02 April 1998 — 9 menit baca

Suharto bukanlah teladan bagi generasi muda

Catatan: Tanggal pasti 1998-04

Dosa yang terberat Presiden Suharto adalah dirusaknya moral generasi muda Indonesia

oleh : Mohtar Rivai (nama samaran)

Tanggapan dari Jawa Timur terhadap tulisan Romo J.B. Mangunwijaya dan pernyataan Dr Amien Rais mengenai keresahan generasi muda

Catatan penulis : Tulisan ini juga disajikan kepada para pimpinan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI), PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, Pemuda Demokrat, GAMKI, KMHDI, IPPNU, IPNU, SMID (PRD), PIJAR, Forum Komunikasi Mahasiswa di berbagai kota, Forum Mahasiswa di berbagai universitas, PPI di berbagai negeri (Asia, Eropa, Amerika, Canada, Australia).

Kendatipun Pemilu 1997 yang baru lalu telah dilaksanakan dengan penuh kecurangan dan rekayasa, dan telah menghasilkan produk yang tidak bisa dijadikan kebanggaan bangsa Indonesia, tetapi mungkin peristiwa ini akan mendorong lahirnya perkembangan baru bagi berbagai kekuatan pro-demokrasi dalam masyarakat di Indonesia. Banyak aksi massa, yang timbul sebelum dan selama kampanye Pemilu, telah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang sudah memerlukan - dan dengan urgen sekali - pembaruan dalam sistem politik, ekonomi dan sosial. Sebaliknya, Pemilu 1997 yang tidak luber-jurdil itu juga menunjukkan bahwa Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto masih terus bisa merusak berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara.

Yang merupakan perkembangan penting, dan juga menggembirakan, yalah timbulnya gejala bahwa generasi muda Indonesia secara aktif, dengan caranya masing-masing, ikut memikirkan urusan-urusan besar masyarakat dan negara. Jauh sebelum dilaksanakannya kampanye Pemilu, telah bermunculan selebaran (yang “gelap” maupun yang terbuka terang-terangan) dan berbagai pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh banyak organisasi pemuda dan mahasiswa. Aksi-aksi yang telah dilancarkan dengan banyak cara dan bentuk juga telah digelar oleh para mahasiswa di Surabaya, Malang, Jember, Bali, Jombang, Solo, Jogya, Semarang, Purwokerto, Bandung, Jakarta, Lampung, Medan, Ujungpandang.

Dalam pernyataan dan aksi-aksi itu, telah mereka angkat masalah sistem politik yang menyrimpung kebebasan warganegara, dan telah mereka persoalkan penyalahgunaan Dwi-fungsi ABRI. Dengan kemarahan yang menyala, mereka telah mengutuk korupsi, kolusi, dan kongkalikong yang sudah membudaya di kalangan elite. Kebejatan moral dan dekadensi kehidupan para pembesar-pembesar militer dan sipil Orde Baru telah mereka gebrak. Mereka kritik pelecehan hukum dan hak-hak azasi manusia yang sudah berlangsung ber-puluh-puluh tahun di Indonesia. Sebaliknya, mereka juga memperlihatkan kesediaan mereka untuk ikut berjuang ber-sama-sama guna datangnya perobahan-perobahan menuju perbaikan. Sungguh, besar nian, masalah-masalah yang mereka persoalkan ! Dan sungguh luhur tujuan mereka !

Sebagai seorang yang ikut berjuang semasa revolusi 45, dan ikut dalam pertempuran 10 November di Surabaya, saya merasa menjadi muda kembali menyaksikan itu semuanya. Ketika membaca isi selebaran-selebaran mereka dan menyimak makna pernyataan-pernyataan mereka, muncul kembalilah dalam ingatan saya ketika ber-sama-sama mas Isman, Mas Darto, Mas Biantoro (pimpinan TRIP, Jawa Timur) ramai-ramai menikmati makanan, yang disumbangan dengan sukarela oleh rakyat waktu itu, di asrama Darmo 49 (Surabaya). Terkenang kembali juga bagaimana kita waktu itu tidur di jalan-jalan sekitar Keputran, dengan memeluk senapan, sambil mendengar dentuman-dentuman meriam dari kapal-kapal perang Inggris dan berdesingnya mortir-mortir dikejauhan.

Ketika membaca berbagai aksi generasi muda dewasa ini, maka campur-aduklah perasaan dan fikiran saya. Saya gembira - dalam umur saya yang sudah mencapai 70 tahun ini - bahwa masih banyaklah di antara generasi muda yang memikirkan urusan-urusan besar bangsa dan rakyat. Sebaliknya, sebagai salah seorang di antara begitu banyak orang yang ikut berjuang dalam tahun-tahun revolusi 45, saya marah menyaksikan situasi negara dan bangsa kita dewasa ini. Sebagai seorang yang ikut memberikan sumbangan untuk berdirinya Republik ini, saya merasa mempunyai hak moral untuk bertanya, dan dengan suara lantang pula : “Begini bobrokkah Republik kita ini kalian bikin ? Bukan Republik yang macam sekarang ini, yang diperjuangkan dan dicita-citakan oleh para pejuang kemerdekaan !!! “

Sebagai teman seperjuangan dari Yono Setan (dari Kediri) dan banyak teman lainnya yang gugur dalam pertempuran Surabaya, saya juga merasa mempunyai kewajiban moral untuk berteriak keras sambil menuding pembesar-pembesar Orde Baru itu :”Hentikan segala perbuatan kalian yang merusak itu !”. Sebagai seorang, yang dalam masa mudanya sudah ikut bertempur - sebagai anggota TRIP - dalam serangan-pagi terhadap pertahanan Belanda di pinggiran kota Jombang (akhir 1948), saya juga berani memberikan peringatan kepada maling-maling besar dan penjahat elite Orde Baru :”Kalian sudah mengkhianati jiwa Proklamasi 17 Agusts 45 !”.

Dalam semangat yang demikian inilah saya menyambut dengan gembira aksi-aksi berbagai organisasi pemuda dan mahasiswa yang dilancarkan di banyak kota di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tidaklah seluruh tubuh bangsa Indonesia yang sudah dihinggapi kangker kebejatan moral. Kita semua patut merasa bangga bahwa ada juga dari generasi muda kita yang sudah merasa muak dan jijik melihat sistem politik dan pemerintahan yang menyuburkan budaya hipokrisi dan budaya selingkuh, yang sudah menjadi ciri-ciri Orde Baru. Kita patut merasa bersyukur, bahwa ketika banyak orang dari generasi tua - termasuk di antaranya “bapak-bapak” dari Angkatan 45 - sudah kehilangan rasa kebangsaan dan sudah mengingkari semangat pengabdian kepada rakyat, masih banyak dari generasi muda kita yang prihatin melihat kebobrokan-kebobrokan dalam masyarakat.

Fenomena yang merupakan “angin segar” di tengah-tengah bau busuk Orde Baru adalah bahwa aksi-aksi generasi muda ini dilakukan oleh anak-anak muda di bawah umur 30 tahun. Mereka itu lahir dan dibesarkan dalam jaman Orde Baru. Mereka bisa ditemukan dalam golongan Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu Bali, “kejawen”, Islam Abangan, atau entah apa lagi lainnya. Suatu hal yang penting untuk dicatat yalah bahwa, dalam aksi-aksi yang dilancarkan dalam berbagai cara dan bentuk dalam tahun-tahun terakhir ini, terdapat unsur-unsur generasi muda dari suku Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Timor, Bugis, Menado, Banjar, dan suku-suku yang tidak bisa disebutkan dalam tulisan ini. Ini sesuatu yang indah, sesuatu yang besar. Sebab, ini adalah kelangsungan dari perjuangan bangsa Indonesia, yang telah dicerminkan dalam Sumpah Pemuda Indonesia dalam tahun 1928.

Inilah kekuatan baru Bhineka Tunggal Eka, yang sedang mencari jalan dan sedang membentuk diri, dalam usaha mereka untuk ikut ambil bagian aktif dalam memikirkan pengurusan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan negeri ini. Mereka masih muda, dan hari kemudian Republik kita adalah milik mereka juga, dan anak cucu mereka. Mereka berhak untuk mencegah supaya Republik kita,jangan hanya dijadikan milik oleh keluarga Presiden Suharto dan pembesar-pembesar ABRI dan Golkar beserta konglomerat. Adalah tugas mereka yang sah untuk merebut kembali Republik kita ini dari jarahan atau rampokan “bapak-bapak” Orde Baru, yang dengan arogan dan amoral sedang mengangkangi milik bersama kita.

Alangkah bangganya kita menyaksikan aksi-aksi mereka - lewat demonstrasi, atau selebaran, atau rapat-rapat, atau tulisan-tulisan, atau bentuk-bentuk lainnya - yang mencerminkan tekad mereka untuk mencegah lebih hancurnya Republik ini. Berlainan dengan tuduhan sejumlah “oknum-oknum” (untuk meminjam kata-kata Megawati) yang sedang menduduki singgasana dan panggung pimpinan pemerintahan dan Golkar, mereka ini bukanlah pemuda-pemuda yang “ugal-ugalan”, yang “cengeng” dan frustasi. Banyak di antara mereka yang punya konsepsi yang jelas tentang pelaksanaan demokrasi. Tidak sedikit di antara mereka yang memahami, dan menjiwai, makna Pancasila lebih bersih dan lebih jernih dari pada Presiden Suharto, Syarwan Hamid atau “pak” Harmoko. Mereka tulus dalam memperjuangkan nasib buruh, tani, atau “wong cilik”, dan bahkan dengan risiko digebugi aparat negara dan bahkan meringkuk dalam tahanan.

Mereka ini adalah asset nasional, tunas bangsa, unsur-unsur pembangun hari kemudian, yang bisa mengambil peranan penting dan positif dalam masyarakat di masa depan. Mereka ini bukanlah seperti “generasi muda Orde Baru” karbitan, yang dimanjakan dan disesatkan oleh “bapak-bapak” Orde Baru, dan yang sejak muda sudah dibiasakan dengan kebudayaan feodalisme model baru dan hipokrisi. Mereka ini, bukanlah seperti “generasi muda Orde Baru” à la KNPI atau “Pemuda Pancasila” yang tindak-tanduknya dan fikirannya mencerminkan premanisme, yang merupakan bibit-bibit benalu bangsa dan maling-maling berdasi. Dosa berat Presiden Suharto adalah dirusaknya generasi muda Indonesia, dan kesalahan besarnya yalah dinodainya Angkatan 45.

Pemilu yang baru lalu telah merupakan kesempatan yang baik bagi generasi muda Indonesia untuk mengekspresikan aspirasi massa rakyat yang menginginkan perobahan di Republik kita ini. Mereka menyuarakan dengan lantang hati nurani banyak golongan - Islam, Katolik, Protestan, nasionalis, dll - yang memprotes merajalelanya korupsi (termasuk korupsi suara dalam Pemiliu), dan penyelewengan dalam pengorganisasian Pemilu. Jauh sebelum kampanye Pemilu, banyak di antara generasi muda ini sudah menganjurkan boikot, golput atau goltus, karena sudah berkeyakinan bahwa Pemilu tahun ini adalah suatu rekayasa kotor dari kekuasaan yang tidak menghormati kedaulatan rakyat. Hasil Pemilu telah membenarkan perlawanan mereka terhadap Pemilu ini, dan perkembangan setelah dilaksanakan Pemilu juga lebih membuktikan lagi bahwa jalan yang mereka tempuh adalah benar.

Generasi muda Indonesia, lewat aksi-aksi di kampus-kampus (walaupun masih terbatas), dan lewat berbagai forum dan aliansi yang berbagai bentuk, sudah menunjukkan bahwa pembiusan Orde Baru dengan politiknya “depolitisasi” sudah mulai pudar dayanya. Mereka menunjukkan bahwa fikiran mereka tidak mau dibelenggu lagi oleh retorika kosong yang penuh kepalsuan tentang “demokrasi Pancasila”. Mereka juga tidak takut lagi kepada “bapak-bapak” yang sering menakut-nakuti dengan adanya “bahaya laten PKI” atau KGB (Komunisme Gaya Baru). Mereka juga tidak percaya bahwa PRD ada di belakang aksi-aksi yang mereka lancarkan sendiri. Mereka menempuh jalan mereka sendiri, dengan kesedaran mereka sendiri, yang timbul karena kebutuhan keadaan objektif masyarakat dewasa ini. Dan, yang menggembirakan lagi, yalah bahwa semuanya itu telah keluar dari kotak-kotak sempit kesukuan dan batas-batas kepercayaan agama dan aliran kebatinan. Mereka bersatu dengan arus bawah, dan membentuk solidaritas klas dan solidaritas politik, dalam berbagai cara dan corak.

Perjuangan generasi muda Indonesia tidak mudah. Mereka harus menghadapi kekuatan raksasa, yang dikepalai oleh Presiden Suharto. Sekarang ini, sudah banyak di antara mereka yang dipenjarakan, dan sebagian lagi terpaksa harus bekerja dengan menghadapi berbagai risiko. Tetapi, kekuatan raksasa Orde Baru ini sedang dalam proses pembusukan, yang diakibatkan oleh sistem politik yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Presiden Suharto telah berusaha, selama 30 tahun, menjinakkan dan menina-bobokkan generasi muda Indonesia, untuk dijadikan onderdil berkwalitas rendah dan karatan dalam mesin besar Orde Baru. Dibawah pimpinannya, negara ini sudah kehilangan missi “nation building” dan “character building”. Kata-kata “revolusi” dijadikan tabu, dan penyebutan “rakyat” sudah diartikan sebagai “oposisi”. Gotong-royong, kerakyatan, pengabdian kepada rakyat, menjadi kata-kata asing, dalam jaman Orde Baru ini.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia tidak mau menjadikan Presiden Suharto sebagai teladan. Tokoh ini tidak memberikan inspirasi positif tentang pengabdian yang tulus kepada rakyat dan bangsa. Pidato-pidatonya sudah makin tidak berarti, karena bertentangan dengan prakteknya sendiri dan jauh dari kenyataan. Citranya, sudah makin dilihat oleh banyak orang, dan terutama oleh generasi muda, sebagai tumor yang mengganggu badan bangsa Indonesia. Lambat laun, generasi muda Indonesia, yang tergabung dalam berbagai kekuatan dalam masyarakat, akan menemukan teladan mereka sendiri, dalam perjuangan besar untuk membela Republik kita ini.