29 Mei 2000 — 13 menit baca

Mengapa TAP MPRS 25-1966 tidak perlu dipertahankan?

Sekarang makin jelaslah kiranya, bahwa TAP MPRS no 25/1966 tidak akan dicabut oleh sidang MPR yang akan datang. Dalam koran-koran di Indonesia disiarkan bahwa boleh dikatakan semua fraksi dalam MPR, kecuali fraksi PKB, menolak untuk dicabutnya TAP itu. Bahkan, ada kemungkinan bahwa, karenanya, masalah TAP 25/1966 tidak akan dibicarakan sama sekali, atau tidak diajukan sebagai acara untuk dibicarakan. Tetapi, apa memang akan begitu, marilah sama-sama kita tunggu tanggal mainnya.

Menteri Bidang Hukum dan Perundang-undangan Yusril bahkan mengatakan, bahwa karena sebagian terbesar fraksi-fraksi (perwakilan partai-partai) sudah menolak pencabutannya, maka soalnya sudah habis, artinya tidak akan dibicarakan lagi dalam MPR. Lalu, kalau sudah begitu, bagaimanakah seharusnya kita menanggapi masalah ini selanjutnya? Mungkin ada pertanyaan semacam itu di kalangan banyak kalangan. Mungkin (sekali lagi, mungkin), yang paling tepat adalah bersikap sabar, dan dengan tenang, fikiran jernih, dan penuh keyakinan, bekerja terus dan ulet untuk tegaknya hak asasi manusia.

Pekerjaan untuk memperkenalkan lebih luas prinsip-prinsip Deklarasi Universal HAM yang sudah dijadikan salah satu pedoman PBB, dan yang sudah juga ditandatangani oleh Republik Indonesia, adalah salah satu di antara tugas yang amat mendesak bagi kita semua. Pemahaman dan penghayatan secara penuh tentang prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia, adalah salah satu di antara kunci-kunci penting untuk mengatasi berbagai yang sedang harus ditanggunglangi oleh bangsa kita dewasa ini. Apa hubungannya antara Hak Asasi Manusia dengan begitu banyaknya problem yang sedang melanda negeri kita? Cobalah sama-sama kita simak hal-hal yang seperti berikut.

Orde baru perusak prinsip-prinsip ham

Kenyataan bahwa TAP MPRS 25/1966 masih dibela oleh begitu banyak orang adalah suatu bukti tentang betapa dahsyatnya kerusakan yang telah ditimbulkan oleh sistem politik rezim militer Orde Baru. Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa salah satu di antara berbagai dosa yang berat Orde Baru adalah justru terletak dalam pembinaan mentalitas bangsa. Bukan saja Orde Baru telah membunuh demokrasi, menyuburkan kebudayaan korupsi, menghancurkan sistem hukum, membiarkan tumbuhnya pertentangan SARA, menyebarkan rasa permusuhan dan pertentangan antara berbagai komponen bangsa, tetapi juga meracuni fikiran banyak orang. Racun itu adalah sikap mental yang memandang rendah Hak Asasi Manusia

Sistem politik otoriter rezim militer Orde Baru adalah sistem yang sepenuhnya didasarkan atas pelanggaran prinsip-prinsip HAM. Walaupun rezim ini sudah ambruk, tetapi karena sampai hari ini (!!!) masih meninggalkan banyak pengaruh yang negatif, dan juga karena sisa-sisa kekuatannya (yang gelap) masih menyelinap dimana-mana, maka tetap perlulah kiranya kita berulang-kali -bahkan sesering mungkin – menelaah kembali berbagai aspek buruk masa gelap bangsa kita ini. Sebab, banyak soal kekinian yang masih ada kaitannya yang erat dengan masa gelap itu. Bahkan banyak persoalan yang akar-akarnya adalah justru tumbuh dalam periode Orde Baru.

Ciri-dasar Orde Baru yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia diwujudkan secara besar-besaran dan menyolok dalam pembunuhan besar-besaran tahun 1965/1966 terhadap lebih dari sejuta orang yang tidak bersalah. Sampai sekarang, masalah ini tidak ada pertanggungan-jawabnya. Bahwa sejuta orang dibunuh, dan kemudian dianggap sepi saja, adalah suatu manifestasi suatu sikap yang tidak menghargai perikemanusiaan sama sekali. Bukan saja dari fihak penguasa, tetapi juga dari berbagai kalangan masyarakat atau komponen bangsa. Yang lebih biadab lagi adalah bahwa cukup banyak orang yang membenarkan, menyetujui, bahkan gembira dengan adanya pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak bersalah itu. Atau, hanya diam seribu bahasa saja.

Pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak bersalah itu, diteruskan lagi dengan penahanan atau pemenjaraan ratusan ribu ORANG TIDAK BERSALAH lainnya selama jangka lama, yang sebagian – puluhan ribu orang jumlahnya!!! – dijadikan ex-tapol, dengan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi pula. Karena itulah, dalam jangka lebih dari 30 tahun, puluhan juta orang keluarga dan sanak-saudara para korban 65/66 dan ex-tapol menanggung berbagai penderitaan; Mereka ini menjadi trauma, serba ketakutan, dan sebagian lagi memang dikucilkan oleh berbagai golongan masyarakat. Terhadap puluhan juta orang semacam ini, penguasa Orde Baru tidak berbuat apa-apa, untuk meringankan penderitaan mereka. Bahkan sebaliknya. Orde Baru telah menyebarkan, selama puluhan tahun, benih-benih perpecahan dan permusuhan, melalui politiknya yang anti Hak Asasi Manusia.

TAP MPRS 25/1966 adalah produk perang dingin

Rezim militer Orde Baru telah menghancurkan PKI, mula-mula dengan pembunuhan dan penahanan/pemenjaraan ratusan ribu anggota serta simpatisannya di seluruh Indonesia, kemudian dengan persekusi dalam bentuk macam-macam dan dalam jangka panjang pula. Kemudian, setelah MPRS divermak oleh penguasa militer (di bawah Suharto) secara tidak sah, telah dikeluarkan pula TAP 25/1966, yang melarang berdirinya PKI serta larangan penyebaran ajaran marxisme/leninisme. MPRS yang sudah divermak itu adalah produk tidak sah penyerobotan kekuasaan Suharto lewat penyalahgunaan Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret). Super Semar ini bukan saja merupakan penyerobotan kekuasaan pimpinan Angkatan Darat, melainkan juga alat yang telah disalahgunakan untuk melakukan berbagai pelanggaran serius lainnya, baik di bidang hukum dan politik, tetapi juga di bidang-bidang lainnya, terutama di bidang Hak Asasi Manusia, yang antara lain berupa TAP MPRS 25/1966. Tindakan MPRS (yang gadungan, palsu atau tidak sah!) ini tidak disetujui oleh Presiden Sukarno.

TAP MPRS no 25 Th 1966 inilah yang sekarang masih mau dipertahankan terus oleh berbagai fraksi dalam DPR dan MPR., dengan mengarang-ngarang berbagai dalih dan mereka-reka berbagai dalil. Secara pokok dapatlah dikatakan bahwa mereka yang ingin mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 adalah orang-orang atau golongan yang belum bisa meninggalkan pola berfikir Orde Baru, dan yang tidak melihat bahwa situasi dalamnegeri maupun internasional sedang berobah dan berkembang terus. Mereka ini tidak menyadari secara jelas, bahwa TAP MPRS No 25/1966 adalah produk gabungan dari situasi waktu itu, yaitu : ketika Perang Dingin sedang berkecamuk secara hebat-hebatnya, ketika pertentangan antara sebagian pimpinan TNI-AD dengan bung Karno dan PKI menajam sekali, ketika kekuatan pro-Barat (baik dalam kalangan militer maupun dalam masyarakat) berhasil memukul kekuatan yang mendukung politik Presiden Sukarno. Mereka yang sekarang ini tetap ingin mempertahankan TAP MPRS No 25/1966 tidak menyadari bahwa TAP MPRS yang tidak sah itu sebenarnya adalah salah satu alat untuk menggerogoti atau melumpuhkan lebih lanjut seluruh kekuatan pro-Sukarno. Perlulah diingat bahwa dalam konteks sejarah waktu itu, politik Presiden Sukarno adalah garis politik yang dimusuhi oleh negara-negara Barat (antara lain : konferensi Bandung, solidaritas dunia ketiga, poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, setiakawan Asia-Afrika, Manipol-Usdek, Nasakom, konfrontasi Malaysia dll)

Mereka yang masih tetap mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 patut diingatkan bahwa peran pengaruh Perang Dingin waktu itu adalah besar sekali dalam percaturan politik dan militer di Indonesia. Sesudah lahirnya RRT, kemudian disusul oleh Perang Korea, dan kemudian dilanjutkan oleh perkembangan di Indo-Cina, maka kedudukan strategis negeri kepulauan Indonesia, menjadi amat penting dalam strategi global negeri-negeri Barat. Maka bermainlah segala macam kekuatan asing untuk mencari sekutu-sekutu mereka masing-masing di dalam negeri Indonesia. Untuk singkatnya, bisalah disederhanakan begini : negara-negara Barat mencari sekutu dalam kubu anti-Sukarno dan anti-PKI, baik yang di dalam Angkatan Darat maupun di dalam berbagai golongan. Seperti yang sudah terungkap dalam berbagai penerbitan dan hasil riset, maka nyatalah bahwa dalam hal ini, peran CIA dan Dinas Rahasia Inggris tidaklah kecil.

Jadi, untuk lebih ringkas lagi : negara-negara Barat berkepentingan untuk menggulingkan Presiden Sukarno, dan untuk bisa menggulingkannya dengan tuntas, maka perlu dihancurkan PKI terlebih dulu. Dan TAP MPRS No25/1966 adalah salah satu bagian penting dari strategi ini. Dan, ternyata hasilnya cukup besar bagi mereka.

Zaman dan peta politik juga berobah

Runtuhnya tembok Berlin, yang merupakan simbol mulai berakhirnya Perang Dingin telah mendorong timbulnya perobahan-perobahan yang cukup besar dalam percaturan politik internasional. Dalam politik internasional terjadi mutasi-mutasi baru, pengelompokan-pengelompokan baru, dan juga pertentangan-pertentangan baru. Pertentangan antara Moskow dan Washington sudah tidak seperti sebelumnya, demikian juga permusuhan antara Cina dan AS maupun dengan Uni Soviet. Persekutuan Eropa makin menonjol dan memainkan peran tersendiri dalam pergaulan internasional. Kedudukan negeri Adi Kuasa kemudian dimonopoli oleh AS. Kemudian, sebagai perkembangan terakhir, hubungan antara Indonesia dan RRT yang pernah dalam permusuhan selama puluhan tahun juga berobah (harap ingat: RRT pernah dituduh terlibat dalam G30S!!!)

Sebagai akibatnya, Indonesia sendiri juga mengalami perobahan-perobahan. Rezim militer Orde Baru, yang tadinya (dalam masa-masa permulaannya), mendapat dukungan yang sebesar-besarnya dari negara-negara Barat (beserta sekutu-sekutu mereka), mengalami juga pergeseran dalam peta politik internasional. Kalau tadinya rezim militer Orde Baru dijadikan “jagoan” dalam membendung bahaya komunisme, (semasa Perang Dingin masih berkecamuk dengan hebatnya), maka setelah tembok Berlin jatuh, “jagoan” ini sudah tidak diperlukan seperti dulu lagi, atau tidak bisa dibela lagi.

Apalagi, setelah rezim militer Suharto makin membusuk dan meneruskan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran, makin sulitlah bagi negara-negara Barat (terutama AS) untuk membelanya. Kalau tadinya, ketika terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang-orang tidak bersalah didiamkan saja oleh mereka, dan ketika agresi terhadapTimor-Timur juga mereka sokong, maka pelan-pelan mereka mengambil jarak terhadap rezim Suharto. Karena opini umum internasional makin keras mengutuk berbagai pelanggaran kehidupan demokratis dan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Orde Baru, maka makin sulit bagi negara-negara Barat untuk diam saja. Berkat kampanye internasional yang terus-menerus dilakukan oleh berbagai Ornop (Organisasi Non-pemerintah –NGO) untuk menelanjangi rezim militer Suharto, maka terpaksa pulalah negara-negara Barat (terutama AS) melepaskan dukungan terhadap kelangsungan pemerintahan rezim yang terlalu kotor dan terlalu buruk untuk disokong. Maka jatuhlah rezim ini pada tanggal 21 Mei1998.

Semua yang diungkapkan di atas adalah bukan soal baru, yang sudah sama-sama kita ketahui. Tetapi, sekedar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, maka perlulah kiranya sekali sekali kita telaah kembali. Dalam rangka inilah perlu kita renungkan tentang lahirnya TAP MPRS no 25 Tahun 1966, latar-belakangnya, serta dampak-dampaknya sampai sekarang.

TAP MPRS yang bertentangan dengan HAM

TAP MPRS no 25/1966 yang melarang eksistensi PKI dan disebarluaskannya marxisme/leninisme (komunisme) adalah salah satu senjata (waktu itu) rezim militer Orde Baru untuk menghancurkan PKI dan lewat kehancuran PKI untuk kemudian melikwidasi seluruh kekuatan-kekuatan pro-Sukarno. Dengan kalimat lain, rezim Orde Baru telah dibangun atas berbagai pelanggaran parah terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, dan salah satu di antara pelanggaran parah itu adalah TAP MPRS no 25/1966 ini. Karena situasi dalamnegeri sudah berobah, dan juga situasi internasional sudah lain pula, maka kiranya perlulah kita semua memandang persoalan TAP MPRS no 25/1966 dari berbagai segi, dan dengan fikiran rasional pula. Bahan-bahan berikut mungkin bisa kita sama-sama renungkan :

  • Apapun dalih yang dikemukakan oleh fihak-fihak yang ingin mempertahankan TAP MPRS itu, perlulah diyakini bahwa TAP ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasai Manusia yang sudah dijadikan pedoman bersama oleh PBB, dan yang ikut ditandatangani oleh Republik Indonesia. (untuk jelasnya, harap baca lagi Deklarasi Universal HAM, supaya tulisan ini menjadi tidak terlalu panjang).
  • TAP MPRS no 25/1966 adalah pada prinsipnya merupakan pedoman atau garis besar haluan negara. Ini berarti bahwa suatu pelanggaran HAM telah nyata-nyata tercantum sebagai haluan negara Sebagai konsekwensinya TAP MPRS ini merupakan suatu aib bangsa. Sebab, itu berarti bahwa bangsa kita membiarkan diri untuk dibimbing oleh suatu pedoman yang salah, dan yang nyata-nyata telah mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan banyak orang
  • Mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 berarti meneruskan atau melanggengkan kesalahan Orde Baru. Kesalahan ini telah merupakan sumber perpecahan, benih rasa permusuhan, bibit pertentangan antar golongan di berbagai komponen bangsa, yang tidak menguntungkan persatuan nasional, kehidupan demokrasi, dan rekonsiliasi nasional
  • Mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 berarti mengingkari perlunya demokrasi yang sungguh-sungguh. Sebab, demokrasi mengandung pengertian perlunya toleransi terhadap perbedaan agama dan keyakinan politik, dan pengertian akan pentingnya pluralisme dan kerukunan SARA
  • Mempertahankan TAP MPRS No 25/1966 berarti melanggengkan pengucilan terhadap satu golongan dalam masyarakat yang selama 32 tahun sudah diperlakukan secara tidak adil, dan yang jumlahnya puluhan juta orang. Kalau TAP MPRS ini tetap dipertahankan, itu berarti bahwa persekusi politik dan teror mental terhadap para keluarga korban pembunuhan 65/66 dan keluarga ex-tapol akan berlangsung terus, dalam berbagai bentuk dan cara.
  • Dalih bahwa TAP MPRS no 25/1966 adalah untuk membendung komunisme adalah naif, bodoh dan salah. Dalam zaman Internet, menyebarkan dan membaca bahan-bahan atau dokumen-dokumen yang berisi Marxisme/Leninisme/Komunisme, bukanlah pekerjaan yang sulit. Selain itu, faham komunisme pun sekarang ini sedang terus mengalami perkembangan dan perobahan terus (lihat perkembangan di Cina, di Perancis, di Kuba atau di berbagai negeri lainnya). “Bahaya komunisme” yang selama Perang Dingin menjadi barang dagangan berbagai fihak, sekarang sudah makin kehilangan pasaran. Tambahan lagi, ajaran marxisme tidak bisa dibrantas begitu saja, karena bisa disalurkan melalui berbagai cara dan bentuk.

Kesimpulan yang kiranya bisa kita tarik dari itu semua adalah bahwa : mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 adalah manifestasi dari ketidakfahaman atau ketidakpedulian terhadap prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan melanggengkan kesalahan-kesalahan Orde Baru yang sumber utamanya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jadi, mempertahankan TAP MPRS no 25/1966 adalah terus-menerus menjerumuskan mental bangsa kita ke dalam suasana permusuhan. Dan inilah yang harus kita tentang habis-habisan, demi kepentingan bangsa yang kini maupun bagi kepentingan generasi kita yang akan datang.

Perjuangan untuk mencabut TAP MPRS no 25/1966, bukanlah hanya untuk kepentingan segolongan dalam masyarakat kita, melainkan bagi tegaknya Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Maunsia adalah pelindung bagi kepentingan seluruh rakyat dan bangsa, tidak peduli dari keyakinan politik yang manapun, agama yang manapun, suku apapun, atau ras apapun. Seperti yang terjadi di banyak negeri di dunia, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia adalah SENJATA KITA SEMUA, untuk melawan setiap ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan, yang dilakukan oleh FIHAK MANAPUN juga.

Makin cepat dibuang, makin baik bagi bangsa

Oleh karenanya, adalah kuwajiban kita semua, untuk tidak jemu-jemu selalu mengingatkan dan menghimbau para anggota MPR dan DPR, para pimpinan partai politik, para tokoh masyarakat dan kalangan intelektual bangsa, bahwa sesudah tumbangnya Orde Baru, kita memerlukan adanya kedamaian sosial dan kerukunan SARA untuk bersama-sama merakit rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional adalah salah satu syarat untuk menuntaskan reformasi di berbagai bidang, dan syarat untuk membangun Indonesia Baru di atas reruntuhan sistem politik rezim militer Orde Baru.

Tetapi, kiranya masuk di akallah bahwa rekonsiliasi nasional yang sungguh-sungguh (yang genuine) tidak mungkin tercapai kalau TAP MPRS no 25/1966 masih terus meracuni fikiran banyak orang. Sebab, menurut pengalaman selama tiga dasawarsa, sudah banyak bukti nyata yang sama-sama kita saksikan bahwa TAP MPRS no 25/1966 ini merupakan alat yang telah digunakan oleh pendukung-pendukung setia Orde Baru untuk melakukan terror politik dan persekusi mental terhadap mereka yang menentang rezim militer. Bukan itu saja! TAP MPRS ini selama puluhan tahun telah menjadi sumber dari sikap permusuhan, pertentangan, kecurigaan, fitnahan dan tuduhan (yang tidak berdasar) terhadap segolongan dalam masyarakat.

Dalam rangka ini perlulah kiranya para tokoh-tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan dll), para ulama dan kyai - juga pendeta - dihimbau untuk menyadarkan umat mereka masing-masing bahwa TAP no 25/1966 itu tidak mendidik manusia untuk menghargai sesama mahluk Tuhan, dan tidak mendorong orang menghayati demokrasi dan toleransi, juga tidak menumbuhkan rasa damai dan persaudaraan antara umat. Singkatnya, TAP MPRS no 25/1966 adalah bertentangan dengan ajaran agama yang manapun.

Karenanya, berdasarkan pengalaman puluhan tahun selama rezim militer Orde Baru, TAP MPRS no 25/1966 telah membuktikan diri bahwa bukanlah sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan bangsa, bahkan sebaliknya. Sekarang ini, bisalah kiranya kita yakini bahwa reformasi tidak akan berhasil secara sempurna selama TAP MPRS ini masih merupakan ganjelan. Artinya, produk haram Orde Baru ini haruslah dibuang, kalau reformasi mau dituntaskan. Secara nasional, barang ini bukanlah sesuatu yang patut dibangga-banggakan sama sekali. Sedangkan secara internasional, TAP MPRS 25/1966 hanya merupakan cacad yang membikin makin buruknya citra bangsa Indonesia.

Karenanya, makin cepat cacad yang diwariskan Orde Baru ini dibuang, akan makin cepat pulalah reformasi bisa kita teruskan dalam perjalanan menuju rekonsiliasi nasional.