05 Maret 2001 — 12 menit baca

Rehabilitasi bagi korban Orde Baru adalah adil

Mohon perhatian Anda sekalian terhadap cuplikan berita yang dimuat oleh suratkabar Kompas hari Sabtu, 24 Februari 2001 yang menunjukkan bahwa perjuangan reformasi memang membutuhkan sekali “tancep gas”, dan juga bahwa kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa Orde Baru (GOLKAR) perlu terus-menerus dibeberkan. Kutipan berita tersebut adalah yang berikut:

“Sebanyak 899 personel TNI AU baik militer maupun sipil harus mendapatkan rehabilitasi karena dituduh terlibat G30-S/ PKI. Sebagian besar dari personel tersebut dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses peradilan. Bahkan Menteri/ Panglima AURI tahun 1965, Omar Dani dipenjara oleh Pemerintah Orde Baru selama 30 tahun. Demikian diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Purnawirawan TNI AU Marsdya (Purn) Sri Mulyono Herlambang, Jumat (23/2) saat melakukan kunjungan kerja mendampingi KSAU Marsekal Hanafie Asnan di Pangkalan AU Abdurahman Saleh, Malang.

Sri Mulyono mengungkapkan, dari 899 orang itu Perhimpunan Purnawirawan TNI AU baru berhasil mendata keberadaan sekitar 271 orang. “Mereka sekarang memang sudah keluar dari tahanan, akan tetapi kita sedang mengupayakan proses rehabilitasi dan bekerja sama dengan pihak Departemen Kehakiman,” ujar mantan KSAU tersebut. Ditambahkan Sri Mulyono, penerbitan buku pledoi Omar Dani baru bisa dilakukan setelah adanya reformasi. Buku ini, ujar Sri Mulyono, sebagai satu upaya “rehabilitasi” juga, mengingat selama lebih dari 30 tahun TNI AU terus-menerus dipojokkan”. (Kutipan selesai)

Setelah membaca cuplikan berita tersebut, wajarlah kalau sekiranya kita masing-masing mempunyai tanggapan yang berbeda-beda, atau kesimpulan yang beraneka-ragam. Sebab, titik tolak untuk memandang persoalannya juga mungkin tak sama. Namun, betapa pun juga, dari berita tersebut di atas ada berbagai hal menarik dan penting yang bisa diangkat ke permukaan.

Hal Semacam Ini Tidak Boleh Diteruskan Lagi

Dari berita tersebut di atas, kita semua sekarang ini tahu bahwa sedikit-dikitnya ada 899 personnel TNI AU (baik militer maupun sipil) yang selama lebih dari 32 tahun telah dibikin sengsara berkepanjangan dalam kehidupan mereka. Bahkan bukan hanya mereka saja, melainkan juga anggota-anggota keluarga mereka (istri dan anak) dan saudara-saudara mereka. Di antara mereka banyak yang dipenjarakan dalam jangka panjang tanpa proses pengadilan, atau dipecati secara sewenang-wenang. Kebanyakan di antara mereka dituduh (juga secara sewenang-wenang) “terlibat” G30S atau “berindikasi” PKI.

Tidak bisa dibayangkan, berapalah kiranya selama itu airmata sudah dikucurkan, dan betapa pula besarnya kepedihan hati yang harus mereka tanggung. Sebab, mereka telah disengsarakan begitu lama, padahal mereka tidak bersalah apa-apa!!! Oleh karena tidak ada bukti-bukti yang sah tentang “kesalahan” atau “dosa-dosa” mereka itulah maka mereka selama itu tidak bisa diajukan di depan pengadilan, dan akhirnya terpaksa dibebaskan, sebagai “ex-tapol”. Tetapi, sementara itu, banyak di antara mereka yang sudah menanggung kerugian material, kerusakan fisik, dan penderitaan moral, berikut para anggota keluarga dan para saudara mereka.

Sekarang ini, ketika Orde Baru sudah jatuh, dan Suharto sudah tidak berkuasa lagi, mereka ini masih tetap menderita terus. Sampai sekarang, tindakan sewenang-wenang yang pernah dijatuhkan kepada mereka itu, masih juga belum dihentikan. Artinya, “kejahatan negara” (baca: kejahatan Orde Baru) yang pernah dilakukan oleh partai GOLKAR terhadap mereka masih diteruskan oleh pemerintahan Habibi (dan juga oleh pemerintahan yang sekarang, sebagai warisan, yang belum terselesaikan).

Kejahatan negara yang diwariskan oleh Orde Baru ini, tidak boleh diteruskan lagi! Demi kepentingan bangsa sebagai keseluruhan, perlulah kiranya masalah ini kita jadikan pemikiran bersama untuk diselesaikan. Pertimbangan-pertimbangannya adalah, antara lain, sebagai yang berikut:

Mereka Berhak Menuntut Rehabilitasi

Kasus personnel AURI adalah satu bagian kecil dari begitu banyak korban lainnya. Kasus-kasus serupa juga terdapat di kalangan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Kepolisian dan di banyak kalangan pegawai-pegawai negeri lainnya. Mereka ini tadinya pernah bekerja di beraneka-ragam jawatan atau instansi berbagai kementerian. Jumlah mereka besar sekali. Konon, daftar tapol golongan A, B, C yang ada di Kementerian Dalamnegeri pernah mencatat lebih dari satu juta orang. Entah, berapa banyak guru atau pegawai negeri di tingkat propinsi dan kabupaten yang telah dibunuh atau dipecat begitu saja, dan entah berapa pula yang sudah dibunuh secara besar-besaran dalam tahun 65/66. Dan, lagi pula, entah berapa puluh juta orang anggota keluarga dan sanak-sadara mereka yang, karenanya, telah menderita lahir-batin selama puluhan tahun.

Usaha Perhimpunan Purnawirawan TNI AU seperti yang tersebut di atas adalah benar, baik secara hukum, maupun secara politik dan moral. Nalar yang sehat dan hati-nurani yang bersih seharusnya menyetujui bahwa kesalahan besar Orde Baru terhadap personel TNI AU itu haruslah dihentikan oleh pemerintah. Artinya, jangan diteruskan lagi! Sebab, makin jelaslah sekarang bagi banyak orang, bahwa mereka itu – seperti halnya begitu banyak korban Orde Baru lainnya – telah diperlakukan secara sewenang-wenang, dalam jangka waktu puluhan tahun.

Oleh karena itu, adalah hak mereka yang sah dan adil, sebagai warganegara Republik Indonesia, dan juga sebagai manusia biasa, untuk menuntut rehabilitasi, baik secara moral mau pun material. Mereka itu tidak bersalah apa-apa, tetapi telah mendapat “hukuman kolektif” yang salah selama puluhan tahun akibat politik Orde Baru. Tuntutan personnel TNI-AU itu, seperti halnya tuntutan para korban lainnya yang jumlahnya begitu banyak (dan terdapat di berbagai kalangan), perlu mendapat dukungan dari seluruh kekuatan pro-reformasi yang mendambakan ditrapkannya secara kongkrit prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebab, suksesnya perjuangan mereka untuk memenangkan rehabilitasi bagi mereka adalah sumbangan penting kepada perjuangan bersama untuk rehabilitasi para korban lainnya, yang jumlahnya amat besar dan terdapat di seluruh tanah-air kita.

Rehabilitasi Adalah Senyawa Dengan Reformasi

Di tengah-tengah hiruk-pikuk tentang Buloggate-Brunaigate, SI MPR, pertemuan “tokoh-tokoh” di mesjid Al Azhar, peristiwa Sampit dan Palangkaraya, kasus kaburnya Tommy, persoalan Ginanjar Kartasasmita dan kasus-kasus korupsi “kakap” lainnya, mengangkat persoalan rehabilitasi para korban Orde Baru adalah amat penting juga. Hiruk-pikuk yang tersebut di atas adalah bukti bahwa reformasi masih belum jalan, atau belum membuahkan hasil yang besar. Perlulah kiranya jelas bagi kita semua, bahwa mempersoalkan masalah rehabilitasi para korban Orde Baru (antara lain kasus personnel TNI-AU) adalah erat hubungannya dengan perjuangan untuk melaksanakan reformasi. Yang berikut adalah sebagian dari berbagai pandangan yang bisa sama-sama kita renungkan:

Reformasi, pada intinya, atau pada hakekatnya, adalah dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat oleh Orde Baru, atau merombak sistem politik, ekonomi, sosial, kebudayaannya, atau menghancurkan dan menghilangkan sama sekali hal-hal yang memang sudah tidak boleh kita pakai lagi. Adalah sudah jelas sekali bagi mereka yang bernalar sehat, atau bagi mereka yang bermoral beradab, bahwa kasus personnel TNI-AU tersebut di atas, adalah suatu kesalahan atau pelanggaran yang besar yang pernah dilakukan oleh para pembangun Orde Baru. Dan, pelanggaran (kasarnya : kejahatan terhadap peri-kemanusiaan) ini masih diteruskan sampai sekarang!

Dalam rangka reformasi, masalah ini harus dikoreksi atau diperbaiki atau dibongkar. Adalah suatu omongkosong besar, kalau orang berbicara menggebu-gebu dan bertingkah malang-melintang tentang “berjuang untuk reformasi” tetapi mendiamkan saja soal rehabilitasi bagi para korban Orde Baru yang begitu besar jumlahnya, dan yang sudah menderita begitu lama pula. Mendiamkan penderitaan yang begitu memedihkan bagi puluhan juta orang itu, adalah dosa besar. Apalagi, akan lebih serius lagilah dosa mereka, kalau ada orang-orang yang justru ingin melestarikan perlakuan yang tidak adil ini.

Singkatnya , atau ringkasya : bagi mereka yang mau memperjuangkan reformasi (yang sungguh-sungguh!) perlu jelas dalam fikiran dan mantap di hati bahwa memperjuangkan rehabiltasi bagi para korban Orde Baru (baik yang TNI-AU mau pun yang di kalangan-kalangan lain yang djumlahnya amat besar itu) adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan untuk reformasi. Dalam hal ini, rehabilitasi adalah senyawa dengan reformasi.

Anti Rehabilitasi Berarti Mendukung Orde Baru

Kalimat anak-judul di atas ini mungkin terdengar bernada “sembarangan” . Betul-tidaknya marilah sama-sama kita renungkan. Dan sebagai bahan pertimbangan bersama, bisalah kiranya kita telaah hal-hal yang sebagai berikut :

Dilihat dari segi yang mana pun (umpamanya : hukum, politik, moral, hak asasi manusia, keagamaan, nalar sehat dll) perlakuan tidak adil terhadap para korban Orde Baru adalah praktek yang harus dikutuk habis-habisan dan diperjuangkan supaya dihentikan dengan segera. Tidak diselesaikannya - dengan segera ! - masalah rehabiltasi mereka adalah cacad hukum dan cacad keadilan, yang menghinggapi kehidupan bangsa. Membiarkan kasus para korban itu terkatung-katung tanpa ada harapan untuk diselesaikan dalam waktu singkat adalah tambahan aib bangsa, yang sekarang ini sudah bertumpuk-tumpuk (korupsi yang merajalela, pelanggaran HAM dalam peristiwa Trisakti, peristiwa 27 Juli, kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus PRD, dll).

Oleh karena itu, rehabilitasi bagi para korban Orde Baru, adalah menguntungkan bangsa sebagai keseluruhan, dan bukan hanya bagi anggota keluarga para korban atau sanak-saudaranya saja. Artinya, kalau direnungkan dalam-dalam, bahkan akhirnya akan juga menguntungkan bagi para pendukung setia Orde Baru yang tadinya menyetujui perlakuan yang kejam itu. Sebab, rehabilitasi itu akan merupakan sumbangan atau salah satu di antara berbagai langkah menuju rekonsiliasi nasional. Dan rekonsiliasi nasional adalah menguntungkan seluruh bangsa, yang selama puluhan ini hatinya tercabik-cabik oleh sekam rasa permusuhan yang membara.

Penderitaan puluhan tahun para personnel TNI-AU itu (dan korban-korban lainnya) adalah dosa berat dan kesalahan serius para pendiri rezim militer, yang kemudian dilanjutkan - bahkan dipupuk terus - oleh Orde Baru. Rehabilitasi bagi mereka adalah memperbaiki kesalahan serius itu dan menghilangkan dosa itu. Hanya orang-orang atau golongan yang jiwanya masih terkait erat dengan Orde Barulah yang tidak menyetujui rehabilitasi para korban itu. Dengan kalimat yang lebih jelas : mereka yang anti-rehabilitasi adalah pada hakekatnya masih mendukung Orde Baru, dan, karenanya berarti anti-reformasi.

Rehabilitasi Mereka Adalah Urusan Kita Semua

Dengan kacamata kepentingan nasional itulah kita bisa melihat bahwa kasus rehabilitasi personnel TNI-AU adalah bagian dari tugas besar bersama kita untuk memerangi produk sistem politik salah Orde Baru. Korban Orde Baru ini jumlahnya besar sekali, dan tersebar di seluruh negeri, bahkan juga di luarnegeri. Mereka ini selama puluhan tahun terpaksa tidak bisa bergaul dengan leluasa dalam masyarakat. Mereka tidak dihargai sebagai sesama warganegara lainnya. Banyak di antara mereka yang terpaksa menyembunyikan jati-diri mereka. Banyak di antara mereka yang menderita dalam kesunyian atau ketersendirian. Selama puluhan tahun mereka telah dijadikan sasaran persekusi politik. Itu semua dapat kita dengar kalau bisa berjumpa dengan mereka yang hidup di Tulungagung, Malang, Pati, Klaten, Cirebon, Cilacap, Serang, Palembang, Medan, Balikpapan, Pontianak, Makasar, Menado, Denpasar, atau ratusan kota-kota atau kabupaten lainnya.

Adalah tugas mulia bagi seluruh kekuatan pro-reformasi untuk mendukung perjuangan para korban pembantaian 65/66, para eks-tapol, para korban Orde Baru lainnya, untuk mengembalikan hak mereka sebagai warganegara biasa (jelasnya :sebagai manusia biasa!). Perjuangan mereka ini adalah sumbangan penting untuk penegakan hak asasi manusia, yang selama puluhan tahun telah diinjak-injak oleh Orde Baru. Penegakan hak asasi manusia adalah penting untuk kita semua, artinya : untuk seluruh manusia yang tinggal di bumi Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan ini haruslah dipikul oleh semua kekuatan yang bersifat lintas-suku, lintas-agama, lintas-ras, lintas-ideologi. Perjuangan ini haruslah tidak sekadar untuk kepentingan atau keuntungan sesaat segelintir atau sekelompok orang saja.

Kasus penderitaan yang tidak adil para korban ini perlu didengar seluas-luasnya, baik di kalangan masyarakat, maupun di kalangan eksekutif, legislatif dan judikatif. Oleh karena itu, segala usaha untuk meng-ekpose ketidak-adilan yang sudah berjalan lebih dari 32 tahun ini, perlu dilakukan dengan berbagai cara, lewat beraneka saluran, dan oleh beragam organisasi atau perkumpulan besar dan kecil. Mengingat pengalaman selama ini, maka kita perlu menyimpulkan bahwa hanya dengan desakan atau tekanan opini publik yang kuatlah maka bisa terjadi perobahan-perobahan politik pemerintah. Demikian jugalah kiranya dalam masalah rehabilitasi para korban Orde Baru.

Rehabilitasi para korban Orde Baru akan didengar oleh kalangan pimpinan eksekutif, legislatif dan judikatif, kalau ada desakan yang kuat dan terus-menerus oleh berbagai kalangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, segala macam inisiatif - yang betul-betul dan secara tulus - bertujuan untuk mengangkat rehabilitasi para korban Orde Baru adalah sumbangan penting bagi perjuangan bersama kita. Sebab, hanya lewat perjuangan keras berbagai kekuatan dalam masyarakatlah, maka fihak eksekutif, legislatif dan judikatif negara kita akan menyadari kekeliruan atau kesalahan yang telah dibikin oleh Orde Baru dan yang masih tetap berlangsung sampai sekarang ini.

Urusan Kemanusiaan Tetapi Juga Urusan Politik

Masalah yang dihadapi para korban Orde Baru adalah banyak sekali dan meliputi berbagai aspek yang saling berkaitan dengan erat. Sebagai sekadar bahan untuk sama-sama kita renungkan bersama adalah hal-hal yang berikut :

Jumlah mereka banyak sekali dan tersebar di seluruh Indonesia, dan juga berasal dari berbagai lapangan pekerjaan. Mereka sudah menderita secara politik, ekonomi, sosial dan tekanan moral selama puluhan tahun. Di samping besarnya penderitaan lahir-batin anggota keluarga para korban pembantaian 65/66, penderitaan para eks-tapol (beserta keluarga mereka) adalah aib bangsa yang tidak bisa dibiarkan terus berlanjut terus. Penderitaan mereka adalah manifestasi pelanggaran besar-besaran dan parah terhadap peri-kemanusiaan. Pelanggaran besar-besaran ini telah dilakukan oleh para pembangun Ortde Baru, yang diteruskan oleh partai GOLKAR selama puluhan tahun.

Pemerintahan Orde Baru, walaupun telah melakukan kesalahan serius terhadap mereka, tetapi selama puluhan tidak pernah memberikan bantuan untuk meringankan penderitaan mereka, baik dalam bentuk materi maupun moral. Bahkan, sebaliknya, pemerintahan Orde Baru masih terus menyiksa mereka, dalam berbagai bentuk dan cara. (Bantuan justru datang dari usaha-usaha berbagai yayasan, atau badan agama tertentu, atau berbagai organisasi kemanusiaan). Sekarang ini, pemerintahan Gus Dur-Mega juga tidak bisa berbuat banyak bagi para korban Orde Baru, sebab bidang eksekutif, legislatif dan judikatif masih didominasi oleh sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Memang, Gus Dur, sebagai Presiden, sudah pernah minta ma’af kepada para korban beserta keluarga mereka, tetapi “tokoh-tokoh” dalam berbagai lembaga penting negara itu masih tetap diam seribu bahasa tentang masalah rehabilitasi para korban Orde Baru.

Bagi banyak orang yang bernalar sehat, kiranya sudah jelaslah bahwa masalah para korban Orde Baru adalah urusan peri-kemanusiaan yang amat serius, yang tidak bisa (dan tidak boleh!) dibiarkan terus berlangsung. Bagi bangsa dan negara kita, sedikit pun tidak ada keuntungannya untuk meneruskan kesalahan kolektif Orde Baru ini. Bahkan sebaliknya. Oleh karenanya, kepada mereka yang masih berusaha terus melanggengkan aib dan dosa kemanusiaan ini perlu terus-menerus dingatkan bahwa menentang rehabilitasi para korban Orde Baru adalah memperberat dosa mereka.

Namun, adalah penting untuk sama-sama kita sadari, bahwa karena pimpinan badan-badan eksekutif, legislatif dan judikatif negara kita (sampai dewasa ini juga!) masih terus didominasi oleh orang-orang yang selama puluhan tahun telah ikut –secara langsung atau tidak langsung – mentrapkan politik yang tidak berperi-kemanusiaan ini, maka seluruh kekuatan pro-reformasi perlu terus-menerus mengangkat persoalan kejahatan terhadap kemanusiaan ini.

Pada hakekatnya, memperjuangkan hak-hak kemanusiaan bagi para korban Orde Baru adalah juga perjuangan untuk menuntaskan reformasi. Dan, perjuangan untuk menuntaskan reformasi adalah pada dasarnya, bagian dari perjuangan politik melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Oleh karena itu, walaupun situasi politik mungkin akan mengalami perobahan-perobahan dan sekalipun perebutan pengaruh (dan kekuasaan) di kalangan elite akan terus berlangsung terus, tetapi perjuangan untuk rehabilitasi bagi korban Orde Baru haruslah berjalan terus, dan bahkan ditingkatkan. Rehabilitasi adalah hak mereka yang sah, dan juga adil!