04 July 2002 — 9 menit baca

Pembusukan besar-besaran di keranjang sampah Republik Indonesia

Mungkin, bagi sejumlah orang, judul tulisan ini terasa agak “keterlaluan”. Ungkapan bahwa, sekarang ini, Republik Indonesia diibaratkan sebagai “keranjang sampah” memang bisa membikin marah mereka yang betul-betul mencintai negeri ini, atau, mereka yang selama ini sudah berjuang, dengan berbagai cara dan bentuk, demi kebaikan tanahair kita tercinta. Namun, kalau kita amati dengan cermat berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa kita, maka akan nampak nyatalah bahwa Republik kita ini memang sudah membusuk. Dan, bolehlah kiranya dikatakan bahwa pembusukan ini sudah menyeluruh, karena sudah menjalar ke dalam “otak” dan “hati” banyak tokoh-tokoh penting dalam bidang-bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan juga tokoh-tokoh berbagai kalangan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh agama.

Gejala-gejala pembusukan ini sudah sama-sama kita baca dalam media cetak yang terbit di Indonesia, atau dalam siaran-siaran televisi, atau dalam pengamatan kehidupan sehari-hari masyarakat. Di antara sejumlah kecil contoh-contohnya yang sangat menonjol adalah, umpamanya : - Gubernur Bank Indonesia adalah seorang yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena urusan pidana. - Ketua DPR, Akbar Tanjung, dihadapkan di sidang pengadilan karena peristiwa penyalahgunaan dana Bulog sebesar Rp 40 milyar. – Gubernur Jakarta (Sutiyoso) yang diduga ikut bertanggungjawab terhadap penyerbuan gedung PDI-P tanggal 27 Juli 1996 dan menyebabkan kematian banyak orang, sekarang dicalonkan lagi untuk tetap menjabat sebagai gubernur. - “Mas” Tommy Suharto membuat “kejutan” ketika ia mengatakan di depan pengadilan bahwa selama menjadi buronan ia bisa menginap lama di rumahnya di jalan Cendana berkat adanya “koordinasi” dengan aparat keamanan. – Tiga hakim sedang diperiksa, karena adanya indikasi bahwa mereka menerima suap dalam menangani perkara perusahaan asuransi Manulife. – Urusan utang 33 konglomerat (obligor BPPN) kepada pemerintah yang berjumlah RP 130 triliun masih berbelit-belit penyelesaiannya. - Peristiwa penyelundupan sejumlah besar mobil mewah di Sulawesi Selatan (yang menyangkut pembesar kepolisian Sofyan Yacub) belum ketahuan bagaimana akhirnya. – Menurut Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah ditemukan 494 kasus “ketidakberesan” senilai Rp 4,792 triliun dalam Laporan Keuangan Pertamina Tahun Buku 2001. – Walaupun utang luarnegeri kita sudah melampaui US$ 140 milliar dan utang dalamnegeri sekitar Rp 150 triliun, sebagian besar tokoh-tokoh kita tidak menunjukkan keprihatinan mereka.

Pembusukan Sikap Politik Moral Dan Iman

Banyaknya persoalan parah yang dihadapi oleh bangsa kita di berbagai bidang dewasa ini menunjukkan bahwa proses pembusukan memang sedang terjadi secara menyeluruh, baik di bidang politik, moral maupun iman. Karenanya, banyak orang (terutama di kalangan “tokoh-tokoh”) yang tidak bisa - atau, tidak mau - membedakan lagi antara tindakan atau sikap yang baik dan jelek. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah tidak tahu lagi (atau tidak peduli lagi) apakah sesuatu itu halal atau tidak. Karena pembusukan iman, maka kemunafikan atau ketidakjujuran merajalela dalam “otak” dan “hati” para pembesar, dan para tokoh politik atau agama. Karena pembusukan yang menyeluruh inilah maka banyak orang merasa kehilangan pedoman tentang apa yang baik bagi negara dan bangsa, atau apa yang luhur dan apa yang nista bagi sesama manusia.

Gejala-gejala serupa ini bisa sama-sama kita saksikan bukan hanya di Jakarta saja, di mana sekitar 70% peredaran uang kita berpusat, melainkan juga di daerah-daerah. Berbagai masalah parah yang timbul di MPR, DPA, DPR, Mahkamah Agung; Kejaksaan Agung, Mabes Polri, MBAD, dan di berbagai kementerian dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, menunjukkan bukti tentang adanya pembusukan sikap politik, akhlak dan iman sejumlah besar “kalangan atas” ini. Di belakang berbagai persoalan besar dewasa ini terbentang banyak kebathilan, kemungkaran dan kemaksiatan, yang berkisar sekitar korupsi, penyalahgunaan dan perebutan kekuasaan (atau pengaruh). Secara keterlaluan, banyak orang di kalangan atas menjadikan uang, kemewahan, gebyar, sebagai kebanggaan. Dalam mengejar harta-benda atau kemewahan ini, mereka meng-halal- kan segala cara, termasuk yang bersifat kriminal atau tindakan-tindakan nista lainnya.

Kalau kita amati dengan teliti, maka akan nyatalah bahwa pembusukan sikap politik, moral (akhlak) dan iman dewasa ini adalah produk atau akibat dari sistem politik dan kebudayaan Orde Baru. Sekarang makin jelas bagi banyak orang, bahwa kerusakan atau pembusukan dewasa ini adalah kelanjutan langsung dari segala aspek buruk Orde Baru, yang telah mencengkeram negeri ini selama lebih dari 30 tahun. Banyak sekali di antara para “tokoh” kalangan atas di negeri kita telah dididik, dibesarkan, atau dipupuk dalam sistem politik dan kebudayaan berfikir Orde Baru. Orde Baru memang sudah jatuh, namun sisa-sisa negatif pengaruhnya masih cukup kuat bersarang dalam “otak” dan “hati” banyak tokoh negeri kita. Banyak wajah-wajah baru muncul, namun kebiasaan atau pola berfikir Orde Baru masih bercokol dimana-mana. Itulah sebabnya mengapa reformasi macet di banyak bidang.

Kasus Buloggate Ii Akbar Tanjung

Penolakan partai-partai politik lewat DPR untuk membentuk Pansus Buloggate II guna memeriksa kasus Akbar Tanjung menunjukkan lebih jelas lagi kepada banyak orang bahwa sekarang ini proses pembusukan kehidupan bangsa kita sedang mengalami akselerasi (percepatan) secara besar-besaran. Bahwa “dewan perwakilan rakyat” telah terang-terangan mengambil keputusan yang bertentangan dengan aspirasi sebagian terbesar rakyat kita, adalah gejala yang amat buruk bagi kehidupan bangsa kita selanjutnya. Sudah dapat diperkirakan, sejak sekarang, bahwa peristiwa ini akan berbuntut panjang, dan bisa menimbulkan berbagai gejolak dalam masyarakat. Ini wajar, atau bisa dimengerti. Atau, bahkan, memang sudah sepatutnya berbuntut panjang. Sebab, kasus ini adalah masalah besar dalam kehidupan politik dan moral bangsa.

Kasus Buloggate II bukanlah semata-mata sekedar masalah pribadi seorang warganegara yang bernama Akbar Tanjung. Bukan pula hanya persoalan dana publik sebesar Rp 40 milyar yang diduga telah diselewengkan penggunaannya dengan cara-cara yang tidak sah. Kasus Buloggate II (Akbar Tanjung) berkaitan erat sekali dengan masalah integritas lembaga tertinggi negara kita, karena Akbar Tanjung adalah Ketua DPR. Sudah selama berbulan-bulan masyarakat luas telah menyaksikan sendiri (lewat televisi atau pers) proses pemeriksaan terhadapnya yang dilakukan oleh pengadilan. Masyarakat luas bisa melihat sendiri betapa “anehnya” (untuk tidak mengatakan “menggelikan”) berbagai cerita karangan atau dongeng yang telah disajikan oleh Akbar Tanjung (beserta konco-konconya) dalam usaha untuk membebaskan diri dari hukuman pidana yang mengancamnya. Adalah hak yang sah bagi Akbar Tanjung (beserta konco-konconya) untuk membela diri. Tetapi adalah hak yang sah bagi pendapat umum untuk mengutuknya, kalau ia berbohong. Dan adalah adil (artinya : benar), kalau pengadilan menghukumnya, kalau ia terbukti bersalah.

Sekarang, banyak orang mendapat kesan (yang benar!) bahwa dalam kasus penolakan DPR membentuk Pansus sudah terjadi konspirasi kejahatan moral dan pembusukan kehidupan politik, untuk menghalangi diperiksanya Akbar Tanjung. Tidak salahlah kiranya, kalau ada orang yang menyatakannya sebagai “persekongkolan à la mafia” di antara berbagai kekuatan politik, demi menjaga kepentingan jangka pendek mereka masing-masing. Berbagai kekuatan politik ini (terutama PDI-P, PPP, Golkar, PBB, TNI/Polri) sudah tidak peduli lagi apakah sikap mereka itu berdasarkan “mempertahankan yang hak dan melawan yang bathil” atau bahkan sebaliknya. Mereka juga sudah mempersetankan apakah sikap mereka itu menguntungkan kepentingan rakyat banyak dan negara atau, sebaliknya, mengkhianatinya!. Sejarah akan membuktikannya. Dan, barangkali, tidak lama lagi.

Pembusukan Republik Ini Harus Dilawan

Dalam situasi seperti yang sekarang ini, maka terasa sekali bahwa bangsa kita sudah kehilangan pedoman moral, atau bahwa negara kita sudah kehilangan “panutan” (sesuatu atau seseorang yang patut diikuti jejaknya). Perkembangan terakhir di negeri kita menunjukkan berbagai pertanda atau gelagat bahwa hari-kemudian Republik Indonesia menghadapi masa-masa yang tidak menentu, yang penuh dengan krisis parah yang multi-dimensional. Kalau tidak ada usaha bersama dari rakyat untuk mencegahnya, maka Republik kita ini akhirnya akan makin terus membusuk, kemudian hancur, hanya oleh karena perbuatan orang-orang berakhlak rendah.

Sekarang makin nyata bagi banyak orang bahwa urusan besar negara dan bangsa kita tidak bisa – dan tidak boleh! - hanya diserahkan mentah-mentah kepada “kalangan atas” saja, baik yang bercokol di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, maupun lembaga-lembaga lainnya. Rakyat, pemilik yang sah Republik kita ini, berhak sepenuhnya untuk ikut bersuara dan juga ikut bertanggungjawab, dalam pengurusan negara. Kalau aspirasi mereka sudah tidak bisa disalurkan lagi lewat DPR atau lembaga-lembaga lainnya, maka adalah benar, adil dan sah (!!!), kalau mereka terpaksa memperjuangkannya dengan cara-cara lain.

Pemberantasan korupsi dan penuntasan reformasi adalah aspirasi rakyat banyak. Aspirasi inilah yang sekarang sudah dicampakkan dan diinjak-injak oleh partai-partai politik di DPR, dan oleh lembaga-lembaga lainnya, yang ditongkrongi oleh oknum-oknum busuk. Mereka yang berbudi nista ini menjadikan uang atau harta kekayaan (dan kekuasaan) sebagai petunjuk dan tujuan, dan bukannya pengabdian kepada kepentingan orang banyak. Mereka ini pulalah yang dengan dalih penegakan hukum bahkan merusak hukum atau “memelintir” hukum. Mereka ini pulalah yang dengan tameng atau senjata “hukum” malah mengubur keadilan dan kebenaran. Jelaslah kiranya bahwa penegakan hukum (yang berdasarkan kebenaran dan keadilan) tidak bisa dilakukan oleh oknum-oknum – betapapun “tinggi” jabatannya atau betapapun “besar” gelarnya – yang sudah dijangkiti oleh pembusukan moral dan sikap politik yang a-sosial. .

Adalah amat menyedihkan, bahwa dalam situasi negara dan bangsa yang begitu buruk dan busuk sekarang ini terasa adanya pembusukan iman. Kita sama-sama saksikan bahwa peran atau sumbangan pemuka-pemuka agama terasa amat kecil dalam melawan kemungkaran besar-besaran yang sedang melanda negeri ini. Bahkan, banyak peristiwa yang membuktikan bahwa pembusukan iman ini juga telah melanda “otak” dan “hati” mereka. Itulah sebabnya mengapa banyak orang mendapat kesan bahwa para pemuka agama tidak punya “greget” dalam perjuangan melawan korupsi. Padahal, korupsi adalah jelas-jelas merupakan suatu kemungkaran yang serius. Bahkan, lebih dari itu. Banyak orang berpendapat bahwa para tokoh agama sering menunjukkan sikap terlalu “toleransi” terhadap para koruptor, atau malahan “membuta-tuli” saja tentang keharaman ini. Tidak hanya yang di Jakarta, tetapi juga yang di daerah-daerah (propinsi dan kabupaten atau kecamatan).

Mengingat itu semuanya, maka sudah sepatutnyalah kita menyambut dengan gembira adanya aksi-aksi yang dilakukan oleh generasi muda kita dan berbagai Ornop (organisasi non-pemerintah, umpamanya Judicial Watch) yang memprotes penolakan DPR untuk membentuk Pansus Buloggate II (Akbar Tanjung). Ketika berbagai lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif sudah “mandul” terhadap aspirasi rakyat, maka harapan kita untuk menyelamatkan Republik dari pembusukan, sekarang tertumpuk kepada gerakan ekstra-parlementer yang kuat serta perlawanan rakyat yang luas. Pemberontakan moral besar-besaran terhadap korupsi dan kebusukan-kebusukan lainnya di Republik ini adalah benar (dan perlu!).

Seperti yang sudah ditunjukkan oleh sejarah bangsa lain di dunia, gerakan yang kuat dan besar-besaran oleh rakyat (termasuk, dan terutama, generasi muda) dapat mendorong adanya perobahan-perobahan yang penting dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Hanya gerakan rakyat yang kuatlah yang bisa merupakan tumpuan bahwa refomasi - yang sekarang sudah dijegal di tengah jalan - akan bisa diteruskan. Hanya gerakan rakyat (dalam berbagai bentuk organisasi dan beragam aksi) akan bisa mencegah makin membusuknya Republik kita. Republik kita perlu dibersihkan dari segala macam sampah masyarakat, demi kelangsungannya, dan demi kepentingan generasi yang akan datang. Inilah tugas nasional bersama kita dewasa ini.