Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (6)
Ketua DPP PNI Bung Karno 1927, John Lumingkewas, mendesak pemerintah agar segera merehabilitasi nama Bung Karno. Selain itu, MPR ataupun negara dituntut memohon ma´af atas semua yang terjadi terhadap Bung Karno. Sebab, perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Suharto terhadap mantan presiden Soekarno adalah tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM). Tindakan tersebut harus diusut dan diproses hukum. Sebab, pemerintah Orde Baru bukan hanya melakukan kekejaman terhadap Bung Karno, tetapi juga selama bertahun-tahun telah melakukan pemasungan nama Bung Karno. Jika dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan pemerintah sekarang kepada Soeharto, sungguh berbeda. Pada zaman dulu Bung Karno mengalami tekanan fisik. Padahal, beliau bukan hanya proklamator, tetapi juga bapak bangsa, katanya (Kompas, 11 April 2001).
Dalam berita yang sama juga disebutkan bahwa “DPP PNI Bung Karno 1927 telah bertemu dengan Komisi Nasional HAM dan meminta supaya dibentuk tim khusus untuk menyelidiki dosa yang telah dilakukan oleh Orde Baru terhadap Bung Karno, dalam upaya pemulihan nama Bung Karno. Upaya menyelidiki kekejaman yang dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap Bung Karno diharapkan selesai sebelum tanggal 6 Juni 2001, tepat hari ulang tahun (HUT) ke 100-nya” (kutipan habis).
Usul atau desakan DPP PNI Bung Karno 27 ini benar, perlu dan sah. Oleh karena itu, tuntutan ini perlu mendapat dukungan seluas-luasnya. Secara moral, arah tuntutan ini benar, karena seluruh bangsa patut menyadari bahwa sudah terjadi perlakuan-perlakuan yang buruk atau yang tidak adil terhadap Bung Karno, yang dijalankan oleh para pendiri Orde Baru beserta pendukung-pendukung setianya (yang kemudian diteruskan oleh pimpinan GOLKAR selama puluhan tahun).
Secara politik, arah tuntutan ini juga sah dan hak (benar). Karena, melalui langkah ini dapatlah disajikan kepada seluruh bangsa betapa besar bedanya antara politik Bung Karno dengan politik Orde Baru. Dari segi sejarah perjuangan bangsa pun, tuntutan ini juga perlu sekali. Sebab, alangkah kerdilnya jiwa bangsa Indonesia, kalau tidak berani atau tidak mau mengkoreksi sejarah “versi” Orde Baru tentang Bung Karno. Sejarah “versi” Orde Baru inilah yang secara negatif telah mendominasi fikiran banyak orang selama puluhan tahun. Apalagi dari segi pendidikan politik bangsa (!!!), tuntutan ini mempunyai missi yang mulia. Generasi kita dewasa ini, apalagi yang akan datang, perlu sekali mengetahui secara baik ajaran-ajaran Bung Karno, sejarah perjuangannya, dan cita-citanya.
Tuntutan kepada pemerintah atau MPR untuk merehabilitasi nama Bung Karno, dan mohon ma´af atas semua yang terjadi terhadapnya, bukanlah hanya urusan DPP PNI Bung Karno 27. Bukan pula hanya urusan partai-partai atau golongan yang berhaluan marhaenisme atau golongan “kiri” lainnya.. Melainkan juga urusan semua orang yang menghargai ajaran-ajaran Bung Karno dan mengagumi perjuangannya, baik mereka yang termasuk dalam golongan Islam, Katolik, Protestan, Budha, Kong Hu Cu, Kejawen atau Kaharingan (atau entah apa lagi lainnya), sosialis, maupun komunis, atau aliran politik lainnya.
Sebab, dalam sejarah kehidupan bangsa kita, Bung Karno pernah berpuluh-puluh tahun menjadi idola sebagian besar bangsa, yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Oleh karena itu, ketika ia digulingkan dari kedudukannya sebagai kepala negara oleh para pendiri Orde Baru/Golkar, maka tidak sedikit orang yang merasa sedih, marah, atau “tidak terima”. Karena, penggulingan Bung Karno ini telah didahului oleh pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan simpatisan dan anggota PKI beserta ormas-ormas seperti SOBSI, BTI, Pemuda Rakyat, Gerwani, HSI, CGMI, IPPI dll. Bukan itu saja! Pembunuhan ini juga dilakukan terhadap sebagian pimpinan atau kader partai-partai atau ormas yang non-PKI tetapi mendukung politik Bung Karno, antara lain : PNI, Partindo, Baperki, Chung Hua Chung Hui dll. Juga, bukan itu saja! Sebelum dan sesudah Bung Karno digulingkan, ratusan ribu orang telah mengalami penahanan atau pemenjaraan tanpa pengadilan (di antara mereka banyak yang ditahan selama belasan tahun tanpa pengadilan).
Artinya, penggulingan Bung Karno bukan hanya telah mendatangkan penderitaan bagi keluarganya saja, melainkan juga bagi banyak orang lainnya. Dan penderitaan ini berlangsung lama sekali. Korban Orde Baru adalah besar sekali!!!!! (mohon ma´af, tanda seru lima kali). Sedangkan bentuk penderitaan atau intensitas siksaan (batin dan jasmani) juga beraneka-ragam. Dan yang lebih menyedihkan yalah bahwa trauma ini masih terasa - sampai sekarang ! - di banyak kalangan dan golongan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan itu semua pulalah kiranya kita perlu melihat arti tuntutan DPP PNI Bung Karno 27 itu. Tuntutan kepada pemerintah atau MPR untuk merehabilitasi nama Bung Karno dan mohon ma_af atas semua yang terjadi terhadapnya, sama sekali tidak urusannya dengan kultus individu, atau nostalgia, atau keisengan untuk mengusik-usik masa lampau, mengipasi rasa dendam, atau menutupi sejarah, atau bahkan memperuncing pertentangan.
Justru, sebaliknya! Menuntut pemerintah atau MPR untuk merehabilitasi nama Bung Karno, dan mohon ma´af atas semua yang terjadi terhadapnya, ada hubungannya yang erat dengan dengan berbagai masalah MASA KINI dan juga dengan MASA DEPAN bangsa dan negara.
Marilah kita sama-sama kita telaah berbagai faktor dan juga pertimbangan, yang antara lain adalah sebagai berikut.
Mengingat itu semua, sudah semestinyalah bahwa seluruh kekuatan pro-reformasi mendukung segala macam kegiatan atau beraneka-ragam usaha untuk merehabilitasi nama Bung Karno. Dua generasi bangsa kita sudah pernah dirusak oleh berbagai racun yang pernah disebarkan oleh para pendiri Orde Baru (dan diteruskan oleh Golkar selama puluhan tahun), sehingga banyak orang membenci Bung Karno tanpa diberi kesempatan untuk mengenal secara baik siapakah ia sebenarnya, bagaimanakah ajaran-ajarannya, apa sajakah jasa-jasanya.
Racun yang disebarkan secara luas, dan dicekokkan dalam tempo begitu lama, tidak mudah hilang dalam tempo yang singkat. Ini masih termanifestasi secara jelas dari banyaknya “tokoh-tokoh” di berbagai sektor atau kalangan (baik resmi maupun swasta), yang sekarang terus membenci Bung Karno tanpa banyak tahu persoalan-persoalan sebenarnya secara mendalam atau menyeluruh. Bahwa ada sebagian orang membenci Bung Karno, tetapi “mengerti” persoalannya secara mendalam, adalah wajar dan bukan menjadi persoalan. Karena ini adalah masalah pendirian, atau pandangan seseorang. Tetapi, bahwa banyak orang kemudian menjadi korban indoktrinasi yang salah, adalah sesuatu yang harus dilawan. Demikian juga, pejabat resmi atau “tokoh publik” (termasuk kalangan intelektual) yang ingin meneruskan politik Orde Baru terhadap ajaran-ajaran Bung Karno haruslah dilawan oleh seluruh kekuatan pro-reformasi.
Tugas menghilangkan racun ini sulit dan juga makan waktu lama, tetapi harus dikerjakan. Artinya, tidak hanya dalam rangka Peringatan Hut ke-100 Bung Karno saja, tetapi juga untuk selanjutnya di kemudian hari. Mungkin, suatu gerakan secara nasional untuk menuntut pemerintah dan MPR/DPR minta ma_af atas apa yang terjadi terhadap Bung Karno dapat dilancarkan, dalam berbagai cara dan bentuk, dan setapak-setapak. Semacam “front nasional” yang terdiri dari beraneka-ragam golongan dalam masyarakat (yang mencakup berbagai agama, suku, keturunan, aliran politik dll) bisalah kiranya dicoba untuk dilahirkan, walaupun dalam bentuk atau skala kecil di setiap wilayah atau daerah.
(Alangkah besarnya kemajuan dalam dunia fikiran bangsa kita, kalau pada suatu waktu, umpamanya, di Tual (di kepulauan Kai) bisa diadakan rapat untuk membicarakan apa isi pidato Bung Karno yang disingkat Takari, TAVIP dll. Atau kalau di Brastagi (umpamanya) ada pameran foto tentang kunjungan Bung Karno ke berbagai daerah. Atau di Pare-pare (umpamanya!) ada seminar tentang buku “Dibawah Bendera Revolusi” atau “Indonesia Menggugat”. Atau kalau di Medan ada club diskusi tentang ajaran-ajaran Bung Karno. Atau di banyak universitas sudah berdiri grup-grup studi “Belajar tentang Sukarno”).
Untuk memudahkan itu semua, peran penerbitan kembali buku-buku yang berisi ajaran dan sejarah perjuangan Bung Karno adalah penting sekali. Karena kekuatan sisa-sisa Orde Baru masih cukup kuat di mana-mana (termasuk di kalangan aparat pemerintahan dan juga di kalangan agama tertentu), maka perjuangan untuk merehabilitasi nama Bung Karno (dan penyebarluasan ajaran-ajarannya) pasti akan menghadapi perlawanan-perlawanan. Perdebatan atau perbenturan pendapat bisa saja menjadi sengit atau tajam. Tetapi, dilihat dari pandangan jangka jauh, itu semua akan bisa menimbulkan manfaat akhirnya. Sebab, dalam proses perbenturan pendapat ini, akan makin terlihat mana yang mas dan mana yang loyang, antara mana yang bunga dan mana yang rumput hilalang.
Tuntutan DPP PNI Bung Karno 27 yang juga mendesak Komnas HAM supaya membentuk tim khusus yang bertugas menyelidiki dosa yang dilakukan Orde Baru terhadap Bung Karno mempunyai pesan moral yang penting. Terlepas apakah Komnas HAM akan bisa membentuk tim khusus untuk tujuan ini, tetapi setidak-tidaknya sudah digulirkan di tengah masyarakat pengertian adanya dosa yang dilakukan Orde Baru terhadap Bung Karno. Sebenarnya, pengertian semacam itu sudah dimiliki sejak lama oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak adil, atau yang tidak benar, yang dilakukan oleh para pendiri Orde Baru terhadap Bung Karno. Tetapi mereka, dalam jangka yang lama sekali, terpaksa hanya menyimpan perasaan ini dalam hati yang menderita berkepanjangan.
Tuntutan rehabilitasi nama Bung Karno, yang dilancarkan seluas mungkin oleh beraneka-ragam golongan dalam masyarakat, akan bisa menjadi gerakan moral membangkitkan bangsa untuk “membrontak” secara damai dan beradab terhadap sisa-sisa politik Orde Baru yang telah menyingkirkan Bung Karno dan melumpuhkan (dalam jangka lama, dan dengan cara-cara yang tidak beradab) seluruh kekuatan yang mendukungnya. Tetapi, pembrontakan moral ini harus mengutamakan “perjuangan fikiran” dalam berbagai bentuk (dan secara damai!), untuk membangunkan kesadaran seluas-luasnya bahwa Orde Baru-nya Suharto dkk (baca: GOLKAR) telah didirikan atas landasan-landasan yang haram atau bathil, termasuk perlakuan terhadap Bung Karno.
Kalau direnungkan dalam-dalam, maka akan jelaslah bahwa gerakan moral semacam ini perlu dilakukan. Sebab, adalah sangat menyedihkan kalau masih banyak anak-anak sekolah SD atau SMP bertanya kepada orang-tua mereka : Pak, apa betul Soekarno itu jahat dan karenanya perlu digulingkan oleh Pak Harto dan kawan-kawan beliau?. Atau, kalau masih terus saja banyak mahasiswa yang mengatakan : Indonesia telah diselamatkan oleh TNI-AD dengan jatuhnya Sukarno. Atau, segala macam ucapan senafas lainnya yang mencerminkan betapalah besarnya akibat indoktrinasi salah Orde Baru mengenai Bung Karno.
Juga patutlah kita renungkan bersama hal yang berikut : Bung Karno pernah menjadi tokoh besar bagi perjuangan rakyat Asia-Afrika, dan dalam waktu lebih dari 32 tahun namanya telah dicemarkan oleh Orde Baru. Wajarlah kalau ada orang di luarnegeri yang bertanya-tanya : mengapa bangsa Indonesia sampai sekarang terus membiarkan perlakuan yang tidak adil terhadapnya ?
Mengingat itu semuanya, maka jelaslah bahwa gerakan moral untuk merehabilitasi nama Bung Karno adalah gerakan yang benar, dan perlu dilakukan. Gerakan moral ini merupakan sarana untuk menyebarluaskan kembali ajaran-ajarannya, sebagai sumbangan kepada pendidikan politik dan moral bangsa. (Sebab, sudah sama-sama kita alami bahwa Orde Baru tidak pernah melakukan pendidikan politik dan pendidikan moral yang benar. Bahkan sebaliknya!). Di samping itu, gerakan moral ini juga merupakan penghargaan bangsa terhadap apa yang telah dilakukannya bagi perjuangan bangsa keseluruhan untuk mencapai kemerdekaan nasional dan membangun Republik Indonesia.
Peringatan HUT ke-100 Bung Karno bisa merupakan kesempatan yang baik bagi seluruh kekuatan pro-reformasi untuk memulai dilancarkannya gerakan moral ini. Segala macam kegiatan yang diarahkan kepada tujuan untuk merehabilitasi nama Bung Karno adalah pada akhirnya akan menguntungkan bangsa, baik untuk generasi yang sekarang mau pun yang akan datang.