17 July 2005 — 10 menit baca

Renungan tentang Hari Kemerdekaan 17 Agustus

Tidak lama lagi bangsa kita akan merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agutus. Pada hari itu, genaplah umur Republik Indonesia 60 tahun. Sebagai orang Indonesia, yang sejak 40 tahun sudah meninggalkan Indonesia dan hidup di negeri asing, wajarlah kiranya kalau saya mempunyai macam-macam perasaan dan banyak fikiran atau renungan, ketika mengingat hari yang bersejarah ini.

Sebabnya, umur saya sekarang sudah 76 tahun dan menginjak 77 tahun. Lebih dari separo umur saya, saya lewatkan di negeri orang lain, mula-mula di Tiongkok selama 7 tahun, kemudian di Prancis sejak 1974 sampai sekarang. Perjalanan hidup saya sangatlah berliku-liku. Banyak sekali yang bisa diceritakan, dan, tentu saja, banyak juga yang tidak bisa diutarakan, karena berbagai sebab.

Dalam merenungkan lahirnya Republik Indonesia saya merasa bangga bahwa telah mempunyai andil atau bisa memberi sumbangan, seperti juga banyak orang lainnya. Ketika masih muda remaja, saya pernah ikut dalam pertempuran 10 November di Surabaya, bersama-sama dengan banyak pemuda lainnya, termasuk teman saya sejak kecil, Tjuk Alex Suryosunaryo (eks-tapol pulau Buru, teman wartawan, sekarang tinggal di Jakarta). Kemudian, dalam kehidupan saya sebagai wartawan di Indonesia dan sebagai political refugee di luarnegeri, saya telah melakukan macam-macam kegiatan yang berhubungan dengan berbagai masalah di Indonesia.

Sekarang, dalam menyongsong ulangtahun ke 60 Hari Kemerdekaan RI, terbayang kembali banyak sekali peristiwa-peristiwa itu. Tetapi, juga muncul dalam fikiran berbagai soal besar yang telah dan sedang dihadapi rakyat dan negara kita.

Hasil Perjuangan Para Perintis Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan jangka panjang yang telah dilakukan para perintis kemerdekaan, yang sekaligus juga merupakan perpaduan antara berbagai faktor nasional dan internasional waktu itu (akibat Perang Dunia ke-II). Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan jangka lama melawan kolonialisme Belanda, yang antara lain telah dipelopori oleh Perang di Palembang, Perang Padri, Perang Diponegoro, Pemberontakan Patimura, Perang Banjarmasin, Pemberontakan Orang Cina di Kalimantan Barat, Perang Bone, Peperangan di Lombok, Perang dan Puputan di Bali, dan Perang Aceh.

Perlawanan ini diteruskan oleh banyak orang dalam gerakan-gerakan Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partindo, Gerindo dan lain-lainnya. Dalam perjuangan ini nama-nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantoro, Dr Sam Ratulangi, Mr. Latuharhari, Haji Agus Salim, Dr Wahidin Sudirohusodo sangat meononjol. Deretan nama-nama ini kemudian diperkaya dengan munculnya nama Bung Karno. sebagai pemimpin besar rakyat Indonesia.

Kita melihat dengan jelas dari sejarah perjuangan bangsa melawan Belanda menuju kemerdekaan bahwa banyak tokoh-tokoh utama dari berbagai agama, suku dan keyakinan politik telah ikut menyumbangkan tenaga dan fikiran mereka. Di antara perjuangan melawan kolonialisme Belanda itu adalah sangat menonjol pembrontakan PKI dalam tahun 1926 di berbagai tempat di Jawa dan juga pembrontakan Silungkang di Sumatra Barat. Gemanya atau pengaruhnya besar sekali bagi orang-orang yang ikut dalam perjuangan melawan kolonialisme waktu itu. Karena, banyak orang tahu bahwa ribuan orang telah dipenjarakan dan dibuang ke tanah pengasingan di Boven Digul oleh pemerintah kolonial Belanda.

Perjuangan para perintis kemerdekaan dan gerakan-gerakan berbagai golongan melawan kolonialisme ini (Belanda dan Jepang) kemudian mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan mulai berkobarnya revolusi besar-besaran yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Jadi, jelaslah bahwa Republik Indonesia adalah milik kita semua. Indonesia adalah milik seluruh rakyat Indonesia.

Mereka Menyerobot Hasil-Hasil Revolusi

Kalau datang tanggal 17 Agustus, saya merasa sedih dan prihatin – campur marah – mengingat banyaknya orang yang telah ikut berjuang demi tegaknya Republik Indonesia, tetapi sekarang disingkirkan, atau dibuang, atau digencet, atau didiskriminasi. Contohnya, kasus saya. Selama masa revolusi saya telah ikut dalam pertempuran Surabaya dan melakukan perang gerilya bersama TRIP (Jawa Timur) melawan Belanda. Kemudian, setelah menjadi wartawan Sukarno-is, saya menjadikan lapangan hidup dalam jurnalistik untuk berjuang membela Republik Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno.

Saya merasa beruntung bahwa bisa selamat waktu terjadi pemberontakan PRRI di Sumatra Barat dalam tahun 1957-1958, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Masyumi dan PSI dengan mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Waktu itu, saya bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Harian Penerangan (Padang) dan ikut gerakan di bawah-tanah melawan PRRI-Dewan Banteng. Kemudian, setelah pindah ke Jakarta dan menjabat sebagai pimpinan redaksi Harian Ekonomi Nasional (merangkap sebagai Bendahara PWI Pusat dan Bendahara Persatuan Wartawan Asia-Afrika dan kemudian juga Bendahara Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing) kegiatan saya mendukung berbagai politik Bung Karno makin meningkat. Karena terjadinya peristiwa G30S; maka saya terpaksa bermukim di Tiongkok selama 7 tahun, dan mulai tahun 1974 hidup di Prancis sebagai political refugee, sampai sekarang.

Mengingat itu semua, maka saya merasa adanya kejanggalan atau keanehan. Saya, yang sejak muda ikut membela Republik melalui berbagai cara dan jalan, dan dalam jangka lama pula, terpaksa mencari hidup dengan susah payah dan minta perlindungan di negeri orang. Sedangkan, orang-orang yang telah mengkhianati para perintis kemerdekaan dan Bung Karno –yaitu para tokoh militer pembangun Orde Baru, bersama konco-konconya di Golkar – telah menyerobot hasil-hasil revolusi. Mereka inilah yang tidak segan-segan mempertontonkan kerusakan akhlak atau kebejatan moral, dengan melakukan korupsi serta berbagai penyelewengan lainnya. Mereka inilah yang menjadi penjajah bangsa sendiri atau penindas rakyat sendiri.

Perasaan semacam ini pastilah juga dipunyai oleh banyak sekali orang yang pernah ikut revolusi 45 atau yang mendukung politik Bung Karno sebelum peristiwa 65. Tidak sedikit di antara mereka ini yang tersisih dan “terbuang” begitu saja, dan menderita selama puluhan tahun, dengan naiknya ke panggung kekuasaan Jenderal Suharto beserta konco-konconya.

Masyarakat Adil Dan Makmur Makin Jauh

Merenungkan arti 17 Agustus dan arti ulangtahun ke 60 negara kita mendorong kita semua untuk menelusuri perjalanan bangsa kita selama ini dan mencoba memandang hari depannya. Kita sudah menyaksikan bahwa dari umur RI yang 60 tahun ini yang 20 tahun (antara 45-65) negara kita ada di bawah pimpinan pejuang besar untuk kemerdekaan, yaitu Bung Karno. Selebihnya, selama 32 tahun, negara kita dikangkangi oleh Suharto dan konco-konconya.

Sekarang kita bisa katakan – dengan tegas dan lantang – bahwa apa yang dibangun dengan susah payah oleh Bung Karno selama 20 tahun (bahkan selama lebih dari 40 tahun kalau dihitung sejak masa mudanya) sudah dirusak sama sekali oleh Orde Barunya Suharto dkk. Nation building and character building yang merupakan usaha utama Bung Karno sebelum dan sesudah kemerdekaan telah dibikin hancur berantakan akibat berkuasanya rezim militer Orde Baru selama 32 tahun. Karena itu, sekarang bisa kita lihat dengan jelas, – dari bukti-bukti yang menyedihkan serta akibat-akibat serba negatif yang dapat kita saksikan bersama dewasa ini –, bahwa rezim militer Suharto (beserta para simpatisan atau pendukungnya) adalah perusak besar cita-cita para perintis kemerdekaan dan Bung Karno.

Masyarakat adil dan makmur, yang di zaman Bung Karno sering disebut-sebut, sekarang kelihatan makin jauh. Presiden SBY sendiri mengakui baru-baru ini bahwa paling sedikitnya ada 35 juta orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan melanda rakyat di 199 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal (Media Indonesia, 15 Juli 2005) Banyaknya pejabat tinggi, tokoh politik, tokoh agama dan pentolan dunia usaha yang sudah (dan sedang) diperiksa oleh aparat-aparat negara karena diduga melakukan korupsi besar-besaran adalah bukti bahwa maling-maling kelas kakap terdapat di banyak kalangan. Kerusakan moral yang dipertontonkan oleh keluarga Jalan Cendana dan “kalangan atas” pada umumnya merupakan contoh gamblang tentang kebusukan dan kebobrokan akhlak yang sedang melanda negeri kita.

Kebesaran Jiwa Dan Perjuangan Bung Karno

Dalam mengamati perjalanan bangsa, kita melihat bahwa selama 60 tahun ini negara kita sudah pernah dipimpin 6 presiden, yaitu Bung Karno, Suharto, Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan sekarang SBY. Dari deretan nama-nama tersebut di atas, nampak jelas sekali dari berbagai segi (segi politik, segi moral, segi intelektual, segi kepemimpinan, segi perjuangan) bahwa Bung Karno jauh mengungguli mereka semuanya.

Walaupun sudah dicoba dikerdilkan, difitnah, dan dijelek-jelekkan oleh Orde Baru beserta para simpatisannya (selama puluhan tahun, sampai sekarang !) , toh akhirnya sejarah bangsa Indonesia akan mencatat bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar rakyat, yang jarang tandingannya di Indonesia. Bung Karno adalah juga tokoh internasional, yang setara dengan (kalau tidak melebihi) Nehru dari India, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, Kwame Nkrumah dari Gana, Josip Broz Tito dari Yugoslavia, Ho Chi Minh dari Vietnam, Chou En-lai dari Tiongkok.

Kebesaran jiwa dan ketinggian martabat perjuangan Bung Karno tidak bisa disejajarkan dengan jiwa dan martabat Suharto, yang waktu mudanya adalah serdadu kolonial KNIL dan yang kemudian mengkhianati Bung Karno. Sebagai diktator puluhan tahun ia telah menindas demokrasi dan HAM, sangat getol menjalankan KKN , dan tidak segan-segan menumpuk kekayaan keluarga dengan cara-cara selingkuh.

Sisa Sisa Kekuatan Orde Baru Masih Besar

Sesudah memasuki ulang tahun yang ke 60, bagaimanakah perspektif negara dan bangsa kita selanjutnya di kemudian hari ? Kelihatannya, banyak orang menaruh harapan besar bahwa Presiden SBY bisa memulai pekerjaan besar untuk memerangi korupsi dan pembenahan bidang-bidang lainnya. Mudah-mudahan !

Tetapi, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah (sejak 1998 sampai sekarang), bisalah kiranya kita simpulkan : selama sisa-sisa rezim militer Orde Baru masih kuat bercokol di berbagai aparat dan lembaga negara kita (termasuk dalam fikiran banyak orang) maka hari kemudian bangsa dan negara akan tetap busuk dan bobrok.

Seperti kita saksikan sendiri selama ini, reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang masih bermental Orde Baru atau simpatisan Suharto dkk.. (Sebab, pada hakekatnya, reformasi berarti merombak atau merobah apa yang telah dibikin oleh Orde Baru-nya Suharto dkk). Mereka inilah yang merupakan penghalang atau pensabot atau perusak reformasi. Mereka ini masih banyak terdapat di kalangan “atas” , baik di antara para pejabat (sipil maupun militer), tokoh-tokoh partai politik dan tokoh agama. Segala macam persoalan-persoalan besar yang dihadapi negara dan bangsa akhir-akhir ini sudah membuktikannya. Pembaruan bangsa dan negara kita tidak bisa dilakukan oleh anasir-anasir busuk atau unsur-unsur bobrok, baik yang terdapat di kalangan TNI-AD, kalangan Golkar, maupun kalangan-kalangan lainnya.

Oleh karena itu, perjuangan rakyat untuk perbaikan kehidupan sehari-hari, dan perjuangan bangsa untuk membangun hari depan yang lebih baik bagi semua, tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk terus-menerus (!!!) melawan dan menghantam sisa-sisa simpatisan Orde Baru. Kita tidak bisa – dan tidak boleh – menggantungkan harapan (atau ilusi) kepada lembaga-lembaga yang ada (DPR, DPRD, DPD dll), yang masih banyak ditongkrongi oleh oknum-oknum yang anti Bung Karno atau anti-komunis, dan yang simpatisan Orde Baru. Banyak di antara mereka ini yang moralnya rendah. Contohnya : DPR usul supaya gaji ketua dan anggota-anggotanya dinaikkan, sehingga setiap hari upah ketua DPR Rp 2,17 juta, wakil ketua Rp 1,71 juta, dan anggota Rp 1,26 juta (Indo Pos, 9 Juli 2005). Ini keterlaluan, kalau mengingat bahwa di berbagai daerah terjadi busung lapar karena banyak orang dan bayi kurang makan ! Sebagian besar rakyat kita tetap hidup sengsara, dan berkeringatkan darah dan air mata.

Kerusakan moral bangsa dewasa ini juga kelihatan dari acuh tak acuhnya para petinggi negara dan para tokoh masyarakat (termasuk tokoh-tokoh partai politik dan agama, dan kalangan intelektual) terhadap kasus puluhan juta orang korban peristiwa 65. Di antara mereka ini banyak yang sudah menderita dan hidup sengsara selama hampir 40 tahun, akibat banyaknya perlakuan yang tidak berperikemanusiaan dari rezim militer Orde Baru. Kasus para korban peristiwa 65 adalah aib besar dan dosa parah yang telah dibikin oleh rezim militer Orde Baru kepada bangsa. Sejarah bangsa perlu mencatat hal yang menyedihkan ini, untuk diketahui oleh generasi yang akan datang.

Kerusakan Terlalu Luas Dan Terlalu Parah

Kerusakan berbagai bidang yang telah dibikin Orde Baru, selama 32 tahun lebih, adalah terlalu luas, terlalu besar ( dan terlalu parah !), sehingga memerlukan waktu panjang sekali untuk memperbaikinya. Dan, seperti kita saksikan selama ini, kerusakan yang paling besar dan serius adalah kerusakan moral, terutama di kalangan « atas » .

Mengingat itu semuanya, dalam menghadapi 17 Agustus yang akan datang dan perspektif hari kemudian bangsa, saya sama sekali tidak mempunyai ilusi bahwa perobahan besar atau perbaikan fondamental bisa terjadi dalam waktu dekat. Tetapi, saya yakin bahwa akan datanglah saatnya, entah kapan atau entah berapa lama lagi, bahwa bangsa kita akhirnya akan bisa merealisasikan cita-cita para perintis kemerdekaan kita, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Untuk itu, saya masih terus ada harapan bahwa kekuatan rakyat, yang tercakup dalam berbagai ornop, lsm, perkumpulan, serikat buruh, serikat tani, organisasi pemuda, mahasiswa, wanita, dapat dibangun terus dengan bermacam jalan, bentuk dan cara. Pekerjaan ini memang tidak gampang, dan membutuhkan keuletan, kesabaran, keteguhan, dan pengorbanan yang tidak sedikit. Namun, itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan negara dan bangsa, termasuk keturunan kita.