14 November 2001 — 13 menit baca

Kwik Kian Gie tentang korupsi dan utang

Pidato Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie, di depan para peserta konferensi CGI yang diselenggarakan di Jakarta (7-8 November 2001) adalah satu persoalan penting yang patut mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan dan golongan. Sebab, dilihat dari berbagai sudut pandang, pidato ini mempunyai arti yang besar bagi penyelenggaraan negara dan perekonomian kita, terutama bagi kehidupan moral bangsa kita, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dewasa ini. Pidatonya dalam bahasa Inggris, yang diucapkannya di depan pertemuan internasional itu telah disiarkan oleh Indopubs.com, atau Apakabar@saltmine.radix.net, tanggal 11 November 2001.

Arti besar pidato ini bukan hanya bahwa ia sudah mengangkat berbagai masalah parah yang selama ini menjadi pembicaraan banyak orang, baik di Indonesia maupun di luarnegeri, antara lain : penyakit korupsi yang merajalela, utang luarnegeri yang menumpuk, mis-management dalam penyelenggaraan perekonomian, dan kerusakan moral. Melainkan juga bahwa ia telah dengan jujur, berani, dan terus-terang mengungkapkan itu semua - dan dengan bahasa yang tegas dan jelas pula- di depan para wakil berbagai negara dan badan-badan internasional. Apa yang dikemukakannya itu adalah persoalan-persoalan yang selama puluhan tahun ini sudah dipersoalkan oleh banyak LSM Indonesia dan luarnegeri, dan juga sudah disoroti oleh banyak pakar dalamnegeri dan asing. Tetapi, bahwa itu semua dikemukakan oleh seorang Menteri Indonesia, dan sekaligus juga orang yang cukup dikenal sebagai ahli di bidangnya dan mempunyai reputasi yang cukup baik, adalah sesuatu yang mempunyai bobot dan arti tersendiri.

Jadi, sebenarnya, apa yang dikemukakan oleh Menteri Kwik Kian Gie dalam pidatonya itu bukanlah sesuatu yang baru, dan bukan pula sesuatu yang terlepas dari kenyataan kongkrit. Para wakil dari 20 negara dan 13 badan internasional yang tergabung dalam CGI pastilah sudah banyak mengetahui persoalan parahnya korupsi di Indonesia, karena selama ini mereka berurusan langsung dengan berbagai lembaga dan pejabat negeri kita. Para pakar luarnegeri tentang masalah-masalah Indonesia juga sudah banyak menyoroti beraneka-ragam “ketidakberesan” di negeri kita, menurut keahlian mereka masing-masing, umpamanya : Ben Anderson, Daniel Lev, Herbert Feith, Robert Cribb, Harold Crouch, Peter Dale Scott, P. William Liddle, Jeffery Winters, George Kahin, Carmel Budiardjo, Anton Lucas, Greg Barton, Muriel Charras, Murai Yoshinori, Andrée Feillard (ma’af, bagi nama-nama penting lainnya yang tidak disebutkan di sini).

Apa yang telah dikemukakan oleh Menteri Kwik Kian Gie?

Pencurian Besar-Besaran Dan Korupsi

Dalam pembukaan pidatonya yang berjudul “Effective use of foreign aid” itu, ia menyatakan rasa malunya bahwa sebagai pejabat pemerintahnya ia terpaksa menjalankan tugas, yang pada intinya adalah untuk mengemis tentang persoalan utang, atas nama bangsa (“I feel totally embarassed to be confronted with the task to justify an activity, which essentially amounts to begging for debt on behalf of our nation”). Dikemukakannya bahwa perasaan malunya itu bertambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa jumlah keseluruhan utang negara Indonesia sudah melampaui batas-batas yang bisa ditanggung dan melampaui batas-batas kehati-hatian (prudence), dan juga adanya kenyataan bahwa ia tidak bisa menjanjikan kepada para peserta sidang CGI bahwa sebagian dari utang-utang yang baru nantinya tidak akan lagi dikorupsi, seperti halnya di masa-masa lampau (“…..that I can not promise you that some of this new debt will not be corrupted again as it has been in the past”).

Pernyataan Menteri Kwik Kian Gie yang demikian ini betul-betul merupakan ungkapan yang jujur dan berani dari seorang pejabat tinggi pemerintah di depan dunia internasional.. Apalagi, kalau dihubungkan dengan ungkapannya bahwa bantuan (“aid”) yang diterima oleh Indonesia secara cuma-cuma (artinya, tidak harus dibayar kembali) haruslah secara optimal dan secara effektif mencapai target yang dituju, tanpa pemborosan atau korupsi (“Aid funding is considered effective if it reaches without waste or corruption”).

Tentang utang luarnegeri Indonesia, ia menyatakan bahwa karena pemerintah tidak mempunyai dana untuk membayar kembali utang pokok dan juga bunganya, maka terpaksalah pemerintah mengajukan permintaan supaya kewajiban pembayaran itu ditunda dulu. Selain itu, ia jelaskan betapa dan mengapa selama ini utang yang didapat pemerintah telah tidak digunakan secara effektif, dan bahwa sejak 1997 pemerintah dibebani bukan saja oleh kewajiban membayar kembali utang itu melainkan juga oleh karena pencurian besar-besaran dan korupsi yang dilakukan oleh sekelompok kecil konglomerat.(“In addition, since the crisis of 1997, the government has not only been burdened by its loan repayments, but also by the massive theft and corruption performed by a handful of conglomerate owners”).

Bukan itu saja! Ia juga menyatakan di depan sidang CGI itu bahwa itu bisa terjadi karena selama puluhan tahun pemerintahan Suharto tidak menggunakan pinjaman itu secara efektif, dan karena ketentuan-ketentuan serta prinsip-prinsip kehati-hatian dalam menggunakan pinjaman tidak dipatuhi, dan yang paling penting, bahwa sebagian besar dari pinjaman ini telah dikorupsi (“…and, most importantly, a large portion of these loans were corrupted”).

Indonesia Menjadi Bangsa Pengemis

Yang juga amat menarik (dan amat penting) yalah ketika ia mengungkapkan bahwa ia sudah sering mengatakan hal-hal itu semua, dan bahwa ia telah ditegor oleh para ekonomis senior, yang di masa lalu telah, dan sekarang, masih memainkan peran penting dalam pengurusan ekonomi negeri kita, yang menganjurkan supaya ia tidak lagi memandang ke belakang saja dan supaya mulai melihat ke hari depan. Tetapi, katanya, ia tidak mau mendengarkan nasehat semacam itu, apalagi yang berasal dari para ekonomis yang telah mempunyai peran besar dalam menjadikan Indonesia menjadi bangsa pengemis (“especially when it comes from the same economists who played a large role in turning Indonesia into a nation of beggars”).

Ekspresi yang digunakan Menteri Kwik Kian Gie adalah keras, atau tidak tanggung-tanggung!. Apalagi ketika ia mengatakan bahwa para ekonomis yang itu-itu jugalah yang telah melakukan mis-management dalam soal utang luarnegeri kita dan menggiring negeri kita ke dalam kesulitan-kesulitan kita dewasa ini. Oleh karena itu, ia berpendirian bahwa perlu sekali sering memandang ke belakang untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi sumber-sumber kesulitan atau sebab-sebab kesalahan itu. Adalah tidak fair dan tidak adil, katanya, bahwa mereka yang telah membikin kesalahan-kesalahan itu sekarang bisa memegang kekuasaan dan berusaha untuk menguburkan masa lalu. Mereka inilah yang menghalang-halangi orang-orang yang jujur dan memiliki kemauan baik untuk mengobati sebab dan akibat korupsi dan mis-management masa lalu, tegasnya.

Mengenai utang dalamnegeri, yang sekarang sudah mencapai Rp650 trilyun, ia mengatakan bahwa ia dikritik karena telah terlalu banyak bicara tentang akibat-akibatnya. Menurutnya, kritik-kritik itu diucapkan oleh orang-orang yang ingin menutup-nutupi dan mengubur begitu saja ketidakadilan yang terjadi di masa lalu. Kritik-kritik ini datang dari para birokrat yang itu-itu juga yang telah membolehkan para pemilik bank untuk berulangkali melanggar batas-batas legal peminjaman uang, menyalurkan jumlah-jumlah besar uang para penyimpan uang ke dalam perusahaan mereka sendiri dengan cara peminjaman yang di mark-up. Kenyataan ini terlalu menyolok. Lihat sajalah IBRA, katanya (“These criticisms come from the same bureaucrats who allowed bank-owners to repeatedly violate legal lending limits, chanelling large sums of deposits money into their own companies through marked-up lending. The facts are overwhelming. Just take a look at IBRA”).

Tentang utang pemerintah, ungkapan Kwik Kian Gie di depan sidang internasional ini juga sangat pedas dan dengan bahasa yang polos pula ketika ia mengatakan : “Apakah utang-utang itu juga dikorupsi, sehingga kita tidak bisa membayarnya kembali, walaupun kita terus mengeduk satu lobang untuk menutupi lainnya? Bagi saya, jawabannya adalah jelas sekali. Profesor Sumitro Djoyohadikusumo, pendiri fakultas ekonomi dari Universitas Indonesia yang memiliki prestise tinggi, dan karenanya adalah guru yang amat terhormat bagi birokrat-birokrat yang berkuasa, pernah menyatakan bahwa paling sedikitnya 30% dari pinjaman yang diberikan kepada pemerintah Indonesia telah dicuri. Ini berarti bahwa paling tidak 30% pinjaman dari Anda sekalian telah dicuri”, katanya kepada para wakil negara donor dan badan-badan internasional yang hadir dalam sidang CGI itu. (“Are these debts also corrupted, so we can no longer repays them, even when we continue to dig a hole to close another? For me the answer is very clear. Professor Sumitro Dojyohadikusumo, the founder of the School of Economics of the most prestigeous University of Indonesia, and thus very well respected guru of the governing technocrats, once stated that no less than 30% of the loans provided to the Government of Indonesia had been stolen. This means that at least 30% of your loans had been stolen”).

Inti Pokok Persoalan Adalah Korupsi

Menurut pendapat Kwik Kian Gie, pastilah bahwa inti pokok semua persoalan adalah korupsi (“The crux of all problems is of course corruption”). Tetapi korupsi ini tidak hanya terbatas pada korupsi penggelapan uang, melainkan juga korupsi yang berbentuk sikap dan kecenderungan berfikir dan moral. Di antaranya adalah kecenderungan di kalangan pemerintah untuk menipu diri sendiri. Utang yang harus dibayar kembali dengan bunga dikatakan sebagai “pemasukan untuk pembangunan” . Negara-negara pemberi utang disebutkan sebagai negara donor. Bahkan, judul bagi pidato saya masih digunakan kata “bantuan” (“aid”) , dan bukannya “utang”, katanya.

Dijelaskannya bahwa pinjaman (utang) negara Inonesia masih digerakkan oleh dasar fikiran yang korup (“corrupt mind set”). Utang baru telah digunakan untuk melunasi kewajiban utang lama. Kalau hal yang demikian sudah tidak mungkin lagi, suka atau tidak suka, maka kita terpaksa harus mengemis adanya restrukturasi utang kita. Ini terjadi dalam tahun 1999, dalam 2000, dan sekarang, sekali lagi, lewat Paris Club yang akan datang”.

Menurut Kwik Kian Gie, dengan melihat masa lalu, kongklusinya sudah jelas. “Syarat” untuk mendapatkan utang baru haruslah tegas, yaitu “hentikan korupsi”. Dan supaya utang menjadi lebih efektif adalah rumus sederhana yang itu juga juga : “hentikan korupsi”. Sekali lagi, korupsi yang saya maksudkan bukanlah hanya pengurasan dana-dana, melainkan juga membiarkan cara berfikir kita dan sikap moral kita menjadi korup karena menipu diri sendiri dan menipu publik. (“….allowing our mindsets and morality to be corrupted by self deceit and cheating the public”).

Betapa tajamnya pandangan Kwik Kian Gie terhadap masalah korupsi dapat juga ditelaah dalam ungkapannya sebagai berikut:” Dalam bulan Oktober 1987, sebagai jurubicara PDI dalam parlemen saya pernah menyatakan bahwa PDI melihat bahwa korupsi sudah menjadi isyu yang serius dan menggelisahkan. Di samping kerugian-kerugian finansial yang ditimpakan kepada bangsa dan kerugian bagi kesejahteraan rakyat kita, korupsi telah menghancurkan karakter kita, telah menjadi kehidupan sehari-hari dan telah merusak mental dan moralitas sebagian besar penduduk kita. Dari pejabat tinggi sampai orang biasa, dari orang dewasa sampai anak-anak, kita telah terbiasa memalsu dokumen, menyogok, menipu dan membohong (“……falsifying documents, bribery, cheating and deceit”). Bahkan orang-tua pun merasa bangga bahwa anak-anak mereka telah mendapatkan SIM dengan menyogok ketika mereka masih belum mencapai usia secara kualifikasi.”, katanya.

Sekarang ini, kata Kwik Kian Gie, saya harus mengatakan dengan sedih dan kecewa, bahwa masalah korupsi tidak mendapat perbaikan yang berarti sejak jatuhnya Suharto; Dalam hal-hal tertentu, bahkan menjadi lebih buruk lagi. Sejak 1987, saya sudah berulang kali mempersoalkan masalah yang sama dan sekaligus juga menyaksikan korupsi yang makin bertambah ganas, brutal dan merusak (“ ….while experiencing increaslingly wild, brutal and damaging corruption”).

Korupsi Harus Dibrantas, Walaupun Sulit

Pidato Menteri Kwik Kian Gie kali ini di depan CGI memang “luar biasa”, baik dilihat dari segi cara dan bahasa yang digunakannya, maupun materi yang diangkatnya dan jiwa atau “pesan” yang ia mau sampaikan. Umpamanya, kalimat-kalimat Kwik Kian Gie yang berikut adalah sangat penting dan menarik: “Saya dihadapkan kepada problem-problem korupsi setiap hari. Namun, betapapun berat beban dan betapapun sulitnya memberantas korupsi, kita harus terus mengakui bahwa korupsi adalah sebab yang utama dari penyakit dan kesulitan kita, dan kita harus tetap terus berusaha untuk memberantasnya (“……..we must continue to recognize that it is the primary cause of our maladies and hardships, and we must always continue our attempts to stamp it out”).

Dan adalah pernyataan yang jujur dan berani ketika ia mengatakan di depan begitu banyak wakil negara dan badan internasional itu kalimat yang berikut ini :”Korupsi tidak bisa diberantas dalam waktu yang singkat. Haraplah Anda ketahui bahwa pinjaman yang akan Anda berikan adalah pinjaman dalam keadaan yang sulit, dan diberikan dalam suasana korup yang seperti kita temukan dewasa ini (“Please realise that the the loans you are about to provide are loans that are given under duress, and still provided in a corrupt environment as we have today”).

Para pembaca yang budiman, mohon sama-sama kita renungkan itu semuanya. Bahwa seorang Menteri negara Republik Indonesia yang kita cintai sudah mengungkapkan hal-hal yang begitu serius itu di depan sidang internasional, dengan cara atau bahasa yang demikian, adalah suatu hal “luar biasa” yang patut kita hargai. Apalagi, ia adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas, dan seorang ekonomis yang terkemuka. (Patut dicatat, bahwa dalam pidatonya itu, ia menyebut kata korupsi tidak kurang dari 28 kali!).

Kiranya, jelaslah bahwa apa yang diucapkan itu adalah berdasarkan realitas yang nyata dan kongkret di Indonesia dewasa ini , dan juga mencerminkan fikiran atau isi hati nurani banyak orang. Karenanya, seruan atau semboyan yang tersirat dalam pidatonya untuk memberantas korupsi itu adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh bangsa kita. Sebab, perlulah kiranya sama-sama kita ingat bahwa masih begitu banyak urusan-urusan yang masih belum bisa ditangani secara baik (antara lain : masalah dana Bulog yang tidak/belum jelas juntrungnya, urusan BLBI yang belum selesai, perkara Bank Bali dan IBRA yang masih kacau penanganannya, masalah formulir Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara yang diedarkan oleh Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara yang masih “macet”, masalah PLN dan Pertamina, masalah Yayasan-yayasan Cendana dan koperasi-koperasi militer, penemuan-penemuan BPK yang menyangkut penyelewengan dana-dana Rp10 trilyun dll)

Jelaslah bahwa di belakang semua urusan-urusan besar itu adalah masalah korupsi atau moralitas yang korup. Sesudah merenungkan itu semuanya, maka bisalah kiranya dimengerti mengapa Kwik Kian Gie telah berbicara dengan bahasa yang begitu keras dihadapan masyarakat internasional. Tidak berlebih-lebihan, karenanya, kalau kita katakan bahwa banyak orang ikut memiliki perasaan sedih atau marah (dan malu) seperti yang diutarakan oleh Kwik Kian Gie.

Dalam rangka inilah patut didukung bersama-sama, aksi-aksi berbagai Ornop/LSM atau kegiatan golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang terus menuntut diberantasnya korupsi dan dikelolanya secara baik penyelenggaraan negara dan perekonomian, termasuk masalah utang. Menurut Vice-President Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Jemal-Ud-Din Kassum, 60% dari penduduk Indonesia (artinya lebih dari 120 juta orang) hidup di bawah garis kemiskinan, sedangkan 10-20% dari padanya hidup dalam kemiskinan yang ekstrim. Dari sumber lain dapat dicatat bahwa tiap orang Indonesia sekarang ini harus menanggung utang luarnegeri sebesar Rp7 juta (termasuk bayi yang baru lahir), karena jumlah utang luarnegeri sudah mencapai Rp 1,500 triyun (artinya Rp 1,500 ditambah dengan 12 nol di belakangnya!).

Pertemuan internasional CGI di Jakarta (tanggal 7-8 November) telah menyetujui prinsip untuk memberi pinjaman baru US$3,14 milyar (Perinciannya, antara lain : US$1 milyar dari Bank Dunia, US$1,15 dari ADB, dan pinjaman bilateral dari berbagai negara termasuk US$720 juta dari Jepang). Jadi, seperti yang dikatakan oleh Menteri Kwik Kian Gie, negara kita masih terpaksa mengemis utang, sedangkan utang kita masih bertumpuk-tumpuk, dan situasi korupsi masih belum bisa dibrantas. Mengingat itu semuanya, maka adillah kalau dikatakan bahwa adalah kejahatan yang besar sekali, dan dosa yang patut dikutuk habis-habisan, kalau masih ada koruptor yang masih tega hati, untuk mencuri kekayaan publik atau merampok hasil keringat rakyat.

Bahkan, tidak itu saja! Adalah benar dan hak yang sah kalau opini publik menuntut supaya segala jalan legal ditempuh, dan segala hukum digunakan, sehingga para koruptor (terutama yang kelas kakap) bisa ditindak. Supaya APBN kita tidak terus-menerus bocor terlalu banyak, dan supaya utang kita tidak bisa lagi dikantongi oleh maling-maling besar . Untuk itu, beraneka-ragam aksi dan berbagai bentuk kegiatan perlu digelar terus oleh sebanyak mungkin golongan dan kalangan masyarakat, guna berpartisipasi dalam perjuangan besar melawan penyakit kangker ganas yang telah merusak secara parah tubuh bangsa kita. Seperti yang dikatakan oleh Kwik Kian Gie, “the crux of all problems is of course corruption” (inti pokok semua masalah adalah pasti korupsi).