20 Maret 2008 — 10 menit baca

Perubahan kekuasaan politik dan peran "kaum muda"

Di Indonesia berita tentang naiknya harga minyak mentah yang dibarengi dengan sangat melonjaknya harga pangan (beras, jagung dan kedelai) di skala dunia patut menjadi keprihatinan - dan juga kecemasan – kita semua, mengingat bahwa keadaan ekonomi bangsa kita akan mengalami kesulitan-kesulitan besar sekali yang jauh melebihi sekarang dahsyatnya ! Karenanya, besarnya dan juga kesulitan pangan (dan mahalnya harga minyak) di skala dunia ini mengharuskan kita untuk sama-sama memikirkan hari depan rakyat kita yang berjumlah lebih dari 220 juta ini. Baik pemerintah, DPR (atau lembaga-lembaga negara penting lainnya), partai-partai politik, maupun berbagai ornop dan LSM, atau gerakan massa ( intelektual, mahasiswa, pemuda, buruh, tani, perempuan dll) perlu sejak sekarang menaruh perhatian besar terhadap masalah ini yang pastilah akan membikin tambahnya kesengsaraan bagi sebagian besar rakyat kita.

Berita mencemaskan yang disiarkan Jawapos (16 Maret 2008) yang berjudul “Minyak seret dunia ke krisis pangan” itu berbunyi antara lain sebagai berikut :

“NEW YORK - Harga minyak dalam sepekan terakhir naik USD 4 per barel. Bahkan, pada Kamis lalu (13/3), harganya sempat menembus USD 111 per barel. Lonjakan harga juga terjadi pada komoditas pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai.

Program Pangan Dunia PBB (UN World Food Program -WFP) dalam rilisnya Jumat (14/3) menyebutkan, sebagai dampak kenaikan harga produk energi (minyak dan produk tambang), harga pangan rata-rata naik 40 persen dalam sembilan bulan terakhir. Selain itu, stok pangan dunia mencapai posisi terendah dalam 30 tahun terakhir. Harga jagung mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Begitu juga, kedelai mencetak rekor yang tertinggi dalam 35 tahun terakhir. Stok beras dunia akan mencapai titik terendah yang mendorong harga beras ke level tertinggi selama 20 tahun terakhir. Sedangkan stok gandum berada di titik terendah selama 50 tahun terakhir.

Laporan WFP itu melengkapi laporan tentang krisis pangan yang dirilis sebelumnya oleh Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization -FAO). Pada Senin (3/3), FAO menyatakan bahwa 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Indonesia, berdasar atas laporan Global Information and Early Warning System FAO, termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis tersebut. Di kawasan Asia ada sembilan negara yang mengalami krisis pangan, yaitu Iraq, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Indonesia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste. Selain dipicu kenaikan harga bahan pangan, krisis pangan disebabkan adanya konflik, banjir, gempa, dan perubahan iklim.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, kenaikan harga minyak dan bahan pangan berdampak dahsyat bagi Indonesia yang masih nekat mengucurkan subsidi BBM. Dalam acara media gathering di Bandung Jumat (14/3) malam, Paskah mengungkapkan, salah satu yang pasti kena dampak kenaikan harga minyak adalah subsidi BBM akan menjadi Rp 300 triliun dari semula Rp 106 triliun, saat harga minyak terus bertahan di angka USD 110 per barel. Anggaran negara pun terancam defisit hingga Rp 98,64 triliun atau 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). “Sekali lagi, bukan bermaksud mencari kambing hitam. Tapi, ini ada faktor global yang tak hanya terjadi di sini (Indonesia, Red),” katanya.

Dihubungi di tempat terpisah, ekonom lembaga pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menyesalkan jika pemerintah mengkambinghitamkan kondisi pasar global. Meskipun keterkaitan pasar global dengan perekonomian domestik tidak bisa dimungkiri. “Kondisi pasar global itulah yang harus disiasati dan diantisipasi, bukan disalahkan,” ujarnya. Demikian kutipan dari berita Jawapos (disingkat).

Dampaknya yang dahsyat bagi Indonesia

Setelah membaca berita di atas, kiranya kita perlu merenungkan pernyataan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan /Kepala Bappenas (Paskah Suzetta) bahwa kenaikan harga minyak dan bahan pangan itu akan berdampak dahsyat bagi Indonesia. Sebab, krisis pangan di 35 negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin akan menimbulkan akibat yang tidak sedikit bagi Indonesia. Indonesia termasuk salah satu dari sembilan negara di Asia yang mengalami krisis pangan, yang terdiri dari Iraq, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Timor Leste, dan Indonesia sendiri.

Agaknya baik sama-sama kita ingat bahwa justru sejak sebelum terjadinya kenaikan harga minyak dan bahan makanan di dunia dan melandanya krisis pangan di 35 negara seperti tersebut di atas Indonesia sudah menghadapi berbagai kesulitan besar dan parah. Antara lain : kemiskinan yang menurut Bank Dunia menimpa lebih dari 49 % penduduk (Antara 27/12 2007), artinya sekitar 100 juta orang. Pengangguran juga sudah sejak lama menimpa puluhan juta orang (terutama kaum muda). Karena kemiskinan yang parah maka bertahun-tahun terdapat busung lapar atau anak-anak kurang gizi di banyak daerah di Indonesia, umpamanya: Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Kalimantan, berbagai daerah di Sumatera, dan banyak tempat di Jawa.

Contohnya adalah berita tentang jumlah balita dan anak-anak penderita gizi buruk sekitar 90.000 di Nusa Tenggara Timur, yang menarik perhatian Departemen Kesehatan sehingga terpaksa mengirimkan tim khusus untuk memberikan bantuan pangan dan obat-obatan (Tempo Interaktif, 16/3/2008). Sebelumnya, seorang ibu hamil tua (7 bulan) telah meninggal karena kelaparan di Makassar, yang disusul 5 menit kemudian oleh kematian anaknya yang lain – juga karena kelaparan – merupakan kejadian mengharukan yang banyak disiarkan oleh pers dan televisi Indonesia.

Seperti yang bisa kita saksikan sendiri di banyak daerah di Indonesia, penderitaan rakyat yang disebabkan kemiskinan dan ditambah dengan banyaknya berbagai bencana alam (terutama banjir di banyak daerah, gempa, kekeringan) adalah besar sekali. Besarnya jumlah orang-orang yang terpaksa hidup serba sulit sehari-hari tidak bisa dibayangkan lagi. Mereka ini dapat ditemukan dalam jumlah yang besar di berbagai kota dan daerah pedesaan. Dan pemandangan yang menyedihkan semacam ini sudah dapat sama-sama kita lihat sejak lama.

Apa yang perlu kita kerjakan ?

Karena itu, kenaikan harga minyak mentah dan bahan makanan di skala dunia, dan juga munculnya krisis pangan di 35 negara Afrika, Asia dan Amerika Latin (termasuk Indonesia), mendorong kita semua untuk memikirkan tentang apa saja yang perlu dikerjakan supaya krisis besar yang akan datang itu tidak menimbulkan penderitaan lebih parah lagi kepada sebagian rakyat kita yang selama ini sudah (sangat terlalu lama !) tersiksa oleh berbagai kesulitan. Sebab, keadaan ekonomi dunia yang sedang mengalami goncangan-goncangan besar (akibat krisis di AS), pasti akan menimbulkan akibat yang buruk sekali bagi rakyat Indonesia.

Sekarang makin jelas bagi banyak orang di Indonesia bahwa adalah ilusi besar saja, (atau salah dan percuma saja !) , kalau masih mengharapkan bahwa sistem politik (dan sosial-ekonomi) seperti yang sudah dilaksanakan sejak berdirinya Orde Baru dalam tahun 1966 sampai sekarang nantinya akan bisa mengatasi berbagai kesulitan sehingga membikin hidup rakyat lebih baik. Banyaknya kemiskinan dan besarnya pengangguran, yang dibarengi dengan merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta diperparah dengan dengan kebejatan moral besar-besaran di “kalangan atasan” masyarakat, adalah bukti yang nyata dengan jelas, bahwa kekuasaan politik beserta sistemnya yang seperti sekarang ini, telah mengalami kegagalan besar.

Kalau sebelum adanya goncangan-goncangan ekonomi dunia saja sudah banyak sekali persoalan besar rakyat dan negara kita tidak kunjung bisa diselesaikan oleh pemerintah (ingat, antara lain : harta haram keluarga Suharto, kasus besar BLBI, serta berbagai pelanggaran HAM), kita bisa meramalkan bahwa kesulitan yang lebih parah lagi akan menimpa rakyat Indonesia di kemudian hari yang dekat ini. Akan sama-sama kita saksikan bahwa sistem politik-ekonomi-sosial seperti yang dijalankan selama 42 tahun Orde Baru dan Orba Jilid ( yang ditulangpunggungi oleh Golkar) sudah tidak berdaya untuk mengatasinya dan, karenanya, tidak boleh dipakai terus dan perlu diganti. Perlulah kiranya diulangi, untuk kesekian kalinya, bahwa untuk memungkinkan adanya sistem politik-ekonomi-sosial yang baru, yang bisa memperbaiki kehidupan rakyat banyak – yang sebagian besar hidup miskin dan sengsara – mutlak adanya penggantian atau perubahan kekuasaan politik di negeri kita.

Kekuasaan poltik di tangan “kaum tua”

Keadaan ekonomi yang akan lebih sulit bagi rakyat, dan akan makin semrawutnya (atau makin brengseknya) penyelenggaraan negara kita sebagai akibat bahaya krisis keuangan dan pangan dunia, akan merupakan kesempatan yang baik bagi banyak orang untuk melihat sendiri dengan jelas sekali bahwa negara kita sudah tidak bisa lagi terus-menerus dikangkangi oleh kekuasaan politik yang sudah ternyata gagal untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak. Bisa diperkirakan bahwa berbagai gejolak masyarakat, yang sudah mulai marak di berbagai daerah dalam bentuk macam-macam aksi-aksi atau gerakan, akan lebih berkembang lagi menghadapi buruknya berbagai politik pemerintah, yang pada pokoknya masih menjalankan politik seperti Orde Baru.Perkembangan situasi di negara kita dewasa ini, dan apalagi di kemudian hari kalau keadaan ekonomi makin sulit lagi, akan bisa mendorong berbagai kalangan dan golongan dalam masyarakat untuk bangkit bersama-sama dan berjuang untuk tercapainya kesejahteraan banyak orang. Kebangkitan berbagai golongan ini sangat diperlukan, mengingat bahwa pemerintah dan partai-partai politik yang menduduki kursi di DPR sudah ternyata tidak bisa banyak diharapkan bisa mengatasi berbagai kesulitan besar yang dihadapi negara dan bangsa.

Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa kekuasaan politik yang selama ini ada dalam genggaman “kaum tua” (atau setengah tua) terbukti banyak dihinggapi berbagai penyakit parah, sehingga sudah perlu dirubah atau diganti dengan kekuasaan politik yang baru, yang seyogianya dipegang atau dikendalikan oleh tenaga-tenaga baru dari kaum muda. Dari kalangan kaum muda yang masih bersih dari korupsi dan mempunyai jiwa untuk sungguh-sungguh mengabdikan diri kepada kepentingan rakyat inilah diharapkan muncul tunas-tunas pimpinan rakyat dan negara, yang bisa menyelesaikan reformasi secara tuntas.

Seperti kita ingat bersama, gerakan besar-besaran mahasiswa dalam tahun 1998, yang menghasilkan turunnya Suharto sebagai diktator rejim militer Orde Baru, telah melahirkan berbagai tuntutan reformasi, yang penting untuk perbaikan negara. Tetapi, malangnya, di tangan para “kaum tua” ini – yang pada umumnya adalah pengikut (dalam berbagai kadar atau derajat) rejim Orde Baru – reformasi ini tidak jalan atau macet. Dan, sekarang, makin sangat sedikitlah harapan bahwa kekuasaan politik di tangan “kaum tua” semacam yang sekarang ini bisa atau mau sungguh-sungguh menjalankan reformasi, meskipun reformasi sudah “diperintahkan” oleh MPR, dan menjadi aspirasi sebagian terbesar rakyat kita.

Harapan besar kepada peran “kaum muda”

Mengingat itu semua, maka rakyat kita terpaksalah mengandalkan harapan besarnya kepada kaum muda, yang terdapat dalam berbagai kalangan dan golongan masyarakat, untuk ikut membereskan kehidupan bangsa, yang sudah dirusak oleh “kaum tua” yang menguasai bidang eksekutif, legislatif, judikatif, serta berbagai bidang sosio-kultural. Untuk itu, seluruh kekuatan demokratis, yang mendambakan terciptanya masyarakat adil dan makmur, perlu mendukung atau menyambut gembira munculnya peran “kaum muda” ini dalam berbagai percaturan politik-sosial-ekonomi negara dan bangsa kita.

Bangkitnya “kaum muda” kita dewasa ini untuk ikut memikirkan masalah-masalah besar negara dan bangsa – yang mungkin akan menghadapi masa-masa yang lebih sulit dari pada sekarang – merupakan investasi penting dan berharga sekali bagi hari kemudian rakyat. Karena, hari kemudian Indonesia justru terletak di tangan angkatan muda kita, atau generasi baru kita. Dengan pandangan dari sudut yang strategis ini, maka kita bisa melihat betapa besarnya kewajiban kita semua untuk membantu atau memungkinkan “kaum muda” kita mempersiapkan diri untuk mengendalikan atau mengelola negara dan bangsa kita. Dengan tujuan yang demikian ini, maka kita semua perlu mendorong “kaum muda” kita berani mengambil berbagai inisiative yang bisa mengembangkan dan memupuk lebih lanjut segala kekuatan dalam masyarakat guna tercapainya perubahan atau penggantian kekuasaan politik.

Republik Indonesia, yang sudah dirusak atau dibikin brengsek selama lebih dari 42 tahun oleh orang-orang yang bersimpati atau pendukung Orde Baru, perlu diperbaiki secara total dan radikal demi kepentingan anak-cucu kita. Dan, perbaikan besar-besaran itu hanya dapat dilakukan oleh kekuasaan politik yang baru. Bukannya oleh kekuasaan politik yang sudah selama lebih dari 42 tahun malah menimbulkan berbagai kerusakan parah (terutama di bidang moral) yang menyengsarakan banyak sekali orang.

Jadi, perubahan atau penggantian kekuasaan politik, yang merupakan tugas besar “kaum muda” kita yang dibarengi dengan dukungan rakyat, adalah satu-satunya jalan untuk menghadapi berbagai masalah besar di kemudian hari.