28 Desember 2002 — 10 menit baca

Nasib anak-anak para korban Orde Baru

Sejak beberapa hari ini dapat kita baca lewat berbagai mailing list (Internet) satu tulisan oleh Harsutedjo, yang berjudul “Nasib anak-anak korban G30S”. Tulisan ini berupa tinjauan buku Sri Martani Rustiadi « Memungut Puing yang Berkeping-Keping » yang diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta, 2002. Pada permulaan tulisan ini tertera catatan singkat Arief Budiman yang berbunyi : “Katanya orang Indonesia itu ramah dan welas hati. Tapi, bisa juga menjadi sangat kejam, ya »

Ketika membaca tulisan tersebut orang bisa mempunyai pendapat atau perasaan yang macam-macam. Tentu, ada yang menanggapinya dengan perasaan haru. Barangkali, ada juga yang merasakannya sebagai bahan renungan. Ketika kita semua setiap hari sedang disuguhi berita-berita tentang buntut peristiwa bom Bali dan digulungnya jaring-jaringan Jemaah Islamiyah, atau masalah korupsi dan kebobrokan akhlak di kalangan elite kita, maka tulisan serupa itu mengingatkan kita semua bahwa rehabilitasi para korban Orde Baru tetap merupakan salah satu soal yang perlu diselesaikan oleh bangsa kita.

Tulisan Harsutedjo yang mengulas buku Sri Martani Rustiadi mengingatkan kita semua bahwa satu bagian yang cukup besar di kalangan penduduk negeri kita masih terus mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari kalangan pemerintahan, atau pun dari kalangan masyarakat. Mereka ini terdiri dari anak-anak para korban pembunuhan besar-besaran tahun 65, atau para eks-tapol yang jumlahnya ratusan ribu itu. Di antara anak-anak para korban Orde Baru itu, yang terdapat di seluruh penjuru tanah-air kita, banyak yang sampai sekarang masih hidup sebagai warganegara RI dalam keadaan “yang tidak normal”.

Di antara kita tentu ada yang mengenal seorang atau sejumlah orang di antara anak-anak para korban pembunuhan tahun 1965 dan para eks-tapol. Dan, setelah mengenal dan dapat menelaah kasus-kasus mereka, maka bisa timbul pertanyaan yang macam-macam dalam fikiran kita, umpamanya : “Mereka ini salah apa, sampai harus menderita serupa itu? Mereka ini tidak berdosa apa-apa, tetapi mengapa pemerintah – opini masyarakat – memperlakukan ketidak-adilan yang sudah berlangsung begitu lama?”

Tulisan Harsutedjo dan buku Sri Martani Rustiadi mengungkap hanya sekelumit kecil saja dari persoalan besar yang sudah - dan sedang terus - dihadapi oleh para korban Orde Baru. Namun dari yang sekelumit ini saja sudah nampak betapa pentingnya dan betapa besarnya persoalan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, alangkah besarnya sumbangan bagi pencerdasan bangsa kita, kalau ada makin banyak tulisan-tulisan yang bisa mengangkat masalah ini. Dengan makin banyaknya bahan-bahan yang bisa kita miliki bersama tentang persoalan yang berkaitan dengan korban rezim Orde Baru, maka kita akan mempunyai pandangan yang lebih jelas dalam melihat persoalan ini. Dan, dengan fikiran yang lebih jernih, kita semua bisa lebih meyakini betapa pentingnya bagi bangsa kita untuk menangani persoalan ini dengan sikap yang serius.

Nasib anak-anak korban Orde Baru - yang jumlahnya tidak sedikit -, hanyalah sebagian saja dari persoalan yang telah menimpa para korban Orde Baru. Seperti yang sudah kita ketahui, di antara anak-anak para korban itu sebagian (kecil) ada yang sekarang sudah menjadi « orang », atau dapat hidup secara baik, atau mendapat kedudukan dalam masyarakat. Perjalanan hidup mereka macam-macam. Ada sebagian kecil yang beruntung dapat melalui masa kecil dan masa dewasa mereka tanpa penderitaan yang terlalu berat (karena dibantu oleh keluarga atau saudara, atau berkat belas kasihan orang lain). Namun, sebagian terbesar di antara anak-anak itu terpaksa hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan.

Padahal, seperti halnya sebagian terbesar orang tua mereka, anak-anak ini tidak bersalah apa-apa, tidak berdosa sedikit pun juga. Namun, mereka harus ikut « memikul hukuman », yang berupa beraneka-ragam penderitaan batin dan bahkan siksaan secara fisik, dan dalam jangka lama sekali. Kebanyakan di antara mereka itu, selama ini tidak berani terang-terangan « buka suara » di depan umum tentang penderitaan dan siksaan batin yang mereka alami selama itu. Tidak sedikit yang menyembunyikan jati-diri mereka yang sebenarnya, dengan memalsu nama atau asal-usul keluarga. Ada pula yang sekarang ini, sudah tidak mau mempersoalkan lagi masa lalu yang penuh dengan kepedihan itu, karena berbagai pertimbangan (pekerjaan, keluarga, dan keselamatan).

Tulisan yang diulas oleh Harsutedjo di bawah ini, adalah hanya salah satu dari puluhan ribu (bahkan ratusan ribu) cerita serupa lainnya yang tidak terceritakan lagi, atau belum diceritakan. Masih banyak lagi cerita yang selama ini belum pernah disiarkan dan diketahui oleh umum. Namun, yang sekelumit ini saja sudah bisa menggugah hati nurani kita semua. Marilah sama-sama kita hayati pesan kemanusiaan, moral dan peradaban, yang terkandung di dalam tulisan yang di bawah ini :

Disiarkan lewat milis CARI, 27 Desember 2002

Katanya orang Indonesia itu ramah dan welas hati. Tapi, bisa juga menjadi sangat kejam, ya.

Arief Budiman

Nasib Anak-Anak Korban G30S

Bagian dari Generasi yang Sakit?

(Tinjauan Buku)

Oleh: Harsutejo

M Sri Martani Rustiadi, Memungut Puing yang Berkeping-Keping, Grasindo, Jakarta, 2002, 93 dan ix halaman, harga Rp12.800.

Setahu penulis buku tipis ini merupakan terbitan pertama yang memberikan gambaran selintas tentang nasib anak-anak korban G30S 1965. Selama ini buku tentang G30S selalu bicara tentang orang dewasa yang dibunuh, dibantai (memang ada juga di antaranya anak-anak), ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun tanpa proses hukum, dibuang, dicerca, dipecat, diusir, diadili, dihukum mati dst. Harta benda mereka dijarah, dirampas penguasa, dibakar, dihancurleburkan. Buku tipis ini bicara tentang sekelumit nasib anak-anak di balik itu yang tidak bisa bicara sendiri menceritakan derita mereka. Keadaan, kondisi sosial ekonomi, dan nasib mereka terjungkir balik dalam hitungan bulan, minggu, hari, bahkan jam.

Orang tua mereka digelandang tanpa diketahui kemana mereka dibawa pergi, famili tak ada yang berani mendekat, apalagi menolong, rumah disita, mereka kehilangan segalanya. Hak untuk mendapat pendidikan, perlindungan, semuanya hilang, tidak ada yang peduli, semua orang memilih untuk menghindar dan menyingkir dengan ketakutan (h. vi-viii). Tidak ada suara dari pemerintah dan masyarakat mengenai nasib anak-anak tapol ini yang tak tahu-menahu tentang urusan orang tua mereka maupun urusan politik. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa ini disingkirkan dan dipasung hari depannya (h. 1-2). Dalam banyak kasus di mana tetangga, teman baik dan sanak keluarga menjauh itu karena hebatnya teror mental yang dilakukan rezim Orde Baru. Penulis buku bergabung dan membantu perawatan rohani di lingkungan Pusat Rohani (Pusroh) ABRI bagian Pusroh Katolik yang berlangsung pada 1973-1980. Secara tertatih-tatih, setetes demi setetes dilakukan perawatan fisik dan rohani anak-anak yang sempat menggelandang sekian lama (bulan atau tahun) dan menjadi rusak fisik maupun rohaninya (h. 2).

Anak-anak yang telah sempat menggelandang, disingkirkan masyarakat, dalam kondisi yang sangat kekurangan, mereka semua merupakan anak-anak bermasalah dengan tingkah laku berbagai macam (h. 6-7). Anak-anak ini pernah mengalami guncangan jiwa hebat tiba-tiba tanpa mereka pahami bagai tersapu banjir bandang air lumpur bebatuan tanah longsor hutan gundul yang menimpa kolam air hangat Pacet, Mojokerto baru-baru ini. Mereka berasal dari bemacam suku dan agama. Banyak di antara mereka tidak memiliki akta kelahiran karena rumahnya telah dijarah dan dibakar. Mereka yang telah berumur belasan dan sedikit mempunyai pengertian sangat menyembunyikan identitas mereka ketika menghadapi “orang luar” yang tidak dikenalnya sebagai pertahanan diri. Mereka sangat khawatir kalau-kalau orang tahu siapa mereka sebenarnya. Mereka merasa sendirian, selalu dalam keadaan ketakutan, trauma, tidak memiliki siapa pun untuk berlindung dan merawat dirinya (h. 17).

Beberapa Kasus

Perjalanan pengabdian ini harus melalui perjuangan berat menghadapi anak-anak bermasalah berat pula ditambah dengan berbagai macam kekurangan termasuk kekurangan dana bahkan untuk makan pun serta pengobatan. Tanpa putus asa mereka menemukan pemecahannya. Pertama-tama yang dilakukan adalah menyembuhkan berbagai macam penyakit fisik yang diderita sebagian besar anak ketika tiba di penampungan. Seiring dengan penyembuhan penyakit fisik maka dilakukan perawatan rohani. Pada umumnya mereka memendam kekecewaan dan kemarahan yang tidak pernah tersalurkan dengan wajar, mereka sendiri tidak paham. Agaknya belum pernah ada orang yang menanyakan sebelumnya, menyentuh hatinya untuk mendinginkan. Mereka umumnya menekan perasaannya dalam-dalam, menyembunyikan dan menyimpannya sendiri serta menutupinya, untuk meledak pada suatu saat (h. 17-18).

Seorang anak bernama Andi misalnya, ketika ditampung berumur 9 tahun. Ia dalam keadaan fisik kurus kering dekil, kulit bersisik, kurang gizi, hiperaktif, tangan selalu bergerak tanpa henti. Ia pun mulai terkena amnesia, untuk mengingat namanya sendiri pun sering begitu sulitnya. Ayahnya mati ditembak, ibunya ditahan (h. 18-20). Sementara itu Ragil berumur 3 tahun ketika diserahkan ke panti. Bapaknya ditahan, ketika ibunya juga ditahan ia berumur 2 tahun dan tak mau lepas dari gendongan sang ibu yang dibawa polisi sampai setahun dalam tahanan. Tentu saja peristiwa itu terekam dalam benak dan bawah sadarnya yang tak gampang diurai. Ketiga anaknya yang lain diserahkan kepada polisi. Ketika di asrama ia akan lari menjerit-jerit jika pastur datang dalam seragam tentara. Ia pun menolak mengenakan baju baru karena takut dipindahkan dan dikirimkan pada orang lain (h. 34-36). Danang, kakak sulung Ragil berumur 14 tahun. Ketika keluarganya berantakan ia berumur 7 tahun, selama 7 tahun berikutnya ia ikut polisi, tukang sate, penggembala kerbau, terus-menerus berpindah meliputi 13 keluarga. Ia biasa tidur di pos hansip. Ia terlantar seperti gelandangan, tidak punya tata krama, kasar, mudah marah dan berkelahi (h. 42-43). Itulah hasil yang dipelajarinya dalam keadaan tidak aman yang terus menerus melandanya selama 7 tahun terlempar dari satu keluarga ke keluarga lain yang hanya bisa kita bayangkan seperti apa sosoknya.

Pieter, Desi dan Deti berasal dari keluarga intelektual yang berkecukupan, tiga bersaudara itu hidup dalam serba kemudahan. Ayah mereka ditangkap dan meringkuk di penjara bertahun-tahun. Meski masih ada ibunya hidup mereka menjadi berantakan, kehidupan materiil dan intelektual mereka merosot tajam (h. 76-77). Mereka serba kekurangan, tertekan, rasa rendah diri dalam masyarakat yang biasa melecehkannya. Ketika ayahnya dibebaskan dan pulang setelah belasan tahun dipenjara tanpa pernah bertemu, mereka bertiga sangat terkejut menemui seseorang yang nampak sangat tua, ceking, lemah, lesu tanpa semangat, sangat berbeda dengan sosok dalam foto yang gagah yang biasa mereka lihat dan mereka bayangkan. Dalam perkembangan waktu semua orang di rumah menjadi kian kecewa. Pada suatu hari Deti menemukan ayahnya sedang tidur berhubungan intim dengan pembantu mereka. Ini merupakan pukulan lain yang cukup dahsyat. Sejak itu mereka bertiga kian menyembunyikan diri dari pergaulan masyarakat.

Satu kasus ekstrim dialami Riana, ketika berhubungan dengan pembimbing berumur 20 tahun, sulung dari 5 bersaudara. Beberapa saat setelah meletusnya G30S ketika ia masih di SD, ayahnya digiring beramai-ramai ke kebun di belakang rumahnya. Di sana ia dipenggal kepalanya dengan disaksikan oleh ibu dan lima bersaudara itu (h. 63). Tidak aneh jika Riana ketika itu dalam keadaan sangat kurus, murung, mengalami setres berat. Bagaimanapun pukulan berat itu akan terus membekas dalam jiwa seumur hidupnya.

Demikianlah pembimbing dalam asrama yang amat sederhana dengan segala kekurangannya telah mengabdikan dirinya secara tulus dengan pendekatan cinta kasih tanpa pamrih terhadap sesamanya. Landasan lain adalah rasa empati, usaha untuk mencoba mengerti keadaan dan persoalan mereka masing-masing yang berbeda dari individu yang satu dan yang lain sekalipun sebab utamanya sama yakni dampak dari peristiwa politik tragedi G30S. Hari-hari yang berat pertama kali harus mereka hadapi misalnya adanya lemparan kotoran manusia atau lemparan batu ke asrama mereka dari orang yang tidak menyukai anak-anak korban G30S itu ditampung dan dididik. Ini juga merupakan hasil dari stigma dan teror mental yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Perjuangan keras sang pembimbing sedikit banyak telah memberikan buahnya berupa anak-anak yang sedikit banyak bangkit dari keterpurukan total yang dialaminya. Kata kunci disitu adalah cinta kasih, empati dan usaha keras untuk memahami.

Bagaimanapun juga peristiwa tragis itu telah memberikan luka batin, luka rohani yang tidak mudah disembuhkan. Ini bagi anak-anak yang mendapatkan layanan dari pihak yang bersimpati dan ikut prihatin. Bagaimana dengan berjuta-juta anak yang lain yang tidak tersentuh layanan demikian sama sekali? Apa yang telah, sedang, dan akan terjadi dengan mereka? Apalagi jika mereka terus-menerus dikucilkan dan didiskriminasikan dengan satu dan lain cara seperti masih adanya apa yang disebut “bersih lingkungan”. Mereka kini telah menjadi orang-orang dewasa, mempunyai keluarga, anak, isteri, suami, menjadi bagian dari generasi yang ada di tengah kita. Mereka tetap membawa luka rohani yang mungkin sekali tidak mereka pahami, juga mungkin sekali orang lain tidak paham. Mereka memendam masalah psiko-sosial dan spiritual yang berat. Siapa peduli dengan mereka? Adakah mereka ini menjadi bagian dari generasi kita yang sakit? Warisan rohani macam apa yang akan mereka berikan kepada generasi berikutnya? Pertanyaan mendasar yang memerlukan pemikiran, jawaban, dan langkah kita bersama dalam arus permasalahan besar yang tak henti-hentinya melanda negeri ini.