di universitas dan ……

oleh : Made Sutedja (nama samaran)

(Catatan : tulisan ini telah disiarkan oleh Apakabar Indonesia-L, yang dipimpin John Macdougall, ketika regime Suharto dengan Orde Barunya masih sangat berkuasa. Oleh karena berbagai pertimbangan waktu itu, penulis terpaksa menggunakan nama samaran)

Dengan telah berlangsungnya pemilihan umum 1997, yaitu yang ke-enam kalinya sejak Orde Baru, dan dengan kemenangan yang terus-menerus diraih oleh Golkar, maka banyak orang bertanya-tanya, apa saja yang akan terjadi selanjutnya di Indonesia ? Apakah akan ada perobahan besar di Indonesia ? Apakah Presiden Suharto masih akan tetap merupakan tokoh kuat ? Bagaimana selanjutnya sikap PPP dan golongan Islam lainnya ? Bagaimana selanjutnya perjuangan para simpatisan Megawati ? Apakah gerakan pro-demokrasi akan mundur atau bahkan makin menggalak ? Bagaimana perspektif perkembangan situasi di Indonesia ? Mengapa Golkar masih terus meraih kemenangan dalam pemilihan umum 1997 ? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang bisa dicantumkan….

Kita bisa membayangkan, bahwa justru pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang sekarang ini juga sedang dibicarakan oleh CIA dan badan-badan intelijen dari berbagai negara yang mempunyai kepentingan besar di Indonesia. Dan dapat dimengertilah bahwa pimpinan berbagai perusahaan besar (pribumi, non-pri maupun asing), dan juga pimpinan berbagai organisasi di Indonesia, sedang mengamati perkembangan situasi dengan cermat. Kedutaan berbagai negeri di Indonesia juga sibuk untuk mengumpulkan bahan dan informasi. Dan tentu saja, BAKIN atau aparat-aparat negara lainnya juga makin getol dalam memasang kuping di mana-mana, dan mengintipkan matanya di balik segala gerak-gerik yang mencurigakan.

Tidak mudah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tercantum dalam permulaan tulisan ini. Ada sejumlah fenomena-fenomena yang bisa dipakai sebagai ancer-ancer perkiraan. Ada juga fakta-fakta yang bisa menjelaskan sesuatu persoalan. Tetapi ada juga soal-soal yang hanya bisa kita jadikan dasar ramalan. Dan, masih banyak teka-teki yang mengherankan kita, umpamanya, mengapa Presiden Suharto bisa begitu kuat, dan masih juga sekarang ini begitu besar kekuasaannya ? Satu lagi, rahasia, yang sampai sekarang masih belum terbuka : bagaimana Presiden Suharto dan keluarganya yang terdekat dapat mengumpulkan kekayaan yang begitu besar dalam waktu yang singkat ?

Presiden Suharto adalah manusia langka dalam sejarah Indonesia. Karena itu, pastilah namanya akan tercantum dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Terlepas dari soal, apakah akhirnya sejarahnya akan ditulis dengan tinta mas ataukah dengan kutukan atau penilaian yang negatif. Figur langka ini termasuk salah seorang di antara sejumlah kecil kepala negara, di dunia ini, yang bisa mempertahankan kekuasaannya sampai 30, bahkan mungkin 35 tahun. Dari fakta ini saja, sudah dapat diperkirakan bahwa Presiden Suharto memang mempunyai kelebihan-kelebihan yang luarbiasa. Kita tidak tahu, atau belum bisa mengetahuinya sekarang ini, apakah kelebihannya adalah karena ia pandai menggunakan kekuasaannya sebagai pimpinan tertinggi Abri, yang sekaligus digabungkannya dengan kekuasaan politik dan kekuasaan uang. Atau berkat sebab-sebab lainnya.

Majalah Asiaweek (penerbitan 5 Juli 1996) telah mencantumkan namanya sebagai orang terkuat nomor satu di Asia. Dari daftar 50 orang terkuat di Asia, ia menduduki tempat paling atas. Kemudian, menyusullah nama-nama : Jiang Zemin dari Republik Rakyat Cina, Lee Teng Hui dari Taiwan, Mahathir Mohamad dari Malaysia, Liem Sioe Liong dari Indonesia, dan seterusnya (harap catat : Mbak Tutut adalah nomor yang ke 33 dalam daftar itu). Jadi, orang-orang di luarnegeripun memandang Presiden Suharto sebagai orang yang luar biasa. Jiang Zemin mungkin kekuasaannya besar, tetapi tidak mempunyai kekayaan sebesar Presiden Suharto. Demikian juga Lee Teng Hui dan Mahathir. Tetapi, Liem Sioe Liong lain lagi ceritanya. Resminya, atau pada lahirnya saja, ia tidak mempunyai kekuasaan (politik), tetapi kekayaan yang luar biasa besarnya itu mudah sekali membeli kekuasaan politik atau mempermainkannya.

Selama 30 tahun Presiden Suharto telah diagung-agungkan sebagai “bapak pembangunan” dan di-elu-elukan dengan khidmat sebagai “penyelamat Pancasila dan UUD 45”. Tokoh kuat dan istimewa inilah yang, nantinya, dalam tahun 1998, Insya Allah, akan “dipilih lagi oleh rakyat”, untuk menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-7 kalinya. Baginya, untuk bisa “terpilih kembali” oleh MPR ini bukanlah sesuatu yang sulit. Sebab, dengan kemenangan Golkar secara mutlak dan “gemilang” dalam pemilihan umum 1997, maka terpilihnya kembali Presiden Suharto sebagai presiden baru oleh sidang MPR dalam tahun 1998, hanyalah soal sepélé saja.

Perhitungannya begini : kurang-lebih tiga perempat dari 500 kursi DPR hasil pemilihan umum 1997 telah diborong oleh Golkar, yaitu sekitar 360 kursi. Kalau ditambah dengan 75 kursi yang diberikan kepada ABRI, ini berarti bahwa sekitar 435 kursi DPR adalah suara yang akan mendukung Presiden Suharto untuk dipilih kembali sebagai Presiden. MPR terdiri dari 1000 anggota, dan 500 di antara yang 1000 ini diangkat atau ditunjuk, atau dipilih, oleh Presiden Suharto. Jadi, dalam sidang MPR ini, kurang-lebih sekitar 935 dari 1000 suara akan memilih kembali Presiden Suharto. (Angka-angka ini masih bisa berobah, tetapi secara garis besar, akan demikianlah imbangan suara dalam sidang MPR dalam tahun 1998 nanti). Dengan bahasa yang sederhana, sistem ini bisa dirumuskan : Suharto memilih Suharto. Dan ini, tentu saja, terjadi “secara sah dan konstitusional”.

Memang, sudah sejak lama Presiden Suharto beserta pendukung-pendukungnya yang paling setia, selalu menuduh semua fihak yang menentang politiknya, sebagai golongan atau oknum-oknum yang melakukan kegiatan-kegiatan tidak konstitusional atau melawan undang-undang. Dan, selama ini, Presiden Suharto selalu mengatakan bahwa tindakan-tindakannya selalu berdasarkan konstitusi atau undang-undang yang berlaku. Para pakar ilmu sejarah dan ilmu hukum akan bisa bercerita kepada kita semua bahwa semua diktator, atau raja lalim, atau penguasa tiran di dunia ini, juga berbuat demikian.

Roh Tae Woo dari Korea membabat jiwa mahasiswa-mahasiswa dengan dalih menyelamatkan konstitusi. Idi Amin Dada (Uganda) memenjarakan lawan-lawan politiknya “demi keselamatan negara”. Duvalier (Haiti) suka mengerahkan pasukan terrornya (Tonton Macout) untuk menjaga stabilitas nasional. Mobutu menyiksa lawan-lawan politiknya dalam tahanan (dengan listrik, dan gebugan) juga untuk membela kepentingan negara. Para diktator, raja lalim dan penguasa tiran ini, semuanya melakukan penindasan atas nama undang-undang dan hukum. Ingat juga sejarah kekuasaan Franco, Mussolini, Hitler. Sama seperti di Indonesia.

Dalam konstelasi politik yang demikian, maka wajar-wajar sajalah bahwa wakil-wakil PPP dalam DPR dan MPR tidak bisa berbuat banyak, yang bisa merobah jalannya mesin “konstitusional” yang akan melahirkan kembali diktatur militer yang terselubung ini. Mungkin saja, di sana-sini, dan kadang-kadang, akan terdengar suara galak dari kalangan PPP, yang akan mempersoalkan berbagai ketidakberesan dan keanehan dalam pemerintahan Orde Baru, termasuk juga penyelenggaraan sidang MPR tahun 1998 yang akan datang. Sebaliknya, dengan tersungkurnya PDI-Suryadi (yang dijagoi oleh Presiden Suharto, Yogie SM, Syarwan Hamid , Jagung Singgih) ke dalam lumpur busuk pemilu 1997, tidak ada apa-apa yang “berarti” yang bisa diharapkan dari kumpulan kerbau dungu ini.

Beginilah kira-kira gambaran negara dan pemerintahan kita yang akan datang, sebagai akibat pemilihan umum 1997. Komposisi kursi DPR akan terdiri dari : 73% untuk Golkar ( 68,1% dalam tahun 1992) , 24% untuk PPP (17% dalam tahun 1992) dan 3% (14,9% dalam tahun 1997) untuk PDI-Suryadi. Dari susunan “perwakilan rakyat” yang demikian ini, pada hakekatnya, kehendak rakyat tidak bisa terwakili. Ini sudah sama-sama kita saksikan selama 30 tahun ini. Artinya, untuk selanjutnya, aspirasi massa terpaksa harus mencari saluran-saluran yang lain (di samping masih bisa digunakannya saluran PPP, walaupun terbatas). Aspirasi massa luas terpaksa mencari “parlemen”-nya di jalan-jalan, di pabrik-pabrik, di perkebunan, di pedesaan, di pesantren, di madrasah, di mesjid, di universitas dan sekolah-sekolah. Generasi muda dari berbagai gologan sudah makin galak menggunakan saluran-saluran ini.

Berbicara tentang pemilihan umum 1997, kiranya, terpaksa juga harus menyinggung masalah PDI- Megawati. Karena rekayasa sejak kongres Medan, maka PDI-Megawati tidak mempunyai kursi dalam DPR (dan MPR) hasil pemilihan umum 1997. Akan tetapi, Presiden Suharto dan pembantu-pembantunya akan melakukan kekeliruan besar, kalau mereka menganggap bahwa riwayat Megawati sudah akan tammat begitu saja sejak sekarang ini. Sebab, kekalahan PDI-Suryadi adalah merupakan kekalahan Suharto yang strategis dalam pertempuran-jangka-panjang antara Suharto dan Megawati. PDI-Suryadi adalah salah satu, dari begitu banyak projek politik Presiden Suharto, yang paling buruk dalam sejarah kekuasaannya.

Masalah Megawati bukanlah hanya persoalan diri pribadinya seorang diri. Presiden Suharto-pun tahu. Karena perhitungan yang salahlah, maka ia mengira bahwa mudah untuk menyingkirkan Megawati dari arus percaturan politik Indonesia. Ia lupa bahwa Megawati ini, pada hakekatnya, merupakan pengejawantahan dari gelombang besar aspirasi yang menghendaki perobahan dan perombakan untuk perbaikan. Gelombang besar ini akan menjadi demikian besarnya, sehingga tidak mungkin lagi dibendung, walaupun dengan kekerasan senjata, penangkapan dan pemenjaraan. Ia akan menggulir terus, dengan atau tanpa Megawati. Gelombang besar ini bisa merupakan “parlemen” yang tidak konstitusional, yang secara moral, merupakan perwakilan rakyat yang sebenarnya.

Gelombang besar ini, yang terdiri dari aktivis dan tokoh-tokoh berbagai golongan, suku, dan organisasi (dalam MARI, PUDI, PRD, ratusan LSM, ribuan pesantren, organisasi-organisasi mahasiswa, organisasi pemuda seperti PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dll) merupakan gabungan kekuatan yang mendambakan perobahan demokratik di Indonesia. Dalam gelombang besar inilah terdapat kekuatan Megawati, dan bukannya dalam DPR (dan MPR) yang sudah disunat dan dibius Orde Barunya Suharto. Di sini pulalah akan terdengar suara rakyat yang sebenarnya. Di situ pulalah akan terbaca isi hati nurani massa rakyat. Bukannya dalam DPR, dan tidak pula di MPR. Sebab, dua lembaga “perwakilan rakyat” ini hanyalah se-mata-mata alat tidak sah yang mencatut “atas nama rakyat”, dan digunakan oleh Presiden Suharto untuk memberikan legitimasi kepada dirinya dan kepada pemerintahannya.

Perkembangan situasi sesudah pemilihan umum 1997 ini akan menyajikan kepada kita indikasi dan bukti bahwa karena Golkar telah “menang” dengan angka-angka yang begitu menyolok dan karena Presiden Suharto akan menduduki jabatan Presiden lagi, maka “pembrontakan moral” dari berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia akan lebih mengganas lagi. Bom-bom waktu telah diletakkan oleh berbagai pembesar Orde Baru, yang disebabkan oleh politik Presiden Suharto yang salah, dan karena tindakan-tindakan Feisal Tanjung, Hartono, Singgih, Syarwan Hamid, Suryadi, dan tokoh-tokoh lainnya. Kontradiksi dalam masyarakat Indonesia makin bertambah banyak, dan makin meruncing. Semuanya akan mendapatkan penyelesaian, pada waktunya, dan menurut hukumnya.