15 Februari 2001 — 13 menit baca

Pembongkaran korupsi menggiring Golkar ke kuburan politik

Bahwa seluruh kekuatan pro-reformasi perlu menghancurkan GOLKAR secara politik adalah jelas. Dan salah satu di antara berbagai cara untuk menghancurkannya adalah mengangkat tinggi-tinggi masalah korupsi yang banyak dilakukan oleh berbagai tokoh-tokoh penting dan pendukung utamanya. Sebab, sebenarnya, masalah korupsi selama kekuasaan Orde Baru adalah soal yang sudah sejak lama telah disoroti atau dipersoalkan oleh banyak kalangan, baik di dalam negeri maupun di luarnegeri. Bahkan, dalam tahun 1974 pun, gerakan mahasiswa sudah mulai mempersoalkan adanya korupsi di Pertamina oleh Ibnu Soetowo dkk. Kemudian, sampai jatuhnya Suharto, berbagai golongan dalam masyarakat (antara lain, berbagai LSM seperti INFID, organisasi-organisasi pemuda yang tergabung dalam kelompok Cipayung dll) juga sudah terus-menerus menyuarakan penyakit yang sudah “membudaya” di seluruh negeri kita ini.

Tetapi, kita semua tahu bahwa walaupun korupsi sudah begitu parah dan sudah berlangsung puluhan tahun, boleh dikatakan tidak ada tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru (termasuk selama pemerintahan Habibi). Sebabnya, antara lain, adalah karena korupsi telah merajalela secara hebat pula di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif, sehingga sulit sekali untuk memberantasnya. Untuk sekedar menyegarkan kembali ingatan kita semua, berikut adalah gambarannya secara sekilas : presiden beserta keluarganya sendiri sudah menjadi pusat KKN (dan besar-besaran pula!).Tidak sedikit di antara para menteri, gubernur, bupati, camat juga banyak yang menjadi maling. Demikian juga para hakim agung, atau tokoh-tokoh penting dalam kejaksaan dan kepolisian, baik yang di Pusat maupun di daerah-daerah. Dan karenanya, korupsi sudah menyerang secara besar-besaran di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan.

Begitu hebatnya korupsi melanda negeri kita, sehingga Indonesia menjadi negeri yang paling korup (atau nomor satu) di Asia. Tetapi, walaupun sudah begitu banyak koruptor mencuri kekayaan negara dan rakyat – dan dalam jangka puluhan tahun pula (!!!) – namun berapa orang yang selama ini sudah dihukum? Inilah ciri-ciri khusus Orde Baru. Untuk jelasnya, Orde Baru adalah pada hakekatnya satu jaring-jaringan raksasa mafia, di mana di dalamnya terdapat banyak oknum-oknum jahat yang saling melindungi, saling bantu, atau saling menutupi, setidak-tidaknya saling “toleransi” atau “saling mengerti”, sehingga mereka bisa sama-sama - atau secara bergiliran - mencuri kekayaan publik.

Hubungan Antara Korupsi Dan Politik

Kekuasaan politik selama Orde Baru adalah pada hakekatnya suatu rezim militer, yang sentralnya adalah di tangan satu orang, yaitu Suharto. Sebagai presiden, Panglima Tertinggi ABRI, dan Ketua Dewan Pembina GOLKAR, ia mempunyai kekuasaan yang besar sekali. Dengan dukungan politik GOLKAR yang selalu memperoleh suara antara 60 sampai 70% dalam pemilu yang berturut-turut selama puluhan tahun, maka ia hampir selalu didukung oleh DPR (dan MPR) dalam segala kebijaksanaannya. Demikian juga oleh Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan Kejaksaan Agung, yang pimpinannya adalah orang-orang GOLKAR juga.

Dengan mempertimbangkan itu semua, kita bisa mengertilah mengapa keluarga Suharto telah dapat menumpuk kekayaan yang luar biasa besarnya dan dalam tempo yang luar biasa singkatnya, dan dengan cara-cara yang luar biasa pula “lihay”-nya. Anggota-anggota keluarganya (anak-anaknya), saudara-saudaranya, konco-konconya yang terdekat (baik di kalangan militer, sipil atau konglomerat), telah menggunakan (baca : menyalahgunakan) kedudukan politik Suharto dan besarnya kekuasaan GOLKAR untuk menjalankan praktek-praktek KKN, untuk memperkaya diri mereka masing-masing, atau demi kepentingan politik mempertahankan “kekokohan” Orde Baru dan mengembangkan “kebesaran” GOLKAR.

Kalau diteliti jauh ke belakang, maka akan nampaklah kiranya bahwa korupsi adalah salah satu di antara karakteristik yang utama dari Orde Baru (GOLKAR). Korupsi adalah inheren (tidak terpisahkan atau senyawa) dengan kehidupan Orde Baru (GOLKAR) di samping pentrapan sistem politik otoriter yang meliputi segala bidang kehidupan bangsa. Korupsi dan kolusi telah merupakan alat penting untuk “menyuap” keloyalan para pendukungnya, baik di kalangan sipil maupun militer, dan juga untuk “membeli” dukungan dari berbagai kalangan, termasuk sebagian kalangan Islam (ulama dan kyai).

Contoh yang paling menyolok adalah praktek korupsi dan kolusi dalam penyelenggaraan pemilu yang sudah berkali-kali diadakan selama Orde Baru. Dalam pemilu-pemilu itu GOLKAR (baik di Pusat maupun di daerah-daerah) telah bisa menggunakan dana yang luar biasa besarnya, sehingga bisa membeayai berbagai “operasi” atau kegiatan-kegiatan luar biasa pula besarnya (kampanye, penyuapan opini umum dalam berbagai bentuk, “pembelian” tokoh-tokoh). Bolehlah kiranya disimpulkan bahwa “kemenangan” GOLKAR di masa-masa yang lalu adalah kemenangan yang korup, singkatnya : kemenangan kejahatan (Dalam kaitan ini, adalah menarik pernyataan Menteri Pertahanan Mahfud baru-baru ini, bahwa GOLKAR telah menerima “sumbangan” secara tidak sah sebesar Rp 90 milyar dari dana Bulog untuk pemilu tahun 1999. Harap baca tentang soal ini lebih lanjut di bawah)

Korupsi Dan Kerusakan Moral

Akibat parah yang ditimbulkan oleh “kebudayaan” korupsi ini tidak hanya di bidang kehidupan politik, tetapi yang paling parah adalah di bidang moral. Sekedar sedikit contoh yang diambil dari selama puluhan tahun Orde Baru adalah sebagai berikut :

Menjadi gubernur, bupati, bahkan camat pun harus berani “membayar”, entah kepada siapa, dengan dalih untuk apa dan atas nama apa saja. Karena GOLKAR menguasai sekitar 60 sampai 70 % kursi DPR (bahkan lebih, kalau untuk sebagian DPRD) maka banyak keputusan-keputusannya juga “berbau” korupsi (umpamanya dalam pembuatan anggaran, pembeayaan projek pembangunan, pemberian berbagai ijin atau “lisensi”, projek pendidikan dll dll). Di banyak daerah, Muspida merupakan tempat untuk “memusyawarahkan” penyelesaian kasus korupsi atau berbagai penyalahgunaan kekuasaan, yang dalam banyak hal lalu bisa dicapai “mufakat” (untuk mem-peti-es-kan). Sebab, selama puluhan tahun itu, kebanyakan pejabat-pejabat penting di daerah-daerah itu adalah juga tokoh penting GOLKAR (bahkan, sebagian juga dari TNI-AD, yang bertugas dalam rangka Dwi-fungsi).

Bahwa Orde Baru telah merusak akhlak banyak pejabat-pejabat penting GOLKAR, tidaklah hanya bisa dilihat di Jakarta saja, tetapi juga di daerah-daerah. Dan kerusakan akhlak ini tidak hanya melanda mereka yang menduduki pos-pos penting dalam bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif saja, melainkan juga mereka yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan atau perekonomian. Kita bisa melihat sendiri (atau mendengar) adanya pejabat-pejabat penting di Pusat dan di daerah-daerah (yang juga sekaligus tokoh-tokoh GOLKAR) mempunyai 3 sampai 4 rumah atau 4 sampai 5 mobil, atau ada yang menyekolahkan anak-anaknya di luarnegeri, sedangkan kita bisa menduga bahwa gaji resmi mereka adalah tidak memungkinkannya. Seandainya (!!!) perundang-undangan negara kita menganut prinsip-prinsip “pembuktian terbalik”, maka alangkah banyaknya tokoh-tokoh yang akan masuk penjara karena tidak bisa menjelaskan dari mana saja datang kekayaan mereka yang begitu besar itu.

Gejala kemorosotan akhlak lainnya adalah perebutan - secara tidak sehat – untuk memperoleh jabatan atau pos “basah”. Semasa kekuasaan Suharto, perebutan jabatan ini sering dilakukan dengan “penjilatan” terhadap Suharto atau terhadap para pejabat-pejabat tinggi yang dekat dengannya. Penjilatan kepada Suharto beserta para pembantunya yang setia adalah jalan untuk menduduki pos-pos basah, sekaligus untuk menjadikan penjilatan ini sebagai pelindung. Ini pulalah salah satu di antara berbagai latar-belakang mengapa banyak pejabat tinggi Orde Baru yang walaupun korup tetapi tetap selamat, hanya karena bersikap loyal kepada Suharto (juga, kemudian, terhadap Habibie). Suharto tidak membutuhkan pembantu-pembantu yang berakhlak baik, yang dibutuhkannya adalah keloyalan mereka terhadap dirinya dan terhadap politiknya. Suharto tidak peduli apakah pejabat-pejabat tinggi itu (yang umumnya adalah tokoh-tokoh GOLKAR) adalah maling atau bukan, apakah cakap atau tidak, asalkan saja setia kepadanya dan tidak “mengganggu” kepentingannya.

Golkar Adalah Sarang Kebobrokan Dan Kejahatan

Sebagai penyangga utama Orde Baru, partai GOLKAR adalah sarang kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan moral, kejahatan kemanusiaan, selama puluhan tahun (!!!). Kalau bisa dihitung, alangkah besarnya uang negara dan rakyat yang telah dijarah beramai-ramai setiap tahun oleh para pemimpin GOLKAR bersama-sama para kroninya di berbagai bidang dan sektor. Diperkirakan bahwa paling sedikitnya 30% anggaran pembangunan masuk kantong para koruptor setiap tahun. Jumlah ini tidak tanggung-tanggung!!! Dampak kerusakannya adalah amat besar sekali, terutama sekali di bidang moral. Sebagian terbesar para tokoh Orde Baru (tidak semua, tentu saja!), melalui jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan GOLKAR), menikmati pembagian kueh haram ini. Itulah sebabnya, para tokoh GOLKAR sebenarnya tidak senang dengan jatuhnya Orde Baru, dan tidak senang pula kepada reformasi.

Di antara tokoh-tokoh GOLKAR ini ada yang berkoar-koar bahwa mereka menyetujui tumbangnya Orde Baru, bicara lantang tentang pentingnya memberantas KKN dan penegakan hukum. Bahkan, mereka juga menampilkan “gaya galak” sebagai “reformis”. Itu semua adalah tidak masuk akal !!! Karenanya, patutlah terus dicurigai. Sebab, walaupun di sana-sini ada sejumlah kecil tokoh GOLKAR yang bersikap jujur untuk mengakui kebobrokan dan kesalahan yang pernah dilakukan selama Orde Baru, atau selama pemerintahan Habibi (atau sekarang juga), tetapi banyak praktek menunjukkan bahwa mereka itu pada umumnya masih belum bisa melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan masa lampau.

Bukan itu saja! Bahkan, sekarang ini mereka berusaha untuk kembali lagi di panggung politik dan memegang kekuasaan, dengan mengadakan berbagai anuvre - gelap dan terang-terangan – untuk menggulingkan Gus Dur. Bersama-sama dengan berbagai golongan, tokoh-tokoh GOLKAR ini masih berusaha untuk memegang kembali kekuasaan politik, demi : mencegah kehancuran GOLKAR lebih parah lagi, menghalangi pengusutan terhadap kejahatan-kejahatan mereka di masa lalu, meneruskan praktek-pratek yang biasa mereka lakukan selama Orde Baru (dan Orde Habibi)

Tetapi, cara-cara mereka (melalui memoradum DPR mengenai Buloggate dan Brunaigate dan ancaman untuk menyelenggarakan SI MPR ) untuk mencapai tujuan ini, telah menimbulkan pergolakan yang besar. Sekarang ini, masalah ini berbuntut dengan serangan balik besar-besaran terhadap GOLKAR. Dan, pada hakekatnya, melalui serangan balik terhadap GOLKAR, serangan ini juga menyasar (secara langsung atau tidak langsung) kepada simpatisan-simpatisan Orde Baru, yang terdapat dalam berbagai partai politik maupun golongan dalam masyarakat.

Korupsi Adalah Kuburan Golkar

Korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilakukan selama puluhan tahun di berbagai bidang selama Orde Baru, pernah menjadi “kekuatan” GOLKAR. Dari dana-dana raksasa yang dikumpulkan dengan cara-cara KKN ini, GOLKAR pernah bisa “menutup mulut” banyak orang dan golongan (termasuk pers, kaum intelektual dan sejumlah besar kyai dan ulama). Bolehlah kiranya dikatakan bahwa mesin kekuasaan raksasa GOLKAR telah dijalankan oleh dana-dana dari korupsi yang dipupuk oleh jaring-jaringan mafia yang menguasai bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Oleh karena GOLKAR pernah menguasai sektor politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, maka dana ini pun besar sekali. Tetapi, justru karena itu pulalah, maka korupsi merupakan kelemahan pokok atau penyakit parah GOLKAR, yang akhirnya akan membawa keruntuhannya atau kehancurannya. Berbagai hal berikut ini bisa sama-sama kita renungkan :

Sebagai reaksi terhadap memorandum DPR tentang Bulloggate dan Brunaigate, sekarang di mana-mana terjadi demonstrasi untuk menuntut dibubarkannya GOLKAR, dan mengusut korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya. Karena korupsi ini dilakukan oleh banyak tokoh-tokoh GOLKAR di berbagai bidang, maka pembongkarannya akan meruntuhkan sama sekali citra moralnya dan legitimasi politiknya di depan publik.

Karena korupsi yang dilakukan oleh GOLKAR sudah berlangsung lama sekali, dan kasusnya juga banyak sekali (tetapi yang tidak pernah bisa dibongkar, karena di masa yang lalu senantiasa bisa dipeti-eskan oleh jaring-jaringan mafianya di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif), maka penggugatan terhadap GOLKAR juga akan banyak dan bisa berlangsung lama.

Di antara berbagai kasus yang sudah disebut-sebut dalam pers akhir-akhir ini adalah, antara lain : kasus Pertamina, Departemen Kehutanan, PLN, Bank Indonesia, BLBI, Bank Bali, Suharto, Hutomo Mandalaputra (Tommy), dana Taperum. Bulog (kasus lama), kasus dana Pemilu (hasil pemeriksaan BPK). Banyak di antara kasus-kasus yang perlu diusut tersebut menyangkut jumlah dana yang amat besar, umpamanya : di Pertamina saja terungkap 159 kontrak yang berbau KKN, dan 22 di antaranya berindikasi korupsi. Dalam urusan Bank Bali tersangkut urusan dana Rp 905 milyar. Dalam kasus pengucuran BLBI yang perlu penjelasan tersangkut dana sebesar Rp 146 trilyun.

Baik Presiden Wahid maupun Jaksa Agung Marzuki Darusman sudah menyatakan bahwa lebih dari 10 pelaku korupsi “kakap” (artinya, tokoh-tokoh besar yang korup) akan ditindak dalam waktu yang singkat di masa datang, dalam rangka penanganan urusan KKN. Menurut berita-berita dalam pers, di antara 10 “kakap” itu terdapat nama-nama Ginanjar Kartasasmita (mantan Menkuin), Faisal Abda’oe (mantan Dirut Pertamina), Bob Hasan, Syamsul Nursalim, Miranda Gultom, Aulia Pohan, Irawan Prawirawinata, Sinivasan, Prayogo Pangestu. Apakah Kejaksaan Agung akan bisa betul-betul bertindak terhadap 10 “kakap” itu, masih banyak orang yang meragukannya. Kita tunggu saja, bagaimana cerita selanjutnya.

GOLKAR Harus Bubarkan Diri Atau Dibubarkan

Di antara pernyataan-pernyataan penting akhir-akhir ini, yang berkaitan dengan masalah korupsi di kalangan GOLKAR adalah yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan Mahmud. Ia menyatakan pada tanggal 13 Februari 2001 bahwa GOLKAR telah menerima dana untuk pemilu 1999 sebesar 90 miliar dari Bulog. Ini berarti bahwa GOLKAR telah menerima dana tersebut di luar peraturan atau menyalahi undang-undang pemilu, dan juga tidak dilaporkan. Padahal, menurut undang-undang, setiap partai yang ikut pemilu tahun 1999 hanya diijinkan menerima dana dari organisasi atau dari masyarakat Rp 15 juta dan Rp 150 juta dari perusahaan. Menteri Pertahanan Mahmud mempertanyakan jika untuk dana Rp 35 miliar dibentuk oleh Pansus di DPR, mengapa dana sebesar Rp 90 miliar tidak dipermasalahkan. Menurutnya, kasus Rp 90 miliar ini lebih layak untuk di-Pansus-kan.

Pernyataan Menteri Pertahanan Mahfud ini, dalam kaitannya dengan situasi di negeri kita sekarang, bisa mempunyai gema yang penting. Sebab, sebelum pernyataannya itu keluar pun, suara-suara supaya GOLKAR dibubarkan atau dilarang sudah terdengar santer. Pernyataan Menteri Mahmud itu itu bisa mempertanyakan keabsahan GOLKAR dalam pemilu, menurut hukum atau undang-undang yang berlaku. Kalau terbukti bahwa GOLKAR memang telah melakukan pelanggaran yang begitu menyolok, adalah alasan untuk mempersoalkan keabsahan kehadirannya dalam DPR. Sebab, kalau begitu, kehadiran mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat (!!!) - yang mestinya terhormat ini - ternyata berkat dana dari hasil curian uang rakyat atau hasil dari pelanggaran terhadap undang-undang.

Kalau terbukti bahwa GOLKAR menerima dana Rp 90 miliar secara tidak sah dari Bulog untuk pemilu 1999, maka ini merupakan kecurangan atau kejahatan yang tidak boleh diremehkan oleh opini publik dan oleh hukum, karena merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Kasus ini akan merupakan tambahan bukti lainnya lagi dalam daftar kejahatan GOLKAR yang sudah panjang. Memang, untuk itu semua, diperlukan pembuktian secara hukum, dan tidak bisa hanya sekedar tudingan atau dugaan yang tidak berdasar. Oleh karenanya, pemerintah bersama Mahkamah Agung perlu membentuk Komisi Adhoc atau Tim Independen (atau badan khusus lainnya) untuk mengusut masalah penting ini.

Tetapi, berdasarkan pengalaman selama ini, yang menunjukkan betapa lemahnya (atau kotornya!!!) sistem peradilan negara kita, maka kita tidak bisa (dan tidak boleh!) mentah-mentah menyerahkan persoalan ini hanya di tangan pemerintah atau Mahkamah Agung atau Kejaksaan Agung saja. Berbagai aksi-aksi atau kegiatan ekstra-parlementer perlu dilancarkan oleh berbagai golongan dalam masyarakat untuk menuntut supaya skandal besar pemilu yang dilakukan GOLKAR itu diselidiki. Selama masalah ini belum diselesaikan secara hukum, maka sudah sepantasnyalah kalau kita menganggap bahwa kehadiran GOLKAR di DPR (dan juga MPR) tidak sah. Korupsi besar-besaran yang sudah dilakukan selama puluhan tahun oleh GOLKAR adalah banyak sekali. Perampokan terhadap Bank Indonesia sebesar Rp 905 miliar (lewat kasus Bank Bali), dan penerimaan dana dari Bulog sebesar Rp 90 miliar untuk pemilu adalah satu bagian kecil saja dari rantai panjang kejahatan GOLKAR terhadap kepentingan negara dan kepercayaan rakyat. Kejahatan lainnya di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan yang meliputi politik, ekonomi, sosial, masih banyak lagi.

Oleh karena itu, seluruh kekuatan pro-reformasi perlu terus-menerus, dengan berbagai cara dan bentuk, untuk menelanjangi banyaknya korupsi yang dilakukan oleh GOLKAR. Bersamaan dengan itu, perlu juga terus-menerus mengawasi, melancarkan kritik, dan mendorong diperbaikinya sistem hukum dan peradilan negeri kita. Tanpa pembersihan di kalangan kehakiman, maka mustahillah bahwa pembrantasan korupsi bisa dilaksanakan dengan baik. Selama sistem hukum dan peradilan kita masih dikangkangi oleh para pendukung GOLKAR atau oleh orang-orang yang akhlaknya tidak luhur, maka penegakan hukum dan keadilan hanyalah akan berupa omongkosong belaka!

Pembongkaran korupsi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh GOLKAR akan menggiring kekuatan pendukung Orde Baru ini masuk kuburan politiknya. Sebab, dengan pembongkaran ini akan nyatalah bagi opini publik bahwa kehadiran GOLKAR di Republik Indonesia tidak mendatangkan kebaikan bagi rakyat dan negara kita. Lenyapnya GOLKAR (karena membubarkan diri atau dibubarkan) dari bumi Indonesia hanya akan membikin kehidupan bangsa kita lebih sehat, baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun moral.