13 Maret 2004 — 8 menit baca

Negara harus minta ma'af kepada para korban 65

Menurut Harian Sinar Harapan tanggal 10 Maret 2004, Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara telah mengucapkan pernyataan yang antara lain menyebutkan bahwa : »Perlu diteliti siapa aktor dan berapa jumlah korban pembantaian 1965. Negara telah membiarkan korban selama puluhan tahun tanpa proses pengadilan, maka negara harus minta maaf dan memberikan keadilan pada korban. Tap MPRS No 25/1966 muncul dilatarbelakangi situasi perang dingin dan didasari konsensus politik yang didominasi oleh kekuasaan Orde Baru untuk melegitimasikan pemerintahan Soeharto. Selama puluhan tahun ada jutaan orang yang menjadi korban konsensus politik tersebut,” Ucapannya ini dikeluarkan dalam forum ”Membedah Keputusan Mahkamah Konstitusi”, di Hotel Arya Duta, Jakarta, Selasa (9/3).

Pernyataannya itu mempunyai arti yang besar dan juga mengandung pesan yang penting untuk kita semua, karena diucapkan oleh Ketua Komnas Ham dalam suatu forum yang membicarakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, ia mengangkat masalah besar yang selama ini masih tetap menjadi persoalan yang belum selesai, yaitu siapa menjadi aktor (atau siapa yang bertanggungjawab atas) pembantaian besar-besaran tahun 1965 dan berapa besar jumlah korban pembantaian.

Peristiwa besar yang menyedihkan ini sudah terjadi hampir 40 tahun yang lalu, tetapi toh masih banyak sisi-sisi yang tetap gelap (atau sengaja digelapkan!) sehingga banyak orang masih tetap mempunyai pandangan yang tidak jernih mengenai soal yang telah membikin bangsa menjadi “sakit” berkepanjangan ini. Rezim militer Orde Baru (beserta para pendukungnya) telah dengan segala cara berusaha menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya, atau memanipulasinya, dengan menyebarkan bermacam-macam kebohongan. Di antara berbagai kebohongan atau rekayasa busuk ini yang paling menonjol selama berpuluh-puluh tahun adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah sekitar G30S, PKI, Bung Karno dan jati-diri Orde Baru sendiri.

Kesalahan Besar Dan Dosa Berat Orde Baru

Meskipun jutaan manusia telah dibantai secara biadab dalam tahun 65, rezim militer Orde Baru selalu berusaha menutup-nutupinya dan menjadikannya “taboo” untuk dibicarakan di kalangan masyarakat. Dalam jangka waktu yang lama sekali, berbagai kalangan di luarnegeri telah mengetahui lebih banyak dan lebih baik tentang pembantaian massal ini, dari pada sebagian terbesar rakyat Indonesia. Rupanya, sebenarnya, sebagian pemimpin-pemimpin Orde Baru menyadari bahwa pembantaian besar-besaran tahun 65 dan penahanan banyak tapol dalam jangka waktu yang begitu lama tanpa proses pengadilan adalah kesalahan besar, atau dosa berat, atau titik lemah Orde Baru. Oleh karena itu, rezim militer Orde Baru selalu berusaha mencegah diungkapkannya masalah-masalah ini secara terbuka oleh masyarakat.

Selama puluhan tahun masalah pembantaian besar-besaran ini hanya dibicarakan secara tertutup atau terbatas di antara para keluarga para korban, atau di antara teman-teman terdekat dan terpercaya. Pemerintah, atau DPR, atau lembaga-lembaga resmi lainnya, selama puluhan tahun telah “tutup mulut” tentang masalah pembunuhan besar-besaran tahun 65 dan penahanan para tapol ini. Itu sebabnya, sampai sekarang (!!!) tidak dapat disebutkan dengan angka-angka yang pasti (dan benar!) berapa sebenarnya korban pembunuhan massal tahun 65 itu. Sudomo dari Kopkamtib pernah menyebutkan angka 1 juta, Sarwo Edhi dari RPKAD meyebutkan 3 juta. Pengakuan tokoh-tokoh rezim Orde Baru tentang adanya korban yang begitu banyak itu telah terpaksa dikeluarkan setelah berbagai pers, pakar dan organisasi humaniter luarnegeri mulai banyak mengangkat masalah-masalah ini.

Pembunuhan jutaan orang dalam tahun 65 dan penahanan tapol adalah landasan utama bagi penghancuran kekuasaan politik Bung Karno beserta pendukungnya yang paling besar, yaitu PKI dan golongan kiri lainnya. Seperti dibuktikan oleh perkembangan politik selanjutnya, dengan dibunuhnya begitu banyak kader PKI dan golongan kiri lainnya oleh Suharto dkk, Bung Karno telah kehilangan tulang punggungnya yang paling gigih, dalam perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Dan, dengan disingkirkannya Bung Karno dari tampuk pimpinan negara oleh Suharto dkk, revolusi rakyat Indonesia telah kehilangan pemimpin besarnya. Kesalahan besar atau dosa berat Suharto dkk bukanlah hanya karena pembunuhan besar-besaran dan penahanan tapol secara sewenang-wenang dalam jangka waktu yang lama, dan penggulingan Bung Karno dari kedudukannya sebagai presiden, melainkan juga karena Orde Baru telah merusak berbagai sendi Republik Indonesia yang penting-penting.

Pimpinan TNI-AD Dan Golkar Bertanggungjawab

Sulitlah kiranya dibantah bahwa berbagai kekalutan besar dan kerusakan atau pembusukan yang melanda seluruh tanah-air selama ini adalah produk politik dan akibat “kebudayaan” rezim militer Orde Baru. Dan, mengenai kerusakan atau pembusukan di berbagai bidang ( antara lain : eksekutif, legislatif dan judikatif dan bidang-bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan) peran dan tanggungjawab pimpinan militer (terutama pimpinan TNI-AD), dan partai Golkar, adalah besar sekali. Sebab, selama 32 tahun lebih justru pimpinan militer (baca; terutama kalangan TNI-AD) dan Golkar-lah yang mengangkangi negara secara mutlak, sehingga Republik Indonesia seolah-olah hanya menjadi milik kepunyaan mereka saja.

Seperti yang kita saksikan selama ini, karena sistem kekuasaan yang berciri-ciri militer-fasis ini dijalankan secara ketat dalam jangka waktu yang lama sekali (32 tahun), maka kejahatan negara dan kesalahan pemerintahan juga banyak sekali terjadi di berbagai bidang. Hukum telah dilecehkan begitu saja oleh kalangan “atas”, Hak Azasi Manusia diinjak-injak, kebebasan demokratis dikerdilkan, penyalahgunaan kekuasaan merajalela, KKN berkembang biak, Pancasila dijadikan omongkosong saja, peradilan diperdagangkan, moral dan iman banyak orang dirusak. Sesudah Suharto dipaksa turun dari kursi kekuasaannya dalam tahun 1998, dan digantikan berturut-turut oleh Habibi, Abdurrahman Wahid, dan Megawati sebagai presiden, banyak politik Orde Baru yang salah masih juga diteruskan, sampai sekarang.

Di antara banyak kesalahan besar dan dosa berat Suharto dkk (sekali lagi, baca : pimpinan TNI-AD dan Golkar) adalah terutama yang berkaitan dengan kasus korban 65. Kesalahan besar dan dosa berat ini bukan hanya karena pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah dan penahanan ratusan ribu tapol tanpa pengadilan, tetapi juga karena telah membikin puluhan juta keluarga dan sanak-saudara mereka menderita selama puluhan tahun. Kalau direnungkan dalam-dalam, kejahatan rezim militer Suharto dkk ini adalah demikian besarnya, dan demikian luas bidangnya, sehingga menimbulkan banyak effek negatif dalam kehidupan masyarakat.

Negara Yang Tidak Beradab!

Sekarang, makin nyatalah bagi banyak orang bahwa para korban 65 itu selama ini telah diperlakukan secara tidak adil, dan dijerumuskan dalam berbagai macam penderitaan selama puluhan tahun, atau dianggap bukan warganegara RI yang penuh, bahkan hanya dianggap sebagai manusia kelas kambing.

Kalau diingat banyaknya jumlah para korban, ditambah betapa pedihnya penderitaan, apalagi ditambah dengan panjangnya waktu penyiksaan, maka jelaslah bahwa negeri kita Indonesia termasuk salah satu di antara negara-negara yang “tidak beradab”. Sedihnya lagi, ketidakadilan yang mendatangkan berbagai penderitaan bagi para korban 65 yang begitu banyak jumlahnya itu masih juga terus berlangsung, sampai sekarang!

Perlu dicatat dengan huruf tebal, dan ditambah dengan garis-bawah pula, bahwa para korban 65 itu sedikit pun tidak punya kesalahan apa-apa. Mereka kebanyakan adalah anggota atau simpatisan PKI atau ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI, yang waktu itu adalah sesuatu yang legal atau sah menurut hukum. Bahkan, sebagian terbesar dari mereka ini juga menjadi pendukung setia Bung Karno, dan dengan gigih melaksanakan ajaran-ajaran beliau, seperti (antara lain) ; Manipol, Dekon, Resopim, Trisakti, Berdikari, Di antara mereka terdapat juga perintis kemerdekaan, dan banyak veteran pejuang Angkatan 45.

Mereka yang menjadi pendukung utama politik Pemimpin Besar Revolusi (Bung Karno) ini, telah menjadi korban ketidakadilan dan bebagai penganiayaan yang dilakukan oleh Suharto dkk selama puluhan tahun. Sekarang makin jelas bagi banyak orang, baik di Indonesia maupun di luarnegeri, bahwa tindakan rezim militer Orde Baru terhadap para korban 65 adalah nyata-nyata pelanggaran HAM secara besar-besaran dan mencerminkan politik yang tidak berperikemanusiaan sama sekali. Oleh karena itu, para tokoh rezim militer Orde Baru harus bertanggungjawab terhadap kejahatan yang berupa pelanggaran HAM ini.

Tidak Cukup Hanya Minta Ma’af !

Mengingat kepada besarnya skala kesalahan atau dosa terhadap para korban 65, maka sudah sepantasnya bahwa Negara minta ma’af kepada mereka. Tetapi, mengingat juga dalamnya dan pedihnya penderitaan yang berkepanjangan para korban 65, maka Negara tidak cukup hanya minta ma’af kepada mereka. Negara juga harus merehabilitasi para korban 65. Rehabilitasi adalah bentuk yang lebih kongkrit dari permintaan ma’af. Minta ma’af saja tanpa disertai rehabilitasi nama baik dan hak-hak penuh sebagai warganegara RI lainnya bisa hanya omongkosong saja.

Di samping itu, permintaan ma’af dari Negara, yang dibarengi dengan rehabilitasi harus diikuti juga oleh dihapuskannya segala undang-undang, peraturan atau ketentuan yang telah dikeluarkan oleh rezim militer Orde Baru mengenai para korban 65 (dan keluarga mereka). Permintaan ma’af Negara dan rehabilitasi para korban 65 adalah bukti yang kongkrit bahwa bangsa kita sudah berhasil mengkoreksi kesalahan besar yang telah dibikin oleh Orde Baru. Karena bangsa kita sedang menghadapi pemilu dan pemilihan presiden, maka urusan permintaan ma’af Negara dan rehabilitasi ini mungkin terpaksa diserahkan kepada pimpinan Negara dan pemerintahan baru hasil pemilu. Tetapi, untuk itu perlu adanya gerakan besar-besaran dari kita semua, supaya tuntutan itu bisa menjadi kenyataan nantinya. Permintaan ma’af dari Negara dan rehabilitasi harus diperjuangkan, karena tidak bisa diharapkan bahwa akan bisa datang begitu saja berkat “kebaikan” hati sejumlah orang.

Nalar Sehat Tidak Bisa Terima Ketidakadilan Ini

Apapun hasil pemilu ( baik untuk legislatif maupun untuk presiden), namun urusan rehabilitasi para korban 65 harus tetap menjadi agenda bangsa dan negara. (Dalam kaitan ini juga termasuk kasus rehabilitasi Bung Karno). Permintaan ma’af dan rehabilitasi para korban 65 adalah kewajiban mutlak Negara, yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai koreksi terhadap kesalahan besar Orde Baru ini. Selama Negara belum minta ma’af dan selama para korban 65 belum direhabilitasi, maka bangsa kita akan masih terus mengidap penyakit, dan perasaan dendam sulit dihilangkan. Permintaan ma’af dan rehabilitasi adalah tindakan yang adil, yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan bangsa kita secara keseluruhan, baik untuk generasi yang sekarang maupun generasi yang akan datang.

Kalau direnungkan dalam-dalam, permintaan ma’af dan rehabilitasi para korban 65 tidak akan merugikan fihak manapun juga, termasuk para pendiri dan pendukung Orde Baru. Makin nyatalah bahwa mempertahankan terus berlangsungnya ketidakadilan terhadap para korban 65 (yang sudah berlangsung hampir 40 tahun), adalah suatu hal yang tidak bisa sama sekali diterima oleh nalar yang sehat atau hati nurani yang bersih. Bangsa kita harus menghentikan penyiksaan batin yang terus-menerus dilakukan terhadap puluhan juta orang ini. Perlakuan yang tidak berperikemanusiaan terhadap para korban 65 itu adalah aib besar bangsa. Hanya orang-orang yang tidak waras nalar dan berbudi rendah sajalah yang menyetujuinya atau menganggapnya baik.