02 Januari 2008 — 10 menit baca

Muchdi mantan pimpinan BIN dibebaskan dari kasus Munir

Berita tentang keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan (31/12/08) Muchdi Purwoprandjono (mantan Deputy V Badan Intelijen Negara -BIN ) dalam kasus pembunuhan Munir SH merupakan persoalan yang buntutnya akan panjang sekali dan bisa menjadi topik yang menarik perhatian besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Memang, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tersebut mengandung sejumlah soal yang menggugah fikiran kita mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan masalah-masalah besar bangsa dan negara kita.

Pertama-tama patutlah kiranya menjadi renungan bersama kita bahwa dibebaskannya Muchdi dari tuduhan terlibat dalam pembunuhan Munir bukanlah suatu “kemenangan” bagi kebenaran dan keadilan, yang didambakan oleh banyak orang. Sebaliknya, pembebasan Muchdi dari tuduhan pembunuhan ini adalah “kemenangan” bagi pelecehan perasaan keadilan, dan “kemenangan” bagi runtuhnya hukum di negeri kita.

Adalah keliru sama sekali, kalau ada angapan bahwa pembebasan Muchdi merupakan kemenangan bagi kalangan militer yang bisa dibangga-banggakan. Sebaliknya, peristiwa ini bisa menjadikan citra kalangan militer yang buruk selama ini menjadi tambah lebih buruk. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tentang pembebasan Muchdi betul-betul merupakan bukti lebih banyak lagi – dan juga lebih jelas lagi ! – bahwa dunia hukum dan peradilan di negeri kita masih bisa dengan mudah dipermainkan atau dipengaruhi (atau di-intervensi) oleh kekuatan-kekuatan gelap yang menentang keadilan dan kebenaran.

Kasus Muchdi tamparan bagi pimpinan militer Sebab, dapatlah kiranya diduga bahwa kalangan tinggi militer tidak senang bahwa Major Jenderal Muchdi, yang pernah juga menjabat sebagai komandan Kopassus dihadapkan di muka Pengadilan karena dituduh ikut membunuh Munir. Bagi kalangan petinggi militer, ditangkapnya petinggi BIN dan mantan komandan Kopassus ini merupakan tamparan yang sangat memalukan bagi citra TNI (terutama TNI AD). Karenanya, segala cara telah dipakai, dan segala jalan juga ditempuh, untuk menggagalkan dijatuhinya hukuman terhadap Muchdi ini.

Bahwa kalangan pimpinan militer berusaha dengan sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik atau citra TNI adalah suatu hal yang wajar, bahkan sudah semestinya. Tetapi, apakah dengan mencegah dihukumnya Muchdi ini berarti kalangan pimpinan militer bisa menjaga kehormatan atau melindungi nama baik TNI, ini adalah suatu hal yang patut diragukan. Justru sebaliknya ! Kita semua nantinya akan menyaksikan bahwa pembebasan Muchdi oleh Pengadilan Negeri Jakarta justru akan lebih membikin buruk citra TNI yang selama ini memang sudah tidak bisa dikatakan gemilang sama sekali.

Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama bahwa kalangan pimpinan militer (terutama TNI AD, tetapi tidak semuanya) sudah berpuluh-puluh tahun melakukan banyak hal-hal yang merugikan Republik Indonesia, merusak persatuan bangsa, mengkhianati Bung Karno, melecehkan Pancasila, merusak revolusi rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno. Pimpinan militer, yang dikepalai oleh Suharto, juga telah menyebabkan pelanggaran HAM secara besar-besaran yang jarang tandingannya di dunia. Tidak bisa diketahui dengan pasti berapa juta orang kiri atau pendukung Bung Karno yang telah dibantai begitu saja secara sewenang-wenang,

Kejahatan pimpinan militer selama 32 tahun Atas perintah pimpinan militer ratusan ribu orang, yang dianggap kiri atau dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI telah dipenjarakan dan disiksa dengan berbagai macam cara selama puluhan tahun. Belum lagi lainnya. Puluhan juta orang anggota atau sanak saudara (dekat dan jauh) dari para korban 65 sampai sekarang (sudah sekitar 40 tahun!!!) masih menyandang berbagai macam penderitaan yang menyedihkan akibat politik rejim militer Suharto dkk. Dari segi ini saja, nyatalah bahwa sejumlah pimpinan militer sudah melakukan kejahatan yang luar biasa besarnya (dan juga luar biasa banyaknya !) kepada sebagian besar rakyat Indonesia.

Seperti yang sudah disaksikan oleh banyak orang, pimpinan militerlah yang selama 32 tahun (artinya : sekitar separo umur Republik kita) telah membunuh kehidupan demokratis bangsa Indonesia, mencekek kebebasan menyatakan pendapat, sambil melakukan korupsi atau membikin rusaknya mental dan moral banyak kalangan. Karena itulah dalam tahun 1998 generasi muda Indonesia dengan mendapat dukungan rakyat, telah memaksa Suharto turun dari kedudukannya sebagai pimpinan Orde Baru. Suharto adalah manifestasi terpusat dari segala macam kejahatan dan kesalahan para pemimpin militer.

Bedanya militer di bawah Bung Karno dan Suharto Bagi orang-orang yang mau bersikap jujur, maka nyatalah bahwa sejarah Republik Indonesia sudah menunjukkan dengan gamblang tentang adanya perbedaan yang besar sekali antara citra militer yang sebelum G30S dan sesudahnya. Bagi sebagian terbesar rakyat kita boleh dikatakan bahwa perbedaan ini seperti antara bumi dan langit.

Banyak orang masih ingat sekarang ini bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, yang sekaligus menjabat sebagai Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia, yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan mandataris MPRS, citra angkatan bersenjata kita adalah tinggi sekali di mata rakyat banyak. Pada waktu itu Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian itu adalah aparat-aparat negara dan kekuatan revolusi rakyat Indonesia yang bisa dibangggakan oleh seluruh bangsa, sehingga juga dihormati oleh banyak rakyat di negara-negara lain. Berkat kepemimpinan dan ajaran-ajaran revolusioner yang anti-imperialisme Bung Karno maka hubungan antara rakyat dan militer erat sekali (jelasnya : sebelum pembangkangan Suharto dkk). Dulu, sering sekali kita mendengar kalimat yang berbunyi “tentara dan rakyat adalah satu” atau “Dwitunggalnya tentara dan rakyat”, atau “Tentara adalah anak rakyat”.

Tetapi, sesudah terjadinya G30S, ada perkembangan yang sangat menyedihkan bagi bangsa Indonesia. Sejak secara hakikinya militer telah dikuasai oleh Suharto dkk, maka militer sudah tidak lagi menjadi aparat negara dan aparat revolusi seperti sebelumnya. Militer telah dibikin oleh Suharto dan A.H. Nasution menjadi musuh terhadap Bung Karno berikut ajaran-ajarannya (antara lain Pancasila, Trisakti, Ampera, Berdikari, Panca Azimat Revolusi, Manipol-Usdek) beserta pendukung-pendukungnya. Dengan menggiring militer untuk memusuhi Bung Karno, Suharto bersama para jenderalnya telah mengkhianati revolusi bangsa Indonesia yang melawan kapitalisme dan imperialisme (terutama imperialisme AS). Artinya, dengan menjadikan Bung Karno sebagai musuh, maka berarti bahwa militer di bawah Suharto menempatkan diri sebagai musuh revolusi dan musuh rakyat. Dalam jangka yang lama sekali, militer Indonesia di bawah Suharto sudah menjadi sekutu imperialis AS.

Citra TNI sudah lama sangat merosot Pimpinan Bung Karno selama 20 tahun - antara 1945 dan 1965 - dalam menggalang persatuan rakyat untuk mengusahakan dengan susah payah terkonsolidasinya Republik Indonesia dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur telah dirongrong, disabot, kemudian dikhianati besar-besaran oleh pimpinan militer. Nation dan character building yang bercorak revolusioner dan anti-kapitalisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Bung Karno sejak permulaan tahun 1920-an telah dikhianati dan dirusak oleh Suharto dan para jenderal pendukungnya selama Orde Baru. Artinya, pembangunan bangsa yang dilakukan Bung Karno selama 20 tahun, telah dihancurkan Suharto melalui perusakan bangsa selama 32 tahun. Inilah merupakan dosa besar mereka terhadap bangsa dan anak-cucu kita, di samping adanya berbagai pelanggaran HAM serius lainnya yang banyak terjadi selama rejim militer Orde Baru.

Jadi, sebenarnya, seperti yang disaksikan oleh banyak orang, di bawah pimpinan Suharto beserta jenderal-jenderal pendukungnya sudah lama sekali citra militer jatuh merosot di mata masyarakat. Bahkan, karena banyaknya kejahatan, serta pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan – yang dilakukan oleh militer dengan dalih Dwifungsi, penyelamatan bangsa, operasi keamanan dan ketertiban dan, bahkan (!!!), menjunjung tinggi-tinggi Pancasila ! – maka timbul kebencian di banyak kalangan rakyat. Militer telah menjadi asing bagi rakyat, dan banyak kalangan yang merasa dijajah atau ditindas oleh militer.

Dengan berbagai sudut pandang yang demikian itu semualah kita sekarang bisa juga melihat kasus Muchdi sekarang ini. Sebab, kasus ini bukan masalah Muchdi sebagai orang seorang saja, yang diduga terlibat dalam pembunuhan seorang pejuang HAM yang terkemuka.Kasusnya mengandung berbagai arti yang besar dan penting, sebab berkaitan juga dengan kemungkinan yang besar sekali terlibatnya institusi yang penting, yaitu BIN, satu badan militer yang biasanya dianggap “kuat” dan penting sekali. Oleh karena itu, logis atau wajar bahwa berbagai fihak – terutama kalangan pimpinan militer – berusaha dengan segala daya dan usaha dan dengan menggunakan bermacam-macam cara dan jalan – untuk menggagalkan jatuhnya hukuman terhadap Muchdi.

Persekongkolan atau konspirasi unsur-unsur Orde Baru

Dalam kaitan ini, perlulah kiranya selalu kita ingat bahwa sisa-sisa pendukung Orde Baru masih cukup kuat atau banyak di berbagai bidang eksekutif, legislatif dan judikatif negara kita. Walaupun sebagian terbesar rakyat kita sudah mulai kritis atau tidak menaruh simpati lagi kepada Suharto beserta militer pendukungnya, tetapi sebagian besar aparat birokrasi – terutama kalangan pimpinan mereka – masih bermental Orde Baru, termasuk yang di bidang pengadilan dan kehakiman. Itulah sebabnya kita tidak bisa menutup kemungkinan adanya persekongkolan atau konspirasi antara berbagai unsur pro-Orde Baru di macam-macam lembaga negara atau aparat birokrasi dengan kalangan pengadilan dalam kasus Muchdi ini.

Dengan mengusahakan digagalkannya hukuman terhadap Muchdi, maka sisa-sisa Orde Baru makin menambah banyaknya bukti , yang sudah terkumpul selama ini, bahwa sebenarnya mereka tidak peduli sama sekali dengan tegaknya hukum dan melecehkan parasaan keadilan. Mereka tidak melihat bahwa pembunuhan dengan racun terhadap Munir SH adalah pelanggaran HAM yang berat sekali. Ini berarti bahwa mereka tidak mau belajar dari berbagaI kesalahan atau bermacam-macam kejahatan yang sudah dilakukan banyak sekali dan dalam jangka yang lama sekali, yaitu lebih dari 32 tahun. Yang lebih jahat atau buruk lagi, ialah bahwa mereka selalu berkoar-koar (setinggi langit pula!) bahwa segala kesalahan atau kejahatan Orde Baru yang menyengsarakan sebagian besar rakyat itu adalah suatu hal yang benar, perlu, sah, adil, sudah “menurut prosedur” dan bahkan juga konstitusional (!)

Mengingat itu semuanya, adanya banyak reaksi keras atau protes terhadap keputusan Pengadilan Negeri Jakarta yang membebaskan Muchdi adalah suatu hal baik, yang harus mendapat dukungan sebesar-besarnya dan seluas-luasnya dari semua kalangan dan golongan yang mendambakan tegaknya hukum , demi kebenaran dan perasaan keadilan. Kejaksaan Agung sudah menyatakan mengajukan kasasi terhadap keputusan Pengadilan Negeri Jakarta itu. Suciwati, istri Munir, telah mengeluarkan suara lantang yang berisi kekecewaan dan kemarahan atas keputusan ini, dan mencurigai komposisi majelis hakim, yang di antaranya terdapat hakim yang pernah memeriksa Tommy Suharto. Reaksi yang berisi kemarahan dan protes ini pastilah akan terus banyak muncul dalam berbagai bentuk, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Gerindra yang menyambut gembira

Bahwa ada juga kalangan yang menyambut dengan gembira keputusan mengenai Muchdi ini adalah wajar. Sebagai contohnya adalah sikap dari Gerindra, partai yang mencalonkan Prabowo sebagai presiden untuk Pemilu 2009. Sebab, mantan Mayor Jenderal Muchdi adalah juga Wakil Ketua Umum partai Gerindra. Karena pernah menjabat sebagai komandan Kopassus maka Muchdi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan mantan Letjen Prabowo, yang pernah memegang kekuasaan yang besar sekali sebagai Panglima Kostrad.

Menurut Detik News , Fadli Zon yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Gerindra mengatakan bahwa bebasnya Muchdi dianggap sebagai hadiah tahun baru yang mengharukan bagi partai Gerindra “Bebasnya Muchdi menunjukkan peradilan di Indonesia masih bisa bersikap independen dan jernih dalam melihat persoalan. Ini membuktikan peradilan kita tidak takut intervensi kepentingan asing melalui segelintir LSM yang memang merupakan kepanjangan kepentingan asing. Gerindra berharap agar kasus Muchdi ini menjadi pelajaran bagi pemerintah. Kasus Munir ini merupakan bagian dari upaya pihak asing untuk melemahkan institusi intelejen dan militer.Kita berharap ini menjadi suatu pelajaran agar peradilan kita jangan sampai diintervensi kekuatan-kekuatan asing yang menginginkan negara kita lemah. Dan sudah saatnya pemerintah mengawasi LSM-LSM yang merupakan kepanjangan tangan asing, yang menerima dana-dana asing,” ucap Fadli Zon.

Sikap partai Gerindra yang demikian terhadap kasus Muchdi ini memberikan indikasi yang cukup jelas bagi kita semua untuk mengenal lebih banyak lagi tentang kendaraan politik yang sedang digunakan Prabowo dalam usahanya untuk menjadi presiden RI. Gerindra adalah partai yang menganggap bahwa kasus Munir merupakan “bagian dari upaya pihak asing untuk melemahkan intelejen dan militer kita dan karenanya pemerintah harus mengawasi LSM-LSM yang merupakan kepanjangan tangan asing”. Artinya, Gerindra tidaklah melihat segala usaha dari berbagai fihak, di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk membongkar kejahatan pembunuhan terhadap Munir sebagai hal yang benar, sah dan adil. Dari sudut inilah kita semua dapat melihat bahwa dalam Gerindra masih terdapat banyak sisa-sisa Orde Baru, dan bukannya hanya Prabowo dan Muchdi saja.

Oleh karena itu, bagi seluruh kekuatan demokratis yang mendambakan terjadinya perubahan besar-besaran dan fundamental di Indonesia, perlu melihat bahwa usaha untuk menuntaskan kasus Muchdi atau kasus Munir adalah bagian yang penting sekali dari perjuangan bersama untuk menegakkan hukum dan keadilan di negara kita, untuk mencegah terulangnya lagi pelanggaram HAM lainnya, dan untuk melanjutkan reformasi dengan membabat habis sisa-sisa Orde Baru.

Dari sudut ini pulalah kita bisa melihat bahwa persoalan Muchdi adalah persoalan yang besar bagi bangsa dan negara kita.