03 September 2003 — 10 menit baca

Kebenaran - Rehabilitasi - Rekonsiliasi, Adalah Kesatuan Yang Tak Terpisahkan

Tidak lama lagi, kita akan memasuki bulan-bulan Oktober, November dst. Adalah dalam bulan-bulan tsb — 38 tahun yang lalu, pada akhir tahun 1965, negeri kita, dan masyarakat mancanegara, menyaksikan dimulainya suatu rentetan peristiwa yang amat mengerikan, menakutkan dan mengkhawatirkan bagi setiap insan yang punya hati nurani. Adalah pada bulan-bulan tsb di negeri kita terjadi suatu “klopjacht” terhadap segolongan besar di kalangan rakyat kita,(bahasa Belanda “klopjacht”, artinya pemburuan/pengejaran dengan menggunakan anjing-anjing buruan). Peristiwa tsb, — tak perduli ditelaah dan dianalisis dari sudut manapun, dengan menggunakan latar belakang sejarah yang bagaimanapun, — satu hal adalah pasti, orang tidak bisa memungkiri tercatatnya serentetan fakta sejarah yang teramat keras. Pada periode itu telah terjadi suatu pelanggaran teramat serius dan berat terhadap hak-hak azasi manusia, (HAM), rakyat kita. Peristiwa separah dan seserius itu, baru sekali inilah terjadi dalam sejarah Indonesia berbangsa.

Menurut catatan dan kesaksian yang bersangkutan, yang terjadi adalah sbb: Dengan dipicu oleh penguasa militer ketika itu, telah berlangsung pengejaran, penangkapan, penyiksaan, pembuangan dan pembunuhan besar-besaran terhadap warganegara yang tidak bersalah, yang tidak tahu menahu duduk perkaranya, mengapa mereka ditindak. Semua tindakan kekerasan tsb, terjadi tanpa proses pengadilan yang wajar apapun. Semua tindakan itu, yang puncaknya adalah pembantaian masal (summary mass-execution), dilakukan DILUAR HUKUM. Semua tindakan kekerasan tsb betapapun telah melanggar prinsip-prinsip negara hukum. Mulai saat itu Indonesia memasuki era HUKUM RIMBA. Korban terhitung - menurut pengakuan Jendral Sarwo Edhi - panglima Kostrad ketika itu - melebihi tiga juta orang. TIGA JUTA KORBAN YANG JATUH! Hal seperti itu hanya terjadi pada suatu genocide yang terrencana. Bila korban yang jatuh sudah demikian besarnya, siapapun tidak bisa dibohongi dengan omongan ringan-ringan bahwa peristiwa itu adalah akibat “konflik di kalangan masyarakat sendiri”. Atau dengan kata lain bahwa konflik itu adalah “konflik horizontal”. Maka tercatatlah dalam sejarah Indonesia, bahwa negeri kita ketika itu memasuki suatu periode dimana KEKERASAN PENGUASA, KEKERASAN NEGARA – MENJADI SUATU SISTIM DAN BUDAYA yang dipraktekkan terus selama puluhan tahun rezim Orba.

Dalam periode itu, sebelum penguasa militer memulai tindak kekerasannya, – telah berlangsung terlebih dulu, suatu kampanye media yang ekstensif dan efektif - karena semua media lainnya yang tidak berada di bawah pengontrolan penguasa, telah diberangus. Kampanye ini dilakukan terus menerus, setiap hari, setiap malam, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan lamanya. Kampanye media ini mengandung satu PESAN ISTIMEWA yang tidak bisa disalah artikan: G30S/PKI adalah suatu penghianatan, adalah suatu aksi merebut kekuasaan negara. G30S/PKI telah melakukan pembunuhan kejam dan biadab terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira menengah ABRI. Semua yang dianggap pelaku, terlibat ataupun berindikasi G30S/PKI dimaklumkan berada di luar hukum. Mereka-mereka itu boleh dan harus dikejar, ditangkap, disiksa dan paling baik dihabisi samasekali. Dan memang itulah yang kemudian terjadi.

Sekarang, lebih 38 tahun kemudian, kita bisa membaca sejumlah analisis dan kesimpulan, tulisan serta serta hipotesa, oleh pelbagai pakar, penulis, pengamat, peneliti, pengkaji nasional maupun internasional mengenai G30S. Sebenarnya bukan baru sesudah Suharto lengser, tapi jauh sebelumnya sudah bermunculan penelitian dan pengkajian kalangan ilmuwan sejarah mancnagera sekitar peristiwa G30S. Kesimpulannya berlawanan dengan apa yang diklaim oleh Orba. Sayangnya pada zaman Orba, pembaca Indonesia sulit memperoleh akses membaca litertur seperti itu. Bila semua penelitian, pengkajian maupun analisis tsb dipelajari - kesemuanya itu mengarah pada satu kesimpulan sbb: Bahwa tuduhan penguasa militer Suharto bahwa G30S didalangi oleh PKI atau Presiden Sukarno, atau PKI bersama Presiden Sukarno, menjadi amat diragukan kebenarannya. Ternyata bahwa versi penguasa militer Suharto lebih banyak rekayasanya ketimbang fakta-fakta yang terbukti.

Apalagi yang menjadi saksi peristiwa itu, yang langsung mengalaminya, seperti Letkol Latief, Waperdam I Kabinet Presiden Sukarno,Dr Subandrio, Marsekal Udara Omar Dhani, mantan ajudan Presiden Sukarno, Jendral Saelan, dan banyak lainnya lagi, bertutur lain samasekali terbanding tuduhan versi Suharto, yang selama rezim Orba diklaim sebagai kebenaran satu-satunya.

Ada satu segi yang mungkin kurang terpikir tapi belakangan mulai muncul: Mengapa Presiden AS Lyndon Johnson dan Ratu Elsabeth, masing-masing kepala negara blok Barat yang anti-Komunis, justru dengan amat sangat mendesak kepada Presiden Suharto agar dr Subandrio yang sudah dijatuhi hukuman mati, supaya diselamatkan jiwanya. Mengapa justru AS dan Inggris, yang berbuat demikiah. Bukankah G30S/PKI menurut mereka adalah suatu konspirasi Komunis bersama Presiden Sukarno. Bukankah menurut Orba, dr Subandrio sebagai Waperdam I, bersekongkol dengan PKI dan ambil bagian dalam mencetuskan G30S/PKI? Tetapi justru tokoh yang paling disasar Suharto ketika itu, sesudah Presiden Sukarno, hendak diselamatkan oleh AS dan Inggris? Ini seakan-akan suatu misteri. Maka tidak usah kita heran bila muncul kesimpulan, bahwa, sebabnya ialah karena AS dan Inggris tahu betul bahwa dr Subandrio bukanlah pelaku, pengkomplot ataupun dalang dari G30S. MEREKA TAHU BETUL BAHWA ADALAH KEKUATAN LAIN YANG MENDALANGINYA - CIA DAN JAWATAN INTEL INGGRIS. Bila dibaca DOKUMEN CIA (Penerbit Hasta Mitra, Jakarta - aslinya diterbitkan oleh US State Department, kemudian dicabut lagi dari peredaran, tapi sudah kadung menjadi rahasia umum) maka tidaklah aneh kiranya bila orang menunjuk AS sebagai - paling tidak - pelaku G30S, kalau bukan dalangnya.

Kasus G30S akan terus menjadi perhatian dan pengkajian para peneliti dan sejarawan. Suatu ketika, pasti kabut misteri yang meliputi peristiwa G30S pasti akan terkuak, dan misteri akan menjadi rahasa umum. Yang jelas ialah bahwa sampai detik ini, tidak satu versipun mengenai G30S yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran. Sebabnya sederhana, karena bukti-bukti tidak cukup. Saksi-saksi kakap banyak yang sudah dibunuh oleh rezim. Yang masih hidup menuturkan justru fakta-fakta yang berlawanan dengan apa yang dipaparkan oleh Suharto. Sampai waktunya tiba kasus G30S benar-benar terungkap, siapapun tidak bisa menerima versi rekayasa tentang G30S yang diklaim oleh Suharto. Apalagi bila rekayasa tsb digunakan sebagai dalih, agar “memahami”, bahkn “membenarkan” terjadinya pelanggaran serius dan berat terhadap hukum, terhadap HAM, seperti yang telah terjadi setelah terjadinya peristiwa G30S.

Kalau saja kita menyempatkan diri untuk membaca pemberitaan sekitar usaha sebagian masyarakat untuk “rekonsiliasi” baru-baru ini, seperti yang terjadi di Blitar Selatan (antara ummat NU dan para korban 65), disitu bisa didengar kesaksian oleh saksi-saksi hidup - bahwa memang ketika itu telah terjadi provokasi oleh fihak tentara. Suatu provokasi yang tujuannya mencetuskan pengejaran dan pembantaian terhadap orang-orang PKI dan orang-orang Kiri lainnya. Menurut kesaksian orang-orang NU sendiri, kepada orang-orang NU fihak tentara menunjukkan “daftar maut” yang memuat nama-nama kiayi NU, yang katanya akan dibantai oleh PKI. Kepada orang-orang PKI diedarkan “daftar maut” lainnya yang berisi nama-nama orang PKI, yang katanya, akan dibantai oleh pemuda-pemuda Ansor (NU). Bisalah dimengerti bahwa tidak lama kemudian terjadilah pengejaran dan pembantaian “antara NU dan PKI”. Namun kenyataannya korban terbesar ada di fihak PKI dan pengikut-pengikutnya. Karena tentara mempersenjatai orang-orang yang diprovokasi untuk membantai orang-orang PKI dan pengikutnya. Berita seperti tsb diatas, kalaupun dimuat di media Indonesia, itupun hanya di satu dua s.k. saja. Ini tidak mengherankan, karena media Indonesia dewasa ini pada pokoknya dimiliki atau dikuasai oleh para elite politik dan kalangan bisnis, yang samasekali tidak punya kepentingan untuk menegakkan kebenaran dalam sejarah bangsa kita. Mereka tidak suka dengan berita-berita yang mengungkap kebenaran sejarah, yang bila diungkap sesungguhnya akan memeperlancar usaha rehabilitasi dan rekonsiliasi.

TAPI ADA SATU HAL YANG PASTI. Ratusan ribu bahkan lebih dari sejuta warganegara yang tidak bersalah telah jadi korban. Mereka dibantai, dibunuh, dan . . . . . mereka tidak bersalah. Bahkan dalam banyak hal, tidak ada tuduhan samasekali. Mereka diambil aparat dari rumahnya dengan alasan untuk “diamankan”. Tapi tidak kembali lagi. Adakah penamaan lain untuk tindakan sewenang-wenanag seperti itu, kecuali menyatakannya sebagai suatu pelanggaran teramat serius dan berat terhadap HAM rakyat Indonesia?

Di Argentina, juga ada peristiwa yang tidak banyak beda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Di Argentina juga telah terjadi pelanggaran berat HAM oleh tentara terhadap rakyat (khususnya golongan Kiri). Peristiwa tsb di kalangan orang-orang Argentina populer disebut THE DIRTY WAR, atau PERANG KOTOR. Pernah pelakunya - yaitu tentera - bukan oknum-OKNUM - tapi perwira-perwira tentara yang dinas aktif di lapangan dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM ini - diberikan amnesti oleh pemerintah sebelumnya. Tetapi baru saja amnesti ini dicabut lagi oleh menhamkam yang sekarang ini. Sehingga sebanyak 2000 mantan anggota diktatur militer Argentina bisa diajukan ke pengadilan, karena pelanggaran terhadap HAM. Demikian dikatakan oleh Menhankam Argentina Jose Pampuro, tg 3 Sept y.l. Seperti diketahui dari tahun 1976 ssmpai dengan 1983 Argentina diperintah oleh rezim tentara. Pada waktu itu ribuan orang yang beroposisi, umumnya orang-orang Kiri, dibunuh dan hilang. Dari yang 2000 anggota tentara tsb beberapa telah diajukan ke pengadilan.

Tidakkah kita bisa menarik pelajaran dari Argentina. Yang punya “political will” dan berani menegakkan kebenaran yang kelanjutannya bisa diikuti dengan rehabilitasi bagi korban dan rekonsiliasi atas dasar keadilan.

Menegakkan hukum dengan menciptakan dan memberlakukan undang-undang dan peraturan yang adil dan demokratis, adalah perlu. Bahkan perlu sekali. Ini wajar dalam rangka menegakkan negara Republik Indonesia sebagai NEGARA HUKUM. Tetapi pengalaman sekitar mencari kebenaran dalam kasus-kasus, misalnya Tanjung Periok, kasus Trisakti-Semanggi II dan Semanggi III, dan Peristiwa Mei 1998, menunjukkan bahwa DPR - notabene hasil pemilu yang bolehlah dibilang demokratis dan transparan - menjadi alat kepentingan elite politik, kepentingan CILANGKAP. Kepentingan itu adalah untuk membebaskan diri dari penegakkan hukum, dari pertanggungan jawab terhadap pelanggaran berat HAM. Halmana berarti mempertahankan terus IMPUNITY. Demikian pula halnya, rencana mengundangkan (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi < KKR > dikhawatirkan akan mengulangi praktek yang lalu. Akan dijadikan kendaraan politik untuk berusaha bebas dari proses hukum bagi yang bertanggungjawab dan bersalah dan peluang untuk lagi-lagi melakukan “dagang sapi” dan “deal-deal politik” lainnya. Itu semua sering disertai pula dalih, hendaknya “kita tidak membuka peluang untuk tindak balas dendam”.

Kekhawatiran tsb dengan terang-terangan dicetuskan oleh Salahuddin Wahid (4 Sept), salah seorang anggota KOMNASHAM. Ia mengimbau agar “jangan sampai UU KKR menjadi alat untuk menciptakan impunity. Kalau masalah ini berlarut-larut, kata Wahid, berarti salah satu masalah berat yang kita warisi akan tetap tidak terselesaikan dan menghambat upaya kita keluar dari krisis. Juga akan menghambat laju gerakan reformasi yang telah berjalan lebih dari lima tahun tanpa hasil yang jelas. Sebagian besar masyarakat mengharapkan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu dapat segera diselesaikan dengan lebih mengutamakan rasa keadilan di atas pertimbangan normatif positivis dan politik. Penyelesaian semacam itu akan lebih memberi harapan bahwa lembaran hitam dalam sejarah kita tidak terulang lagi di masa depan. Demikian anggota KOMNASHAM Salahuddin Wahid.

Kiranya kurang lengkap pembicaraan sekitar KKR ini, bila usaha untuk mengurus kasus pelanggaran HAM selama 30 lebih, tidak dibimbing oleh suatu FIKIRAN STRATEGIS, yaitu REHABILITASI terhadap semua warganegara yang telah menjadi korban pelanggaran berat HAM, mulai 1965 sampai jatuhnya Suharto. Rehabilitasi para korban, termasuk yang sampai sekarang masih menderita diskriminasi sosial, ekonomi, etnis dan politik, jangan tertunda-tunda lagi. Tepat sekali apa yang diajukan dengan gamblang oleh Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, dalam suratnya bulan Juni y.l. kepada Presiden Megawati Sukarnoputri mengenai urgensi merahabilitasi para korban pelanggaran berat HAM. Usulan serupa juga diajukan oleh KOMNASHAM kepada Presiden Megawati Sukarnoputri.

Usulan-usulan tsb sepenuhnya tepat, karena masalah KEBENARAN DAN REKONSILIASI tidak bisa dipisahkan dari masalah REHABILITASI. Bahkan, untuk melancarkan usaha yang akan dilakukan oleh KKR langkah politik merehilitasi nama baik dan hak-hak kewargaraan para korban yang jelas tidak bersalah, adalah merupakan suatu CONDITIO SINE QUA NON. Sesuatu yang tidak boleh tidak. Janganlah hendaknya, dalih yang menjadikan momok “balas dendam”, dibiarkan menghambat usaha mencari kebenaran dan merealisasi rehabilitasi para korban.

Melihat sendiri betapa DPR/MPR betul-betul mandul dan menolak untuk membela nasib rakyat yang jadi korban, gagal dalam menghapuskan TAP MPRS No XXV/1966 dan TAP MPRS No. XXXIII/1967 yang bertentangan dengan UUD RI yang sudah empat kali diamandemen - dimana pasal-pasal HAM jelas sekali terrumus, — sudahlah tiba waktunya kiranya bagi Presiden Megawati Sukarnoputri untuk turun tangan.

KITA NANTIKAN KEPUTUSAN PRESIDEN MEGAWATI SUKARNOPUTRI MEREHABILITASI SEMUA KORBAN PELANGGARAN BARAT H.A.M SELAMA 30 TAHUN LEBIH! Karena rehabilitasi akan merupakan langkah penting dalam rangka REKONSILIASI NASIONAL.

HKSIS 3 September 2003