25 November 2005 — 25 menit baca

Partai GOLKAR beri penghargaan kepada Suharto (Kumpulan berita dan tulisan)

Partai Golkar Beri Penghargaan Kepada Suharto Atas Jasanya

Catatan A. Umar Said

Berikut ini disajikan kutipan berita menarik dari Media Indonesia Online (24 November 2005) yang mungkin akan bisa menimbulkan kemarahan atau protes banyak orang, karena berbunyi sebagai berikut :

“Partai Golkar akan memberi penghargaan “Anugerah Bhakti Pratama” kepada mantan Presiden Soeharto atas jasanya terhadap Golkar selama menjadi penasehat di era Orde Baru. Hal itu diungkapkan Ketua Panitia Pelaksana Rapimnas ke-1 Golkar Burhanuddin Napitupulu di sela-sela Rapimnas Golkar di Jakarta, Kamis. Dia menjelaskan, selain penghargaan untuk Pak Harto, penghargaan ini juga diberikan kepada 45 tokoh nasional yang berasal dari Golkar. Mereka antara lain mantan Presiden BJ Habibie, mantan Mensesneg Moerdiono, mantan Menaker Cosmas Batubara dan mantan Menkeh Oetojo Oesman, mantan Menpen Harmoko dan tokoh PGRI Basyuni Suriadihardja. Ia juga mengatakan Pak Harto telah menyatakan kesediaan untuk menerima penghargaan ini, namun belum dipastikan apakah pemimpin Orde Baru itu akan hadir atau tidak. Penghargaan akan diberikan oleh Ketua Umum DPP Golkar Jusuf Kalla pada puncak HUT ke-41 Golkar di Balai Kartini pada Sabtu (26/11). (kutipan selesai)

Tindakan Yang Pasti Menimbulkan Kemarahan

Adalah hak Partai Golkar untuk memberikan penghargaan kepada Suharto. Ini sesuai dengan kebiasaan atau ketentuan kehidupan demokratis yang harus sama-sama kita hormati. Namun demikian, adalah juga hak sepenuhnya bagi semua kalangan dan golongan untuk mengutarakan pendapat yang berlainan, bahkan yang berlawanan (!) sama sekali dengan sikap Partai Golkar itu. Hal yang demikian itu juga sepenuhnya merupakan hak yang harus dihargai oleh semua fihak, dan terutama sekali oleh kalangan Partai Golkar.

Sebab, pemberian penghargaan “”Anugerah Bhakti Pratama” oleh Partai Golkar kepada Suharto ini bisa (bahkan, pasti !!!) menimbulkan berbagai macam reaksi dari banyak orang di banyak kalangan atau golongan bangsa. Dari yang hanya mengutarakan kecaman atau ketidakpersetujuan mereka saja, sampai dengan yang melampiaskan kemarahan atau protes keras.

Perlu sama-sama kita ingat bahwa Jusuf Kalla, yang memberikan penghargaan kepada Suharto ini resminya menduduki jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia, yang juga merangkap sebagai Ketua Umum Golkar. Meskipun ketika memberikan penghargaan bisa dipakai dalih atau alasan bahwa ia melakukannya dalam kapasitasnya sebagai ketua Umum Golkar, tetapi pendapat umum akan tetap cenderung untuk melihatnya juga sebagai Wakil Presiden RI.

Jadi, masalah penghargaan “Anugerah Bhakti Pratama” kepada Suharto oleh Partai Golkar ini bukanlah urusan kecil yang menyangkut “urusan intern” Golkar, tetapi adalah urusan yang mempunyai dimensi politik dan moral (!!!) yang besar sekali bagi bangsa seluruhnya.

Sebab, bagi banyak orang sudah jelas bahwa sesudah menjadi diktator rejim militer Orde Baru selama 32 tahun, Suharto telah dipaksa “turun tahta” dalam tahun 1998, berkat gerakan besar-besaran secara nasional oleh generasi muda. Gerakan yang bersejarah dari generasi muda ini adalah manifestasi terpusat dari aspirasi rakyat luas yang sudah menajiskan Suharto dengan Orde Barunya.

Suharto sudah dicampakkan dari hati banyak orang, bahkan seringkali dihujat dan banyak dikutuk, oleh karena berbagai kejahatan yang dilakukannya selama 32 tahun di bidang politik, ekonomi, sosial dan juga di bidang moral dan HAM. Ia merupakan orang yang harus bertanggungjawab dengan terbunuhnya sekitar 3 juta orang-orang tidak bersalah dalam tahun 1965, dan dipenjarakannya ratusan ribu orang (sekali lagi, orang yang tidak bersalah juga) selama puluhan tahun (ingat, antara lain : pulau Buru !!!). Sebagian dari orang-orang yang dibunuh atau dipenjarakan secara sewenang-wenang itu adalah anggota atau simpatisan PKI dan sebagian lainnya lagi pendukung politik Presiden Sukarno. Suharto harus dimintai pertanggungan jawabnya terhadap penderitaan kira-kira 20 juta orang, yang merupakan keluarga - dekat dan jauh - para korban pembunuhan besar-besaran 65 dan keluarga para eks-tapol, yang selama puluhan tahun dibikin mengalami berbagai kesulitan.

Berbagai Kejahatan Suharto

Sekarang ini sudah menjadi makin jelas bagi banyak orang bahwa kejahatan atau kesalahan besar Suharto bukanlah hanya karena ia telah menghancurkan kekuatan PKI dengan pembunuhan dan pemenjaraan besar-besaran begitu banyak orang, tetapî juga karena ia telah melakukan pengkhianatan terhadap Presiden Sukarno.

Berbagai tindakan yang dilakukan TNI-AD di bawah Suharto sesudah terjadinya G30S, menunjukkan bahwa Presiden Sukarno pada permulaannya telah disrimpung, dijegal, diboikot oleh Suharto dkk untuk kemudian digulingkan dari kepresidenannya, dan akhirnya ditawan sebagai tapol sampai wafatnya dalam keadaan yang menyedihkan.

Dengan menghancurkan Bung Karno sebagai pemimpin besar rakyat Indonesia, sebenarnya Suharto (dengan dukungan dari sebagian TNI-AD dan Golkar) telah mengkhianati Revolusi 45 dan juga mengkhianati cita-cita para pejuang kemerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme. Melalui persekongkolan dengan kekuatan nekolim, yang dikepalai oleh AS, Suharto dkk telah menghancurkan kekuatan anti-imperialisme bangsa Indonesia yang berlandaskan politik Bung Karno.

Jadi, kalau ditinjau dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dirintis sejak sebelum dan sesudah tahun-tahun 20an (ingat: Budi Utomo, Serikat Islam, Serikat Rakyat, pembrontakan PKI tahun 26, pembuangan Digul, Sumpah Pemuda tahun 1928, perjuangan Bung Karno sampai dibuang di Endeh dan Bengkulu) dan kemudian proklamasi 45, maka akan kelihatan jelaslah bahwa apa yang telah dilakukan Suharto adalah betul-betul merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan yang sudah begitu panjang dari banyak kalangan dan golongan bangsa kita.

Sekarang ini, orang yang semacam inilah yang diberi penghargaan “Anugerah Bhakti Pratama” oleh Partai Golkar. Sungguh keterlaluan!

Suharto Sama Sekali Bukan Tokoh Demokratis

Dipaksanya “turun tahta” Suharto dalam tahun 1998, menunjukkan dengan jelas bahwa “orang kuat” yang pernah jadi Presiden RI berturut-turut selama puluhan tahun, yang juga Panglima Tertinggi ABRI, dan yang juga pimpinan tertinggi Golkar, akhirnya diusir rakyat dari kedudukannya. Di mata banyak orang, Suharto sudah terbukti bahwa ia bukan seorang pemimpin yang berjiwa benar-benar demokratis, karena di bawah “kepemimpinannya” selama 32 tahun kehidupan demokratis telah dicekiknya, kebebasan pers dibatasi dan kena sensor, kebebasan berorganisasi juga tidak ada.

Di bawah pemerintahannya mengkritik terjadinya penyelewengan kekuasaan para pejabat rejim militer Orde Baru adalah merupakan taboo atau berbahaya sekali bagi yang berani melakukannya. Suharto membiarkan saja terjadinya penculikan dan pembunuhan secara gelap (oleh aparat-aparat militer) terhadap sejumlah besar para “pembangkang” Orde Baru. Selama di bawah pimpinannya, lembaga-lembaga negara dan aparat negara seperti DPR, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Mabes ABRI, BAPENAS, hanya merupakan tangan panjang atau stempel saja baginya.

Dalam jangka lama sekali, indoktrinasi “Pancasila” (yang palsu) dipaksakan secara sistematis, di samping sekaligus meniup-niupkan secara permanen hasutan “bahaya laten PKI”, untuk melakukan terror terhadap segala yang berani bersikap kritis atau menentang politik Orde Baru.

Orang semacam inikah yang sekarang ini mendapat penghargaan Golkar “Anugerah Bhakti Pratama” ?

Mengapa Golkar Menghargai Suharto

Bahwa Golkar memberi penghargaan kepada Suharto adalah wajar. Sebab, sejarah Orde Baru selama 32 tahun sudah menunjukkan dengan jelas bahwa, pada dasarnya, yang merupakan inti rejim militer ini, ialah persekutuan erat antara Golkar dan golongan militer (terutama TNI-AD) yang dikepalai oleh Suharto sebagai pemimpin tertinggi.

Kita semua sudah sama-sama menyaksikan atau mengalami sendiri juga, bahwa golongan militer inilah yang selama puluhan tahun telah mengangkangi secara ketat Republik Indonesia, dengan melakukan berbagai politik yang banyak membatasi kebebasan demokratis dan melakukan bermacam-macam teror di kalangan masyarakat. Dalam melaksanakan berbagai politik yang anti-demokratis dan anti-rakyat ini peran yang dimainkan oleh Golkar adalah besar sekali. Selama puluhan tahun Golkar adalah pendukung utama rejim milter Orde Baru. Sebenarnya, sudah sejak lama sekali, bolehlah dikatakan bahwa Golkar dan golongan militer (terutama TNI-AD) adalah satu dan senyawa. Ini tidak mengherankan, karena Golkar yang telah lahir sebelum peristiwa 65 merupakan usaha segolongan perwira TNI-AD dalam rangka anti-Bung Karno dan anti-PKI.

Golongan militer (yang sebenarnya jumlahya sedikit sedikit sekali, yaitu sekitar 500.000 atau paling banyak 700.000 orang) memerlukan alat untuk menggalang dukungan di kalangan rakyat, dan sekaligus untuk memasang pupur “demokrasi” bagi rejimnya. Itu sebabnya sejarah Golkar di masa Orde Baru adalah selalu “gemilang”, sehingga selalu menang besar dalam “pemilu” yang berturut-turut (sekitar 70 % suara) dan bisa menguasai secara mutlak di DPR dalam jangka puluhan tahun. (Kiranya, tidak usah dipaparkan lagi di sini bahwa “pemilu” selama Orde Baru itu semuanya palsu atau penuh dengan berbagai rekayasa)

Karena itu, secara padat singkat bisalah dikatakan bahwa Golkar sepenuhya ikut bertanggungjawab terhadap segala kejahatan, segala kesalahan, segala kebusukan, yang telah dilakukan Orde Baru. Sebab, pada dasarnya, Orde Baru adalah satu dan senyawa dengan Golkar, seperti halnya satu dan senyawanya TNI-AD dengan Golkar. Mungkin, ada orang yang akan mengatakan :”Betul itu semua, tetapi itu ‘kan masa lalu”. Apakah betul begitu ?

Golkar Sekarang Memblejeti Diri

Dengan merenungkan hal-hal tersebut di atas, maka kiranya dapat kita lihat bahwa pemberian penghargaan “Anugerah Bhkati Pratama” oleh Golkar kepada Suharto bisa disamakan dengan pemblejetan diri, dan tidak kepalang tanggung pula! Dengan tindakan yang demikian itu, Golkar sudah terang-terangan membuka diri bahwa sebenarnya Golkar yang sekarang ini adalah masih Golkar yang lama itu juga.

Tindakan Golkar ini juga merupakan tambahan bukti bahwa, pada hakekatnya, Golkar yang sekarang ini masih belum tersentuh oleh reformasi, yang pernah didengung-dengungkan oleh para tokohnya juga. Dari tindakan ini dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bahaya restorasi Orde Baru sudah makin nyata muncul di ambang pintu, kalau tidak bisa dikatakan sudah masuk rumah. Sebab, ketua umum Golkar adalah juga wakil presiden Republik Indonesia, dan ketua DPR adalah juga tokoh utama Golkar. Sebagian besar kursi DPR juga dikuasai Golkar. Dari banyak Gubernur, bupati dan walikota pun tidak sedikit yang anggota atau simpatisan Golkar.

Itu semua merupakan tanda-tanda bahwa perspektif jangka dekat negara dan bangsa Indonesia tidaklah bisa kita katakan cerah. Dari orang-orang yang sekarang masih mempunyai simpati – atau memupuk hubungan batin erat – dengan Golkar yang lama tidaklah bisa diharapkan adanya perobahan besar menuju perbaikan. Tdan tokoh-tokoh utama Golkar jaman Orde Baru pada umumnya adalah orang-orang yang tidak sepantasnya atau tidak sepatutnya mendapat penghormatan dan penghargaan kita, berdasarkan pertimbangan politik dan moral (Harap perhatikan, nantinya, daftar 45 “tokoh nasional” yang diberi penghargaan oleh Jusuf Kalla).

Tindakan Golkar dengan memberikan “Anugerah Bhakti Pratama” kepada tokoh-tokoh Golkar masa Orde Baru (terutama kepada Suharto) sungguh merupakan cemooh bagi berbagai kalangan dan golongan bangsa yang selama ini sudah menunjukkan perlawanan mereka terhadap segala kebusukan dan kejahatan yang pernah dilakukan selama puluhan tahun oleh Suharto dengan rejim militer Orde Barunya.


Kompas, 5 Desember 2005

Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar

M Fadjroel Rachman

Two thumbs up! Luar biasa! Jenderal Besar (Purn) Soeharto mendapat penghargaan anugerah Bhakti Pratama dari Partai Golkar.

”Sang diktator Orde Baru!” ujar Prof R William Liddle, guru besar Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Columbia, AS, dalam Revolusi dari Luar (Penerbit Nalar, 2005). Soeharto adalah mantan Ketua Dewan Pembina Golkar pada Orde Baru (Orba). Golkar mendukung Soeharto 100 persen selama 32 tahun, tujuh kali masa jabatan presiden, tak peduli apakah Soeharto melakukan kejahatan HAM sejak 1965-1998, mematikan demokrasi, menjajah Timor Timur, atau menembak dan memenjarakan mahasiswa serta rakyat. Selama 32 tahun, Golkar adalah Soeharto, dan Soeharto adalah Golkar!

Sepanjang tujuh tahun reformasi, Partai Golkar selalu menolak kaitan historis Golkar dan Soeharto. Istilah paradigma baru Partai Golkar digunakan untuk memutus (cut off) dengan segala kejahatan politik, ekonomi, HAM, dan anti-demokrasi Orba.

Kini, setelah kembali berkuasa di DPR, DPD, DPRD, kabinet, wakil presiden, dan konglomerasi, Partai Golkar yakin tak ada lagi yang perlu ditakutkan untuk mengakui hubungan dengan Soeharto dan Orba. Dari PDI-P hingga PKS semua gembira menjadi mitra politik Partai Golkar, bahkan sejumlah mahasiswa penghujat Golkar kini menjadi anggota DPR dari Partai Golkar.

Selain Soeharto, nama besar penguasa Orba yang mendapat anugerah Bhakti Pratama adalah BJ Habibie (mantan Presiden), Moerdiono (mantan Menteri Sekretaris Negara), Cosmas Batubara, dan Oetojo Oesman.

Inilah kebenaran yang ditutupi selama tujuh tahun reformasi. Untuk menyelamatkan diri? Tentu agar tidak bernasib seperti Partai Nazi atau partai ekstrem kanan lain yang dilarang usai rezim totaliter ditumbangkan demokratisasi. Juga untuk menghindari hukum lustrasi seperti dilakukan Presiden Vaclav Havel, melarang petinggi Partai Komunis Chekoslovakia memegang jabatan publik atau ikut pemilu selama lima tahun rezim demokrasi memperkuat diri.

Inilah taktik yang mengagumkan dari Partai Golkar, memutus hubungan dengan masa lampau selama tujuh tahun, lalu mengakuinya setelah berkuasa kembali. Reformasi yang diperjuangkan untuk membersihkan rezim totaliter Orba, termasuk nilai, lembaga, individu, dan praktik anti-demokrasi, lenyap tak berbekas. Reformis sejati dan demokrat radikal, harus gigit jari! Soeharto, Orba, dan Golkar

Bagaimana praktik Soeharto, Orba, dan Golkar? Meski Liddle mendua sikapnya terhadap Orba (Belajar dari Intelektual Orde Baru, Kompas 17/9), namun gambarannya tepat tentang praktik Soeharto, Orba, dan Golkar. Kata Liddle, sekitar 30 tahun lalu sisa-sisa pemerintah demokratis di Indonesia dimusnahkan pemerintahan Orba di bawah kepemimpinan Soeharto dan perwira ABRI pendukung Soeharto. Sistem politik Orba dibangun atas dasar otoriterisme.

Yang mulai dilupakan sebagian orang, praktik pidana korupsi Soeharto atas Yayasan Supersemar, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan lainnya, belum selesai di pengadilan hingga kini karena ia sakit (Djokomoelyo, Proses Peradilan Soeharto, 2001).

Padahal, harta korupsi Soeharto dan keluarga yang bernilai Rp 15 miliar-Rp 35 miliar, menurut Transparency International (25 Maret 2004), menempatkannya di urutan pertama dari sepuluh pemimpin politik terkorup di dunia. Menurut Newsweek (Januari 1998), nilainya 40 miliar dollar AS, sedang majalah Forbes menobatkan Soeharto orang terkaya keempat di dunia (Juli 28, 1997). Harta KKN-nya berkisar 60 miliar dollar AS, angka tengah dari perkiraan 40 miliar-80 miliar dollar AS, karena ke tujuh anak dan cucunya memiliki 312-350 perusahaan di dalam dan luar negeri (Mulya Lubis dkk, Soeharto Vs TIME: Pencarian dan Penemuan Kebenaran, 2001).

Ironisnya, Ketetapan MPR RI No.XI/MPR/1998, 13 November 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN masih berlaku. Bunyi Pasal 4: ”Upaya pemberantasan ko- rupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto.” Amnesia dan impunitas

Bila semua praktik politik Soeharto dan Orba diakui sebagai bagian dari sejarah penting Partai Golkar, maka berakhirlah upaya membuat publik lupa/amnesia terhadap kejahatan politik, ekonomi, HAM, yang terkait Soeharto. Ini tentu kabar baik untuk mengadili Soeharto dan petinggi Orba—sebagian petinggi Partai Golkar sekarang—dan sebagian penerima anugerah Bhakti Pratama, atas tanggung jawab mereka pada praktik anti-demokrasi Soeharto dan totaliterisme Orba.

Selain penghargaan, inilah saatnya juga mengakhiri impunitas! Agar semua orang sama di depan hukum, tak ada yang kebal hukum, termasuk pendiri Golkar, Partai Golkar, bahkan Jenderal Besar (Purn) Soeharto!

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)


Pikiran Rakyat, 29 November 2005

Kejagung Kembalikan Perkara Soeharto

Jaksa Agung akan mengembalikan perkara mantan Presiden Soeharto ke Mahkamah Agung (MA). Tersendatnya proses hukum mantan orang kuat di era Orde Baru tersebut, karena adanya perintah MA supaya Kejagung mengobati Soeharto sampai sembuh, sebelum dibawa ke pengadilan.

“Ada baiknya kita kembalikan perkara ini ke MA. Sebab, kami tidak bisa berbuat banyak karena MA telah memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengobati Soeharto sampai sembuh sebelum dibawa ke pengadilan,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, Senin (28/11).

Abdul Rahman Saleh mengatakan, Kejaksaan Agung telah mengerahkan 36 dokter ahli untuk menyembuhkan Soeharto. Namun, semua dokter ahli itu menyatakan bahwa mantan presiden tersebut mengalami kerusakan otak permanen.

Jaksa Agung mengatakan hal itu setelah didesak oleh anggota Komisi III DPR Benny K. Harman, untuk menuntaskan perkara mantan Presiden Soeharto yang sampai saat ini belum jelas status hukumnya. Benny mengatakan, Soeharto sebaiknya diadili secara in absentia jika memang tidak dapat dihadirkan dalam pengadilan.

“Kalau sudah permanen, berarti sampai kiamat pun tidak akan pernah sembuh. Lalu, kondisi ini akan diapakan? Dibiarkan atau dilimpahkan ke pengadilan?” kata Benny.

Menurut Jaksa Agung, pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Kejaksaan Agung juga akan bertanya apakah pihaknya masih diperintahkan untuk mengobati Pak Harto sampai sembuh atau tidak.

Jaksa Agung juga mengungkapkan, pengacara Soeharto juga telah datang ke Kejaksaan Agung, untuk menanyakan apakah Jaksa Agung tega membiarkan Soeharto mati dalam keadaan dicekal.

“Tapi kalau status cekal itu dilepas, saya akan diprotes. Kecuali ada dukungan dari anggota DPR,” kata Arman.

Dalam kesempatan itu, Jaksa Agung juga mengatakan, penuntutan kasus pelanggaran berat HAM akan dilakukan oleh Kejaksaan Agung jika ada kekuatan politik yang memulai.

“Kalau ada rekomendasi dari DPR, Kejaksaan Agung akan bekerja sama dengan Komnas HAM,” tambahnya.

Perkara pelanggaran berat HAM seperti kasus Trisakti dan Semanggi I dan II, sebelumnya dinyatakan oleh DPR periode 1999-2004 sebagai pelanggaran HAM biasa sehingga Kejaksaan Agung tak bisa melanjutkan ke proses penuntutan.

Menurut Jaksa Agung, jika DPR periode sekarang menyatakan kasus Trisakti dan Semanggi sebagai pelanggaran berat HAM, Kejaksaan Agung akan memproses lebih lanjut atau membuka kembali perkara yang memakan korban sejumlah mahasiswa itu.

Mengenai kritik DPR atas reformasi yang lambat di tubuh Kejaksaan Agung, Abdul Rahman Saleh mengatakan, pembaruan itu menyangkut banyak aspek dan membutuhkan biaya besar sehingga semuanya tak bisa dilakukan secara kilat.

Dalam rapat kerja tersebut, Jaksa Agung juga menegaskan bahwa Undang-Undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi perlu diamendemen, khususnya pada pasal yang mengatur jangka waktu pengajuan grasi dengan memberikan batas waktu.

“Jika UU itu tak direvisi, akan melahirkan masalah dalam pelaksanaan hukuman mati. Seperti yang terjadi di Sumatra Barat. Di sana terdapat terpidana mati yang sudah akan dieksekusi, tapi sehari sebelumnya dia mengajukan peninjauan kembali sehingga pelaksanaan hukuman mati itu ditunda dan Kejati Sumbar meminta fatwa ke Mahkamah Agung,” katanya.

Abdul Rahman Saleh menambahkan, di Kejati Riau juga terdapat satu terpidana mati tapi keputusan presiden yang menolak grasi terpidana mati tersebut secara resmi belum diterima oleh Jaksa penuntut umum.

“Demikian juga di Kejati Sulawesi Tengah, terdapat tiga terpidana mati kasus Poso. Grasinya sudah ditolak tapi keppresnya belum diterima oleh jaksa penuntut umum di Poso,” katanya.

Di Kejati Bali, terdapat tiga terpidana mati kasus bom Bali, namun belum bisa dieksekusi mengingat keluarga mereka belum menentukan sikap akan mengajukan grasi atau tidak. UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memberikan batas waktu pengajuan grasi,” katanya. (A-109)***


Suara Merdeka 28 Nopember 2005

Soeharto Tetap Terima Penghargaan

JAKARTA- Teka-teki nama Soeharto tidak disebutkan dalam acara penganugerahan Widya Bhakti Karya Pratama, terjawab sudah. Pak Harto tetap menerima penghargaan tersebut.Jusuf Kalla dan beberapa fungsionaris partai berlambang beringin itu akan mendatangi kediaman Soeharto di Cendana dalam waktu dekat ini.

Ketua Panitia HUT Ke-41 Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu menegaskan, nama Soeharto tetap dalam daftar penerima penghargaan.”Beliau tetap menerima penghargaan, sebagai tokoh yang mendapatkan penghargaan terbaik dari Partai Golkar,” ujar pria yang akrab dipanggil Burnap ini kepada wartawan usai acara HUT Golkar di Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Sabtu lalu.

Nama Soeharto tidak disebutkan, menurut Burnap, semata-mata karena ada mekanisme yang harus diselesaikan, tanpa memerinci mekanisme itu. “Mekanismenya, Jusuf Kalla dan kita akan datang ke tempat beliau sekaligus bertukar pikiran,” ujarnya.Enam tokoh Golkar yang dianggap berjasa kepada Golkar menerima penghargaan. Antara lain mantan presiden Soeharto, BJ Habibie, tiga mantan menteri Orde Baru seperti Moerdiono, Cosmas Batubara, Oetojo Oesman, dan mantan Ketua Umum PGRI Basyuni Suryamiharja. (dtc-60t)


SUARA PEMBARUAN 28 November 2005

Tajuk Rencana

Golkar dan HM Soeharto

PARTAI Golongan Karya memberikan penghargaan kepada HM Soeharto pada peringatan 41 tahun partai itu pekan lalu. Namun, pemberian penghargaan ini terlihat dilakukan dengan malu-malu. Nama HM Soeharto, misalnya tidak disebutkan di antara deretan nama yang memperoleh penghargaan. Mantan Presiden Indonesia itu juga tidak hadir, wakilnya pun tidak. Dan, Golkar berencana menyampaikan penghargaan tersebut kepada Soeharto.

Berbagai pihak memang kemudian menyatakan protes atas apa yang dilakukan Partai Golkar. Sebab, Soeharto dipaksa mundur dari jabatan presiden setelah 32 tahun berkuasa, karena selama pemerintahannya banyak pelanggaran hak asasi manusia, dan banyaknya korupsi. Proses hukum yang diamanatkan dengan ketetapan MPR selalu tertunda dilakukan, karena alasan kesehatan.

Namun juga harus disadari bahwa hak Partai Golkar untuk memberikan penghargaan kepada siapa yang dianggap berjasa. Soeharto jelas pernah menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar untuk kurun yang panjang. Peranan Soeharto bagi Golkar tidak bisa diabaikan. Partai Golkar yang memperoleh kemenangan dalam semua pemilihan umum semasa Orde Baru, tidak bisa dilepaskan dari peranan Soeharto.

Sebaliknya pun demikian. Soeharto yang enam kali terpilih menjadi presiden dalam sidang umum MPR juga tidak bisa dilepaskan dari peran dan kesetiaan Golkar pada Soeharto. Bahkan selama itu, pemilihan presiden selalu berlangsung dengan calon tunggal. Usaha untuk menampilkan calon tandingan untuk wakil presiden pun tidak pernah berhasil. Oleh karena itu pemberian penghargaan itu adalah hal yang istimewa.

PROTES memang muncul, karena semangat reformasi untuk memperbaiki demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan mewujudkan keadilan dengan memberantas korupsi, belum berjalan. Sementara Partai Golkar yang berada pada kubu pemerintah justru memberikan penghargaan pada Soeharto yang tak lepas dari ketiga masalah pada masa lalu.

Apa yang dilakukan oleh Partai Golkar bisa melukai hati rakyat. Padahal Golkar sebagai bagian penting pemerintahan Soeharto sebenarnya memperoleh “pemaafan”, apalagi di awal reformasi partai ini menyatakan diri dalam paradigma baru dan sama-sama menghendaki reformasi. Protes yang muncul justru karena kerisauan bahwa gaya pemerintahan lama akan kembali lagi. Reformasi yang berjalan lamban justru digerogoti dari dalam.

Dalam konteks demokrasi, apa yang sudah terjadi semestinya menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan tertinggi, yaitu rakyat. Bagaimanapun Golkar merupakan partai yang memperoleh dukungan terbesar dari rakyat pada Pemilu 2004. Apa yang diputuskan akan disorot secara tajam oleh konstituen partai ini. Jika pemberian penghargaan kepada HM Soeharto ditanggapi bahwa Golkar belum berubah dari paradigma lama, maka partai ini akan menuai hasil yang buruk pada pemilu yang akan datang.

OLEH karena itu, kebijakan dan kearifan justru diharapkan tumbuh dari rakyat Indonesia. Dua kali pemilihan umum selama era reformasi ini ternyata tidak memberikan pemerintahan yang diharapkan, bersih, demokratis dan bertanggung jawab. Bahkan, pemerintah yang dipilih secara langsung pun belum mampu membawa pemerintahan keluar sepenuhnya dari paradigma lama.

Ini pertanda bahwa reformasi membutuhkan dorongan yang kuat, dan sinergi semua komponen yang mencita-citakan Indonesia yang lebih baik, dan sikap tegas terhadap penyimpangan reformasi. Perlu kerja sama semua pihak, masyarakat maupun politisi, untuk membawa bangsa ini ke arah perbaikan.


Rakyat Merdeka, 26-November-2005,

Rame-rame Menghujat Golkar

Jakarta, Rakyat Merdeka. Keinginan Partai Gol­kar memberikan penghargaan kepada bekas Presiden Soeharto yang juga bekas Ketua Dewan Pembina partai berlambang pohon beringin ini menuai kecaman. Soeharto tidak pantas diberikan penghargaan.

Demikian diungkapkan Ketua Dewan Pembina YLBHI Adnan Buyung Nasution. Menurutnya, Soeharto punya banyak dosa besar.

“Dia-lah presiden RI yang merusak dan menghancurkan nilai demokrasi, prinsip-prinsip negara hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dengan dalih pembangunan ekonomi,” tandasnya.

Buyung mengungkapkan, selama masa pemerintahannya, banyak terjadi peristiwa penindasan terhadap HAM. “Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan anak bangsa yang hilang tak tentu rimbanya ataupun mati tidak jelas kuburannya sampai detik. Ini adalah aib bangsa yang mencoreng muka dan menimbulkan luka bathin yang tidak ada habis-habisnya,” kata pengacara senior ini.

Lebih lanjut, kata Buyung, Soeharto seharusnya sudah lama diajukan ke pengadilan atas perbuatannya yang telah melakukan penindasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Selama 30 tahun berkuasa, Soeharto telah membiarkan korupsi merajalela di segala tingkat dan lapisan, sehingga bangsa Indonesia kini harus menanggung malu sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Selain itu, Soeharto juga tidak pernah mempertanggungjawabkan perbuatan korupsi yang dilakukannya maupun kroni-kroninya.

“Sebab itu, penghargaan Golkar pada Soeharto harus dikutuk oleh semua anak bangsa,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua MPR AM Fatwa mengungkapkan, ditinjau, dicabut, atau tidaknya TAP MPR No 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang menyebut nama bekas Presiden Soeharto tidak berpengaruh. Sebab, UU tentang Pemberantasan KKN sudah di­imple­mentasikan.

“Kalau sudah ada UU, TAP MPR tak belaku lagi. Semuanya sudah diproses dengan undang-undang. Pengadilan Soe­harto sendiri secara hukum dianggap selesai. Tapi, secara politik, itu sulit dianggap selesai. Masalah itu akan menjadi wacana politik terus-menerus, sepanjang sejarah,” kata Fatwa di Ja­karta, kemarin.

Ray Rangkuti, koordinator Lingkar Madani Indonesia (Lima), forum aktivis mahasiswa 1998, mengatakan, Soe­harto tidak layak mendapat penghar­gaan dari Golkar. “Soeharto belum pernah diadili. Jadi, tidak layak diangkat sebagai tokoh yang berjasa,” kata Ray kemarin.

Bagi Ray, Soeharto adalah pimpinan dari rezim yang membangun kekuasaan otoriter. Apa yang dialami bangsa In­donesia saat ini adalah buah dari kepemimpinan Soeharto.

Mantan aktivis Pijar Indonesia itu menilai, Partai Golkar mulai memperlihatkan watak aslinya sebagai mantan penguasa Orde Baru. “Watak asli Golkar tidak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan rakyat. Juga tidak sungguh-sungguh berubah,” jelasnya.

Pendapat yang sama dikemukakan M Munir Haikal, Sekjen Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) Universitas Islam Indonesia periode 1998–2000. Menurutnya, dengan memberikan penghargaan kepada Soeharto, Partai Golkar telah mengkhianati gerakan mahasiswa. “Tidak hanya gerakan ’98, tapi gerakan mahasiswa seluruhnya. Gerakan menurunkan Soeharto dibangun bertahun-tahun dan memakan banyak korban,””kata Munir.

Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada periode 1997–1998 Ridaya Laode Ngkowe juga mengaku kecewa atas penghargaan Partai Golkar tersebut. “Tidak ada penghargaan yang pantas buat Soeharto,” tegasnya.

Sebelumnya, anak buah SBY di DPP Partai Demokrat, Boyke Novrizon mengaku sakit hati kalau seandainya Partai Golkar akan mengambil keputusan mengampuni kesalahan-kesalahan Soeharto. “Kalau Partai Golkar memberikan penghargaan kepada Soeharto karena jasa-jasanya kepada Golkar itu bisa dimaklumi. Tapi kalau Partai Golkar nantinya berusaha meninjau kembali kasus-kasus korupsi Soeharto, tentu saya sebagai aktivis ’98 dan pribadi aktivis Partai Demokrat tentu sakit hati. Saya rasa seluruh rakyat Indonesia pun akan sakit hati,” bebernya, Rakyat Mer­deka (25/11).


Tempo Interaktif, 26 November 2005

Golkar Siap Menanggung Buruknya Citra

TEMPO Interaktif, Jakarta:Partai Golkar, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Rully Chairul Azwar siap menghadapi konsekuensi atas citra masyarakat terhadap Partai Golkar setelah memberikan penghargaan kepada Suharto. “Bila memang ada konsekuensinya citra Golkar jatuh, ya, kami hadapi,”katanya.

Suharto memimpin Indonesia selama 32 tahun dengan cara otoriter, membungkam kebebasan pers, berekspresi bahkan beragama. Merampas kemerdekaan orang secara sewenang-wenang, membunuhi dan memenjarakan lawan politiknya. Belakangan, keluarga cendana mengeruk kekayaan Indonesia. Menjelang kejatuhannya pada tahun 1998, timbul krisis politik dan ekonomi yang masih dirasakan sampai sekarang.

Suharto sempat diadili dengan kasus korupsi atas Yayasan-yayasan yang dipimpinnya, namun Kejaksaan Agung dan Mahkamah agung menghentikannya dengan alasan kesehatannya terganggu secara permanen. Walaupun secara fisik, Suharto tampak masih sehat untuk bisa hadir di pengadilan.

Dalam rapat harian bulan lalu, masalah di atas sempat disuarakan, ada nada yang mempertanyakan dengan kondisi sosial politik saat ini. Namun, yang ingin memberikan penghargaan sebelum Suharto meninggal lebih banyak dari yang menolaknya.

Pemberian penghargaan itu, menurut Ketua DPP partai berlambangan pohon beringin Burhanuddin Napitupulu, tidak ada hubungannya dengan status hukum “Namun memang akan diusahakan oleh Golkar untuk mendapat kejelasan dari pemerintah. Soal status tersangka Suharto juga pernah dialami Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tanjung. Ketika kasus Akbar selesai, malah suara Golkar naik,”katanya.

Soal status hukum itulah yang diminta keluarga Cendana untuk bisa menerima penghargaan tersebut. “Supaya jelas bagaimana status hukumnya,”kata Sekretaris Harian Bidang Hukum dan HAM Partai Golkar, Nudirman Munir. Menurut pengacara keluarga Cendana ini, hingga saat ini proses hukum Soeharto digantungkan sehingga tidak jelas lagi tentang status hukumnya. Jika kasusnya sudah tidak bermasalah lagi sebaiknya dihentikan proses hukumnya. “Keluarga kemarin sempat menyampaikan keberatan menerima penghargaan karena masalah hukum,”kata bekas pengacara Tommy, anak Soeharto.


http://www.gatra.com/artikel.php?id=90152

Dugaan KKN Agung: Wajar Pak Harto Minta Pencabutan Tap XI/1998

Jakarta, 25 November 2005 22:10

Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laskono menilai wajar apabila keluarga mantan Presiden HM Soeharto meminta dicabutnya TAP MPR XI tahun 1998 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang mengamanatkan pengusutan secara tuntus kasus KKN yang melibatkan HM Soeharto dan kroninya.

“Secara resmi memang belum ada permintaan itu (pencabutan TAP).Tetapi kalau beliau meminta itu sesuatu yang wajar,” kata Agung Laksono seusai menutup Rapimnas I Partai Golkar di Jakarta, Jumat malam, menanggapi permintaan yang disampaikan keluarga mantan Presiden HM Soeharto.

Menurut Agung, hal tersebut memang tidak dibahas dalam Rapimnas ini dan juga tidak ada agenda mengenai hal tersebut.

Sementara menurut Ketua DPP Golkar Firman Soebagyo, pada dasarnya semangat Partai Golkar salah satunya adalah menegakkan supremasi hukum. Oleh karena itu, tambahnya tentunya seluruh warga negara Indonesia memiliki kesamaan dan status hukum yang jelas tak terkecuali HM Soeharto.

“Golkar tentunya akan melihat kalau memang ada permintaan dari keluarga Pak Harto, kita lihat dari sisi sebagai warga negara yang memiliki hak-hak hukum. Dan sampai hari ini status hukum Pak Harto itu kan masih terkesan diambangkan atau masih digantung,” tegas Firman.

Oleh karena itu, tambah Firman, Golkar akan menggunakan momentum seperti ini dengan membicarakannya melalui mekanisme partai, tentang perlu tidaknya untuk memperjuangkan hal tersebut. Disisi lain, katanya, Partai Golkar juga memiliki lembaga bantuan hukum yang akan siap untuk membantu siapa pun yang meminta bantuan hukum.

Sampai saat ini diakuinya memang belum ada permintaa secara resmi dari kelurga HM Soeharto tersebut. Namun apabila ada maka permintaa mengenai hal itu, partai Golkar akan membahasnya melalui mekanisme.

“Paling tidak pembahasan dalam rapat pimpinan harian dan kita juga akan menggunakan koridor hukum. Jika berbicara masalah hukum kita harus berbicara koridor hukum dan tentunya tidak ada perbedaan terhadap siapa pun, kita semua warga negara sama haknya didepan hukum,” kata Firman. [EL, Ant]