17 April 2001 — 12 menit baca

Konferensi wartawan A-A sebagai mimbar Bung Karno

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (7)

P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.

Ada satu hal yang selama lebih dari 32 tahun jarang disebut-sebut, sehingga banyak orang yang sudah tidak ingat lagi, atau bahkan tidak tahu (terutama generasi muda sekarang), walaupun hal itu pernah menjadi “national event” (peristiwa nasional) dan bahkan juga “international event” yang cukup berkumandang luas waktu itu. Peristiwa nasional (dan international) penting ini adalah Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA) yang diadakan di Jakarta antara tanggal 24 April sampai 1 Mei 1963 di Jakarta. Oleh karena pentingnya peran Bung Karno atas terselenggaranya KWAA, maka sudah sepatutnyalah bahwa dalam rangka Peringatan HUT ke-100 Bung Karno masalah ini dikenang kembali bersama-sama.

Bagi banyak wartawan anggota PWI di seluruh Indonesia waktu itu, KWAA adalah suatu kenangan yang menimbulkan rasa bangga. Sebab, KWAA adalah suatu konferensi internasional yang diselenggarakan untuk pertama kalinya oleh para wartawan Indonesia sendiri, dengan mendapat dukungan yang besar secara nasional. Untuk penyelenggaraan konferensi yang besar itu, banyak cabang PWI mengumpulkan dana dengan mengadakan “lelang KWAA” di berbagai kota besar, termasuk di Istana Bogor. Banyak gubernur atau pembesar daerah ikut memberikan fasilitas kepada PWI setempat untuk terlaksananya pengumpulan dana itu (antara lain : gubernur Sutedja di Bali dan Ulung Sitepu di Sumatra Utara).

Dalam rangka ini, peran Bung Karno adalah besar sekali. Sebab ketika delegasi PWI Pusat (dipimpin oleh Djawoto, ketua PWI Pusat dan tokoh besar kantor berita “Antara” sejak “zaman Yogya”) menghadap Bung Karno akhir 1962 untuk menyampaikan gagasan tentang penyelenggaraan KWAA, Bung Karno segera menyetujuinya. Berita persetujuan Bung Karno ini kemudian menjadi cambuk bagi banyak wartawan Indonesia untuk segera melaksanakan gagasan ini. Pada mulanya, gagasan untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika telah lahir di Bandung dalam tahun 1955 ketika sejumlah wartawan Indonesia membicarakan perlunya dibentuk suatu organisasi wartawan Asia-Afrika untuk mengumandangkan semangat dan keputusan-keputusan Konferensi Bandung ke dunia internasional. Pembicaraan itu telah dilakukan antara wartawan-wartawan Indonesia dan sejumlah wartawan-wartawan Asia-Afrika, yang meliput konferensi yang bersejarah itu.

Kemudian, gagasan ini mulai melangkah ke tahap realisasinya, ketika sejumlah wartawan Indonesia menghadiri kongres International Organisation of Journalists (IOJ) di Budapest bulan Oktober 1962. Tanda-tangan dari berbagai delegasi organisasi wartawan negeri-negeri Asia-Afrika yang hadir dalam kongres itu telah dapat dikumpulkan, sebagai persetujuan tentang diselenggarakannya KWAA di Indonesia. Berdasarkan persetujuan itulah, maka kemudian dibentuk Panitia KWAA di Jakarta, dengan kerjasama yang erat dengan PWI Pusat.

Arti Besar Kesuksesan KWAA

Bagi mereka yang masih bisa membaca penerbitan Indonesia (suratkabar, majalah dll) sekitar akhir tahun 1962 sampai pertengahan tahun 1963, akan jelaslah betapa besarnya kumandang KWAA waktu itu, baik selama persiapan-persiapannya, waktu terselenggaranya, dan juga sesudahnya. Konferensi yang diselenggarakan di Wisma Warta (Jalan Thamrin, yang sekarang dirombak menjadi Plaza Indonesia/Grand Hyat Hotel) menjadi pusat perhatian dunia internasional waktu itu. Wajar, sebab selain para pesertanya adalah pada umumnya wartawan-wartawan Asia-Afrika yang terkemuka di negeri masing-masing, juga banyak wartawan-wartawan asing (Eropa dll) yang meliput peristiwa itu.

Dengan tujuan untuk melestarikan dengan setia jiwa Konferensi Asia-Afrika di Bandung (18-25 April tahun 1955) maka Panitia KWAA telah menetapkan bahwa konferensi yang bersejarah secara internasional itu perlu diselenggarakan tepat sewindu (8 tahun) sesudahnya, yaitu antara 24 April-sampai 1 Mei 1963. Jiwa Konferensi Bandung inilah yang menjadi dasar pembimbing segala kegiatan Panitia KWAA (dalam surat-surat, seruan, undangan, pernyataan dll). Karena itu pulalah maka KWAA mempunyai “daya tarik” yang besar bagi banyak fihak, baik secara nasional maupun secara internasional.

KWAA merupakan alat yang dibutuhkan waktu itu bagi perjuangan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional mereka, atau untuk memperkokoh kemerdekaan yang sudah dicapai, dalam menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme, waktu itu!. Berikut adalah sekadar bahan untuk ingatan bersama tentang situasi nasional dan internasional waktu itu : dalam tahun-tahun ‘62-’63 baru ada 8 negeri Afrika yang bebas, Aljazair baru merebut kemerdekaannya dari Prancis dengan bantuan negara-negara Arab, di Mozambigue dan Angola mulai ada pembrontakan melawan Portugal, di Africa Selatan gerakan melawan Apartheid yang dipimpin oleh ANC (Nelson Mandela dkk) dan PAC makin membesar, Timur Tengah merupakan gudang mesiu peperangan, perang di Indo-Cina makin berkobar, dan ketegangan antara RRT dan AS berlangsung terus. Sedangkan di Indonesia sendiri : pembrontakan PPRI-Permesta baru beberapa tahun diselesaikan secara tuntas (1960-1961), Manipol-Usdek dideklarasikan oleh Bung Karno, kampanye “konfrontasi Malaysia” dilancarkan (1963), percobaan pembunuhan dengan granat terhadap Bung Karno di Makasar (Januari 1962).

Dalam situasi nasional dan internasional yang demikian itulah Panitia Pusat KWAA harus bekerja. Banyak wartawan-wartawan anggota PWI Cabang Jakarta telah dengan sukarela menyumbangkan tenaga (tanpa imbalan uang sedikit pun), dan bekerja keras siang malam. Sebab, waktu yang tersedia hanyalah 4-5 bulan saja, untuk menyelenggarakan konferensi yang besar ini. Berkat kerja keras para wartawan yang menyumbangkan tenaga mereka dalam Panitia, maka KWAA dapat diselenggarakan dengan sukses. Kesuksesan ini dikonfirmasi oleh pernyataan berbagai fihak bahwa KWAA adalah konferensi yang bisa menjadi contoh bagi konferensi-konferensi lainnya. (Umpamanya, dalam bidang keuangan, KWAA adalah satu-satunya konferensi yang mengambil inisiatif untuk minta kepada suatu kantor akuntan supaya memeriksa pengelolaan dana atau pembukuannya. Hasil pemeriksaan akuntan ini kemudian diumumkan oleh KB Antara dan dimuat oleh pers)

KWAA Adalah Corong Konferensi Bandung

Mengingat berbagai faktor situasi nasional dan internasional waktu itu, maka dapat dimengertilah kiranya bahwa ada orang-orang yang waktu itu secara sinis mengatakan bahwa KWAA adalah corong Bung Karno. Kalau dilihat dari sudut-pandang positif, ungkapan semacam itu tidaklah sepenuhnya salah. KWAA telah dilahirkan dengan tujuan untuk mengumandangkan terus atau melestarikan jiwa atau prinsip-prinsip Konferensi Bandung, dan mempersatukan wartawan-wartawan berbagai negeri Asia-Afrika dalam perjuangan-bersama untuk merealisasikan prinsip-prinsip tersebut. Karena politik Bung Karno adalah sejalan dan senyawa dengan jiwa Konferensi Bandung, maka tidak salah kalau dikatakan bahwa KWAA telah menjadi corong politik Bung Karno di skala internasional. (Dengan kacamata ini, maka akan hilanglah konotasi negatif kata “corong”). Sebab, kalau diperas dalam kalimat yang sederhana dapatlah dirumuskan bahwa jiwa Bung Karno dan jiwa Konferensi Bandung adalah SATU.

Kalau direnungkan dalam-dalam, maka benarlah bahwa KWAA telah menjadikan diri sebagai “mimbar emas” bagi Bung Karno untuk mengumandangkan gagasan-gagasannya yang besar. Mimbar emas ini telah disediakan atau dibangun bersama-sama oleh para wartawan peserta konferensi. Ini kelihatan jelas sekali dari pidato-pidato yang diucapkan oleh para peserta. Boleh dikatakan, semua delegasi menyebut arti penting Konferensi Bandung dan banyak yang menghargai politik Bung Karno dalam membantu perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika dalam melawan imperialisme dan neo-kolonialisme. Jadi, singkatnya, KWAA adalah konferensi yang jiwanya, pada pokoknya, adalah anti-imperialisme dan neo-kolonialisme, seiring dengan perkembangan situasi internasional waktu itu.

KWAA telah melahirkan PWAA (Afro-Asian Journalists’ Association– AAJA). Komposisi anggota Sekretariat Permanen PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika) yang berkedudukan di Jakarta, yang terdiri dari 11 negeri (5 Asia dan 5 Afrika dan satu Sekjen) mencerminkan dengan gamblang arah yang ditempuh oleh PWAA. Mereka ini, yang dari Asia adalah perwakilan organisasi wartawan : Tiongkok, Jepang, Indonesia, Srilanka dan Siria. Yang dari Afrika : Aljazair, Mali, Afrika Selatan, Tanzania, dan Kamerun.

Untuk menduduki jabatan Sekjen PWAA, para peserta konferensi telah memilih wartawan Indonesia terkemuka Djawoto. Dan ketika tidak lama kemudian Bung Karno mengangkatnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk RRT, maka PWAA telah memilih wartawan terkemuka Joesoef Isak untuk menggantikannya sebagai Sekretaris Jenderal PWAA.

Konferensi Bandung Kehilangan “API”

Adalah amat penting untuk diketahui oleh generasi sekarang (dan juga generasi yang akan datang), bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Bung Karno, pernah memainkan peran penting dalam perjuangan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika. Tetapi, setelah Bung Karno digulingkan oleh Suharto dkk. maka peran Indonesia yang pernah dikagumi banyak orang itu, makin lama makin hilang dari panggung internasional. Dengan hilangnya Bung Karno dari kepemimpinan nasional dan dilumpuhkannya kekuatan progresif yang mendukungnya, maka pamor nama Indonesia menjadi pudar. Dengan hilangnya Bung Karno, maka “api Konferensi Bandung” tidak bisa lagi berkobar seperti biasanya, dan, bahkan, secara perlahan-lahan menjadi padam. Namun, betapapun juga, nama Bung Karno dan Konferensi Bandung tetap tercetak dengan huruf emas dalam sejarah dunia, terutama sejarah perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika.

Bagi para diplomat Indonesia yang berjuang (mohon perhatian bahwa kata “berjuang” dipakai di sini), di berbagai KBRI di banyak negeri waktu itu nyata sekali gejala yang demikian ini. Juga bagi banyak tokoh ormas Indonesia yang bekerja di berbagai organisasi internasional seperti :

Organisasi untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OSRAA) di Cairo, Sekretariat Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Colombo, Sekretariat Konferensi Jurist Asia-Afrika di Conakri (Guinea), Gabungan Serikatburuh Sedunia (WFTU) di Praha, Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (WFDY) di Budapest, Persatuan Mahasiswa Sedunia (IUS) di Praha, Organisasi Wartawan Sedunia (IOJ) di Praha, Gabungan Wanita Demokratik Sedunia di Berlin dan organisasi-organisasi internasional lainnya, termasuk Persatuan Wartawan Asia-Afrika.

Dalam kaitan itu semuanya dan dalam rangka memperingati HUT ke-100 Bung Karno, maka adalah menarik untuk sama-sama kita telaah berbagai gejala atau perkembangan setelah tergulingnya Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/Golkar, yang antara lain adalah sebagai berikut :

  • Naiknya Suharto di tampuk pimpinan negara dengan menggulingkan Bung Karno, dan didirikannya rezim militer Orde Baru/Golkar, mengakibatkan nama Indonesia menjadi terpuruk di mata banyak gerakan rakyat Asia-Afrika dan dunia umumnya. Penggulingan Bung Karno yang didahului oleh pembunuhan jutaan warganegara Indonesia dan diiringi pula oleh pemenjaraan ratusan ribu orang tidak bersalah selama puluhan tahun, mereka anggap sebagai noda besar atau dosa monumental.
  • Ketokohan besar Bung Karno sebagai pemimpin bangsa tidak bisa ditiru atau digantikan oleh Suharto (atau “tokoh” Orde Baru lainnya!). Karena, ketokohan Bung Karno ini telah dibangun dalam perjuangannya sejak tahun 1926, dan sejak dalam penjara Sukamiskin (Bandung). Ketokohannya ini sudah muncul dalam “Indonesia Menggugat”. Dari latar-belakang sejarah yang ini saja sudah nampak perbedaannya yang besar dengan “ketokohan” Suharto. “Kepemimpinan” Suharto selama Orde Baru makin menunjukkan dengan jelas perbedaan yang besar antara mereka.
  • Kalau Bung Karno melahirkan sejumlah gagasan-gagasan besar tentang perjuangan untuk kepentingan rakyat dan pembangunan bangsa (ingat, antara lain :”Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945) maka pengalaman selama lebih dari 32 tahun menunjukkan bahwa Suharto (dan kawan-kawannya di Orde Baru/Golkar) tidak bisa menciptakan gagasan-gagasan besar. Bahkan sebaliknya, Suharto beserta Orde Baru/Golkar-nya telah merusak gagasan-gagasan besar Bung Karno, yang akibatnya adalah keadaan seperti yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara kita dewasa ini.

Peristiwa Penting Yang Dilupakan

Dengan melihat latar-belakang yang demikian, maka orang bisa mengerti mengapa setelah Bung Karno digulingkan oleh para pendiri Orde Baru/Golkar, maka banyak hal yang bersangkutan dengan KWAA atau PWAA kemudian juga seolah-olah “menghilang” dari persoalan bangsa Indonesia. Disebabkan oleh politik Orde Baru, maka semakin lama semakin banyak orang yang melupakannya. Bahkan, banyak orang yang sekarang ini tidak tahu bahwa ada peristiwa yang begitu penting dalam sejarah dunia kewartawanan Indonesia.

Politik Orde Baru adalah, sebisa mungkin (dan dengan segala cara) “mengkerdilkan” atau menghilangkan peran Bung Karno dalam segala hal, termasuk juga hal-hal yang berkaitan dengan terselenggaranya KWAA. Orde Baru melihat hubungan yang erat antara politik Bung Karno dengan arah politik Konferensi Bandung dan arah politik yang dianut oleh KWAA (dan PWAA). Di antara cara-cara untuk mengkerdilkan atau menghilangkan peran Bung Karno adalah, antara lain : disebarkannya fitnah, insinuasi, atau ungkapan-ungkapan negatif seperti : Bung Karno adalah megalomaniac (gila terhadap segala yang besar), seorang demagog (pembangkit semangat rakyat demi kekuasaan), seorang yang suka menonjolkan diri, seorang yang menyukai kultus individu, seorang yang mengutamakan gebyar, dan segala macam cap negatif lainnya, yang selama ini sudah kita dengar.

Pengalaman penyelenggaraan KWAA menunjukkan bahwa penghormatan kalangan wartawan Indonesia dan negeri-negeri Asia-Afrika (pada waktu itu) bukanlah karena “penjilatan”, bukan karena permintaannya untuk dihormati atau disanjung- sanjung, dan pastilah bukan pula karena ia seorang yang megalomanic atau demagog. Penghormatan kepadanya adalah karena bagi banyak orang ia memang seorang yang patut dan berhak dihormati, baik secara nasional mau pun internasional. Bung Karno memang adalah orang besar, berkat kebesaran gagasan-gagasan atau ajaran-ajarannya, yang dibutuhkan untuk menjawab perkembangan situasi pada masanya.

Pidatonya di depan KWAA adalah salah satu contoh di antara berbagai gagasannya yang besar. Hampir selama satu jam ia berbicara (dalam bahasa Inggris yang mempesonakan banyak peserta) tentang situasi Indonesia waktu itu, tentang tugas-tugas revolusi rakyat Indonesia, tentang seruannya kepada wartawan-wartawan Asia-Afrika untuk mengabdikan diri kepada perjuangan rakyat berbagai negeri demi kesejahteraan ummat dan perdamaian. Untuk kesekian kalinya, Bung Karno menunjukkan kepada masyarakat internasional, siapakah dia, apa yang dicita-citakannya. Untuk kesekian kalinya pula ia menunjukkan diri sebagai seorang yang konsisten, atau yang setia, kepada komitmen yang sudah dipikulnya sejak muda, yaitu sebagai seorang pejuang revolusioner yang gigih..

KWAA sudah terjadi 37 tahun yang lalu. Zaman pun sudah berobah, situasi dalamnegeri dan situasi internasional juga sudah mengalami perobahan-perobahan yang tidak kecil. Namun, adalah sayang sekali bahwa peristiwa yang penting ini tidak pernah diperingati secara layak sejak lahirnya Orde Baru. Gara-gara politik anti-Sukarno yang dianut Orde Baru, maka para wartawan Indonesia pun banyak yang takut, atau enggan, untuk menulis soal konferensi besar yang pernah menjadi kebanggaan nasional dan internasional ini. Di samping itu, mungkin tidak banyak lagi bahan atau dokumen tentang KWAA ini yang bisa ditemukan sekarang ini.

Itulah sebabnya, ketika penulis sedang mengetik artikel ini di computer sambil mendengarkan kembali piringan hitam (diproduksi oleh Lokananta, perusahaan Kementerian Penerangan) yang berisi pidato Bung Karno di depan KWAA (tanggal 24 April 1963), maka terbayang kembalilah kebesaran jiwa konferensi itu, dan kemegahan sosok Bung Karno di depan mata para wartawan Asia-Afrika yang menghadiri peristiwa penting itu. (Penjelasan : piringan hitam itu berjudul : “Message of H.E. President Soekarno, on the opening ceremony of the First Asian African Journalists’ Association”).

Sungguh, para pembaca yang budiman, mendengarkan kembali pidato Bung Karno di depan sidang pembukaan KWAA itu bisa mengingatkan orang bahwa Bung Karno memang orang besar bangsa. Sayang, bahwa ia telah menjadi korban kejahatan politik para pendiri Orde Baru/Golkar!