25 Januari 2004 — 7 menit baca

Suharto lakukan 5 pelanggaran berat HAM

Mohon perhatian pembaca terhadap berita yang disiarkan oleh Sinar Harapan (23 Januari 2004) seperti berikut ini :

“Tim pengkaji Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengindikasikan lima pelanggaran HAM berat yang dilakukan Soeharto. Indikasi lima pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto tersebut telah dibawa ke Rapat Paripurna awal Januari ini. “ Demikian diungkapkan Ketua Tim Pengkaji Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM berat Soeharto, MM Billah dalam konferensi pers, Jumat (23/1) pagi, di Komnas HAM. Lima perkara yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah kasus Pulau Buru; Penembakan Misterius (Petrus); Peristiwa Tanjung Priok; Kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua; serta Kasus 27 Juli.

” Dalam kasus Pulau Buru, pelanggaran HAM berat berkaitan dengan penangkapan terhadap para korban tanpa surat perintah dan tanpa melalui proses pengadilan terlebih dulu. Korbannya sangat spesifik, yakni mereka yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelanggaran HAM berat juga diindikasikan kepada penembakan misterius (petrus) di tahun 70-an. Korbannya adalah gali (anak liar, pencoleng, penodong, perampok). Meskipun langkah ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas keamanan nasional demi kesinambungan ekonomi namun penembakan yang sewenang-wenang ini dapat dianggap pelanggaran HAM berat. Peristiwa Tanjung Priok juga masuk dalam pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Soeharto. Korbannya adalah kelompok Islam yang dianggap anti-Pancasila. (kutipan dari Sinar Harapan selesai)

Bukan Hanya 5 Pelanggaran Berat !

Pernyataan Ketua Tim Pengkaji Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM berat Suharto seperti tersebut di atas merupakan perkembangan penting dalam usaha menyelesaikan masalah Suharto. Untuk ini perlu sikap Komnas Ham mendapat penghargaan dan dukungan seluas-luasnya dari semua kekuatan demokratis. Sebab, penyelesaian masalah Suharto akan memudahkan usaha bersama untuk menjalankan reformasi di berbagai dan banyak bidang. Terkatung-katungnya penyelesaian Suharto menyebabkan terkatung-katungnya usaha untuk menghancurkan lebih lanjut sisa-sisa Orde Baru.

Tetapi, tanpa mengurangi pentingnya sikap Komnas Ham, kita perlu mengingatkan semua fihak bahwa pelanggaran HAM berat Suharto tidak hanya terbatas pada 5 kasus tersebut di atas. Entah karena pertimbangan apa, dan dengan kriteria yang bagaimana, maka pembantaian besar-besaran yang terjadi dalam tahun 65 terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa tidak disebut-sebut oleh Komnas Ham. Juga terhadap ratusan ribu orang yang secara sewenang-wenang telah ditahan (tanpa diadili) di banyak tahanan dan penjara di seluruh Indonesia. Juga terhadap para eks-tapol (beserta keluarga mereka), yang jumlahnya besar sekali, dan yang lebih dari 32 tahun telah menderita beraneka-ragam siksaan yang berkepanjangan. Beraneka-ragam pelanggaran HAM yang sudah dilakukan oleh Kopkamtib dan TNI-AD juga merupakan tanggungjawab Suharto.

Rezim militer Orde Baru sudah melakukan banyak dan berbagai pelanggaran HAM selama lebih dari 32 tahun berkuasa. Dalam jangka lama sekali kebebasan pers telah diberangus, kebebasan untuk berserikat (partai, serikat buruh, tani, pemuda, wanita) dibatasi atau dimanipulasi, dan kebebasan untuk menyatakan pendapat juga dibungkam. Pemilu selalu direkayasa sehingga Golkar selalu “ menang “ sekitar 70% suara, dan dengan demikian DPR dapat dikuasai sepenuhnya oleh militer dan Golkar. Di bawah rezim militer Orde Baru, kehidupan demokratik diinjak-injak. Kalau dikaji dalam-dalam, itu semua juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Dan terhadap pelangggaran HAM itu semunaya jelaslah bahwa Suharto tidak bisa cuci tangan begitu saja, karena ia ikut bertanggungjawab.

Pengkhianatan Suharto Terhadap Sukarno Dan Ri

Kalau ditinjau secara menyeluruh maka jelaslah bahwa dosa Suharto tidak hanya terbatas pada pelanggaran berat HAM saja. Dosa besar Suharto juga meliputi kejahatan politik, kejahatan moral dan kejahatan yang bersifat kriminal (korupsi). Kejahatan politiknya yang paling menyolok adalah pengkhianatannya terhadap Presiden Sukarno. Dan pengkhianatannya terhadap Presiden Sukarno adalah pada dasarnya, dan pada akhirnya, pengkhianatan kepada rakyat dan revolusi Indonesia. Karena, seperti sudah dibuktikan oleh sejarah, dengan pengkhianatannya kepada Bung Karno maka Suharto dkk sudah menyeberang ke kubu imperialis yang dikepalai AS.

Pengkhianatannya kepada Presiden Sukarno mengandung kejahatan politik yang sekaligus juga bercampur dengan berbagai pelanggaran HAM yang berat. Dengan sewenang-wenang ia telah memenjarakan Menteri-menteri kiri Presiden Sukarno, menangkapi anggota DPRGR dan MPRS, dan memecati begitu saja banyak pejabat-pejabat yang dituduh kiri, yang kemudian dibiarkan menderita puluhan tahun tanpa gaji atau ganti-rugi sedikit pun. Membiarkan berjuta-juta orang menderita puluhan tahun adalah pelanggaran HAM yang berat.

Pengkhianatan Suharto terhadap Republik dan rakyat Indonesia adalah bahwa ia telah mendirikan rezim militer Orde Baru. Dan, sekarang sudah terbukti bahwa dengan mendirikan Orde Baru ini Suharto telah membikin banyak kerusakan terhadap Republik Indonesia, yang banyak merugikan kepentingan rakyat, dan yang sampai sekarang masih sulit untuk diperbaiki. Kerusakan moral (terutama di kalangan “ atas “), yang menyebabkan korupsi melanda seluruh negeri adalah produk rezim yang dibangun dan dipimpin Suharto.

Korupsi Dan Pembusukan Moral

Sekarang sudah makin jelas bagi banyak orang bahwa korupsi dan pembusukan moral yang melanda seluruh negeri dewasa ini tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab Suharto, karena kebanyakan para pelaku korupsi dan mereka yang busuk moralnya (terutama kalangan “ atas “) adalah orang-orang yang dibesarkan dan dididik di bawah pemerintahan Suharto. Moral Suharto sendiri - beserta seluruh keluarganya - bukanlah contoh gemilang yang patut dianut oleh bangsa kita. Sebab, dengan bahasa yang lugu atau terus terang patutlah dikatakan bahwa Suharto (beserta anak-anaknya) adalah sebenarnya maling-maling besar atau penjahat kelas super-kakap, yang menyalahgunakan kedudukan mereka di puncak kekuasaan.

Bagimana tidak ? Kalau diingat bahwa kekayaan jenderal Suharto ketika menjabat sebagai panglima Kostrad dalam tahun 1965 adalah tidak seberapa, tetapi setelah menjadi presiden ia memiliki kekayaan berpuluh-puluh milyar dollar AS. Kekayaan Suharto yang begitu besar tidak mungkin dikumpulkan dari gajinya atau usaha-usaha lainnya yang sah, legal, jujur dan bersih. Jelaslah bahwa kekayaannya (juga kekayaan anak-anaknya) adalah hasil dari KKN, dari penyalahgunaan kekuasaan, dari pemerasan dalam bentuk yang halus maupun kasar, atau berbagai kegiatan lainnya yang haram dan bathil. Sebagian dari praktek-prakteknya ini sudah diketahui banyak orang.

Skala praktek KKN Suharto sudah begitu besarnya dan begitu luasnya, sehingga dalam banyak hal tidak lagi hanya menyangkut soal hukum saja, melainkan juga sudah megandung unsur-unsur pelanggaran HAM (umpamanya : pengggusuran tanah, pembelian secara paksa dll)

Apa Suharto Bisa Diadili ?

Memang, Komnas HAM sudah mengindikasikan 5 kasus pelanggaran berat HAM yang sudah dilakukan oleh Suharto. Tetapi, soalnya, apakah Suharto bisa diadili karenanya ? Karena, dengan alasan keadaan kesehatannya (entah benar atau tidak !) tim dokter dan advokat-advokat pembelanya selalu menghalangi dilangsungkannya pemeriksaan oleh aparat-aparat hukum terhadap berbagai kesalahannya. Selain masih bisa berlindung di balik dalih hukum (atau dalih-dalih lain), masih cukup banyak “ tokoh-tokoh “ di berbagai bidang yang berusaha mencegah diperiksanya Suharto secara hukum.

Hanya dengan tekanan yang kuat dari opini umum, atau, hanya dengan desakan masyarakat yang terus-menerus, masalah pelanggaran berat HAM Suharto dapat diangkat. Sejak jatuhnya Suharto di tahun 1998, citra Suharto di mata banyak orang sudah makin pudar dan, bahkan, menjadi makin buruk. Jumlah orang yang masih berani terang-terangan membela Suharto makin berkurang, dan jumlah orang yang anti-Suharto makin bertambah banyak. Perkembangan ini cukup cepat, kalau diingat bahwa Suharto dkk sudah melancarkan indoktrinasi dan propaganda secara besar-besaran, dan secara menyeluruh, selama lebih dari 32 tahun, tentang kehebatan Suharto dan politiknya.

Dengan makin banyaknya bukti-bukti tentang kebobrokan keluarga Suharto (ingat kasus : Suharto sendiri, Tutut, Sigit Bambang, Tommy, Ari Sigit) dan kebobrokan Orde Baru beserta tokoh-tokohnya (contohnya, antara lain : Akbar Tanjung, Wiranto, Ginanjar Kartasasmita, mantan Jenderal Hartono, Prabowo, ) maka opini umum akan makin kondusif untuk menuntut diadilinya Suharto. Tidak tertutup kemungkinan bahwa sikap aparat-aparat penegak hukum juga akan berobah.

Apa Perlunya Suharto Diadili ?

Ada pendapai bahwa karena Suharto sudah “ sepuh “ (tua) dan pula dalam keadaan kesehatan yang tidak baik, maka tidak perlu dibikin sengsara lagi dengan menuntutnya di pengadilan. Ada juga pendapat bahwa bagaimanapun besar kesalahannya tetapi ada juga jasanya. Bahkan ada yang menganggap bahwa masa lampau biarkanlah menjadi masalah lampau saja, yang penting adalah masalah depan. Kepada orang-orang yang punya pendapat semacam itu, perlulah kiranya dikemukakan bahwa demi memenuhi perasaan keadilan banyak orang yang telah disengsarakan selama puluhan tahun oleh Suharto dkk melalui rezim militer Orde Barunya, maka Suharto perlu dimintai pertanggungan jawabnya. Suharto sudah melakukan berbagai banyak pelanggaran berat HAM seperti yang tersebut di atas. Juga melakukan banyak kejahatan politik yang serius dan kejahatan moral.

Mengadili Suharto mempunyai arti yang besar dan penting bagi pendidikan bangsa, yaitu bahwa pejabat-pejabat negara harus benar-benar bertanggungjawab atas segala perbuatan mereka, termasuk kesalahan-kesalahan mereka. Mengadili Suharto juga menunjukkan kepada umum bahwa segala kejahatan atau pelanggaran berat mendapat hukuman yang setimpal.

Mengadili Suharto adalah juga merupakan pertanggungan jawab bangsa kepada sejarah dan kepada generasi yang akan datang bahwa kita mampu bertindak tegas terhadap orang yang telah melakukan pengkhianatan terhadap Bung Karno, dan yang telah membikin kerusakan-kerusakan berat terhadap Republik Indonesia. Mengadili Suharto adalah perbuatan yang benar secara politik, perbuatan yang baik secara moral, dan perbuatan yang sah dan adil secara kemanusiaan.