01 Juni 2004 — 8 menit baca

Merenungkan kasus Pinochet-Suharto-Wiranto

Sesudah lama sekali tidak terdengar apa-apa lagi tentang mantan diktator Chili, jenderal Augusto Pinochet, media massa seluruh dunia (pers, radio, televisi dll) mulai lagi menyebut-nyebut namanya. Soalnya, pengadilan tinggi Chili pada tanggal 28 Mei yang lalu telah mencabut immunitas (kekebalan hukum) atas dirinya. Dengan dicabutnya kekebalan hukum itu, dan kalau Mahkamah Tertinggi menguatkan keputusan pengadilan tinggi, maka terbukalah kemungkinan diajukannya mantan diktator itu di depan pengadilan. Pinochet telah memegang pemerintahan dengan tangan besi selama 17 tahun.

Mantan jenderal Augusto Pinochet Ugarto (88 tahun) dituduh bertanggungjawab langsung atas dibunuhnya 19 aktivis kiri dalam tahun-tahun 70-an. Selama kediktatorannya yang berlangsung antara 1973 dan 1990, sekitar 3197 orang dibunuh karena sebab-sebab politik, dan di antaranya 1.197 orang telah hilang diculik. Sebagian besar dari orang-orang yang dibunuh itu orang-orang kiri, yang kebanyakan adalah pendukung politik presiden terpilih Salvador Allende alm. Presiden Salvador Allende di-kudeta oleh jenderal Pinochet pada tahun 1973 dengan bantuan aktif CIA, karena politiknya yang “kiri” dianggap terlalu anti-Amerika. Sejak itu, jenderal Pinochet melancarkan, secara sistematis dan besar-besaran, operasi “Condor” guna melumpuhkan kekuatan kiri dan pendukung presiden Allende.

Dalam jangka waktu yang lama sekali, aksi-aksi solidaritas telah dilancarkan di arena internasional untuk mengutuk dan melawan kediktatoran Pinochet. Dalam bulan September 1998, ketika Pinochet berkunjung ke London untuk berobat, ia telah ditahan oleh polisi Inggris atas permintaan pemerintah Spanyol. Seorang jaksa dari Spanyol minta supaya Pinochet di-ekstradisi ke Spanyol untuk diadili karena tuduhan pelanggaran HAM, karena hilangnya atau dibunuhnya banyak orang Chili. Akhirnya, setelah banyak pertarungan di bidang hukum (dan diplomatik) pemerintah Inggris membolehkan Pinochet kembali ke Chili, dengan pertimbangan kemanusiaan. Di Chili, ia dikenakan tahanan rumah, tetapi tidak diajukan ke pengadilan, karena alasan kesehatan.

Perbedaan Dan Persamaan Suharto-Pinochet

Kalau direnung-renungkan, ada sejumlah persamaan yang menyolok (dan juga perbedaan) antara kasus Pinochet dan Suharto, antara apa yang terjadi di Chili dan di Indonesia, dan antara pesiden Salvador Allende dan presiden Sukarno. Kudeta di Chili oleh jenderal Pinochet dkk telah disokong (bahkan diprakarsai) oleh CIA, untuk menggulingkan presiden Allende, seorang nasionalis patriotik kerakyatan yang disenangi oleh rakyat Chili, yang didukung oleh Partai Komunis Chili. Seperti presiden Sukarno, presiden Allende menjalankan politik luarnegeri yang anti-imperlalis Amerika. (Dalam bidang ekonomi ia menasionalisasi perusahaan tembaga Amerika)

Seperti halnya Suharto, jenderal Pinochet adalah pemimpin militer yang anti-komunis, dan telah menjalankan pemerintahan tangan besi selama 17 tahun (Suharto jauh lebih lama lagi, 32 tahun!).

Pinochet digugat oleh sebagian opini umum di Chili (dan internasional) karena dituduh bertanggung-jawab terhadap hilangnya atau dibunuhnya lebih dari 3000 orang (sebagian laporan menyebutkan angka 6000 orang). Angka ini masih belum apa-apa, kalau dibandingkan dengan dibunuhnya korban tahun 1965 di Indonesia yang ditaksir antara 1.500.000 sampai 3.000.000 orang, dan ditahannya ratusan ribu orang lainnya dalam jangka waktu yang berbeda-beda panjangnya.

Jumlah korban di Chili jauh lebih sedikit daripada korban di Indonesia, tetapi gema peristiwa Chili jauh lebih besar, termasuk di arena internasional. PBB telah mengeluarkan kecaman keras tentang pelanggaran HAM di Chili. Sedangkan mengenai Suharto, belum ada pernyataan resmi dari PBB yang mengutuk pelanggaran HAM yang dilakukan secara besar-besaran, dan dalam jangka lama pula. Barulah beberapa tahun sebelum jatuhnya Suharto, Amerika Serikat akhirnya melalui laporan-laporannya tentang HAM memang membuat ulasan-ulasan yang cukup kritis tentang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.

Dalih Kesehatan Pinochet Dan Suharto

Persamaan lainnya antara Pïnochet dan Suharto adalah bahwa kedua-duanya tidak dapat diajukan ke pengadilan karena dalih-dalih kesehatan. Di samping itu, tadinya, Pinochet juga memperoleh perlindungan berupa keputusan parlemen Chili yang memberikan status immunity kepadanya, karena ia pernah menjadi presiden. Tokoh militer yang dilahirkan di Valparaiso 25 November 1915 ini juga diangkat menjadi senator seumur hidup. Ia meletakkan kedudukannya sebagai presiden Chili pada tahun 1990 setelah ada referandum, dan digantikan oleh tokoh kristen-demokrat, Patricio Aylwin. Namun, meskipun sudah tidak menjadi presiden lagi, ia terus menjabat Panglima tertinggi militer sampai tahun 1998.

Dalam tahun 2000, Mahkamah Agung Chili membatalkan keputusan jaksa Juan Guzman yang menuntut diperiksanya Pinochet di depan pengadilan dan menempatkannya dalam tahanan rumah. Alasan Juan Guzman ialah karena Pinochet bertanggungjawab atas ditembaknya 75 tahanan politik secara sewenang-wenang dalam tahun 1973 oleh sepasukan militer spesial yang terkenal dengan julukan “Kafilah mayat”.

Para keluarga orang yang hilang dan dibunuh, dan jaring-jaringan solidaritas internasional, telah terus-menerus mengadakan aksi-aksi tuntutan untuk mengadili Pinochet serta pembesar-pembesar militer atas pembunuhan dan penculikan. Jenderal Pinochet sendiri menghadapi 190 gugatan atau pengaduan. Oleh karena adanya gugatan seorang jaksa Spanyol itulah maka mantan diktator ini pernah ditahan polisi Inggris selama 503 hari.

Kekebalan Hukum Dicabut

Pengadilan Tinggi Chili mencabut immunitas (kekebalan hukum) Pinochet, karena para pengacara para korban menuntut dicabutnya immunitas ini, dengan alasan bahwa kesehatan Pinochet cukup baik. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan jaksa yang menyatakan di depan pengadilan bahwa Pinochet bisa mendengarkan lagu Lili Marleen dan musik-musik mars militer Nazi kesukaannya. Bukti lainnya bahwa kesehatan Pinochet baik adalah interview televisi yang diberikan olehnya tahun yang lalu kepada sebuah stasion televisi dari Miami (Amerika). Tayangan televisi ini menimbulkan kemarahan banyak orang, karena di situ Pinochet menampilkan diri sebagai “malaikat yang suci”. Apakah Mahkamah Agung Chili akhirnya akan menyetujui pencabutan kekebalan hukum Pinochet, mari sama-sama kita ikuti perkembangan selanjutnya.

Kasus tuntutan atau gugatan terhadap Pinochet ini bagi kita di Indonesia menarik, karena adanya sejumlah persamaan antara persoalan diktatur militer Chili dan Indonesia. Bedanya adalah bahwa skala pembunuhan dan penculikan di Chili adalah jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Indonesia di bawah Orde Baru. Artinya, beban tanggungjawab atau dosa-dosa Pinochet juga jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan dosa Suharto. Sebab, disamping pelanggaran HAM besar-besaran selama 32 tahun Suharto juga diktator yang KKN-nya tidak tanggung-tanggung, sehingga ia menjadi koruptor yang paling terkenal di seluruh dunia.

Oleh karena itu, seperti halnya tuntutan para korban di Chili, tuntutan untuk mengadili Suharto juga masih berkumandang terus di Indonesia. Ini disuarakan tidak hanya oleh para eks-tapol dan keluarga para korban peristiwa tahun 1965, tetapi juga oleh ornop-ornop humaniter atau berbagai organisasi, yang mempersoalkan pembunuhan di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Jawa Barat dll. Dan ini adalah wajar, sebab, kalau diingat-ingat, dosa Pinochet hanyalah secuwil kecil dibandingkan dengan dosa Suharto yang menggunung.

Kasus Wiranto Yang Pengagum Suharto

Akhir-akhir ini, persoalan calon presiden dari Golkar mantan jenderal Wiranto, makin menarik perhatian banyak orang, baik di dalam maupun luarnegeri. Wiranto (dan pendukung-pendukungnya) amat getol melakukan berbagai macam manuvre, atau upaya, untuk mempercantik “wajah politik” dan “wajah moralnya”. Untuk itu ia menyebar senyum di hadapan kyai dan ulama, bertemu dengan (antara lain !) pengusaha-pengusaha besar, mengadakan pembicaraan “bersahabat” dengan Xanana Gusmao dari Timor Timur, “silaturahmi” dengan pemimpin-pemimpin Singapura, dan mengumbar berbagai janji-janji dalam pidatonya.

Untuk memikat hati banyak orang supaya memilih dirinya jadi presiden, ia berjanji akan menghukum mati koruptor yang manapun juga. Ia juga mengatakan di Lampung “jika nanti dipercaya untuk memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan, dirinya akan mengagendakan rekonsiliasi nasional dan mengajak semua fihak untuk tidak terjebak dalam aksi hujat-menghujat akan masa lalu” (Suara Merdeka, 30 Mei 2004).

Barangkali, kita semua tidak perlu menganggap serius janji Wiranto untuk menghukum mati para koruptor. Karena, hanya omongkosong sajalah bahwa ia akan melaksanakannya. Contohnya, tentunya ia tahu betul, bahwa kekayaan keluarga Cendana (Suharto dan anak-anaknya) yang begitu banyak dan begitu besar itu bukanlah hasil usaha jerih payah melewati jalan halal atau cara-cara yang luhur. Wiranto pernah menjadi ajudan Suharto cukup lama dan cukup dekat, untuk mengetahui banyak soal keluarga Suharto dengan baik. Ia tentunya tahu juga bahwa Suharto terkenal sebagai koruptor terbesar di didunia. Pastilah ia tahu juga, bahwa banyak jenderal teman-temannya (atau perwira tinggi lainnya) yang punya rumah besar, mewah, dan bagus-bagus, yang kebanyakan tidak mungkin dibangun dengan gaji mereka (termasuk rumah bagus dan besar Wiranto sendiri).

Jangan Menghujat Masa Yang Lalu ?

Yang terdengar hebat dan “mempesonakan” atau “menggiurkan” yalah ketika Wiranto mengatakan bahwa “dirinya akan mengagendakan rekonsiliasi nasional dan mengajak semua fihak untuk tidak terjebak dalam aksi hujat-menghujat akan masa lalu”. Kita patut bertanya, rekonsiliasi nasional dengan siapa saja dan bagaimana caranya? Dalam hal ini perlu diingat bahwa para korban Orde Baru (terutama korban peristiwa 65) sudah bertahun-tahun menuntut adanya rekonsiliasi nasional, antara lain dengan jalan merehabilitasi para eks-tapol dan keluarga para korban. Mereka sudah terlalu lama (lebih dari 32 tahun !!!) diperlakukan sewenang-wenang dan secara tidak berperikemanusiaan oleh rezim militer Orde Baru, dan diteruskan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Sampai sekarang.

Ajakan Wiranto kepada “semua fihak untuk tidak terjebak dalam aksi hujat-menghujat akan masa lalu”, secara tidak langsung mengajak kita untuk tidak mengutuk berbagai kejahatan dan kesalahan rezim militer, tidak mempersoalkan pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno, tidak membongkar KKN yang membudaya sejak berkuasanya Orde Baru, tidak pula menghujat pelanggaran HAM yang banyak terjadi di masa lalu.. Ini berarti bahwa kita tidak perlu lagi “mengungkit-ungkit” kembali peristiwa Trisakti dan Semanggi, ata peristiwa kerusuhan bulan Mei 1998. Singkatnya, kalau menuruti ajakan Wiranto maka kita tidak perlu tahu apa-apa saja keburukan dan kesalahan di masa lalu yang harus diperbaiki.

Padahal, untuk membangun hari depan yang lebih baik, bangsa kita harus belajar dari pengalaman sejarah di masa lalu. Dan, sejak Republik Indonesia berdiri, di antara pengalaman terpenting yang harus jadi pelajaran kita semua adalah kejahatan, kesalahan, dan kebobrokan yang pernah dilakukan rezim militer Orde Baru.