03 Februari 2001 — 13 menit baca

Musuh rakyat bukanlah Gus Dur, melainkan sisa-sisa Orde Baru

Dengan diterimanya laporan Pansus Buloggate dan Bruneigate oleh sidang pleno DPR, maka makin nyatalah bahwa bahaya sedang mengancam rakyat Indonesia. Ketika kita semua sedang terus dibanjiri berbagai berita, kupasan, atau analisa tentang kritik-kritik terhadap kesalahan dan kelemahan Gus Dur, maka ada satu hal yang perlu jelas di fikiran kita semua, yaitu bahwa bahaya bukan hanya mengancam Gus Dur saja, melainkan juga mengancam rakyat kita. Untuk lebih jelasnya, marilah sama-sama kita renungkan dan kita telaah dalam-dalam hal-hal sebagai berikut :

Setelah mengalami masa-masa gelap Orde Baru selama kurun waktu yang panjang (lebih dari 30 tahun), maka di bawah kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid rakyat Indonesia bisa menaruh harapan untuk bisa hidup dalam sistem politik yang baru. Yaitu, sistem politik yang lebih demokratis, lebih menghargai Hak Asasi Manusia, lebih bersih dari KKN, lebih mementingkan kepentingan rakyat yang luas, lebih toleran terhadap perbedaan suku, ras, agama dan adat, lebih memperkuat persatuan bangsa dan kesatuan negara, lebih merakyat. Dan lebih beradab!

Dengan segala kekurangannya atau kesalahannya - yang selama ini sudah sama-sama kita dengar atau kita baca - kita lihat pada sosok Gus Dur seseorang yang bisa diharapkan untuk melaksanakan reformasi. Artinya, me-reformasi begitu banyak aspek buruk dan destruktif yang sudah diwariskan oleh Orde Baru. Sebab, pada dirinya tercermin sikap seorang pemimpin bangsa yang demokratis, humanis, terbuka, toleran terhadap perbedaan agama atau ideologi. Satu hal yang amat penting pada sosok Gus Dur adalah bahwa ia telah membuktikan selama ini sebagai pemimpin Islam yang pandangan-pandangannya memberikan kesejukan di hati banyak golongan dan kalangan, baik secara nasional mau pun internasional. Dan sifat-sifat inilah yang, pada dewasa ini, sulit didapatkan pada “pemimpin-pemimpin” lainnya. (Mohon jawab sendiri, apakah seorang seperti Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Fuad Bawazir, Yusril Mahendra, dll dsb itu mempunyai sifat-sifat yang seperti itu!)

Sekarang ini, dengan adanya memorandum “DPR” (harap diingat bahwa sekitar 60 sampai 70 % komposisi DPR hasil pemilu yang lalu masih didominasi oleh orang-orang yang masih berfikiran dengan pola Orde Baru) tentang Bulogggate dan Bruneigate, kedudukan Gus Dur sebagai presiden sedang menghadapi ancaman. Bahkan Ketua MPR, Amien Rais, sudah terang-terangan menyatakan akan merencanakan diselenggarakannya secepat mungkin SI MPR, dengan tujuan untuk mencopot (melengserkan) Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden.

Bencana Besar Sedang Mengancam

Akhir-akhir ini, masalah apakah Gus Dur akan tetap menjadi presiden, ataukah tidak, bukan saja telah menjadi persoalan yang ramai dibicarakan oleh banyak orang di Indonesia, melainkan juga menjadi perhatian pers luarnegeri. Pers Asia, juga Amerika, Australia dan Eropa sering muat berita atau artikel tentang perkembangan situasi di negeri kita. Ini adalah wajar. Sebab, sesudah jatuhnya rezim militer Suharto dkk, yang dikenal oleh opini dunia sebagai diktatur militer yang penuh dosa-dosa dan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka muncul harapan bahwa rakyat Indonesia bisa mulai menikmati kehidupan yang demokratis di bawah pemerintahan yang bersih. Bisalah kiranya dikatakan bahwa pada umumnya, opini internasional menaruh harapannya kepada kepemimpinan Gus Dur.

Sekarang ini, seperti yang juga dicemaskan oleh banyak orang di Indonesia, harapan ini makin menipis dengan adanya tanda-tanda bahwa Gus Dur akan digulingkan oleh kombinasi atau aliansi berbagai kekuatan anti-Gus Dur yang bersekutu dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Dari perkembangan situasi politik negeri kita sejak Gus Dur menjabat sebagai presiden sampai diputuskannya “memorandum” oleh DPR tanggal 1 Februari yl, maka makin jelaslah bahwa berbagai politik mendasar Gus Dur adalah bertentangan secara fundamental dengan kepentingan aliansi anti-Gus Dur itu. Partai-partai yang tergabung dalam poros-tengah, yang tadinya berusaha dengan segala cara untuk menjadikan Gus Dur sebagai presiden, sekarang menjadi musuhnya. Pada awalnya, Gus Dur telah mereka jadikan presiden untuk mencegah naiknya Megawati. Tetapi, karena Gus Dur ternyata mengambil langkah-langkah politik yang tidak menguntungkan mereka, maka sekarang mereka berusaha sekuat-kuatnya (dan dengan berbagai cara) untuk menggusurnya dan melikwidasi perannya dari dunia politik negeri kita.

Kalau (sekali lagi: kalau!) rencana aliansi kekuatan anti-Gus Dur yang bersekutu dengan dengan sisa-sisa Orde Baru ini terlaksana, maka ini merupakan bencana baru bagi bangsa dan negara kita. Di antara berbagai persoalan yang bisa sama-sama kita coba menelaahnya adalah yang sebagai berikut.

Mengapa Hanya Buloggate Dan Bruneigate

Sekarang ini, kekuatan anti-Gus Dur ( reformis gadungan, partai-partai “poros tengah”) bersama-sama kekuatan sisa-sisa Orde Baru (GOLKAR, sebagian TNI-AD, sebagian kalangan Islam) sedang menggerakkan dan membeayai demo-demo dan berbagai aksi-aksi anti-Gus Dur. Karena sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini mempunyai dana yang luarbiasa besarnya dan juga jaring-jaringan yang amat luas, maka mereka berhasil menciptakan opini umum tentang “kebusukan” politik dan kesalahan-kesalahan Gus Dur. “Keberhasilan” mereka ini dapat dilihat dari banyaknya massa atau golongan-golongan yang bisa dipengaruhi (atau “dibeli”), dan dikuasainya media massa (pers dan televisi).

Dengan menggunakan (lebih tepatnya : menyalahgunakan) peristiwa Buloggate dan Bruneigate sebagai senjata, mereka berusaha menyingkirkan Gus Dur dari tampuk pimpinan negara, dengan tujuan untuk merebut kekuasaan politik. Menyingkirkan Gus Dur dari percaturan politik adalah penting bagi sebagian dari mereka (terutama pejabat-pejabat tinggi Orde Baru yang bergelimang dengan berbagai lumpur kejahatan) untuk mencegah pengusutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Bagi sebagian lainnya (para reformis gadungan, termasuk kalangan-kalangan Islam tertentu) tersingkirnya Gus Dur dari percaturan politik akan memudahkan mereka untuk naik di panggung kekuasaan.

Digunakannya Buloggate dan Bruneigate sebagai senjata untuk menjatuhkan Gus Dur menunjukkan bahwa mereka betul-betul memang sudah bertekad “all out” (sekuat tenaga) untuk menyingkirkan Gus Dur dari percaturan politik, bukan demi dituntaskannya reformasi, dan bukan pula demi pemberantasan KKN, apalagi, bukan juga demi penegakan hukum, seperti yang sering mereka uar-uarkan dengan lantang. Sebab, kalau betul-betul mereka berjuang untuk reformasi, pembrantasan KKN dan penegakan hukum, mengapa mereka justru “diam seribu bahasa” atau tidak “galak” terhadap kasus-kasus KKN dan pelanggaran hukum lainnya, yang notabene jauh lebih besar yang dilakukan oleh penjahat-penjahat kakap besar selama Orde Baru.? (antara lain : kasus Pertamina, kasus dana reboisasi yang dipakai untuk IPTN, kasus skandal Bank Bali, kasus skandal BLBI, kasus dana Taperum yang menyangkut Akbar Tanjung, kasus kroni-kroni Suharto seperti Texmaco dan Fuad Bawazir dll).

Gus Dur diungkit-ungkit dan digugat karena ada masalah penggunaan dana Bulog sebesar RP 35 milyard (sekitar 4 juta US$) yang digunakan oleh orang dekat Gus Dur, dan sumbangan dari Sultan Brunei sebesar 2 juta US$. Tetapi, kasus-kasus korupsi besar lainnya tidak dipersoalkan (harap diingat bahwa BPK telah mencanangkan penemuan korupsi sebesar Rp 138,5 triyun!!!), padahal kasus-kasus itu telah membikin terpuruknya perekonomian negara secara parah sekali.

Pengganti Gus Dur Tidak Akan Lebih Mampu

Karena hebatnya kampanye anti-Gus Dur yang dijalankan oleh kekuatan sisa-sisa Orde Baru dan para reformis gadungan, maka cukup banyak orang (termasuk kalangan mahasiswa) yang termakan olehnya. Mereka yang terpengaruh ini berilusi bahwa dengan digantikannya Gus Dur oleh orang lain (termasuk oleh Megawati) maka berbagai masalah ruwet akan bisa diatasi, atau situasi ekonomi dan politik akan bisa lebih baik. Mereka yang berfikiran demikian itu tidak mengerti atau tidak melihat bahwa siapa pun yang menggantikan Gus Dur akan tetap menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan besar yang diwariskan oleh Orde Baru.

Ditambah lagi, kalau yang menggantikan Gus Dur itu adalah orang yang masih belum “talak tiga” dengan Orde Baru, maka besarlah kemungkinan bahwa segala kebusukan Orde Baru tidak akan mungkin diberantas olehnya, melainkan melestarikannya, dan, bahkan, membikinnya lebih parah lagi! Dengan perkataan lain, reformasi yang menjadi dambaan kita semua akan menjadi impian belaka. Sekali lagi, perlu sama-sama kita ingat satu hal yang fundamental, yaitu bahwa reformasi (yang sungguh-sungguh, yang total) tidak mungkin dilaksanakan oleh orang (atau orang-orang) yang masih ada kaitannya yang kuat dengan Orde Baru. Reformasi (yang sungguh-sungguh) hanyalah bisa dilakukan dengan membersihkan segala cara berfikir, segala praktek, segala konsep politik, yang bersifat Orde Baru. Oleh karena itu, reformasi tidak bisa dilakukan dengan tuntas dan secara total oleh GOLKAR beserta pendukung-pendukung setianya.

Seandainya (sekali lagi : seandainya!) Gus Dur terpaksa digantikan oleh Megawati pun, tidak berarti bahwa krisis yang multi-dimensional dewasa ini akan mudah diselesaikan. Bahkan, bisa sebaliknya. Makin menjadi-jadi dan bertambah ruwet. Sebab, mereka yang sekarang ini memusuhi Gus Dur, bukanlah berarti secara otomatis akan tetap mendukung Megawati. Mereka memusuhi Gus Dur dan menjatuhkannya, dengan menggembol agenda mereka sendiri, atau dengan tujuan mereka yang lain. Sebab, dulu mereka juga menentang Megawati karena pertimbangan politik atau karena ideologi, atau karena pertimbangan-pertimbangan lainnya (masalah perempuan dll). Seandainya Megawati juga berkeras untuk sungguh-sungguh menjalankan reformasi, membrantas KKN, pastilah mereka akan melakukan juga perlawanan, penggoyangan atau sabotase. Bahkan, juga menggulingkannya.

Jadi, seandainya (!!!) Gus Dur digantikan oleh Megawati, kesulitan yang akan dihadapi oleh putri Bung Karno ini juga akan cukup banyak dan juga cukup besar. Sebab, seperti halnya kesulitan yang dihadapi oleh Gus Dur, aparat pemerintahannya masih akan tetap dikangkangi oleh sisa-sisa kekuatan Orde Baru, di mana GOLKAR masih punya jaring-jaringannya yang luas, baik di tingkat Pusat sampai ke daerah-daerah, bahkan sampai ke tingkat desa. (harap dicatat bahwa lebih dari 70 % bupati atau walikota di seluruh Indonesia masih ada sangkut-pautnya dengan Golkar). Karenanya, seperti halnya kesulitan Gus Dur, politik Megawati akan tetap menghadapi sabotase, rongrongan, atau penjegalan dari orang-orang atau kalangan yang tidak menghendaki adanya reformasi total.

Jadi, adalah ilusi besar yang menyesatkan, kalau ada anggapan bahwa - dalam konteksi situasi seperti yang kita hadapi dewasa ini - dengan menggantikan Gus Dur dengan orang lain, berbagai krisis yang sedang melanda negeri kita akan bisa diselesaikan dalam tempo yang singkat. Bahkan, sebaliknya, berbagai bencana politik, sosial dan ekonomi yang lebih serius bisa makin berkecamuk.

Hancurkan Sisa Sisa Kekuatan Orde Baru

Dari pengamatan kita bersama di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan (termasuk moral), maka makin jelaslah bahwa walaupun resminya Orde Baru sudah tumbang sejak lengsernya Suharto, tetapi sisa-sisa kekuatannya masih sangat besar di berbagai bidang. Kekuatan ini tercermin, antara lain, dalam hasil pemilu yang lalu, yang walaupun secara relatif bisa dikatakan lebih demokratis dari selama 30 tahun Orde Baru, tetapi masih juga mencerminkan hebatnya kerusakan-kerusakan moral yang diwariskan oleh rezim militer. Pemilu yang demikian itulah yang menghasilkan DPR (dan MPR) yang kualitasnya sedang dipersoalkan oleh banyak orang dewasa ini.

Karena itulah maka banyak orang mengatakan bahwa sekarang ini reformasi sudah macet sama sekali, tanpa mengerti secara jernih bahwa kemacetan itu justru disebabkan oleh masih banyaknya tokoh-tokoh penting Orde Baru yang bercokol di berbagai bidang, baik di kalangan eksekutif, legislatif maupun judikatif. Mereka ini pernah menikmati berbagai fasililitas yang “terbuka” atau “tertutup”, kesempatan yang sah atau tidak, pemupukan kekayaan secara halal atau haram, dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan, di atas penderitaan rakyat banyak dan atas kerugian negara yang tidak sedikit. Orang-orang inilah yan sebenarnya masih merindukan datangnya kembali Orde Baru, walaupun dalam bentuknya yang baru. Orang-orang ini pulalah yang pada hakekatnya menentang reformasi, walaupun mereka berteriak-teriak lantang menyuarakan lagu palsu “reformasi”.

Dari kacamata yang ini pulalah kita bisa melihat dengn jelas mengapa begitu banyak koruptor kelas kakap masih belum juga ditindak, walaupun sudah jelas-jelas merampok kekayaan negara secara besar-besaran. Juga mengapa reformasi hukum tidak berjalan semestinya, dan mengapa pelurusan sejarah belum dilakukan (umpamanya, antara lain : peristiwa 65), atau mengapa sebagian kalangan Islam masih leluasa menyebarkan permusuhan yang bersifat SARA.

Singkat-padatnya adalah berikut : reformasi tidak akan mungkin dilaksanakan dengan baik, tanpa menghancurkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Inti-dasar reformasi adalah berarti menentang atau menolak sistem politik Orde Baru. Dan, tiang penyangga utama Orde Baru adalah Golkar dan TNI-AD. Bahkan, untuk lebih jelasnya : Orde Baru adalah Golkar. Oleh karena itu, demi reformasi, GOLKAR perlu dihancurkan secara politik. Perlulah kiranya kita cengkam bersama-sama (termasuk kalangan mahasiswa) bahwa reformasi tidak akan jalan, tanpa menhancurkan GOLKAR (secara politik!!!) Tanda seru di sini dicantumkan untuk menegaskan bahwa yang dimaksudkan bukanlah penghancuran secara fisik terhadap orang-orangnya atau tokoh-tokohnya. (Jadi, ini berlainan sama sekali dengan praktek pendiri-pendiri Orde Baru, yang telah menghancurkan PKI dengan jalan membunuh jutaan manusia tidak bersalah dan memenjarakan ratusan ribu orang dalam jangka lama tanpa proses pengadilan).

Galang Kekuatan Anti Orde Baru

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka makin jelaslah kiranya bahwa demi bisa dilancarkannya reformasi (yang sungguh-sungguh!) maka seluruh kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi perlu menggalang bersama-sama front rakyat untuk melawan bahaya lahir-kembalinya Orde Baru. Untuk mencegah “come back”-nya Orde Baru, perlu sekali melawan dan menggembosi GOLKAR, yang merupakan pengejawantahan Orde Baru dengan topeng dan baju baru (Mohon diperhatikan bahwa Golkar dewasa ini suka menampilkan diri dengan topeng “paradigma baru” atau bahkan berani bicara juga tentang “reformasi” . Keterlaluan, bukan?).

Adalah menggembirakan bahwa dalam sebagian terbesar demo-demo yang dilakukan oleh berbagai kalangan mahasiswa di banyak tempat, masalah reformasi, penegakan hukum dan pembrantasan KKN menjadi salah satu tuntutan utama mereka. Agaknya, perlulah jelas bagi kita semua bahwa pembrantasan KKN hanya bisa dilakukan secara tuntas, kalau reformasi bisa jalan dengan baik. Selama aparat pengadilan dan kejaksaan (atau kepolisian dan Mahkmah Agung) masih dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang bersimpati kepada Orde Baru, maka hukum atau “keadilan” masih akan bisa terus saja “dibeli” oleh para penjahat elite yang berdasi (dan berpeci!).

Memang, sampai sekarang masih sulit diramalkan apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini selanjutnya. Tetapi, apa pun yang akan terjadi, satu hal adalah sudah jelas, yaitu bahwa Gus Dur bukanlah musuh rakyat Indonesia. Musuh rakyat Indonesia adalah Orde Baru, yang telah membantai jutaan orang tidak bersalah dalam tahun 65, dalam peristiwa Aceh, peristiwa Lampung dan Tg Priok, dan yang telah membunuh demokrasi selama lebih dari 30 tahun serta melecehkan Panca Sila atau melikwidasi penciptanya (Bung Karno). Musuh rakyat Indonesia adalah Orde Baru, yang para pendukung setianya telah membikin kerusakan-kerusakan besar di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Musuh rakyat Indonesia adalah Orde Baru, yang telah membikin rusaknya moral begitu banyak pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat (kalangan swasta), termasuk para elite ekonomi.

Oleh karena itu, dalam kaitan itu semua, seruan bersama yang dikeluarkan oleh 51 LSM di Jakarta tanggal 2 Februari 2001 mempunyai arti amat penting. Dalam seruan bersama itu dinyatakan antara lain:” Perkembangan politik saat ini amat mungkin merugikan gerakan reformasi dan kepentingan rakyat. Pertarungan intraelite sudah mengarah pada situasi gawat yang cenderung mengadu domba kelompok masyarakat. Hal tersebut makin membuka peluang bagi kekuatan Orde Baru (Orba) yang sangat agresif untuk kembali mengambil posisi strategis dalam kelembagaan negara”

Seruan bersama terseebut dibacakan oleh Ketua PBHI Hendardi didampingi antara lain oleh Romo Sandyawan Sumardi (Sanggar Ciliwung), Emmy Hafidz (Walhi), Zoemrotin (YLKI), Tri Agus Siswomihardjo (Solidamor), Binny Buchori (Infid), Ifdhal Kasim (Elsam), dan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan.

Ke-51 LSM tersebut mengajak masyarakat untuk merapatkan barisan dan menyelamatkan reformasi total, yakni dengan mengadili penjahat politik Orde Baru, menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), membubarkan Dwifungsi TNI dan sistem teritorialnya, serta mengadili Soeharto dan kroninya.

Selain LSM di atas, lainnya adalah AJI, Bina Desa, Fakta, LBH Jakarta, YLBHI, Kontras, ISJ, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Yayasan Nadi, Urban Poor Consortium, Forsola, Yayasan Komunikasi PGI, Pijar, LPIST, LSAF, Pasticide Action Network, Komnas Perempuan, Lentera, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Front Aksi Perempuan Indonesia, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Kelompok Perempuan Salsabila, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Lapmi.

Selain itu ada pula TAH Irja, Tapak Ambon, Yasanti Yogyakarta, Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial Solo, Yayasan Alfa Omega Kupang, Yappika, YPMD Papua, Yayasan Geni Nastiti, Yayasan Swagiri Bogor, Yayasan Pengembangan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup Papua, Flower Aceh, dan Forum LSM Aceh.