14 November 2005 — 10 menit baca

Kasus spanduk Idul Fitri bergambar palu arit

Sesudah lebaran Idul Fitri dan dalam rangka Peringatan 40 Tahun Peristiwa Tragedi Nasional 65, kiranya adalah menarik bagi kita sekalian untuk menyimak dan kemudian merenungkan dalam-dalam isi berita yang disiarkan Tempo Interaktif 7 November 2005 tentang spanduk Hari Raya yang bergambar palu arit di Solo. Berita tersebut, yang berjudul « Selamat Idul Fitri dan Palu Arit » adalah sebagai berikut :

« Kepolisian Resort Kota (Polresta) Solo menyita spanduk ucapan Hari Raya Idul Fitri bergambar lambang palu arit yang selama ini dikenal menjadi lambang PKI (Partai Komunis Indonesia), Senin (7/11). Spanduk ucapan Hari Raya Idul Fitri dari eks Tapol PKI bergambar palu arit itu selama tiga hari terakhir ini dipasang di atas sebuah ruko tepat di depan Pasar Pasar Kliwon, Solo.

« Pemilik dan pemasang spanduk tersebut adalah Martono (70), warga Jalan Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon, Solo. Ia mengaku memasang spanduk tersebut sebagai bentuk rasa kebabagiaan dan solidaritas dari eks tapol PKI dengan datangnya Hari Raya Idul Fitri. “Saya memang eks tapol PKI, apa salahnya memberikan ucapan selamat dan ikut merayakan Idul Fitri. Apa eks tapol tidak boleh memberikan ucapan selamat idul fitri seperti yang lainnya?” katanya.

« Menurut Kapolresta Solo, AKBP Oneng Subroto, penyitaan terhadap spanduk tersebut dikarenakan adanya pelanggaran terhadap Tap MPRS no XXV/1966. “Sesuai Tap MPRS tersebut, PKI dilarang di negeri ini. Polisi melakukan tindakan ini untuk menegakkan aturan hukum negara,”katanya.

« Sementara itu, meski spanduknya disita, Martono tidak ditahan dan hanya diberi pengarahan oleh petugas. Namun jika mengulangi kembali perbuatannya, petugas akan mengambil tindakan lebih tegas lagi. Martono pun siap dengan konsekwensi atas tindakannya tersebut. Hanya saja ia menyesalkan penilaian orang terhadap keberadaan para eks tapol.

« Menurut Martono, spanduk dengan gambar palu arit dan bertuliskan eks tapol tersebut, bukan berarti ingin membanggakan keberadaan PKI atau tapol. “Saya senang dicap sebagai eks Tapol dan ditahan sekitar lima tahun dan disiksa, tetapi saya masih tetap hidup. Hal inilah yang memotivasi saya untuk memasang spanduk dengan tulisan eks Tapol. Saya ingin hidup seperti masyarakat pada umumnya. Ini bukan sebagai bentuk kebanggaan saya sebagai eks Tapol, tetapi sebagai peringatan bagi anak cucu bahwa ada kekejaman pada masa lalu,”katanya.

« Spanduk berwarna hijau muda tersebut dipasang di atas rumah toko (Ruko) milik Martono yang berada di pojok utara Pasar Pasar Kliwon. Gambar palu arit terlihat cukup mencolok di pinggir tulisan kanan dan kiri. Sedang di tengah tertulis “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin wal Faizin” » Demikian berita Tempo Interaktif tersebut.

Setelah membaca berita tersebut, jelaslah bahwa setiap orang bisa mempunyai pendapat yang berbeda-beda, dan memandang persoalannya dari berbagai segi pula. Apa yang diuraikan berikut di bawah ini adalah salah satu pandangan di antara berbagai pandangan tersebut.

Peristiwa Yang Sarat Dengan Simbul Dan Makna

Kasus Martono, seorang eks-tapol PKI yang memasang spanduk bergambar palu arit untuk meng-ekspresikan rasa gembiranya kepada sesama orang Muslim pada hari raya Idul Fitri, dan kemudian ditindak oleh kepolisian, merupakan kejadian yang patut mendapat perhatian dari semua orang yang memiliki kepedulian terhadap rasa kemanusiaan dan peradaban. Sebab, kasus Martono ini bisa dilihat sebagai suatu manifestasi perlawanan atau protes terhadap ketidakberesan, ketidakadilan, dan « keanehan » yang banyak terjadi di negeri kita sejak berkuasanya Orde Baru.

Peristiwa ini juga melambangkan keberanian seorang manusia, seorang warganegara Republik Indonesia, untuk menuntut haknya sebagai pemeluk agama Islam supaya diperlakukan sebagai orang Muslim lainnya, walaupun ia bekas tapol PKI. Apa yang dilakukannya ini bisa diartikan bahwa perbuatannya secara perseorangan itu sebenarnya juga mewakili perasaan atau fikiran banyak sekali bekas anggota PKI atau para eks-tapol (dan orang-orang yang bernalar sehat lainnya), baik di Indonesia atau pun di luar negeri.

Karena itu, kejadian ini pantas sekali jadi peringatan atau seruan bagi pimpinan gologan Islam, bagi Majlis Ulama Indonesia, bagi tokoh-tokoh NU dan Muhammadiah (dan organisasi-organisasi Islam lainnya), bahwa pemeluk-pemeluk agama Islam yang banyak terdapat di kalangan bekas anggota PKI dan para eks-tapol (yang belum tentu bekas anggota PKI) perlu dan berhak (!!!) mendapat perlakuan yang berdasarkan keadilan, kebenaran, dan juga menurut ajaran-ajaran agama yang sebenarnya.

Muslim Dan Muslimat Di Kalangan Tapol

Kalimat-kalimat yang diucapkan Martono pantaslah kiranya jadi renungan yang dalam bagi kita semua. Antara lain ia mengaku memasang spanduk tersebut sebagai bentuk rasa kebabagiaan dan solidaritas dari eks tapol PKI dengan datangnya Hari Raya Idul Fitri. “Saya memang eks tapol PKI, apa salahnya memberikan ucapan selamat dan ikut merayakan Idul Fitri. Apa eks tapol tidak boleh memberikan ucapan selamat idul fitri seperti yang lainnya?” katanya

Kalimat Martono lainnya yang patut menjadi renungan kita bersama, karena isinya yang dalam dan juga mengandung pesan yang penting adalah yang berbunyi : « Saya senang dicap sebagai eks Tapol dan ditahan sekitar lima tahun dan disiksa, tetapi saya masih tetap hidup. Hal inilah yang memotivasi saya untuk memasang spanduk dengan tulisan eks Tapol. Saya ingin hidup seperti masyarakat pada umumnya. Ini bukan sebagai bentuk kebanggaan saya sebagai eks Tapol, tetapi sebagai peringatan bagi anak cucu bahwa ada kekejaman pada masa lalu,”katanya

Kasus Martono menggugah fikiran kita semua akan adanya kenyataan bahwa di antara banyak anggota PKI, atau di antara para eks-tapol, atau di antara para korban pembantaian dalam tahun 1965, yang jumlahnya jutaan itu (bahkan puluhan juta) terdapat juga banyak pemeluk Islam atau Muslimin dan Muslimat. Sebenarnya, kenyataan itu masih bisa disaksikan oleh siapa pun, sampai sekarang, di kalangan yang tadinya menjadi pendukung PKI dan para eks-tapol beserta keluarga mereka. Siapa saja yang banyak bergaul dan mengenal mereka itu secara baik-baik atau dari dekat , akan melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya pemeluk agama Islam di kalangan mereka.

Sebagian besar di antara mereka ini, selama puluhan tahun Orde Baru, telah menanggung penderitaaan yang bermacam-macam bentuknya - dan berbeda-beda kadarnya - dari masyarakat dan pemerintah. Golongan militer Suharto dkk. yang anti-komunis, anti-Bung Karno dan pro-imperialis AS telah melakukan genosida yang paling kejam, bengis, dan biadab (!!!) terhadap jutaan orang kiri pendukung politik Bung Karno. Yang perlu dicatat, dan dengan huruf tebal-tebal pula, ialah bahwa yang menjadi korban genosida atau holokaus yang paling besar dalam sejarah bangsa Indonesia ini termasuk juga banyak orang-orang Muslim dan Muslimat. Adalah sangat disayangkan bahwa sebagian dari golongan Islam sendiri pernah telah berhasil ditipu, dihasut, dimanipulasi dan “dibujuk” oleh pimpinan TNI-AD (waktu itu) untuk memusuhi PKI dan Bung Karno. Mereka telah senang, atau menyetujui, atau diam seribu bahasa saja, terhadap pembunuhan secara besar-besaran dan pemenjaraan ratusan ribu orang tidak bersalah, dalam jangka waktu yang lama sekali pula.

Spanduk Dengan Tanda Palu Arit Dilarang

Karena hebatnya kampanye anti-komunis yang dilakukan secara intensif sekali selama lebih dari 30 tahun oleh rejim militer Orde Baru ( dengan mendapat dukungan dari sebagian golongan Islam yang bisa dirangkul oleh pimpinan TNI-AD) maka masyarakat luas di Indonesia berhasil dicekoki racun “bahaya laten PKI”, “ PKI adalah anti-agama”, “PKI anti-Pancasila”. Akibat racun yang telah dipaksakan secara besar-besaran – dan dengan berbagai cara atau jalan – maka dampaknya sangat luas dan dalam sekali. Sebagai akibat racun propaganda dan indoktrinasi ini, banyak orang menganggap atau mengira bahwa anggota atau simpatisan PKI (dan para eks-tapol pada umumnya) adalah : orang-orang jahat yang anti-agama, pembunuh, perusuh, orang-orang yang bejat moralnya, perusak tatanan sosial, pengganggu ketenteraman masyarakat dan keamanan negara.

Martono, sebagai eks-tapol PKI dan juga seorang Muslim telah dilarang untuk menyatakan kegembiraannya pada waktu Lebaran dan menyampaikan Selamat Idul Fitri kepada sesama pemeluk agamanya, dengan alasan bahwa dalam spanduk yang dipasangnya terdapat gambar palu arit. Polisi telah mengambil tindakan terhadapnya atas dasar bahwa menurut ketetapan MPRS no 25/1966 PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Oleh karenanya, walaupun di atas spanduk yang dibuat Martono tidak tercantum nama PKI dan hanya ada tanda gambar palu arit, maka spanduk disita oleh polisi dan Martono ditindak.

Tindakan polisi yang demikian ini, sekali lagi - dan untuk kesekian ribu kalinya ! -, menunjukkan bahwa ketetapan MPRS no 25/1966 yang telah dikeluarkan 40 tahun yang lalu itu (!!!, tanda seru tiga kali) masih terus-menerus dijadikan alat untuk merampas kebebasan banyak orang. Selama puluhan tahun, rejim militer Orde Barunya Suharto dkk telah menjadikan TAP¨MPRS No 25/1966 sebagai alat terror yang ampuh sekali terhadap golongan kiri anggota dan simpatisan PKI, terhadap semua orang yang berani menentang Orde Baru. dan terhadap para pendukung politik Presiden Sukarno.

TAP MPRS no 25/1966 Produk Perang Dingin

TAP MPRS no 25/1966 ini telah dipaksakan oleh golongan militer (terutama pimpinan TNI-AD waktu itu) untuk menjadi ketetapan “majlis permusyawaratan rakyat” palsu atau gadungan, yang sudah dikebiri, atau dipreteli, dengan menangkapi atau membunuhi anggota-anggotanya yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya. TAP MPRS ini telah dipakai oleh pimpinan militer waktu itu bukan hanya untuk melumpuhkan secara mutlak kekuatan PKI saja, tetapi melalui kelumpuhan PKI ini kemudian mereka terus meningkatkan operasi-operasi mereka untuk membidik sasaran utama mereka, yaitu : menggulingkan Presiden Sukarno.

Jadi, dari fakta-fakta sejarah dapat kita lihat bahwa TAP MPRS 25/1966 adalah, pada dasarnya, pencerminan atau manifestasi dari bersatunya kepentingan kaum reaksioner dalamnegeri (antara lain : pimpinan TNI-AD, yang disokong oleh unsur-unsur anti-PKI dan anti-Bung Karno, termasuk sebagian golongan Islam) dengan kepentingan kekuatan imperialis di luarnegeri (terutama AS, Inggris, Belanda waktu itu). Kalau dilihat dari sudut politik internasional waktu itu, maka bisa dikatakan juga bahwa TAP MPRS no 25/1966 tidak terlepas dari situasi Perang Dingin. Dan, nyatalah dengan jelas, bahwa dalam suasana Perang Dingin waktu itu TAP MPRS 25/1966 berada di kubu imperialis.

Sekarang ini, situasi internasional sudah banyak berobah dibandingkan dengan situasi tahun 1960-an. Perang Dingin (dalam bentuknya yang lama) sudah selesai, Soviet Uni sudah bubar, blok Soviet juga sudah tidak ada lagi, dan Tiongkok komunis sudah menjalankan ekonomi kapitalis. Vietnampun sudah tiru-tiru Tiongkok. Sekarang ini, di seluruh dunia, komunisme sudah bukan merupakan “bahaya’ seperti dulu lagi. Dan gambar palu arit juga banyak sekali terdapat di negara-negara di dunia, tetapi toh tidak menimbulkan persoalan apa-apa. Sementara itu, perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk perbaikan nasib dan kemajuan sosial ekonomi dan melawan neo-imperialsime dan neo-liberalisme (yang kekuatan utamanya ialah imperrialisme AS). berlangsung terus dengan intensitas yang makin lama makin besar dan skala yang makin lama makin luas.

Situasi Dunia Sudah Banyak Berubah

Di samping itu, sekarang ini imperialisme AS mendapat perlawanan dari makin banyak penjuru dunia. Bukan hanya di Irak dan Palestina suara anti-AS terdengar lantang, tetapi juga di Venezuelanya Hugo Chavez, Brasilia, dan negara-negara Amerika Latin lainnya (terutama di Kuba, sejak lama).. Suara berbagai rakyat dunia yang mengecam neo-liberalisme, Bank Dunia, IMF, WTO, juga sudah dikumandangkan di World Social Forum di Porto Allegre (Brasilia), di Bombay (India) dan dalam pertemuan-pertemuan besar skala internasional lainnya (Seatle, Genoa, Firenze, Paris-St Denis, Afrika Selatan dll dll).

Situasi di dunia sudah banyak berubah, dan akan berubah terus! Tetapi, di Indonesia, Martono eks-tapol PKI telah ditindak oleh kepolisian Solo hanya karena menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri, sebagai orang Muslim kepada sesamanya pemeluk agama Islam, dengan spanduk yang bertanda gambar palu arit (!). Ia ditindak karena dianggap telah melanggar TAP MPRS no 25/1966, yang nota bene adalah produk busuk masa Perang Dingin yang sejak 40 tahun telah dipakai oleh golongan militer (dan para pendukungnya) untuk mencekik kebebasan dan menterror banyak orang.

Jadi, jelaslah kiranya sudah, bahwa TAP MPRS no 25/1966 sama sekali bukanlah suatu hal yang mendatangkan kebaikan bagi bangsa. Apakah kedunguan yang begini besar ini akan diikuti atau dipakai terus-menerus? Dan, sampai kapan ?