01 Mei 2000 — 13 menit baca

Masalah pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966

Catatan: Tanggal pasti 2000-05

Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia (pamflet, gaya bebas berfikir)

Agaknya, perlu ada peringatan terlebih dulu sebelum membaca lebih lanjut tulisan ini. Pertama, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai hasutan supaya orang menjadi amuk-amukan tidak karuan. Kedua, tidak bertujuan untuk menyebarkan kebencian dan dendam. Ketiga, tidak mengajak berfikir picik, sempit dan dungu. Ke-empat, bukan usaha untuk membohongi pendapat umum. Ke-lima, tidak membahayakan negara dan bangsa. Ke-enam, tidak merugikan kepentingan rakyat. Ke-tujuh, ke-delapan, ke-sembilan dan seterusnya, harap simak sendiri isinya.

Di bawah pimpinan Gus Dur, bangsa dan negara kita sedang berusaha untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan berat yang diwariskan oleh Orde Baru di berbagai bidang. Terlalu banyaklah soal parah yang harus kita selesaikan bersama-sama, umpamanya : pemberantasan KKN yang sudah mengakar dalam fikiran banyak orang, penegakan hukum yang sudah awut-awutan, penyalahgunaan kekuasaan dan juga penggunaan kekerasan yang pernah merajalela selama puluhan tahun, kebejatan moral di kalangan elite yang sampai sekarang masih nampak nyata dimana-mana. Sementara itu, kita lihat bahwa pelanggaran HAM sudah mulai ditangani, dan arogansi militerpun sudah mulai bisa dikendalikan. Kejaksaan Agung, sarang pelecehan hukumpun sedang dibersihkan, dan lain-lainnya, yang bisa kita baca di koran-koran.

Karenanya, agaknya bolehlah kita mulai menaruh harapan bahwa fajar akhirnya meyingsing di ufuk Timur, sehingga bangsa kita pelan-pelan akan meninggalkan kekelaman malam yang pernah memeras air mata kepedihan dan darah penderitaan, begitulah (ecek-eceknya!) ungkapan yang kedengarannya agak puitis. Tetapi, kita tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan agenda bangsa yang perlu mendapat prioritas untuk ditangani, yaitu masalah pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak berdosa dalam tahun 65/66. Sebab, selama masalah ini belum menemukan cara penyelesaian, maka akan tetap merupakan penyakit bangsa yang terus mengganggu fikiran banyak orang. Mohon kesediaan Anda utuk bisa bersama-sama menimbang-nimbang berbagai masalah sebagai berikut.

Pembunuhan 65/66 merupakan luka lama?

Pertanyaan utama yang kiranya perlu kita bahas lebih dulu adalah : apakah masalah pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 masih perlu kita bicarakan? Bukankah ini sudah terjadi 35 tahun yang lalu, dan baik kita lupakan saja, demi ketenangan masyarakat? Apakah membicarakan pembunuhan 65/66 bukan mengungkit-ungkit masalah lama, yang bisa menimbulkan perpecahan atau pertentangan? Apa perlunya mengangkat kembali masalah yang sudah didiamkan banyak orang? Apakah tidak baik, kita tutup saja masa lalu, dan kita buka halaman baru?

Pertanyaan semacam itu bagus-bagus saja diajukan. Sebab dengan begitu, kita semua bisa diajak berfikir dengan kritis dan dengan fikiran jernih pula kita bisa mencoba memberikan jawabannya. Agaknya, yang berikut ini adalah sebagian yang bisa kita kemukakan. Terserah kepada kita semua untuk melengkapinya (atau untuk memperbaikinya). Terlebih dulu, perlu ditegaskan bahwa perlu sekali membicarakan (kalau perlu, berkali-kali dan berkali-kali!) masalah ini. Walapun peristiwa ini sudah terjadi 35 tahun yl, tetapi lukanya masih menganga terus dan darah pedihnya masih terus mengalir juga di hati banyak orang, dan itupun sampai sekarang! Jadi, masalah ini masih tetap menjadi persoalan kini, masih merupakan problem aktual yang relevan sekali untuk kita carikan penyelesaiannya.

Hal ini masih kita saksikan sendiri kalau kita sekarang mengunjungi salah satu atau beberapa di antara ratusan ribu keluarga, yang sanak-saudaranya (dekat maupun jauh) telah menjadi korban pembunuhan besar-besaran waktu itu. Kita masih bisa dengar dari mereka (yang berani bicara, tentunya!) betapa hebatnya masalah itu telah menghantui mereka selama puluhan tahun. Mungkin juga, kita bisa dengar dari mereka bahwa selama ini mereka takut bicara tentang masalah keluarga mereka. Tidak tertutup juga kemungkinan bahwa mereka tidak mau bicara sama sekali, karena masih ketakutan, atau karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Nah, agaknya di sinilah kita sampai pada satu soal yang mengasyikkan untuk kita ulas bersama-sama.

Mengapa perlu bicara ttg pembunuhan 65/66?

Kenyataan bahwa banyak orang takut berbicara tentang anggota keluarga mereka yang menjadi korban pembunuhan besar-besaran dalam tahun-tahun 65/66 adalah sesuatu yang pantas kita jadikan renungan bersama. Juga dijadikan suatu objek studi ilmiah yang serius bagi para ahli di bidang politik, psikologi, sosiologi, atau, entah di bidang apa lagi lainnya. Sebab, bukankah aneh bahwa masalah yang begini besar (ingat: lebih dari satu juta orang dibunuh dalam kurun waktu kurang dari setahun) telah didiamkan saja selama puluhan tahun. Sedangkan terbunuhnya 3000 orang di Chili oleh regime militer Pinochet sudah menggegerkan opini dunia. Mengapa di Indonesia orang takut membicarakannya?

Sudah jelaslah, bahwa ketakutan untuk membicarakan peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 beserta akibat-akibatnya adalah akibat politik represi rezim militer di bawah pimpinan Suharto. Tetapi, dengan mengulas lebih dalam cara-cara atau praktek politik represi itu, maka makin meyakinkanlah bagi kita semua bahwa rezim militer Orde Baru telah melakukan pelanggaran yang amat serius sekali dan secara besar-besaran, dan lagi pula selama puluhan tahun ! – terhadap HAM. Luar biasa, sekali lagi, luar biasa!

Karena itu, agaknya sudah waktunyalah bahwa kita semua bersama-sama berani berbicara, berani mengulas, berani membahas masalah besar ini. Berbicara tentang pembunuhan besar-besaran 65/66 (dan akibat-akibatnya) merupakan sumbangan kita bersama untuk menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran penting bagi generasi muda kita sekarang, dan juga generasi kita yang akan datang, anak cucu kita. Berbicara tentang peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 harus dilakukan dengan tujuan pendidikan moral, pendidikan etik bermasyarakat, pendidikan untuk mengembangkan toleransi, pendidikan HAM. Berbicara tentang peristiwa tragis ini haruslah dengan dasar pengertian bersama untuk mencegah terulangnya kembali, dalam bentuk kecil maupun besar, pengalaman yang serupa. Sebab, peristiwa ini (dan akibat-akibatnya) sungguh-sungguh mencerminkan situasi gila, yang akibat-akibatnya masih sama-sama kita saksikan dewasa ini. Berikut adalah contohnya.

Cerita ttg ahmad dan siti sundari

Kita semua bisa membayangkan bahwa banyak sekali cerita tentang peristiwa pembunuhan 65/66 ini. Baik yang berkaitan dengan keluarga para korban, maupun tentang akibat-akibatnya di berbagai bidang lainnya. Di antaranya, contoh yang berikut ini, yang ceritanya hanyalah fiktif semata-mata, tetapi yang initinya mencerminkan, banyak sedikitnya, keadaan waktu itu.

Ahmad adalah seorang pimpinan Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Purwokerto. Ia dikenal sebagai seorang yang aktif membela kepentingan anggota-anggotanya. Ia tahu bahwa SBKA adalah anggota SOBSI (untuk mereka yang belum tahu, SOBSI adalah singkatan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), seperti halnya banyak sekali serikat buruh di berbagai lapangan kerja waktu itu (perkapalan, perkebunan, industri, perminyakan, pegadaian, tekstil, perhotelan, dll). Di Purwokerto ia dikenal sebagai pimpinan SBKA, yang aktif sekali mengadakan aksi-aksi untuk mendukung politik Presiden Sukarno, umpamanya : perjuangan pembebasan Irian Barat, Manipol, Usdek, Nasakom dll (bagi yang tidak tahu itu semuanya, atau mau tahu lebih banyak lagi, harap tanya kepada orang lain atau cari bahan bacaan yang lain). Pada suatu malam di akhir Oktober 1965, sepasukan tentara telah menggrebek rumahnya. Di depan istrinya dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil (3, 5, dan 7 tahun) Ahmad dipukuli sampai pingsan karena tidak mau menunjukkan daftar anggota pimpinan SBKA lainnya. Akhirnya, ia diborgol dan terus dibawa, entah ke mana.

Istri Ahmad, namanya Siti Sundari, esoknya, lusanya, dan hari-hari berikutnya, mencari keterangan di kantor CPM terdekat, di kantor Kodim dll, di manakah gerangan suaminya dibawa atau ditahan. Tidak ada yang bisa memberi keterangan. Selama dua tahun ia kemana-mana untuk cari keterangan. Termasuk di penjara-penjara di mana banyak tahanan dikumpulkan. Sia-sia. Sementara itu, ia tidak terima gaji suaminya lagi dari Jawatan Kereta Api Purwokerto, sejak suaminya dibawa tentara itu. Siti Sundari masih bisa menerima sumbangan dari adiknya, seorang Jaksa. Tetapi Jaksa ini memberikan sumbangan ini dengan pesan, supaya jangan ketahuan siapa-siapa. Dan kalau Siti Sundari datang, harus malam-malam saja. Kemudian, Jaksa ini menganjurkan Siti Sundari supaya jangan datang-datang lagi ke rumahnya, karena bisa membahayakan kedudukannya. Kalau minta bantuan, supaya kirim orang lain saja. Siti Sundari juga dilarang oleh si Jaksa untuk menemui teman-teman si Jaksa atau keluarga istri si Jaksa.

Karena kehidupan Siti Sundari makin sulit, maka ia sudah tidak bisa memberi makan anaknya lagi. Barang-barang sudah mulai habis dijual. Ia terpaksa minta-minta kasihan kepada kakanya, seorang kepala sekolah dasar di Cilacap, supaya bisa menampung anaknya yang tertua, yang bernama Kardono. Si kepala sekolah mau menerima kemenakannya asal jangan dikatakan kepada siapa-siapa. Si Kepala Sekolah mengatakan kepada tetangga-tetangganya bahwa Kardono itu adalah kemenakan istrinya. Untuk keselamatan lebih lanjut, nama Kardono dirobah namanya menjadi Abdullah, nama Islam. Si Kepala Sekolah juga menganjurkan supaya Siti Sundari jangan datang-datang lagi ke Cilacap. Kalau seandainya ia terpaksa datang juga, harus selalu mengatakan kepada semua tetangga atau kenalan si Kepala Sekolah bahwa Siti Sundari adalah dukun para normal yang didatangkan untuk mengobati istrinya yang sakit.

Siti Sundari, yang tammatan SMP, makin lama makin sulit juga hidupnya. Ia terpaksa minta kepada kakak Ahmad (suaminya), yang menjabat pegawai menengah dan anggota pimpinan cabang Golkar di kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, untuk mengadopsi anak laki-lakinya yang kedua (si Prayogo). Si pimpinan Golkar ini terpaksa menerima si Prayogo dengan syarat bahwa si Prayogo itu adalah adalah anak angkat yang diambil dari perumahan yatim-piatu (entah mana saja). Kakak Ahmad ini (si pegawai kantor gubernuran) melarang istri dan anak-anaknya untuk menyebut-nyebut nama Ahmad kepada siapa saja. Bahkan, supaya lebih aman untuk melindungi jabatannya, ia mengatakan kepada anak-anaknya bahwa Ahmad adalah berbahaya untuk negara dan bangsa, karena ia anggota PKI. Sementara itu, kehidupan yang makin lama makin sulit, memaksa Siti Sundari menyerahkan anaknya yang terkecil, si Hartati, kepada badan sosial Kristen di Purwokerto. Akhirnya, (untuk menyingkatkan cerita) Siti Sundari mati sendirian di rumah seorang temannya di pinggiran kota Purwokerto, sesudah sakit bengek yang berkepanjangan. Ia mati sendirian, karena seluruh sanak-saudara dari fihaknya, dan juga dari fihak suaminya, sudah makin menjauhinya. Ia mati tanpa diketahui oleh anak-anaknya. (Cerita Siti Sundari dihabisi di sini saja. Sebab, tulisan ini bukan buku! Sekedar secuwil dari pamflet, tulisan yang bernuansa satiris dan berisi sindiran dan gugatan).

Contoh yang disajikan di atas itu apakah berlebih-lebihan? Tidak, saudara-saudaraku. Di sekitar Anda sendiri bisa ditemukan cerita-cerita asli dan sebenarnya (bukan fiktif, melainkan yang berdasarkan kenyataan), yang lebih mengharukan, yang lebih mengerikan, tetapi yang juga lebih membangkitkan kemarahan atau sikap brontak dalam hati kita masing-masing. Sudah sampai begini kejamkah situasi waktu itu? Mengapa Siti Sundari harus mendapat hukuman yang berupa penderitaan yang demikian berat? Apa salah anak-anaknya sehingga terpaksa merobah nama dan bahkan menyembunyikan siapa ayahnya? Mengapa kakak dan adik atau kemenakan-kemenakan terpaksa harus menjauhi Siti Sundari? Apakah karena Ahmad? Dan, kalau karena Ahmad, lalu apakah Ahmad itu bersalah? Apa dosanya?

Membisu adalah ikut berdosa

Kita semua pernah ikut berdosa bahwa selama lebih dari 32 tahun telah tidak berani bersuara terhadap pelanggaran perikemanusiaan yang begini menyolok mata dan menusuk hati. Harus diakui bahwa situasi di bawah rezim otoriter Orde Baru memang tidak memungkinkan bagi banyak orang untuk berbuat banyak, walaupun ratusan ribu kasus seperti yang dialami oleh Ahmad telah terjadi di seluruh negeri, dalam bentuk yang berbeda-beda. Banyak mata terpaksa dipicingkan, telinga harus dipekakkan, mulut harus ditutup, terhadap kejadian ratusan ribu Siti Sundari. Banyak hati terpaksa menahan kepedihan, tanpa bisa berbuat banyak, waktu melihat kasus-kasus ratusan ribu Kardono atau Prayogo.

Kesalahan penguasa Orde Baru (beserta pendukung-pendukung setianya di berbagai kalangan seperti kalangan …isi sendiri, walaupun dalam hati saja) bukannya hanya membiarkan terjadinya peristiwa pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 yang sangat memilukan hati itu, tetapi juga karena telah ikut menyiksa jutaan orang seperti Siti Sundari, Kardono, Prayogo, Hartati, si Jaksa, si Kepala Sekolah, si pegawai kantor Gubernuran, selama puluhan tahun pula. Di samping itu, masih ada lagi puluhan juta orang lainnya yang selalu ketakutan oleh terror bahaya laten PKI, bersih lingkungan, surat bebas 30S, litsus dll yang terus-menerus dikaok-kaokkan secara intensif.

Sisa-sisa atau akibat-akibat peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 masih kita rasa, atau kita lihat, sampai sekarang. Kiranya, kita semua harus menggalang tekad bersama untuk menghapuskan sisa-sisa atau akibat-akibat peristiwa itu. Untuk itu, kita harus berani mengangkat persoalan peristiwa itu untuk dibicarakan, dipelajari, untuk bersama-sama menemukan jalan yang terbaik untuk penyelesaiannya. Pokoknya, persoalan ini tidak bisa didiamkan saja. Artinya, kita tidak boleh hanya membisu atau bersikap membuta-tuli saja terhadap masalah ini. Sebab, mendiamkan saja persoalan ini, berarti tetap menyimpan terus borok parah dan busuk, yang selama lebih dari 30 tahun masih terus menjangkiti kehidupan bangsa kita. Singkatnya, membisu terhadap persoalan ini, adalah berdosa terhadap bangsa dan anak cucu kita.

Mengutuk pembunuhan besar-besaran itu adalah hak

Dewasa ini, agaknya, kita bisa mulai menaruh harapan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang disertai penggunaan kekerasan sedang diusut untuk diadili. Umpamanya: peristiwa-peristiwa di Aceh, Tg Priuk, peristiwa 27 Juli, kasus Marsinah, Timor Timur dll. Itu semua merupakan langkah-langkah permulaan bagus untuk meletakkan dasar-dasar penegakan hukum dan perasaan keadilan. Dalam konteks ini, perlulah kiranya kita berusaha bersama-sama menciptakan syarat-syarat agar peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 juga mendapat penyelesaian yang adil, sehingga bisa mempercepat tercapainya kedamaian hati banyak fihak.

Adalah penting sekali bagi kehidupan bangsa, bagi penulisan sejarah bangsa, untuk membuktikan kepada semua fihak bahwa peristiwa pembunuhan besar-besaran itu adalah kesalahan serius, adalah dosa besar, adalah pelanggaran berat terhadap HAM, adalah kejahatan moral, adalah bertentangan dengan ajaran agama yang manapun, adalah tindakan yang tidak diridhoi Tuhan, adalah noda besar bangsa, adalah dan adalah.., adalah. (kehabisan kata-kata, harap tambah sendiri, pokoknya yang jelek-jelek dan nista. Pen). Jadi, mengutuk pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 adalah hak (artinya : benar), menyalahkan konseptornya dan para pelakunya adalah benar, menghujat tindakan yang tidak berperkemanusiaan itu adalah benar.

Seperti halnya kasus di Aceh, di Lampung, di Tanjung Priuk, di Jl Diponegoro (kasus 27 Juli) dll, adalah hak bagi para korban pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 untuk minta pertanggungan jawab (entah dari siapa? Pen) atas terjadinya tragedi nasional itu. Apalagi, pembunuhan besar-besaran ini mencakup korban yang begitu besar, yang juga menyeret penderitaan bagi puluhan juta warganegara lainnya. Penderitaan ini masih ditanggung oleh mereka sampai sekarang, dalam berbagai bentuk dan berbagai derajat. Dan penderitaan inilah yang harus diakhiri, demi tercapainya kehidupan bangsa yang lebih sehat.

Mengingat itu semua, terasa amatlah makin mendesak sekarang untuk menghimbau supaya para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 berani menyuarakan penderitaan mereka, dengan berbagai jalan dan cara. Suara mereka perlu sekali untuk menyadarkan mereka-mereka (baik yang di kalangan MPR, DPR, Mahkamah Agung, kabinet, Kejaksaan Agung, pimpinan militer, pimpinan partai-partai, pemuka-pemuka agama, intelektual dll) yang masih terus membela kebenaran pembunuhan besar-besaran 65/66, atau yang masih mau menutup-nutupinya, apalagi mereka yang sampai sekarang masih mau meneruskan pola berfikir anti-HAM yang selama ini telah dipakai sejak tahun 65/66 itu.

Supaya suara para korban pembunuhan 65/66 ini bisa didengar lebih luas, maka sebanyak mungkin golongan dan kalangan yang pro-HAM, pro-demokrasi dan pro-reformasi perlu sekali, dengan berani dan terang-terangan, mengangkat peristiwa yang menjadi tragedi bangsa ini, menurut cara dan kemampuan masing-masing. Dalam konteks ini, apa yang telah dikerjakan oleh Yayasan Pakorba, YPKP 65/66, KAP-TN, SNB dll perlu disambut dengan gembira dan dibantu oleh semua fihak, termasuk fihak pemerintah.

Dalam usaha kita bersama, di bawah pimpinan Gus Dur, untuk menegakkan demokrasi, penegakan hukum, menjunjung tinggi HAM dan peradaban bangsa, masalah peristiwa pembunuhan 65/66 haruslah berhenti jadi tabu (larangan untuk dibicarakan). Kita harus bersama-sama mengangkatnya, untuk dibahas bersama-sama, guna mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya, sesuai dengan kaidah-kaidah perasaan keadilan dan perikemanusiaan. Itu semua demi persatuan bangsa, demi rekonsiliasi nasional, demi pengabdian kepada sesama ummat manusia. (Habis di sini, tulisan pertama).