03 Februari 2009 — 9 menit baca

Rindu kepada pemimpin yang seperti Bung Karno

Mohon sama-sama kita perhatikan bahwa menjelang Pemilihan presiden 2009, banyak kalangan dari berbagai golongan masyarakat di Indonesia makin merasa bingung atau tidak tahu tokoh yang mana yang pantas dipilih sebagai calon presiden dan wakil presiden. Di samping itu ada juga kalangan yang sudah mengambil sikap cuwek saja atau tidak peduli siapa sajakah yang akan tampil sebagai capres (calon presiden) dan wakilnya. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang sudah memutuskan untuk golput saja (atau tidak memilih siapa-siapa), karena berbagai pertimbangan.

Kita sudah mulai mendengar adanya berbagai tokoh yang mencalonkan diri atau yang dicalonkan oleh macam-macam kalangan dari golongan-golongan untuk dipilih sebagai pimpinan tertinggi negara kita beserta wakilnya. Tokoh-tokoh itu terdapat (antara lain ) : Megawati, SBY, Jusuf Kalla, Prabowo, Wiranto, Sutiyoso, Sultan Hamengku Buwono, Hidayat Nur Wahid, Abu Rizal Bakri, dan juga tokoh-tokoh lainnya seperti Surya Paloh, Akbar Tanjung, Agung Leksono, dan (bahkan!) Yusril Ihza Mahendra, Muladi, Fahmi Idris.

Bahwa ada kebingungan atau keraguan banyak orang tentang siapa-siapa yang pantas dipilih sebagai presiden dan wakilnya adalah wajar atau bisa dimengerti kalau mengingat bahwa dari nama-nama yang sudah mulai terdengar (meskipun masih belum pasti betul) maka agaknya tidak ada yang menonjol betul-betul dibandingkan dengan yang lain-lain, yang bisa diharapkan bisa memimpin negara dan bangsa menuju perubahan-perubahan besar dan fundamental bagi kesejahteraan rakyat yang berjumlah 230 juta orang ini.

Terlalu banyak persoalan-persoalan besar yang harus dihadapi negara dan bangsa, sebagai akibat dari peninggalan pemerintahan rezim militer Orde Baru, ditambah dengan sisa-sisa persoalan dari berbagai pemerintahan pasca-Suharto (di bawah Habibie, Abdurrachman Wahid, Megawati,) dan sekarang yang sedang dihadapi oleh pemerintahan SBY-JK. Lebih-lebih lagi, dengan munculnya krisis keuangan yang melahirkan krisis ekonomi di sebagian besar bagian dunia, yang dampaknya juga menimbulkan tambah parahnya kehidupan bangsa Indonesia, maka semuanya itu menuntut adanya kepemimpinan negara, yang bisa diharapkan bisa membawa Republik Indonesia keluar dari kesulitan-kesulitan besar dan parah seperti tersebut di atas.

Muak atau jijik dengan praktek-praktek mereka

Sudah jelaslah kiranya, bahwa kepemimpinan yang demikian itu tidak bisa diharapkan sama sekali dari nama-nama “tokoh-tokoh” yang pandangan politiknya, atau sikap moralnya, atau jati dirinya tergolong dalam pendukung (dekat atau jauh, terang-terangan atau “tersembunyi”) Suharto dan rejim militernya. Sebagian besar rakyat kita sudah kenyang – bahkan muak atau jijik –dengan praktek-praktek mereka selama 32 tahun rejim Orde Baru ditambah lebih dari 10 tahun masa pasca-Suharto, yang hasil negatifnya bisa sama-sama kita saksikan dengan nyata sekali di banyak bidang dewasa ini.

Seperti yang bisa diamati oleh banyak orang, sebagian terbesar dari masalah penyelewengan kekuasaan, masalah korupsi besar-besaran, masalah pelanggaran HAM, pendeknya segala penyakit-penyakit parah yang terjadi di Indonesia adalah pada umumnya dilakukan oleh orang-orang dari berbagai kalangan yang mempunyai pandangan politik pro-Suharto dan anti-Bung Karno (atau anti-komunis). Tanpa mengambil sikap gebyah-uyah bisalah agaknya dikatakan bahwa para koruptor besar dan para “tokoh” yang rusak moralnya adalah pada umumnya - atau biasanya – orang-orang yang mendukung Orde Baru. Mereka ini banyak terdapat di kalangan militer, di kalangan pejabat, di kalangan masyarakat luas (bahkan, termasuk di kalangan tokoh-tokoh agama !!!).

Karena itu, nama-nama seperti Prabowo, Wiranto,Sutiyoso, Jusuf Kalla, Abu Rizal Bakri, Surya Paloh, Akbar Tajung, Muladi, Yusril Mahendra, yang sejarah hidup mereka sudah menunjukkan kedekatan dan dukungan mereka terhadap Suharto beserta Orde Barunya, tidaklah sama sekali menimbulkan harapan bahwa mereka bisa menyajikan kepada rakyat dan negara Republik Indonesia satu perspektif yang lain atau jauh berbeda dari apa yang sudah terjadi selama 32 tahun rezim Suharto ditambah lebih dari 10 tahun pasca-Suharto. Kalau (sekali lagi : kalau!) orang-orang yang pro-Suharto terpilih lagi untuk mempimpin rakyat dan negara, maka akan berarti bahwa Republik Indonesia akan terjerumus kembali ke dalam masa gelap atau suram, seperti yang sudah dialami sendiri oleh sebagian terbesar rakyat kita.

Perubahan-perubahan di dunia dan di Indonesia

Sekarang, dalam tahun 2009, sudah banyak sekali perubahan yang terjadi di bidang internasional, dan di bidang nasional, dibandingkan dengan situasi ketika Suharto merebut kekuasaan dari presiden Sukarno dalam tahun-tahun 1965-1966. Perang dingin dalam bentuknya yang lama sudah lewat jauh di belakang, dan “bahaya kubu Uni Soviet” atau “bahaya kuning RRT” sudah tidak menjadi momok seperti dulu lagi. Imperialis Amerika Serikat, yang dulu bisa bertindak sewenang-wenang sebagai polisi sekaligus penguasa dunia, sekarang sudah makin rontok giginya atau makin loyo Merosotnya kekuatan dan pengaruh imperialis AS sekarang ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan di dunia, termasuk di Indonesia.

Di skala nasional, sejak jatuhnya rejim Suharto dalam tahun 1998, citra para pendukungnya (terutama pimpinan militer, Golkar, dan kalangan agama) sudah jauh sekali merosot di mata sebagian terbesar rakyat. Meskipun masih berusaha dengan segala cara (tertutup atau terbuka) untuk tetap mempertahankan segala “keistimewaan”-nya semasa rejim Orde Baru, pimpinan militer sudah kehilangan kekuatan mereka sejak dihapuskannya doktrin Dwifungsi, ditertibkannya praktek-praktek bisnis, dan ditempatkannya kekuasaan militer di bawah pimpinan sipil. Perkembangan yang demikian itu merupakan langkah besar sekali untuk menghilangkan berbagai penyakit parah yang disebabkan oleh praktek-praktek buruk pimpinan militer selama puluhan tahun. Namun, sisa-sisa Orde Baru masih cukup kuat untuk terus melakukan perusakan-perusakan di berbagai bidang.

Sementara itu, perjuangan berbagai kalangan rakyat untuk terus melawan sisa-sisa praktek Orde Baru yang dilanjutkan oleh berbagai pemerintahan pasca-Suharto, masih tetap berkembang atau bergejolak terus dalam bermacam-macam aksi atau gerakan di lapangan politik, ekonomi, sosial dan HAM. Gerakan atau aksi-aksi berbagai kalangan masyarakat ini tidak bisa dibendung atau dicegah, karena dilahirkan oleh situasi objektif dan menjadi sarana atau senjata rakyat dalam membela kepentingan mereka. Terlalu banyak ketidak-adilan dan perlakuan-perlakuan buruk dari pemerintah beserta para elit yang berkuasa terhadap sebagian terbesar rakyat (antara lain terhadap para keluarga korban 65 dan eks-tapol yang jumlahnya besar sekali), yang perlu mendapat perlawanan dari banyak kalangan masyarakat kita.

Mengingat begitu banyaknya dan parahnya persoalan-persoalan besar yang sedang dihadapi sebagian terbesar rakyat kita (antara lain : pengangguran yang puluhan juta, dan kemiskinan yang meluas, harga-harga yang makin mahal untuk kehidupan sehari-hari, dan ……..banyaknya korupsi !) ditambah dengan besarnya krisis keuangan dan ekonomi dunia (yang paling parah selama puluhan tahun) maka jelaslah bahwa negara dan rakyat kita membutuhkan adanya pimpinan yang mempunyai politik yang berlainan sama sekali dari politik Suharto dan para pendukungnya,

Perubahan besar-besaran dan fundamental

Tetapi, sayangnya, dari nama-nama yang sudah mulai disebut-sebut dalam media massa seperti tersebut di atas sebagai calon presiden ini tidak ada yang bisa diandalkan untuk menjalankan politik yang jauh berbeda sama sekali dengan politik rejim militer Orde Baru dan yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto. Padahal, sudah jelas bahwa segala macam politik yang sudah ditrapkan sejak lebih dari 40 tahun sampai sekarang adalah politik yang tidak mementingkan kepentingan rakyat banyak, dan hanya menguntungkan golongan elite dan modal asing. Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa politik rejim militer Orde Baru dan berbagai pemerintahan yang menggantikannya sudah gagal, dan karenanya perlu diganti dengan politik yang baru oleh pimpinan negara yang baru pula. Tidak bisa lain !!!

Dalam menghadapi pemilihan presiden sekarang ini, terasa sekali adanya kekosongan pemimpin yang mempunyai visi politik dan missi pengabdian kepada rakyat, seperti yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno. Hanya tokoh-tokoh yang benar-benar berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, yang dengan gigih melawan imperialisme dalam segala bentuknya, dapat memimpin negara dan rakyat untuk membuat perubahan-perubahan besar dan fundamental. Pengalaman selama lebih dari 40 tahun sudah membuktikan dengan jelas bahwa perubahan-perubahan besar dan fundamental tidak bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh yang bermental seperti Suharto beserta jenderal-jenderal pendukungnya, atau oleh tokoh-tokoh partai GOLKAR (dan tokoh-tokoh berbagai partai lainnya yang pro-Suharto dan anti-Bung Karno)

Perlulah kiranya sama-sama kita perhatikan bahwa selama 40 tahun Orde Baru ditambah masa pasca-Suharto yang lebih dari 10 tahun, tidak ada gagasan-gagasan besar atau fikiran pembimbing bagi bangsa, seperti yang pernah disumbangkan oleh Bung Karno. Suharto sendiri sebagai pimpinan militer dan sekaligus kepala negara selama 32 tahun tidak mampu mencetuskan sesuatu yang besar, luhur atau agung seperti yang telah dicetuskan Bung Karno. Demikian juga halnya dengan tokoh-tokoh partai Golkar atau berbagai partai lainnya pendukung rejim militer Suharto. Seperti yang sama-sama kita saksikan selama ini, mereka hanya pandai menjual rethorika-rethorika yang kedengaran muluk-muluk, tetapi sebenarnya kosong atau palsu isinya.

Sesudah Bung Karno digulingkan secara khianat oleh Suharto beseta para jenderalnya, dan dengan bantuan imperialisme (teruatama AS) maka sampai sekarang tidak ada seorang pun di antara tokoh- -tokoh Indonesia yang bisa meneruskan atau meniru berbagai kebesaran dan keluhuran Bung Karno sebagai pemersatu dan guru bangsa. Kalau melihat perkembangan situasi sejak Suharto mengkhianati Bung Karno sampai sekarang, dan mencermati riwayat hidup dari sebagian terbesar capres, maka kelihatan betapa kerdilnya atau rendahnya sosok mereka itu umumnya dibandingkan dengan sosok besar Bung Karno.

Bung Karno sudah membuktikan diri sebagai pejuang revolusioner untuk kepentingan rakyat Indonesia sejak umur muda sekali melawan kolonialisme Belanda, sehingga masuk penjara dan dibuang di Endeh dan Bengkulu. Dan selama memimpin perjuangan rakyat Indonesia, ia telah melahirkan berbagai gagasannya yang besar, seperti yang terkandung dalam Indonesia Menggugat, dan lahirnya Pancasila, serta berbagai ajaran pentingnya seperti Trisakti, Berdikari, Manifesto Politik, Nasakom, dan ajaran-ajarannya yang lain yang bisa dibaca dalam buku Dibawah Bendera Revolusi dan Revolusi Belum Selesai.

Dalam menghadapi pemilihan presiden yang akan datang ini terasa sekali ketiadaan tokoh yang mempunyai citra seagung Bung Karno. Umumnya yang sudah mencalonkan diri atau dicalonkan adalah tokoh-tokoh kerdil, yang kebanyakan juga mempunyai pandangan politik yang pro-Orde Baru dan anti-Bung Karno dan pendukungnya yang terdiri dari golongan kiri. Sekali lagi, perlulah kiranya dikatakan degan tegas bahwa dari orang-orang semacam ini atau dengan orang-orang semacam ini tidak bisa diharapkan sama sekali adanya perubahan besar-besaran yang menguntungkan rakyat dan negara.

Memusuhi ajaran Bung Karno adalah memusuhi kepentingan rakyat

Perubahan besar dan fundamental di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh dan bersama-sama tokoh yang jiwa perjuangannya dan pandangan politiknya searah atau mirip dengan yang dimiliki Bung Karno. Tokoh-tokoh politik Indonesia yang mana pun tidak mungkin bisa mendatangkan perubahan besar dan fundamental kalau menganut sikap anti-Bung Karno beserta segala ajaran-ajaran revolusionernya. Tokoh-tokoh (baik militer maupun sipil) yang memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno adalah, pada hakekatnya, memusuhi rakyat Indonesia atau mengkhianati revolusi Indonesia.

Dari segi inilah kita bisa melihat betapa besar dosa atau betapa berat kesalahan (untuk tidak mengatakan kejahatan) pimpinan militer di bawah Suharto dan para jenderalnya yang telah menyingkirkan Bung Karno dengan cara-cara yang tidak berdasarkan peri-kemanusiaan, tidak “halal”, dan secara licik dan khianat. Sebab, dengan menghancurkan sosok Bung Karno sebagai pemimpin terbesar rakyat Indonesia, maka Suharto beserta para jenderalnya telah menjadikan rakyat Indonesia kehilangan pedoman politik dan sumber semangat perjuangan yang terbesar dan terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia sampai sekarang.

Mengingat itu semuanya, nyatalah bahwa rakyat Indonesia yang mendambakan dan berjuang untuk adanya perubahan-perubahan besar dan fundamental perlu bersama-sama, dengan segala cara dan terus-menerus, membantu terciptanya syarat-syarat bagi timbulnya atau munculnya pimpinan yang mempunyai jiwa besar dan gagasan-gagasan cemerlang bagi kepentingan rakyat seperti yang dimiliki Bung Karno.

Mungkin, perjuangan semacam ini memerlukan proses yang panjang. Namun dengan makin besarnya desakan kebutuhan akan pimpinan semacam itu, dibarengi dengan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi yang makin meningkatkan kesadaran politik rakyat secara umum, kiranya perjuangan rakyat Indonesia akhirnya akan melahirkan pimpinan yang dibutuhkan.