13 Oktober 2002 — 9 menit baca

Malu menjadi bangsa Indonesia, malu menjadi Islam

Aksi terror peledakan bom di dua tempat (di Denpasar dan Renon) yang mengakibatkan meninggalnya begitu banyak orang (sebagian besar warganegara asing) dan lukanya ratusan orang pada hari Sabtu malam tanggal 12 Oktober merupakan peristiwa besar dan serius bagi bangsa Indonesia, mengingat dampaknya yang luas, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Sebab, kejadian ini ada hubungannya yang erat dengan berbagai persoalan yang telah dan sedang terjadi di tanahair kita.

Kalau kita renungkan bersama secara dalam-dalam peristiwa Denpasar dan berbagai soal yang sedang terjadi di negeri kita dewasa ini akan bisa mengertilah kita mengapa banyak orang menjadi frustrasi, prihatin, marah atau bingung. Keadaan negara dan bangsa kita dewasa ini memang sudah membikin pedihnya hati banyak orang yang peduli terhadap keadaan bangsa kita dewasa ini dan juga hari depan generasi kita yang akan datang. Sebab, keadaan sudah begitu bobroknya di segala bidang, dan pembusukan besar-besaran sudah begitu mengganasnya di berbagai golongan bangsa, sehingga makin banyak orang yang menyatakan “malu menjadi bangsa Indonesia” atau “malu menjadi orang Islam”.

Ucapan semacam ini adalah amat serius! Oleh karena itu, perlulah masalah ini dijadikan pengkajian yang dalam di berbagai kalangan, diangkat sebagai bahan diskusi di perguruan tinggi dan pesantren, dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan partai dan organisasi masyarakat, dipersoalkan di kalangan berbagai badan pemerintahan, bahkan juga di kalangan keluarga. Sebab, masalah ini adalah soal besar yang menjadi urusan kita semua, sebagai anak bangsa dan sebagai warganegara republik kita. Mengapa?

Kalau kita baca pers Indonesia, atau melihat siaran-siaran televisi dan mendengarkan radio, maka kelihatan nyatalah bahwa keadaan bangsa dan negara memang sudah keterlaluan bobroknya. (Ini bisa kita saksikan sendiri, kalau melihat di sekeliling kita masing-masing di Indonesia). Kita jadi bisa bertanya-tanya, kenapa bangsa kita menjadi begini rusak dan negara begini bobrok? Betapa pula tidak! .

Pembusukan Yang Sudah Menyeluruh

Setiap hari kita disodori berita-berita (dan juga gosip!) tentang betapa bejatnya moral di kalangan pemimpin atau “tokoh” masyarakat di HAMPIR SEMUA golongan, partai atau organisasi. Berita-berita soal korupsi besar-besaran (dan keterlaluan!!!) yang terjadi di kalangan atas sudah menjadi sajian sehari-hari, sehingga kita menjadi ragu yang mana sajakah yang masih bisa dipercayai atau masih bisa dihormati. Kasus Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, Ketua DPR Akbar Tanjung, Wakil Ketua MPR Ginanjar Kartasasmita, Wakil Ketua DPR A. M. Fatwa, Jaksa Agung M. A. Rahman, adalah sebagian kecil saja yang kelihatan dari gunung es pembusukan yang sedang terjadi.

Sekarang makin banyak bukti bahwa DPR (artinya juga MPR) menjadi sarang bagi oknum-oknum yang menamakan dirinya “wakil rakyat” yang bermain-ria dalam kubangan kotor korupsi (tidak semua, memang!). Untuk mengesahkan undang-undang, atau menyetujui projek-projek (listrik dll), anggota-anggota DPR perlu disuap. Halaman parkir DPR sudah menjadi show-room mobil mewah yang berjejer-jejer. Di samping itu, gedung pengadilan sudah menjadi pasar jual-beli dan tawar-menawar secara haram dalam menyelesaikan perkara, antara hakim, jaksa, saksi, terdakwa atau tertuduh, dan pengacara. Polisi di semua jajaran, dari tingkat yang paling rendah sampai yang tertinggi, juga bisa dibeli. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa “kebenaran” atau “keadilan” sering memihak kepada yang punya uang.

Kejaksaan Agung, yang di banyak negeri merupakan salah satu di antara simbul-simbul penegakan hukum, keadilan dan kebenaran, di Indonesia dicemarkan oleh moral pimpinannya yang patut dinajiskan oleh banyak orang. Cerita yang berbelit-belit dan maral-melintang tentang rumahnya yang mewah seharga lebih dari Rp 1 milyar (dan deposito di bank sebanyak Rp 800 juta) adalah contoh tipikal moralitas kalangan atas di Indonesia. Sumpah jabatan dengan Alquran pun sudah dianggap kentut saja oleh mereka. Di kalangan para pemuka agama, atau tokoh-tokoh yang menggunakan agama sebagai alat kotor,untuk mengumpulkan kekayaan secara bathil pun sudah banyak muncul. Yang terakhir adalah peristiwa PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), di mana bermilyar-milyar rupiah uang orang banyak (termasuk uang PPP) dikadali oleh Ramly Arabi. Juga dalam perkara ini banyak tokoh dan pejabat penting tersangkut (Sinar Indonesia Baru, 6 Sep. 2002).

Citra Buruk Yang Sudah Lama

Sebenarnya, citra buruk Indonesia ini bukan hanya sekarang saja. Ini sudah terjadi sejak adanya pembantaian lebih dari satu juta manusia tidak bersalah dalam tahun 1965 oleh para pendiri Orde Baru., dan pemenjaraan ratusan ribu tahanan politik selama puluhan tahun. Citra buruk ini dibikin lebih parah lagi dengan agresi militer dan pembunuhan di Timor Timur, dan kemudian diteruskan dengan pelanggaran HAM diberbagai daerah di Indonesia, selama puluhan tahun pula (contoh, di antaranya : Aceh, Irian Jaya, Haur Koneng, Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli, penculikan dan pembunuhan anak-anak PRD, perlakuan terhadap ex-tapol dan para korban Orde Baru lainnya).

Sekarang ini, citra buruk ini masih terus dilanjutkan, bahkan, diperparah lagi, dengan adanya aksi-aksi kekerasan, pengrusakan, dan terror yang dilakukan oleh sebagian golongan yang menamakan diri mereka Islam, antara lain oleh Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majlis Mujahidin, Ahlus Sunnah Waljamaah, KISDI danyak golongan yang sejenis dan sefaham. Citra Indonesia, sebagai negara dengan penduduknya yang terbesar dari golongan Islam, sudah makin coreng-moreng. Sayang sekali, bahwa dalam hal ini, MUI (Majlis Ulama Indonesia) serta tokoh-tokoh Islam dan pejabat-pejabat tinggi negara yang kebanyakan beragama Islam (termasuk Wakil Presiden Hamzah Haz) selama ini tidak bersikap tegas untuk mencegah terjadinya aksi-aksi atau sikap yang negatif itu.

Jadi, citra Indonesia yang sudah amat buruk sejak lama oleh karena adanya korupsi parah yang merajalela, dan pelanggaran-pelanggaran HAM, makin dibikin lebih buruk lagi oleh aksi-aksi berbagai golongan yang menamakan diri Islam. Dalam kaitan ini patut kita ingat bentrokan-bentrokan berdarah di Maluku, Poso, dan aksi-aksi terror di Jogya, dan Menado akhir-akhir ini. Peledakan bom di Bali adalah puncak dari beraneka-ragam aksi-aksi terror itu. Kiranya, sudah waktunyalah bahwa para pemeluk Islam lainnya di Indonesia, berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara, untuk memperbaiki citra buruk Islam yang dikotori oleh mereka-mereka ini. Bukan hanya untuk mencegah terjadinya pengrusakan, terror dan penganiayaan seperti yang dilakukan akhir-akhir ini, melainkan juga dengan tegas dan jelas ikut memerangi korupsi.

Sebab, kita sama-sama saksikan sendiri bahwa gejala-gejala korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di negeri kita selama ini kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam, sembahyang lima waktu, memberikan zakat, berpuasa, dan naik haji pula. Orang mengatakan bahwa di negara kita yang berpenduduk 210 juta ini sebagian terbesar (lebih dari 85 %) adalah pemeluk agama Islam. Namun, dunia juga mengenal Indonesia sebagai negara yang korupsinya termasuk yang paling tinggi!.

Memang Sudah Memalukan Sekali

Lalu? Apakah kita perlu merasa malu menjadi bangsa Indonesia? Memang! Kita perlu merasa malu bahwa ketika utang luarnegeri kita sudah mencapai sekitar 150 milyar US$, masih banyak tokoh-tokoh kita yang berlomba-lomba membeli banyak mobil dan rumah mewah dari uang haram. Kita perlu malu bahwa ketika pengangguran sudah mencapai lebih dari 40 juta orang, banyak pejabat pemerintahan kita (dari tingkat atas sampai bawah) masih tega hati untuk mencuri dana publik dengan berbagai cara (memperdagangkan projek-projek, menggelembungkan harga-harga, atau cara-cara kotor lainnya). Adalah memalukan, dan sekaligus menyedihkan, bahwa untuk mengurusi para pengungsi di berbagai daerah yang dilanda kekacauan terpaksa diminta bantuan dari negara-negara asing, namun kemudian sebagian dana itu juga disunat atau ditilep masuk kantong sendiri. Adalah memalukan dan sekaligus membikin geram banyak orang bahwa begitu banyak perkara menumpuk di kantor-kantor kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan, yang kemudian “menghilang” begitu saja masuk peti es. Yang juga memalukan dan sekaligus memprihatinkan bagi bangsa adalah bahwa dewan perwakilan rakyat kita diketuai oleh seorang yang terpidana karena soal penyelewengan keuangan. Daftar hal-hal yang memalukan ini bisa lebih panjang lagi…………..

Jelaslah kiranya bagi kita semua bahwa banyak sekali persoalan dalamnegeri kita yang patut menjadikan kita malu sebagai bangsa atau sebagai warganegara. Memang, sebagian besar kebusukan dan keburukan itu adalah akibat, produk atau warisan sistem politik Orde Baru. Termasuk sumber daya manusia yang kita miliki dewasa ini. Sebab, tidak boleh kita lupakan bahwa kebanyakan tokoh-tokoh kita dalam bidang eksekutif, legislatif dan judikatif (termasuk tokoh-tokoh dalam berbagai golongan masyarakat) adalah hasil didikan, bimbingan dan pembinaan Orde Baru yang berlangsung lama sekali, yaitu lebih dari 30 tahun! Sayangnya, adalah bahwa justru berbagai produk yang merusak bangsa inilah yang sekarang ini masih ingin dipertahankan terus oleh berbagai golongan dalam masyarakat kita (antara lain : Golkar, sebagian TNI-AD, sebagian golongan reaksioner di kalangan Islam, dan pendukung-pendukung Orde Baru lainnya, yang bersembunyi di banyak kalangan).

Kalau kita cermati apa yang terjadi di Jakarta selama ini, dan juga di daerah-daerah (propinsi dan kabupaten) maka jelaslah bahwa Orde Baru telah merusak bangsa Indonesia. Dan kerusakan yang paling besar adalah di bidang moral. Kerusakan di bidang moral inilah yang menimbulkan beraneka-ragam kerusakan parah lainnya di banyak bidang.

Peristiwa Bali Bisa Berbuntut Panjang

Sudah dapat diperkirakan bahwa peristiwa terror peledakan bom di Bali ini akan berbuntut panjang, dan berdampak luas. Bukan hanya bagi kehidupan ekonomi penduduk pulau Bali saja, yang sumber utamanya adalah dari turisme, melainkan juga bagi banyak bidang di tingkat nasional maupun internasional. Peristiwa ini akan bisa memberikan bukti, yang lebih jelas lagi, bahwa di Indonesia memang ada gerakan-gerakan terroris, yang kebanyakan dilakukan oleh golongan reaksioner Islam. Golongan inilah yang sejak lama sudah melakukan aksi-aksi terror dalam segala bentuk di berbagai daerah Indonesia. Mereka ini telah mendapat simpati dan dukungan dari Orde Baru, dan sekarang ini sedang bekerja-sama dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru.(Gus Dur, 10 Oktober 2002)

Peristiwa di Bali ini menunjukkan bahwa golongan reaksioner Islam (baca : yang garis keras, fondamentalis, ultra-fanatik) di Indonesia merupakan kekuatan yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan mereka yang tidak menguntungkan bangsa dan negara. Mereka berusaha memecah persatuan nasional dan kesatuan bangsa. Mereka pada hakekatnya menentang jiwa asli Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka menghalangi pentrapan prinsip-prinsip demokrasi. Mereka mencegah pembebasan dan kemajuan wanita. Mereka menyebarkan kebencian antar-agama. Mereka merusak toleransi perbedaan pendapat. Mereka ini berbahaya!

Itulah sebabnya, peristiwa terror peledakan bom di Bali ini patut menjadi lonceng tanda berangkat bagi golongan Islam lainnya untuk berusaha menyebarkan dan mentrapkan Islam yang sejuk bagi semua golongan (termasuk yang non-Islam), dan berusaha supaya Islam bisa betul-betul menjadi payung tempat berteduh bagi yang non-Islam juga. Kalau golongan Islam garis keras menyebarkan kebencian agama dan menyuburkan permusuhan, maka golongan yang bernalar sehat perlu berusaha terus membuka hati dan mengulurkan tangan bagi terjalinnya persaudaraan dan persahabatan antar-sesama umat manusia yang hidup di Indonesia kita ini.

Peran golongan Islam di Indonesia adalah amat penting, untuk menjadikan tanah-air kita sebagai tempat untuk hidup bersama, dalam kedamaian dan kesejahteraan bersama. Untuk itu, segala kegiatan negatif dari “golongan garis keras” itu perlu dilawan, dikucilkan, untuk kemudian dilumpuhkan. Kalau situasi yang demikian sudah bisa kita ciptakan, maka tidaklah akan terdengar lagi ucapan orang : saya malu menjadi orang Indonesia, atau, saya malu menjadi orang Islam.