30 Desember 2002 — 10 menit baca

Korupsi adalah masalah besar bangsa kita

Ada gejala atau kecenderungan dalam masyarakat di Indonesia bahwa karena korupsi sudah « membudaya » dan kelihatannya sulit dibrantas, maka banyak orang menjadi pesimis, putus asa, apatis, defaitis, tidak peduli lagi atau masa-bodoh saja. Bahkan (dan ini yang berbahaya !) ada yang menganggap bahwa korupsi adalah hal yang lumrah, yang perlu diterima sebagai realitas, atau suatu hal yang memang menjadi kebutuhan atau keharusan. Yang lebih-lebih berbahaya lagi adalah sikap yang memandang bahwa perjuangan untuk memberantas korupsi adalah usaha yang sia-sia saja. Sikap yang demikian itu adalah keliru..

Memang, kalau kita ikuti berita-berita dalam pers maupun televisi di tanah-air, maka jelaslah bahwa korupsi, terutama yang dilakukan oleh kalangan « atas » (atau para elite) memberikan tanda-tanda bahwa kerusakan akhlak sudah melanda secara besar-besaran di berbagai kalangan tokoh-tokoh kita, baik yang di eksekutif, legislatif, judikatif, maupun di kalangan partai-partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan atau non-pemerintah, termasuk di kalangan pemuka agama dan ulama. Jadinya, tidak begitu mudah lagi bagi kita untuk menentukan siapa-siapa saja yang masih « bersih », dan mana pula yang sudah belepotan dengan berbagai kotoran kejahatan yang bernama korupsi ini.

Yang sering membikin kita merasa sedih, dan sekaligus juga berang, adalah adanya kenyataan bahwa begitu besarnya kerusakan akhlak di kalangan tokoh-tokoh ini sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara pemerintahan dan kehidupan bernegara (atau bermasyarakat) kita. Ini wajar, dan sepenuhnya bisa dimengerti. Sebab, banyak di antara tokoh-tokoh itu yang sudah tidak patut dihormati lagi, tidak pantas disegani, dan tidak berhak menjadi teladan atau jadi panutan. Banyak di antara pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat (termasuk di kalangan agama) yang sudah tidak memiliki integritas moral lagi. Terasa sekalilah bahwa di negeri kita terjadi vakuum (kekosongan) kepemimpinan moral dan keteladanan.

Dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang sudah diberitakan, orang mendapat kesan bahwa banyak pejabat atau tokoh, yang sudah tidak segan-segan atau tidak malu-malu lagi untuk mencuri kekayaan publik, demi kepentingan pribadi, atau kepentingan kelompok atau kepentingan golongan (partai dll). Banyak orang yang sudah begitu tersesatnya, sehingga yang mereka kejar - dengan segala cara dan jalan, baik yang sah maupun yang haram - adalah menumpuk kekayaan, hidup mewah, dan berkecimpung dalam segala yang gemebyar atau gemilang. Bahkan, mereka tanpa malu-malu lagi membeli gelar kesarjanaan, atau diploma palsu, sekadar untuk gagah-gagahan dan untuk menipu. Mereka tidak peduli lagi, apakah itu semua mereka peroleh dengan mencuri kekayaan negara dan rakyat. Mereka juga mempersetankan apakah itu semua telah mereka dapatkan dengan melanggar hukum dan melecehkan ajaran-ajaran agama atau tidak.

Di antara mereka banyak yang tidak takut lagi mendapat hukuman, karena mereka tahu – dari praktek selama ini - bahwa hukum bisa saja dibeli, hakim bisa disuap, polisi jaksa dan pengacara bisa diajak « berunding ». Mereka mempersetankan kepentingan negara dan kepentingan rakyat, karena mereka melihat sendiri bahwa para pemimpin yang di « atas » pun melakukan kejahatan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala macam hal lainnya yang tidak terpuji. Oleh karena mereka tahu bahwa banyak kasus-kasus korupsi kelas « kakap » pun bisa lolos dari jeratan hukum, maka mereka bersemboyan « korupsilah sebesar mungkin », karena toh nantinya persoalan bisa dibereskan.

Oleh karena itu, kita saksikan dewasa ini para tokoh kalangan « atas », baik yang di Pusat maupun di daerah-daerah, sudah berlomba-lomba dalam menjarah atau merampok kekayaan publik, dengan berbagai bentuk dan cara. Anggota-anggota DPR ataupun DPRD tak segan-segan, tanpa takut disumpahi rakyat, memalsu anggaran dan menyalahgunakan projek-projek untuk menngumpulkan harta-kekayaan secara haram. Dengan jalan kebathilan dan kedurjanaan mereka membangun rumah-rumah mentereng, membeli mobil-mobil mewah, dan memelihara gundik-gundik atau istri gelap, atau menyekolahkan anak-anak mereka ke luarnegeri.

Mereka tidak peduli lagi bahwa utang luarnegeri pemerintah sekarang ini sudah melebihi 71 milyar US$ (700 trilyun Rupiah, menurut Bernas 30 Desember 2002) dan utang dalamnegeri kita sudah mencapai lebih dari 780 trilyun Rupiah. Utang luarnegeri dan dalamnegeri yang sebesar itu adalah menjadi tanggungan rakyat. Jelasnya, rakyatlah yang harus memikulnya, dalam bentuk pajak, atau berbagai setoran dan kewajiban lainnya. Yang perlu dijelaskan lagi, adalah bahwa banyak sekali dari jumlah utang luarnegeri dan dalamnegeri yang hanya menguntungkan segelintir orang atau segolongan orang. Kita semua masih ingat pernyataan Bung Hatta, Prof Dr Sulmitro dan Kwik Kian Gie, yang menegaskan bahwa korupsi sudah membudaya di negeri kita, dan bahwa sekitar 30% dari bantuan luarnegeri dikorupsi.

Para maling ini tidak mau tahu bahwa sekitar 30 juta (atau 18 %) penduduk negeri kita berada di bawah garis kemiskinan dan bahwa pengangguran sudah mencapai sekitar 40 juta orang (keterangan Menko Kesra Jusuf Kalla 24 Desember 2002). Mereka juga membuta-tuli saja bahwa di negeri kita ada sekitar 1 juta orang pengungsi dalamnegeri yang terpaksa harus di tampung dalam berbagai tempat penampungan. Hati mereka menganggap sepi saja adanya berita bahwa banyak TKI dan TKW yang terpaksa diusir dari Malaysia, Filipina, atau Hongkong, atau negara-negara Timur Tengah.

Di tengah-tengah banyaknya kesulitan ekonomi yang dihadapi negara dan bangsa ini, masih saja terbetik berita tentang adanya anggota MPR/DPR atau DPRD yang sampai hati untuk jalan-jalan ke luarnegeri dengan berbagai dalih (studi banding, pensosialisasian program atau rencana, promosi daerah dll dll dll) , atas beaya negara, jelasnya atas tanggungan rakyat. Yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya keputusan dari sejumlah DPRD yang telah memutuskan untuk memberikan Tunjangan Hari Raya kepada para anggotanya dalam jumlah puluhan juta Rupiah, walaupun mereka sudah menerima gaji yang tidak sedikit. Otonomi daerah sudah dijadikan oleh mareka sebagai projek desentralisasi korupsi. Korupsi tidak hanya terjadi di pusat pemerintahan saja, melainkan sudah melanda juga daerah-daerah.

Adalah suatu hal yang penting untuk sama-sama kita renungkan dan juga menarik untuk kita bahas bersama, bahwa bahkan di Departemen Agama pun terjadi korupsi secara besar-besaran. Korupsi itu dilakukan dalam bentuk penggelembungan harga (mark-up) pengadaan buku wajib bagi Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang anggarannya mencapai Rp109 milyar. dengan membuat laporan fiktif dari proyek pengadaan buku wajib yang harus disediakan, yaitu sebanyak 2.763.750 eksemplar (Kompas, 17 Desember 2002). Apa yang terjadi di Departemen Agama itu hanyalah salah satu saja dari banyak contoh yang terjadi di mana-mana, baik di berbagai badan pemerintahan di Pusat maupun di daerah.

Bahwa korupsi sudah menjadi soal besar dan serius bagi bangsa kita, dapat juga di simak dari berita yang disiarkan suratkabar Republika (17 Desember 2002), yang menyatakan bahwa kalangan DPR sedang menggalang dukungan untuk untuk pembentukan Pansus yang menyelidiki dugaan penyelewengan penggunaan dana Korpri senilai Rp900 miliar selama 10 tahun di bawah kepemimpinan Ketua Umum Korpri Feisal Tamin. Korupsi juga terjadi di badan-badan yang seharusnya mengurusi kesejahteraan rakyat, antara lain di Jamsostek. BUMN juga sudah lama menjadi sarang para maling yang berdasi dan ber-krah (leher kemeja) putih.

Banyak badan-badan koperasi (terutama badan koperasi milik militer) yang hanya menjadi alat segolongan kecil untuk memperkaya diri dengan cara-cara curang, dan bukan untuk kepentingan para anggotanya. Sebagian besar kantor gubernuran, kabupaten, dan kecamatan sudah lebih menyerupai pasar tempat jual-beli projek dan tender, dan bukannya tempat pengabdian kepada kepentingan publik. Demikian juga halnya dengan banyak kantor Pengadilan Negeri, Kejaksaan, Kepolisian, dan pengacara, di mana sering terjadi penegakan atau pentrapan KUHP yang berarti Kasih Uang Habis Perkara.

Singkatnya, korupsi di Indonesia sudah menyeluruh dan parah. Dari tingkat RT atau kelurahan (contoh: kasus-kasus KTP, surat tanda kewarganegaraan, surat kawin dll dll) sampai ke tingkat yang paling tinggi, yaitu kepresidenan, kementerian, DPR, Mahkamah Agung , Kejaksaan Agung, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Adalah menyedihkan bahwa banyak anggota DPR dan pejabat-pejabat tinggi negara yang sampai sekarang masih tidak mau (atau tidak berani?) menyetor formulir untuk melaporkan berapa harta kekayaan mereka. Dan adalah juga menyedihkan bahwa slogan “penegakan hukum” hanyalah dijadikan olok-olokan sinis saja bagi banyak orang. Kasus Akbar Tanjung, Jaksa Agung Rahman, gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin hanyalah sekelumit dari perkara-perkara kriminal yang kelihatannya sulit disentuh oleh hukum. Belum lagi perkara-perkara yang menyangkut para konglomerat hitam yang berkaitan dengan kasus BLBI dengan jumlah uang yang puluhan bahkan ratusan trilyun Rupiah.

Mengingat itu semua, nyatalah bahwa korupsi di Indonesia merupakan masalah besar dan urgen untuk ditangani oleh bangsa kita. Korupsi telah merusak secara besar-besaran - dan secara parah pula – akhlak banyak orang, termasuk di kalangan tokoh-tokoh penting negara dan masyarakat kita. Pengelelolaan negara kita tidak akan bisa berjalan baik kalau dijalankan oleh oknum-oknum yang bermental durjana. Seperti yang sudah kita saksikan bersama selama ini, kesulitan ekonomi kita dewasa ini sebagiannya adalah akibat ulah orang-orang yang berakhlak korup, dan tidak mementingkan kepentingan rakyat.

Kebanyakan korupsi – terutama yang menyangkut jumlah yang besar-besar – telah dilakukan oleh orang-orang yang umumnya sudah bisa hidup dengan baik, atau sudah kaya. Mereka melakukannya juga, karena justru ingin lebih kaya lagi, walaupun dengan cara-cara yang merugikan kepentingan rakyat. Mereka melakukannya juga walaupun mereka tahu bahwa pengangguran sudah membengkak tinggi sekali, dan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sudah mencapai sekitar 30 juta orang.

Sebenarnya, seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, negara kita sudah memiliki sistem politik dan pemerintahan yang cukup memadai - walaupun masih perlu terus disempurnakan di sana-sini - untuk mencegah dan membrantas korupsi. Ada ketetapan MPR yang menugaskan pembrantasan korupsi, di samping banyak peraturan dan undang-undang yang juga melarangnya. Namun, karena kerusakan akhlak di banyak kalangan, maka korupsi tetap berjalan terus, hukum tidak bisa ditrapkan secara semestinya, dan kekuasaan bisa disalahgunakan. Seperti yang kita saksikan selama ini, korupsi tidak bisa dibersihkan oleh aparat yang kotor dan rusak. Bagaimana bisa membrantas korupsi dengan hasil-hasil yang nyata, kalau Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Mabes Kepolisian, DPR, Departemen Kehakiman, serta lembaga-lembaga lainnya, diduduki oleh orang-orang yang juga bermental korup?

Korupsi perlu dibrantas, bukan hanya karena pertimbangan kerugian negara dan rakyat saja. Namun, kerugian yang paling mengerikan adalah kerusakan akhlak yang lebih besar dan lebih parah lagi, yang diakibatkan oleh korupsi yang merajalela terus-menerus. Korupsi telah menggoyahkan iman seseorang, atau membutakan hati nurani seseorang, atau merusak nalar sehat seseorang. Karenanya, bagaimana negara kita bisa berjalan baik, kalau akhlak kebanyakan para penyelenggaranya sudah rusak? Kerusakan akhlak inilah yang akan bisa menghancurkan negara dan bangsa kita, termasuk generasi muda kita. Gejala-gejala ke arah itu sudah makin banyak kita saksikan dewasa ini.

Kalau korupsi tidak kita lawan bersama-sama dan secara besar-besaran, maka negara kita bisa dikuasai oleh kleptocratie (kekuasaan yang terdiri dari maling-maling). Bukan itu saja! Kerusakan yang lebih besar lagi adalah bahwa bangsa kita tidak bisa membedakan lagi moral yang manakah yang baik dan mana pula yang buruk. Kementerengan dan kemewahan – walaupun dicapai dengan kecurangan - menjadi ukuran kehormatan yang dikejar-kejar. Kejujuran dan kesederhanaan menjadi langka dan dicemoohkan.

Mengingat itu semuanya, maka jelaslah bahwa perjuangan untuk memberantas korupsi adalah tugas bersama kita. Perjuangan ini tidak bisa hanya kita pikulkan di pundak pemerintah beserta berbagai lembaga dan aparatnya saja. Juga tidak hanya kepada DPR atau Departemen Kehakiman saja. Perjuangan melawan korupsi adalah juga tugas masyarakat seluruhnya, termasuk berbagai kalangan partai politik, kalangan LSM atau Ornop, kalangan pemuka agama dan kalangan pendidikan. Dalam kaitan ini, perlulah kita dukung terus usaha-usaha yang selama ini telah dilancarkan oleh berbagai Ornop seperti (antara lain, dan mohon ma’af kepada berbagai organisasi atau gerakan yang tidak tersebutkan di sini) Indonesia Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, Government Watch, berbagai LBH.

Perjuangan melawan korupsi merupakan bagian penting dari gerakan reformasi di bidang akhlak. Juga merupakan pendidikan politik dan pendidikan moral bagi rakyat kita, terutama bagi generasi muda, sebagai penerus bangsa kita di kemudian hari. Kalau korupsi masih terus merajalela, maka tubuh bangsa masih akan tetap mengidap penyakit kangker ganas. Penyakit kangker ganas ini tidak memungkinkan tegaknya demokrasi secara baik, dan karenanya juga tidak akan memungkinkan ditrapkannya hukum dan keadilan. Pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) tidak mungkin dilahirkan oleh sikap mental yang korup atau akhlak yang rusak. Inilah yang sedang kita saksikan dewasa ini di negeri kita.