08 Oktober 2000 — 12 menit baca

Kebohongan sejarah Orba harus kita bongkar

Catatan (Red.TOLERANSI): Tulisan ini telah dimuat juga oleh media-online Detikcom, 7.10.2000

Akhir-akhir ini, menjelang dan sesudah tanggal 30 September, kita baca dalam media cetak Indonesia, banyak artikel, analisa dan wawancara, yang mengungkap kembali berbagai masalah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 (atau, lebih tepatnya, tanggal 1 Oktober 1965). Dalam situasi sekarang ini, ketika negara dan bangsa kita sedang bebenah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan berat di berbagai bidang yang ditimbulkan oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun, usaha untuk mengkaji-ulang tentang peristiwa tahun 65 adalah perlu sekali.

Sebab, kalau kita bersedia merenungkan dengan fikiran yang jernih, dan juga dengan hati yang lapang, maka akan jelaslah bahwa banyak persoalan rumit yang sedang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini ada sangkut-pautnya yang erat - baik secara langsung atau tidak langsung - dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tahun 65. Atau, dengan kalimat lain, bisalah kiranya dikatakan bahwa situasi dewasa ini yang penuh dengan berbagai masalah politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, moral bangsa, cara berfikir berbagai komponen masyarakat, adalah produk, atau akibat, atau kelanjutan dari apa yang terjadi dalam tahun 1965.

Oleh karena itu, adanya berbagai tulisan, analisa, atau ungkapan fikiran dari banyak fihak untuk menelaah kembali peristiwa-peristiwa 65 – beserta akibat-akibatnya - adalah perlu bagi usaha kita bersama untuk bisa mengerti mengapa bangsa dan negara kita menjadi seperti yang sama-sama kita saksikan dewasa ini. Sekarang ini, kita mulai mengetahui dan lebih mengerti secara gamblang, bahwa selama lebih dari 32 tahun banyak masalah tentang 65 yang ditutup-tutupi, atau dipelintir dan dibengkok-bengkokkan. Dalam jangka yang begitu lama, hanya sejarah versi Orde Baru-lah yang disajikan secara paksa, atau dicekokkan lewat indoktrinasi secara besar-besaran dan sangat sistematis. Lagi pula, lewat berbagai cara dan menggunakan segala sarana. (Mohon diingat, antara lain : kewajiban semua televisi untuk memutar film G30S, peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya). Sejarah, yang dipalsukan, telah dijadikan alat politik. Dan, dampak negatifnya ternyata dahsyat sekali.

Menyingkap Peristiwa 65 Adalah Tugas Nasional

Usaha untuk mengungkap berbagai masalah yang berkaitan dengan peristiwa 65 adalah tugas nasional kita. Karena, akibat yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa itu adalah besar sekali bagi perjalanan kehidupan bangsa kita. Ini sudah sama-sama kita rasakan secara langsung selama ini, tidak peduli dari golongan suku yang manapun, dari kalangan agama yang manapun, dan dari komponen masyarakat yang manapun.

Mengingat besarnya dampak peristiwa 65 bagi kehidupan bangsa, baik dewasa ini maupun selanjutnya di kemudian hari, agaknya perlu sekali disambut dengan positif segala usaha - dari fihak yang manapun juga! – untuk bersama-sama mencoba menelaahnya dari berbagai segi. Penelaahan kembali ini, kalau sungguh-sungguh dibimbing oleh semangat mencari kebenaran dan keadilan demi tercapainya persatuan atau rekonsiliasi bangsa, akan merupakan sumbangan besar bagi kehidupan bangsa dan negara kita dewasa ini, dan juga bagi generasi kita yang akan datang.

Sekarang ini, mereka yang mau merenungkan secara dalam-dalam, tidaklah bisa mengingkari bahwa Orde Baru telah melakukan berbagai kejahatan negara dan kekerasan negara (state violence) terhadap banyak komponen bangsa. Rezim ini telah membunuh kehidupan demokrasi dalam jangka puluhan tahun. Kekuasaan politik yang dipegang oleh Suharto, dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari para pimpinan militer (terutama dari TNI-AD), telah menjadikan negara sebagai jaring-jaringan mafia, yang dengan semena-mena telah menyalahgunakan kekuasaan secara besar-besaran. Diktatur militer ini pulalah yang telah berhasil, selama puluhan tahun, telah mengintimidasi para intelektual, merekayasa manuvre politik (ingat, umpamanya : opsus, intervensi dalam partai-partai), “membeli” sejumlah ulama dan kyai (atau pendeta), membungkam pers.

Sudah sama-sama kita saksikan juga, bahwa mesin raksasa militer ini jugalah, yang selama puluhan tahun telah menggunakan Golkar (juga PPP, dan kelompok-kelompok politik lainnya) untuk menyelenggarakan, secara berturut-turut, pemilihan umum yang palsu dan tidak sah, dan menjadikan parlemen hanya sebagai barang hiasan yang buruk. Dengan mengangkangi kekuasaan politik yang busuk inilah maka KKN merajalela, dan korupsi menjadi “budaya bangsa” seperti yang masih terus juga kita saksikan sampai dewasa ini di seluruh tanah-air. Nyatalah sudah dengan gamblang, bahwa kejahatan rezim militer Suharto dkk yang amat serius adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan selama puluhan tahun dan secara besar-besaran dan sistematis.

Hal dan keadaan semacam itu sudah diketahui, disaksikan, atau dialami sendiri oleh banyak orang, dan sejak lama pula. Jadi, masalahnya sudah jelas. Pemaparan kembali itu semuanya adalah sekedar untuk menyegarkan ingatan kita semua, dan untuk mendapatkan gambaran sekedarnya betapa dahsyatnya kerusakan yang telah dibikin oleh Orde Baru (beserta pendukung-pendukungnya) terhadap bangsa dan negara. Artinya, banyak sekali orang-orang dari berbagai golongan suku, berbagai kalangan agama, atau berbagai komponen masyarakat, yang telah dilanggar hak-haknya sebagai warganegara yang sah, yang diperlakukan tidak adil, yang ditindak tidak menurut hukum, yang diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan itupun dalam jangka waktu yang amat panjang.

Peristiwa 65 Adalah Sumber Kerusakan Dewasa Ini

Namun demikian, masih ada juga orang-orang yang – sampai sekarang ini !!! - tidak menyadari atau belum mengerti juga secara gamblang bahwa segala kerusakan dan kejahatan yang dibuat Orde Baru selama puluhan itu adalah pada dasarnya bersumber pada peristiwa tahun 1965. Dan karena peristiwa tahun 1965 itu mengandung berbagai aspek yang rumit, dan juga disebabkan oleh faktor-faktor pelik yang memainkan berbagai peran waktu itu, maka usaha untuk menjabarkan berbagai segi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa 65 adalah amat diperlukan. Oleh karena itu, segala usaha dari semua fihak (!!!) yang ingin ikut – dengan jujur - mencari kebenaran tentang peristiwa 65 adalah penting sekali. (Harap, diperhatikan tanda seru tiga kali itu)

Mencari kebenaran dari fakta-fakta atau situasi kongkrit yang berkaitan dengan peristiwa 65 adalah syarat bagi bangsa kita untuk bisa memberikan interpretasi yang tepat (atau relatif tepat) atau bisa mempunyai analisa yang mendekati kebenaran objektif dan yang bisa diterima secara rasional. Tetapi, kiranya kita semua pun patut menyadari bahwa peristiwa 65 adalah persoalan besar dan rumit, yang amat sarat dengan muatan politik dan ideologi, atau berbagai macam kepentingan. Dan, karenanya, adalah wajar bahwa konsensus tidak bisa dicapai dengan mudah tentang adanya KEBENARAN yang TUNGGAL. Jadi, dalam usaha bersama untuk mengungkap peristiwa 65, perlulah kiranya kita anjurkan kepada semua fihak untuk lebih berani bersuara, atau untuk menyatakan pendapat mereka masing-masing.

Terutama sekali, mereka yang mengalami peristiwa-peristiwa itu secara langsung, bisa dianjurkan untuk berani secara jujur mengungkap berbagai hal yang mempunyai nilai sejarah. Namun, karena rumitnya persoalan dan juga karena kemungkinan adanya berbagai kepentingan (umpamanya : kepentingan pribadi, kelompok, faham agama, politik atau ideologi), wajarlah agaknya kalau muncul berbagai versi tentang suatu hal atau suatu peristiwa. Keadaan semacam itu perlu kita hadapi dengan sikap demokratis dan kritis. Sebab, melalui penyajian fakta atau kesaksian, atau dengan adu argumentasi yang fair, dan lewat perdebatan yang sehat, akhirnya akan ketahuan jugalah kiranya mana yang emas dan mana yang loyang. Dengan kalimat lain, dalam pertarungan mencari kebenaran, maka akan muncullah, lambat laun, mana yang benar dan mana yang palsu..

Dalam rangka ini pulalah kiranya kita patut menanggapi berbagai tulisan, wawancara, atau ulasan yang akhir-akhir ini muncul dalam pers Indonesia, yang berkaitan dengan peristiwa 65. Kita bisa bahwa di dalamnya tercermin adanya pemihakan subjektif dalam memandang persoalan-persoalan, dan bahwa beraneka ragam persoalan juga telah diangkat. Umpamanya : apakah PKI terlibat sebagai organisasi ataukah hanya sejumlah kecil orang-orang tertentu dalam pimpinan PKI? Apakah Bung Karno menyatukan diri dengan PKI? Apakah Suharto tahu tentang G30S, dan kalau ya, mengapa ia tidak bertindak? Fihak manakah yang sebenarnya menggulingkan Bung Karno? Apakah CIA dan MI-16 (Inggris) tidak terlibat dalam penghancuran kekuatan Sukarno, dengan menghancurkan PKI? Apakah ada Dewan Jenderal? Apakah versi Latief tentang keterlibatan Suharto tidak benar? Siapa yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan besar-besaran tahun 65? Sampai di manakah permusuhan antara PKI dan sebagian dari pimpinan TNI-AD? Mengapa ratusan ribu atau jutaan warganegara biasa telah dibiarkan dibantai? Dan apakah yang menjadi latar-belakang yang sebenarnya peristiwa 65? Mengapa fihak Barat waktu itu melihat pada Sukarno dan PKI sebagai bahaya? Apakah betul bahwa G30S, adalah pada dasarnya, pertentangan intern di kalangan Angkatan Darat?

Penting Bagi Pendidikan Bangsa Dan Generasi Yad

Adalah suatu hal yang amat berguna sekali bagi pendidikan bangsa, dan terutama bagi generasi yang akan datang, bahwa persoalan 65 dapat, sekarang ini, dibicarakan secara luas dan bebas oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat luas dapat ikut serta dalam usaha penulisan sejarah bangsa, atau setidak-tidaknya ikut mengkontrolnya. Menurut pengalaman berbagai bangsa, biasanya, sejarah ditentukan oleh penguasa. Itu jugalah yang pernah kita alami bersama selama rezim Orde Baru. Sejarah peristiwa 65 juga telah dipaksakan secara sefihak dan sewenang-wenang oleh para penguasa Orde Baru (beserta para pendukung setianya). Contoh yang paling menyolok adalah dongeng yang dikarang-karang mengenai pesta anggota Gerwani yang menari-nari dengan telanjang di Lubang Buaya setelah terbunuhnya para jenderal TNI-AD. Kebohongan semacam ini ternyata mempunyai peran yang besar dalam membentuk (memanipulasi?) opini umum.

Mengingat pentingnya usaha untuk mengungkap berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa 65, maka seyogyanyalah kiranya kalau berbagai komponen masyarakat ikut menjadikan masalah ini sebagai salah satu di antara agenda-agenda bangsa yang harus ditangani secara serius. Masyarakat Sejarawan Indonesia patut memikul tanggungjawab atas tugas penting ini, dengan bantuan aktif dari masyarakat, yang juga perlu ikut mengkontrolnya. Pemerintah dan lembaga-lembaga penting negara (DPR dan MPR, antara lain) perlu memberikan kemudahan-kemudahan yang sebesar-besarnya, atas terlaksananya tujuan ini. Arsip nasional harus dibuka selebar-lebarnya bagi mereka yang sedang melakukan penelitian sejarah secara serius. Demikian juga arsip-arsip di kalangan militer, kehakiman, Kopkamtib, Teperpu dll (kalau belum dihilangkan dengan sengaja !!!).

Kemauan nasional untuk secara gotong-royong mencari kebenaran tentang peristiwa 65 perlulah kiranya ditanamkan dan dipupuk oleh segala fihak, demi kepentingan bersama. Hanya dengan kebenaranlah perasaan keadilan bisa ditegakkan, tidak peduli siapa yang bersalah pada waktu itu. Penegakan kebenaran adalah syarat untuk memintai pertanggungan jawab dari mereka yang melakukan kesalahan dan juga untuk meletakkan dasar-dasar rekonsiliasi. Namun, penegakan kebenaran dan mencari keadilan haruslah jangan dijadikan tujuan untuk sekedar pelampiasan rasa dendam yang hanya akan melestarikan rasa permusuhan dan sakit hati yang berkepanjangan.

Kampanye Bohong Tentang “Bahaya Laten PKI”

Sebab, makin jelaslah bagi banyak orang, sekarang ini, bahwa rezim Orde Baru memang dengan sengaja telah memelintir sejarah dan menyebarkan kebohongan selama puluhan tahun, demi tegaknya kekuasaan Suharto (beserta pendukung-pendukung setianya). Kita juga merasakan sendiri, atau menyaksikan, bahwa dengan cara-cara inilah rezim Orde Baru telah menyebarkan terus-menerus rasa permusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Melalui kampanye bohong tentang “bahaya laten PKI”, puluhan juta orang telah terus-menerus di-intimidasi dan dipersekusi dalam jangka lama, untuk mematahkan atau melumpuhkan semua kekuatan demokratis yang kritis terhadap Orde Baru. Dengan kebohongan sejarah yang dijadikan bahan indoktrinasi yang ampuh, rezim Orde Baru telah melakukan kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran dan dalam jangka lama. Karenanya, kebohongan sejarah adalah juga salah satu di antara begitu banyak dosa berat rezim Suharto.

Kebohongan sejarah inilah yang harus dibongkar, secara beramai-ramai, dan terus-menerus. Sebab, selama kebohongan sejarah ini masih belum diakhiri, maka bangsa kita, dewasa ini dan juga di kemudian hari, akan tetap terus dihingggapi oleh penyakit kangker, yang merusak fikiran dan membekukan hati nurani berbagai komponen bangsa. Adalah sangat memprihatinkan, bahwa sampai sekarang ini, masih ada saja orang-orang atau kelompok-kelompok masyarakat, yang masih belum mau - atau belum bisa - menyadari bahwa kebohongan sejarah yang diciptakan oleh Orde Baru adalah sumber rasa permusuhan antara berbagai komponen bangsa. Di antara mereka terdapat golongan atau kelompok-kelompok yang selama ini memang mendukung dengan setia rezim militer Suharto, dan juga orang-orang yang tetap tertipu atau termakan oleh indoktrinasi jahat yang sudah berjalan selama puluhan tahun.

Kebenaran Adalah Kemenangan Kita Bersama

Mengingat besarnya kejahatan yang ditimbulkan oleh kebohongan sejarah yang telah disebarkan Orde Baru, maka perlulah kiranya berbagai komponen bangsa mengambil langkah-langkah untuk bersama-sama memberantas racun berbahaya ini. Demi tugas nasional menghancurkan kebohongan sejarah bikinan Orde Baru, berbagai inisiatif bisa sama-sama kita fikirkan, yang bisa dikembangkan secara luas, dan di mana-mana, oleh berbagai golongan dalam masyarakat.

Umpamanya, di antaranya : - pembentukan di berbagai kota atau di daerah-daerah “Komite atau forum untuk Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi” - himbauan kepada para “pelaku sejarah” dan para korban Orde Baru untuk makin berani bersuara atau menuliskan pengalaman atau mensosialisasikan kesaksian mereka - mendesak kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk merevisi buku pelajaran sejarah untuk sekolah-sekolah - mendorong lahirnya kelompok-kelompok studi di berbagai universitas yang secara khusus melakukan penelitian ilmiah tentang peristiwa 65 - menuntut kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, Mahkamah Agung dll dll) supaya inistiatif /kegiatan yang bertujuan melakukan penelitian tentang 65 diberi kemudahan-kemudahan administratif dan juga bantuan moral dan material - usaha bersama dari semua fihak untuk terciptanya iklim yang sejuk dan konsensus yang luas bahwa pembongkaran sejarah 65 adalah tugas nasional demi persatuan bangsa dan iklim rekonsiliasi - menggencarkan lebih marak lagi aksi-aksi untuk menuntut adanya rehabilitasi hak sipil para eks-tapol, termasuk rehabilitasi para pegawai negeri yang telah dipecat secara sewenang-wenang - kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa dilancarkan, sesuai dengan kondisi yang memungkinkan.

Kegiatan-kegiatan untuk membongkar kebohongan sejarah Orde Baru adalah perlu dan benar, demi kesehatan kehidupan bermasyarakat, yang sudah sejak lama diracuni oleh sistem politik Orde Baru. Kebohongan ini telah membikin sengsara yang berkepanjangan bagi puluhan juta orang, sampai sekarang. Kebohongan itu jugalah yang telah menjadi senjata bagi Orde Baru untuk merusak negara dan bangsa, sehingga akibat-akibat buruknya masih kita warisi dewasa ini. Karenanya, kebohongan ini harus kita kubur bersama-sama. Pada akhirnya, dan pada hakekatnya, kemenangan kebenaran adalah kemenangan kita bersama, tidak peduli dari golongan suku yang manapun, atau kalangan agama yang manapun, dan aliran politik yang manapun juga.