11 July 1997 — 10 menit baca

Perlukah revolusi untuk merobah sistem politiknya Orba

Pelantikan DPR tanggal 1 Oktober yad dan sidang MPR tahun 1998 akan menghasilkan statusquo, dan karenanya penyakit-penyakit parah akan tetap melanda terus

Sebuah renungan, disajikan oleh Made Sutedja (nama samaran)

Setelah Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto mengendalikan pemerintahan selama 30 tahun di Indonesia, kita semua menyaksikan se-hari-hari betapa banyaknyalah hal-hal yang perlu diperbaiki dan harus dirobah. Berbagai “ke-tidak-normalan” dan segala macam “penyakit” yang telah menghinggapi masyarakat juga telah di persoalkan dalam tulisan-tulisan serius dalam media cetak, dan dijadikan topik seminar pengkajian oleh berbagai universitas atau lembaga-lembaga resmi maupun tidak resmi. Tokoh-tokoh di bidang ilmiah maupun politik dan agama telah mengangkat problem-problem besar yang menyangkut hukum, demokrasi, hak-hak azasi manusia, pemilihan umum, kemerosotan moral dan kerusakan mentalitas yang meluas dalam masyarakat.

Dewasa ini, makin banyak orang yang ber-tanya-tanya, mengapa negara kita jadi seperti sekarang ini? Apa akan jadinya hari kemudian bangsa kita, kalau keadaan seperti sekarang ini akan berlangsung terus ? Mau ke mana bangsa dan negara kita ini dibawa oleh Orde Baru ? Apa yang harus dilakukan ber-sama-sama supaya terjadi perobahan dan perbaikan ? Sebenarnya, apa sajakah sumber dari segala “penyakit” yang menghinggapi bangsa ? Apa mungkin diusahakan adanya perobahan dewasa ini ? Cara apa dan jalan yang bagaimana yang harus ditempuh menuju perbaikan ?

Mungkin, sebagian dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah bisa kita coba jawab sekarang, sedangkan sebagian lainnya masih harus dijawab oleh perkembangan waktu di kemudian hari. Sebab, kita semua melihat, merasakan atau mengalami sendiri sehari-hari dan sejak 30 tahun ini, bahwa terlalu banyak persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Di tengah-tengah kesibukan sehari-hari dan karena tenggelam dalam segala macam urusan (besar maupun kecil), maka kita sering lupa bahwa bangsa Indonesia adalah termasuk bangsa yang warganya berjumlah cukup besar (sekitar 200 juta orang, nomor ke-empat di dunia). Dan, bangsa ini terdiri dari ratusan suku dan bahasa, yang terdapat di ribuan pulau kita. Maka, wajarlah bahwa kemajemukan yang semacam ini menumbuhkan berbagai persoalan.

Bagi “pemerintahan yang baik” saja tidak mudah untuk mengurusi bangsa yang begitu besar jumlahnya. Apalagi, bagi pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto. Sebab, 30 tahun praktek Orde Baru telah menunjukkan kepada opini umum di Indonesia, dan juga di luar negeri, bahwa sistem politik dan pemerintahan ini sedang menghadapi berbagai persoalan besar dan rumit. Terlalu banyaklah kerusakan-kerusakan yang telah ditimbulkan oleh sistem politik Pak Harto.

Sejarah bangsa Indonesia akan mencatat bahwa kepemimpinan Presiden Suharto merupakan banyak lembaran hitam. Lembaran hitam ini akan dipenuhi oleh cerita-cerita tentang dosa-dosa besar dan kesalahan-kesalahan beratnya di berbagai bidang, yang menyebabkan kerusakan-kerusakan serius bagi bangsa. Kerusakan yang paling besar adalah di bidang moral atau mental, yang melanda negeri kita.

Setelah berkuasa selama 30 tahun, makin jelaslah sekarang bahwa Presiden Suharto bukanlah contoh moral bagi bangsa. Bahkan, banyak perbuatannya merupakan aib bangsa. Apa yang telah dilakukannya selama 30 tahun, dan yang juga dilakukan oleh keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang terdekat, telah memberikan teladan yang jelek bagi banyak orang. Pengaruh buruk cara berfikir dan tindakan mereka ini telah meracuni seluruh tubuh bangsa, sehingga situasi di Indonesia menjadi seperti sekarang ini.

Umpamanya, masalah korupsi. Salah satu soal yang akhir-akhir ini makin banyak disiarkan dalam media cetak adalah jeritan banyak tokoh (besar dan kecil) mengenai membudayanya korupsi dan kolusi dalam sistem politik dan pemerintahan Orde Baru. Ini soal yang penting sekali. Sebab, walaupun adalah khayalan saja bahwa jeritan itu akan segera menghasilkan perobahan yang cepat, tetapi kampanye “anti korupsi” di kalangan pendapat umum merupakan salah satu langkah untuk menunjukkan betapa mendesaknya reformasi politik di Indonesia.

Masalah korupsi dan kolusi sudah menjadi keluhan luas dalam masyarakat Indonesia. Ini dapat dilihat, didengar, dialami sendiri oleh banyak orang, baik di tingkat Pusat maupun di daerah-daerah, sampai ke tingkat desa. Korupsi ini terutama berkaitan dengan kalangan birokrasi, dari yang paling atas sampai yang paling bawah. Terdapat banyak orang yang sejak lama sudah mengasosiasikan (kadang-kadang secara salah, karena “gebyah uyah”) birokrasi dengan korupsi. Dan birokrasi adalah Korpri, dan Korpri adalah Golkar, dan Golkar adalah dominasi militer.

Bagi mereka yang bisa mengamati dari dekat tingkah laku dan kehidupan para “bapak” di DPRD (dan Muspida) tingkat I dan tingkat II di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan daerah-daerah lain, tidak sulit untuk melihat bukti-bukti bahwa moral birokrasi sudah banyak yang merosot dan rusak. Ijin pembukaan perusahaan harus “dilicinkan” dengan amplop gelap atau saham kosong. Kredit bank bisa didapat, asal ada “uang terimakasih”nya. Projek pembangunan besar dan kecil bisa diserahkan kepada sesorang asal ada “saling pengertian”. Untuk meringankan pajak, bisa diatur, asal ada “good will” si pembayar pajak. Sesuatu perkara kriminal atau berbagai pelanggaran hukum bisa “ditutup” oleh polisi, jaksa atau hakim, asal yang bersangkutan “tahu diri”.

Korupsi di Indonesia sudah membudaya dan akarnya sudah menjalar ke-mana-mana. Yang sangat memprihatinkan yalah bahwa perbuatan tercela ini sudah dianggap “biasa” oleh banyak orang. Bahkan, di kalangan pendidikan (tingkat universitas sampai sekolah rendah, dan juga di pesantren) kebiasaan “uang jasa” sudah dipraktekkan dalam berbagai bentuk. Diploma bisa didapat dengan tarif tertentu. Ijin untuk jual dan beli tanah atau untuk mendirikan bangunan juga bisa cepat keluar, asal ….Banyak orang sudah tidak segan-segan lagi untuk memberikan suapan dan menerima suapan. Orang yang jujur dan mau bekerja secara bersih malah dianggap “binatang aneh”. Negara kita, sekarang ini, terkenal didunia karena berhasil menempati kedudukan “top” dalam daftar negara-negara yang paling korup

Menyedihkan sekali juga, bahwa kerusakan moral ini sudah merembet ke dalam kehidupan rumah-tangga banyak orang. Istri-istri banyak pejabat dan “bapak-bapak” menghasut dan mendorong suami mereka untuk melakukan hal-hal yang melanggar peraturan atau berbuat curang. Banyak keluarga tokoh-tokoh (militer, sipil dan pengusaha) yang iri-hati melihat orang lain sudah “sukses” atau ”berhasil” (mobil dua atau tiga, rumah besar dan mewah) tanpa mempedulikan dengan cara apakah “hasil” itu telah diperoleh. Banyak keluarga “tokoh-tokoh masyarakat” (termasuk anggota-anggota DPR atau DPRD) yang tanpa segan-segan membeli mobil untuk anak-anak mereka. Upacara perkawinan yang dilakukan dengan besar-besaran menjadi semacam “ukuran gengsi”. Perjalanan foya-foya ke luarnegeri, dan mengirimkan anak-anak untuk studi di luarnegeri juga menjadi “merek”.

Bangsa ini akan bagaimana jadinya ? Orang yang kaya-raya, walaupun hartanya telah didapat dari korupsi dan kolusi, masih disegani. Maling-maling berdasi dan ber-peci “dihargai”, karena mereka menduduki jabatan penting. Banyak orang ber-lomba-lomba untuk mencari kesempatan mencuri, tidak peduli apakah itu merugikan uang negara atau kepentingan rakyat. Tanah-tanah rakyat digusur, dan keuntungan dari projek-projek itu dibagi-bagi. Banyak orang sudah mempersetankan norma-norma kejujuran dan memperlontekan hukum. Pembesar yang korup tetap dipatuhi oleh bawahan, supaya bawahan tidak ditindak kalau mereka juga mencuri uang rakyat. Dalam pertemuan-pertemuan, mereka tidak segan-segan untuk saling mempertontonkan hasil jarahan. Para mertua dan menantu atau adik-kakak juga kalem-kalem saja menyaksikan ini semua.

Sistem politik dan struktur kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto telah memungkinkan tumbuhnya dengan subur segala keburukan itu semua. Sistem pemerintahan inilah yang melahirkan korupsi, kolusi dan berbagai ragam penyelewengan kekuasaan. Dan karena sistem politik dan struktur kekuasaan yang sudah berjalan selama 30 tahun inilah, maka korupsi dan segala macam penyalahgunaan kekuasaan sempat merajalela dan sulit dibrantas. Maling-maling ini saling melindungi, saling pura-pura tidak tahu, atau saling bantu. Dalam situasi yang demikian, “orang gila” yang mana yang berani mengambil prakarsa untuk secara kongkrit dan tegas melawan berbagai penyelewengan yang sudah merembet ke seluruh tubuh bangsa ini ?

Presidennya sendiri melakukan berbagai tindakan yang tidak mencerminkan keluhuran budi, karena memupuk kekayaan keluarga dengan cara-cara “aneh” yang menjadi banyak pergunjingan (dan olok-olok) di dalamnegeri dan jadi sorotan luarnegeri. Alangkah terkejutnya Pak Harto, Tutut, Bambang, Tommy, Sigit, Probosutedjo, kalau mereka bisa mendengar rekaman ejekan dan caci-maki berbagai orang yang dilontarkan dalam masyarakat terhadap mereka. Besarnya “kekayaan” yang telah ditumpuk oleh keluarga Pak Harto bukanlah sesuatu yang membikin mereka terhormat. Di mata banyak orang, yang jumlahnya makin lama makin banyak juga, keluarga Cendana ini sudah menjadi kelompok “oknum” yang menyebarkan penyakit bagi moral bangsa.

Presiden Suharto, beserta keluarga dekatnya adalah lambang kebobrokan moral. Mentang-mentang memegang kekuasaan yang besar sekali, maka dengan se-enaknya saja ia telah mengambil keputusan-keputusan (antara lain, mengenai putera-putrinya) yang sering membikin banyak orang meragukan “kewicaksanaan”-nya. Politiknya mengenai banyak hal juga mencerminkan bahwa ia menganggap bangsa dan rakyat Indonesia ini adalah “kawulo”-nya. Entah guru mistik yang mana saja atau dukun-dukun yang mana saja, yang telah “membimbingnya” ke arah kemerosotan etik dan moral seperti yang kita saksikan selama ini.

Berbagai ragam penyalahgunaan kekuasaan di banyak bidang yang telah dilakukan Presiden Suharto telah menjadi contoh jelek bagi pejabat-pejabat Orde Baru di semua tingkat, dari tingkat kementerian sampai ke kecamatan. Seperti yang dipesankan oleh pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri maka murid kencing berlari”, maka jelaslah bahwa Presiden Suharto bukanlah pimpinan yang bisa diharapkan untuk mendatangkan perobahan dan perbaikan.

Lalu, apa sajakah perspektif yang bisa diharapkan dari Orde Baru ? Tidak banyak, untuk tidak mengatakan tidak ada. Pada tanggal 1 Oktober 1997 akan dilantik DPR baru, sebagai hasil Pemilu yang lalu. Keabsahan DPR baru ini sudah dipersoalkan dan diragukan oleh banyak orang, karena adanya rekayasa-rekayasa yang kotor di berbagai bidang dalam Pemilu. DPR baru ini akan tetap dianggap sebagai “gadungan”, walaupun Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid akan duduk di dalamnya. Seperti diberitakan dalam pers Indonesia, sejumlah tokoh-tokoh tinggi militer juga akan menjadi anggota DPR yang baru. Mereka itu adalah : Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Sedaryanto, Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Tayo Tarmadi, Pangdam V/ Brawijaya Mayjen TNI Imam Oetomo, Pangdam VI/Tanjungpura Mayjen TNI Namoeri Anoem, dan Pangdam IX/ Udayana Mayjen TNI Abdul Rivai.

Kehadiran Letjen Syarwan Hamid dalam DPR yang baru, dan juga para Pangdam itu, tidak bisa diartikan sebagai perbaikan kwalitas “dewan perwakilan rakyat” kita ini, dan juga tidak berarti bahwa rakyat makin “diwakili” secara lebih baik. Bahkan sebaliknya. Demikian juga mengenai masalah MPR. MPR akan bersidang dalam tahun 1998. Dewan legislatif tertinggi ini, yang sekitar 930 dari 1000 anggotanya akan memilih lagi (secara “konstitusional”, tentu saja !!) Pak Harto sebagai presiden, akan juga membahas GBHN. Kita sudah bisa menduga, sejak sekarang, bahwa MPR dengan GBHN yang baru ini juga tidak akan bisa menghasilkan perobahan-perobahan penting dalam sistem politik dan pemerintahan. Semua itu hanya akan merupakan suatu ritual yang penuh gebyar untuk membunyikan lonceng kemandegan. Perobahan tidak akan bisa datang dari DPR dan tidak pula dari MPR.

Perobahan yang substansial, yang konsekwen, yang mendasar, hanya bisa diraih lewat berbagai bentuk aksi-aksi dalam masyarakat. Aksi-aksi ini, yang sudah dan sedang dijalankan oleh gerakan-gerakan pro-demokrasi, pro-perobahan, pro-rakyat, dengan jalan damai dan tanpa menggunakan kekerasan, telah dihadapi oleh pemerintah dengan kekerasan, dengan penangkapan se-wenang-wenang dan dengan berbagai ragam rekayasa, termasuk lewat “pengadilan”. Dari tindakan-tindakan pemerintah terhadap Megawati, PRD, PUDI, Pakpahan, dan golongan oposisi lainnya, kita bisa melihat bahwa pemerintah Orde Baru telah “membahaya-laten-“kan mereka yang berjuang untuk terjadinya perobahan di Indonesia. Pertentangan antara berbagai kekuatan dalam masyarakat dan pemerintah, mau tidak mau, pasti akan terus makin sengit.

Dalam pertentangan yang akan makin menajam ini, berbagai kesalahan besar akan terpaksa dilakukan oleh pemerintahan Pak Harto. Dan, makin membesarnya perlawanan terhadap pemerintahan Pak Harto, akan mengakibatkan penindasan yang lebih besar juga. Ini semua akan menunjukkan, lebih jelas lagi, bahwa Orde Baru-nya Pak Harto yang sudah berumur 30 tahun ini, memang tidak menghendaki perobahan, dan tidak mungkin mendatangkan perbaikan-perbaikan yang fundamental. Ini juga berarti bahwa pemegang-pemegang kekuasaan yang sekarang ini, ingin meneruskan sistem yang sudah terbukti telah menimbulkan kemunduran dan kemerosotan.

Dalam menghadapi situasi yang demikian ini, tidak ada jalan lain bagi berbagai golongan dalam masyarakat di Indonesia, kecuali merebut, dengan segala cara, hak mereka untuk mengganti sistem politik Orde Baru dengan sistem yang lebih demokratis dan yang bisa menegakkan moral baru. Usaha besar ini, yang sedang dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, LSM, serikat buruh, dan intelektual di berbagai universitas, akan menghadapi halangan dari oknum-oknum yang selama ini telah memanfaatkan situasi yang bobrok dewasa ini untuk memperkaya diri atau keluarga mereka, sambil menindas hak-hak azasi warganegara republik kita ini.

Kita semua di Indonesia sedang memasuki tahap kehidupan bangsa yang penuh dengan pergolakan-pergolakan. Pergolakan-pergolakan ini adalah bagian dari perobahan besar yang diperlukan sekali oleh republik kita. Perobahan besar ini, dalam bahasa asingnya, adalah revolusi. Hanya melewati revolusi atau perobahan besarlah republik ini bisa diselamatkan dari genggaman tangan-tangan kotor Orde Baru-nya Presiden Suharto.