04 July 2007 — 13 menit baca

Lagi tentang "HM Suharto membangun citra Islam"

Tulisan saya sebagai komentar terhadap terbitnya buku “HM Suharto membangun citra Islam” yang diluncurkan menjelang hari ulangtahun ke 86 mantan pemimpin tertinggi rejim militer Orde Baru mendapat tanggapan yang serius dari penulisnya, Sdr. Miftah H. Jusufpati. Tanggapan ini, yang panjang sekali (sebanyak 7 halaman, 4244 kata, 64 paragraf, 373 baris) patut kiranya dibaca. Terlepas dari masalah isi dan cara penulisannya, saya menghargai tanggapan itu, yang mungkin memerlukan tenaga, waktu, dan fikiran yang tidak sedikit untuk membuatnya.

Supaya para pembaca dapat memberi penilaian yang relatif objektif dan mempunyai pandangan yang selayaknya tentang isi tanggapan tersebut dan dapat pula mengukur setepatnya tentang (baik-buruknya atau benar-salahnya) pandangan-pandangan penulisnya (Sdr Miftah), maka website http://perso.club-internet.fr/kontak) menyajikannya kembali secara seutuhnya. Tetapi, untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang berbagai komentar saya tentang terbitnya buku “HM Suharto membangun citra Islam”, saya anjurkan kepada para pembaca untuk juga meneliti kembali tulisan saya yang berjudul “HM Suharto membangun atau merusak Islam?” yang dapat dibaca dalam website tersebut.

Dalam tulisan yang kali ini, saya hanya memusatkan reaksi terhadap sejumlah soal-soal yang diangkat oleh Sdr Miftah, yang berkaitan dengan pokok persoalan, yaitu : apakah HM Suharto membangun citra Islam. Karena tanggapan Sdr Miftah panjang sekali, dan menyangkut banyak dan berbagai soal, (umpamanya tentang sejarah Islam, riwayat Nabi dan tokoh-tokoh terkemuka dalam abad-abad permulaan Islam di Timur Tengah, perbedaan-perbedaan pentrapan agama Islam di berbagai negeri dll dll) maka saya tidak memasuki masalah-masalah tersebut. Sebab, untuk bisa menelaah – secara memadai – berbagai soal Islam yang begitu luas (dan cukup beragam dan rumit itu) diperlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk studi ilmiah yang serius, atau banyak membaca buku dengan sikap teliti dan kritis, yang dibuat oleh berbagai tokoh Islam sendiri, dan juga oleh kalangan-kalangan lainnya di dunia.

Para pembaca dapat menilai sendiri

Dan meskipun Sdr Miftah dalam tanggapannya terhadap artikel saya telah menggunakan kata-kata yang bisa dianggap mengandung sinisme terhadap pribadi saya (umpamanya dengan menggunakan kata Tuan Umar sebanyak 36 kali), saya tetap menghormati kebebasannya untuk menyatakan berbagai pendapatnya, baik yang mengenai Suharto, mengenai “ke Islaman Suharto”, mengenai “jasa-jasa Suharto”, mengenai visi Suharto “yang berdasarkan ¨Pancasila”, mengenai “Orde Baru adalah “orde Demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan golongan atau pribadi”, dan se-abrek-abrek pujian dan omong-kosong lainnya dan sebangsanya yang sudah kita dengar selama puluhan tahun. Itu adalah haknya! Tentang apakah pendapatnya itu benar, atau apakah masuk akal, atau apakah sesuai dengan kenyataan, itu adalah persoalan lain, yang kiranya para pembaca dapat menilainya sendiri.

Tetapi, bagaimana pun pendapat Sdr Miftah tentang diri saya, atau tentang isi tulisan saya, maka sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi – yang di antara pilar-pilar utamanya terdapat kebebasan berfikir atau berpendapat – saya akan tetap pada pendirian pokok saya mengenai Suharto (beserta Orde Barunya atau rejim militernya) yang selama ini sudah menjadi keyakinan saya, berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri dan pengalaman serta pengamatan jutaan orang lainnya, baik di Indonesia maupun di luarnegeri. Itu adalah hak saya !!!. Demikian jugalah halnya, tentang apakah pendapat saya itu benar, atau apakah masuk akal, atau apakah sesuai dengan kenyataan, kiranya para pembaca pun dapat menilainya sendiri.

Dosa Suharto sudah banyak diketahui

Yang sudah pasti jelas ialah bahwa tentang dosa-dosa besar atau berbagai kejahatan Suharto itu sudah ditulis oleh banyak orang, baik di Indonesia maupun di luarnegeri, yang berbentuk tulisan dalam majalah dan suratkabar, buku, hasil riset maupun juga film dokumenter. Berbagai organisasi internasional, atau lembaga-lembaga sosial dan kemanusiaan pun (antara lain, untuk menyebutkan beberapa saja di antaranya yang penting-penting : Amnesty International, Human Rights Watch, Transparency International, International Commission of Jurists) sudah menerbitkan laporan mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM dan korupsi besar-besaran yang sudah dilakukan oleh Suharto beserta keluarganya dan konco-konco terdekatnya. Kiranya, berbagai masalah korupsi dan kejahatan atau pelanggaran Suharto ini sudah banyak diketahui juga dan menjadi laporan resmi dari banyak kedutaan besar negara asing di Jakarta kepada pemerintah masing-masing. Jadi, sebenarnya, fakta-fakta tentang kejahatan dan data-data tentang dosa Suharto ini sudah banyak diketahui – sejak lama ! – oleh kalangan internasional, termasuk kalangan yang luas sekali di Indonesia.

Adalah suatu hal yang menyedihkan bahwa Suharto – mantan presiden dan panglima tertinggi yang berkuasa di RI selama 32 tahun – sudah menjadi salah satu di antara deretan “tokoh-tokoh hitam” dalam sejarah modern di skala dunia, dan menduduki tempat yang sejajar dengan Hitler (Jerman), Mussolini (Italia), Franco (Spanyol), Shah Pahlevi (Iran), Caucescu (Rumania), Marcos (Filipina), Pinochet (Chili), Duvalier (Haiti), Mobutu (Conggo) dan seterusnya. Sungguh, disejajarkannya Suharto dengan tokoh-tokoh berbagai bangsa yang sudah dinajiskan oleh rakyat mereka masing-masing itu, bukanlah sesuatu yang bisa kita banggakan ! Melainkan adalah hal yang sangat menyedihkan, dan memalukan sekali kita semua sebagai bangsa.

Bahwa Suharto dikatakan terkenal sebagai diktator militer yang sangat korup dan sudah melakukan banyak sekali kejahatan di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan bermacam-macam pelanggaran HAM, kiranya bukanlah hanya isapan jempol kaum “pendendam” yang terdiri dari golongan kiri dan kalangan luas lainnya yang menjadi korban rejim militer Orde Baru (antara lain : para ex-anggota dan simpatisan PKI atau mereka yang “di-PKI-kan”). Bukan pula, merupakan usaha untuk “menghasut ummat Islam untuk ikut-ikutan menghujat Suharto”, yang bertitik tolak dari pandangan “tendensius, penuh fitnah, dan menghasut tanpa data yang memadai”, seperti yang diinsinuasikan oleh Sdr Miftah dalam tulisannya.

Suharto di Google (Internet) banyak sekali

Adalah suatu hal yang menarik dan penting sekali (!!!) untuk diketahui oleh banyak orang (termasuk Sdr Miftah sendiri beserta orang-orang sealiran atau sefahamnya) bahwa Suharto adalah seorang di antara banyak “pemimpin” negara di dunia yang paling banyak mendapat sorotan negatif atau pandangan amat buruk dari berbagai kalangan sejarawan, pengamat politik, sarjana sosial-ekonomi-kebudayaan, peminat kemanusiaan, aktivis soal-soal demokrasi dan HAM, ahli-ahli pemerintahan dan banyak macam kalangan lainnya di dunia (baca, antara lain : laporan majalah Time 24 Mei 1999).

Citra buruk Suharto ini dapat juga dilihat jelas oleh siapa saja dengan menyimak tulisan, artikel, laporan, dan segala macam bahan-bahan dalam berbagai bentuk lainnya yang bisa dicari lewat Google di Internet. Umpamanya, kalau kita ketik kata-kunci tertentu di Google (dalam bahasa Inggris) maka akan terhamparlah bahan bacaan yang luar biasa banyaknya, baik mengenai jumlahnya, maupun ragam dan isinya atau persoalannya. Contohnya adalah seperti berikut :

Kalau kita ketik Suharto – Hitler maka tersedia 140.000 halaman Suharto – fascism tersedia 153.000 halaman Suharto – dictator tersedia 122.000 halaman Suharto – Pinochet tersedia 65.000 halaman Suharto - massacre tersedia 116.000 halaman Suharto - corruption tersedia 260.000 halaman Suharto - Islam tersedia 192.000 halaman

Sudah tentu, tidak banyak orang yang bisa membaca begitu banyak halaman yang berisi segala macam bahan mengenai Suharto, yang sudah ditulis atau diterbitkan oleh banyak orang di banyak negara di dunia ini. Lagi pula, susahnya, dalam halaman yang begitu banyak itu tercampur-aduk beraneka-ragam persoalan (juga nama Suharto). Jadi, diperlukan kesabaran dan keuletan untuk menemukan bahan-bahan yang menarik bagi masing-masing. Sayangnya lagi, Google dalam bahasa Indonesia tidak menyediakan bahan sebanyak yang dalam bahasa Inggris.

Pengkhianat dan maling besar

Dari banyaknya berbagai macam informasi tentang Suharto yang dapat dicari melalui Google, maka nyatalah - dengan gamblang sekali ! - bahwa Suharo tidak bisa digolongkan sebagai tokoh yang bisa disebut “bapak bangsa”, tidak pula sebagai “pemimpin” yang patut dijadikan contoh-teladan yang baik di bidang moral maupun di bidang-bidang lainnya. Sekarang, dengan terbongkarnya masalah penyimpanan uang haram keluarganya di luarnegeri (antara lain uang haram Tommy Suharto di Inggris) dan dipersoalkannya 7 yayasan Suharto, maka makin jelaslah bahwa Suharto sebenarnya adalah pengkhianat besar kepentingan rakyat (nota bene : sebagian terbesar adalah orang Muslim), karena telah mencuri uang rakyat secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang lama pula. Kasarnya, atau dalam bahasa lugunya, Suharto adalah maling terbesar dan lagi dalam skala dunia. Jadi, karena itu, dan karena alasan-alasan lainnya, agaknya amat tidak patutlah atau bahkan salah sama sekali kalau ada orang-orang atau golongan yang memberikan kepada Suharto julukan “pembangun citra Islam”.

Tetapi, ketidakpantasan atau, bahkan, kekeliruan besar disebutkannya Suharto sebagai “pembangun citra Islam” oleh sejumlah kalangan Islam di Indonesia (jadi tidak hanya Sdr Miftah saja) adalah karena banyaknya kejahatan-kejahatan politiknya dan pelanggaran-pelanggarannya yang amat serius di bidang HAM. Yang menjadi korban kejahatan politik dan pelanggaran HAM oleh Suharto ini sebagian besar adalah rakyat Indonesia, yang terdiri dari orang-orang Muslim pula. Selain itu, bukan saja Suharto telah melakukan pengkhianatan terhadap bapak bangsa dan pejuang besar kemerdekaan nasional, yaitu Bung Karno, melainkan juga telah menghancurkan kekuatan politik Bung Karno yang anti-imperialis (terutama AS) dan mendambakan tercapainya masyarakat adil dan makmur. Sekarang, makin jelas bagi banyak orang (termasuk dari kalangan Islam, di Indonesia maupun di berbagai negeri lainnya), bahwa politik anti-imperialis yang digariskan Bung Karno adalah pada pokoknya benar. Perkembangan situasi internasional akhir-akhir ini, dan sampai sekarang, menggaris-bawahi kebenaran garis politik Bung Karno ini.

Jadi, jelas bahwa Suharto telah melakukan banyak sekali kejahatan politik, kejahatan ekonomi, dan pelanggaran HAM, dan secara serius pula. Namun, di antara dosa-dosa besarnya yang paling menyolok adalah dibantainya - secara biadab dan sewenang-wenang! – jutaan warganegara RI yang tidak bersalah apa-apa, sehingga menimbulkan trauma berkepanjangan selama hampir 40 tahun (!!!) bagi sejumlah besar sekali keluarganya serta sanak-saudaranya yang bertebaran di berbagai daerah Indonesia. Dalam hal ini, Suharto, sebagai panglima tertinggi militer, patut dan juga adil sekali dimintai atau dituntut pertanggungan-jawabnya. Juga, ditahannya atau dipenjarakannya ratusan ribu apa yang dinamakan “tapol” selama jangka waktu yang lama sekali (di Pulau Buru saja lebih dari 10.000 selama sekitar 10 tahun) merupakan dosa yang sulit dilupakan begitu saja oleh banyak orang. Sebab, mereka yang ditahan atau dipenjarakan itu sebagian terbesarnya adalah orang-orang yang sama sekali tidak bersalah apa pun, dan yang kebanyakan adalah orang Islam pula.

Pancasila sudah dikebiri dan dipalsu

Mengenai hal-hal itu semua bukanlah sekadar “hujatan atau fitnah” yang datang dari goresan “Tuan Umar” saja, melainkan diangkat dari kejadian-kejadian yang nyata, dan dari pengalaman pribadi banyak orang, dan dari kesaksian-kesaksian para korban beserta keluarga mereka. Bekas-bekas dan akibat-akibat berbagai kejahatan rejim militer di bawah Suharto itu sampai sekarang masih ada, dan bukti-bukti atau saksi-saksinya juga masih bisa ditemukan, walaupun banyak yang sudah meninggal atau hilang karena dimakan waktu yang panjang. Kesaksian yang bisa dipercaya itu (karena mengandung kebenaran) sekarang masih dapat diperoleh dari anggota-anggota keluarga pembantaian tahun 65 dan eks-tapol beserta keluarga mereka, yang banyak tersebar di berbagai daerah Indonesia.

Jadi, banyak kejahatan politik atau berbagai kesalahan besar itu telah dilakukan Suharto (beserta konco-konconya) terutama sekali terhadap golongan kiri yang mendukung politik Presiden Sukarno yang anti-imperialis AS. Tetapi, bukanlah hanya itu saja! Selama 32 tahun masa Orde Baru, boleh dikatakan sebagian terbesar dari rakyat (harap lagi-lagi dicatat: yang sebagian terbesar juga adalah orang-orang Islam pula) telah menderita berbagai macam penderitaan, akibat penindasan diktatur militer (dan Golkar) terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat, rekayasa terhadap pemilu, pengangkatan pejabat-pejabat yang korup, pengekangan terhadap kemerdekaan pers dan pembatasan-pembatasan kehidupan demokratis lainnya.

Sdr Miftah menulis bahwa di samping ideologi yang anti-komunis Suharto juga “menjunjung tinggi Pancasila”. Tentang bahwa Suharto memang anti-komunis tidaklah perlu kiranya dipersoalkan atau diragukan, karena sudah dibuktikan dengan gamblang sekali oleh politiknya selama memimpin rejim militernya. Tetapi, bahwa Suharto juga “menjunjung tinggi Pancasila” itu adalah suatu ungkapan yang sama sekali bertentangan dengan apa yang sudah dipraktekkannya selama Orde Baru. Memang, rejim militernya telah selalu menggembar-gemborkan “demokrasi Pancasila”, tetapi dalam praktek nyatanya terbukti tidak ada demokrasi yang sesungguhnya, dan Pancasila pun sudah dikebiri atau dipalsu jiwa dan isinya.

Sdr Miftah juga menulis “kisah tentang bagaimana Pak Harto menumpas PKI sudah banyak ditulis dan diceritakan dari mulut ke mulut oleh banyak orang dengan penuh kekaguman”. Kalau yang ditulisnya tentang banyaknya orang yang penuh kekaguman (artinya memuji-muji atau memuja-muja) tentang bagaimana Suharto menumpas PKI benar, maka itu merupakan suatu hal yang betul-betul menyedihkan, dan bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan sama sekali. Sebab, apa yang dinamakan “penumpasan PKI” adalah sebenarnya pembunuhan secara besar-besaran sekali - dan secara biadab pula ! – terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa, dan sekali lagi, yang sebagian terbesar adalah orang-orang Muslim. Dalam tindakan rejim militer Orde Baru untuk penumpasan PKI itu juga ratusan ribu orang – yang juga tidak bersalah apa-apa pun – telah dijebloskan dalam tahanan atau penjara atau kamp-kamp konsentrasi, secara sewenang-wenang, dan dalam jangka waktu yang lama sekali.

Tokoh buruk dalam sejarah bangsa

Dalam kaitan ini juga, ditulis oleh Sdr Miftah kepada saya begini : “Tuan mungkin tak suka dengan itu, tapi Tuan sebaiknya masuk ke pesantren-pesantren NU atau Muhammadiyah supaya Tuan tidak terkaget-kaget lagi bila ternyata nama Suharto amat dipuja di sana”. Terhadap pernyataannya bahwa “nama Suharto amat dipuja di pesantren-pesantren” bisalah kiranya dikatakan bahwa justru hal yang demikian inilah yang patut sekali disedihkan oleh banyak orang. Bukannya dibangga-banggakan ! Sebab, sudah jelas sekali bahwa Suharto telah melakukan banyak sekali berbagai kejahatan politik dan pelanggaran HAM yang serius sekali dan menginjak-injak demokrasi, ditambah melakukan pencurian uang publik secara besar-besaran, tetapi toh masih dipuja-puja juga!

Hal yang demikian inilah yang juga bertentangan sama sekali dengan kenyataan bahwa Suharto telah dijatuhkan dari kekuasannya oleh aksi besar-besaran para mahasiswa secara nasional dalam tahun 1998. Juga bertentangan dengan keputusan MPR yang menuntut diperiksanya Suharto karena masalah korupsi. Masih dipuja-pujanya Suharto (meskipun akhir-akhir ini makin berkurang juga) oleh berbagai kalangan (termasuk di pesantren-pesantren) tidaklah berarti bahwa Suharto sudah menjadi bersih dari dosa-dosanya yang berat dan hilangnya aibnya yang besar-besar.

Mengingat itu semuanya, saya masih tetap mempertahankan pendirian saya bahwa anggapan orang-orang atau kalangan tertentu bahwa “HM Suharto memnbangun citra Islam” adalah salah sekali atau sangat menyesatkan. Bagi saya, seperti yang tercermin dalam berbagai bahan yang dapat disimak dalam Internet lewat Google, Suharto adalah “tokoh” yang buruk sekali dalam sejarah negara dan bangsa kita, bahkan mungkin termasuk di antara yang terburuk di dunia.

Orang yang seburuk ini tidaklah patut dijuluki “pembangun citra Islam” ! Kalau ada orang atau golongan Islam yang bersikukuh tetap mau menjunjung Suharto sebagai “pembangun citra Islam” sedangkan sudah begitu banyak kelihatan kejahatan politiknya dan begitu besar dosa-dosanya di berbagai bidang, maka banyak orang akan mempunyai pandangan yang sangat negatif terhadap Islam. Sesuai dengan dan jati-diri Suharto sendiri, maka banyak orang akan memandang Islam sebagai sesuatu yang tidak berperkemanusiaan, yang korup, yang suka menindas dan menyengsarakan banyak orang, yang tidak toleran, yang mengabaikan rasa keadilan.

Sejarah akan menguji kebenarannya

Apakah pendapat saya itu salah atau benar, sejarah akan membuktikannya atau menjadi saksinya. Demikian juga halnya, apakah pendapat Sdr Miftah – atau kalangan Islam lainnya – yang menganggap Suharto “membangun citra Islam” adalah justru yang benar, juga akan diuji oleh waktu di kemudian hari.

Tulisan saya kali ini, yang merupakan reaksi terhadap tanggapan Sdr Miftah, tidaklah dimaksudkan sebagai polemik yang ditujukan terhadap Sdr Miftah pribadi, melainkan juga terhadap orang-orang dan kalangan lainnya yang sefaham dengannya. Tulisan panjang ini dimasudkan sebagai usaha untuk mengklarifikasi atau mempertegas pendirian dan pandangan saya mengenai Suharto, dikaitkan dengan benar-tidaknya, atau pantas-tidaknya, penamaan atau penyebutan “HM Suharto membangun citra Islam”.

Sebenarnya, mengenai pendirian atau pandangan saya tentang Suharto ini sudah banyak sekali saya tulis, dan bisa disimak dalam kumpulan tulisan saya di website http://perso.club-internet.fr/kontak) Oleh karena itu, saya beranggapan tidak ada keperluannya untuk selanjutnya memberikan reaksi atau tanggapan lagi, seandainya Sdr Miftah masih menulis lagi tentang soal ini. Saya masih akan membaca dengan seksama tulisannya mengenai persoalan ini, meskipun saya tidak akan memberikan tanggapan terhadapnya (kecuali kalau saya anggap perlu sekali).