07 Desember 2001 — 12 menit baca

Jihad korupsi demi rakyat

Perlukah pembrontakan moral, atau revolusi, atau jihad dikobarkan untuk membela kepentingan rakyat ? Judul tulisan ini bisa dianggap bernuansa provokatif, atau tendensius. Memang, kalimat itu dipilih dengan sengaja, dengan maksud untuk mengajak kita bersama merenungkan betapa seriusnya berbagai masalah parah yang sudah bertumpuk-tumpuk dan saling tindih yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini. Begitu parahnya, sehingga banyak orang sudah putus harapan terhadap adanya kemungkinan untuk mengatasinya. Ini bisa kita baca dalam pers Indonesia, atau juga dalam berbagai tulisan di Internet.

Supaya tidak ada kesan yang keliru (atau tafsiran yang macam-macam) maka perlu ditegaskan sejak semula bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk “menghasut” dilakukannya revolusi kekerasan yang berdarah, anarkhi awut-awutan, atau dikobarkannya kerusuhan dan keresahan dalam masyarakat. Bukan pula untuk menganjurkan dilancarkannya jihad yang biadab, tidak berperi-kemanusiaan dan bertentangan dengan ajaran agama atau petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Pembrontakan, revolusi atau jihad yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah aksi kolektif atau gerakan besar-besaran dalam melawan segala kebathilan dan kerusakan akhlak yang sudah merugikan kepentingan rakyat, atau merusak peri-kemanusiaan.

Supaya lebih jelas lagi, yaitu pembrontakan, revolusi atau jihad untuk : membela demokrasi, untuk membela hak asasi manusia, untuk melawan KKN, untuk merajut bersama-sama toleransi antar-ummat, untuk memupuk persaudaraan dan persahabatan, untuk melaksanakan reformasi, untuk mengangkat peradaban bangsa. Singkatnya, untuk memanusiakan manusia dan membumikan ajaran agama secara nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kata pembrontakan, revolusi dan jihad dalam tulisan ini adalah untuk menekankan betapa seriusnya berbagai masalah yang harus ditanggulangi bersama, secara besar-besaran dan serentak, oleh bangsa kita. Mengapa? Berikut adalah sekadar sumbangan bahan-bahan untuk renungan kita bersama.

Kerusakan Akhlak Di Kalangan Atas

Terlalu banyak persoalan-persoalan besar dan parah yang sekarang sedang dihadapi bangsa dan negara. Jelaslah, kiranya, bahwa persoalan-persoalan besar dan parah itu tidak bisa diselesaikan tanpa adanya revolusi besar-besaran, terutama revolusi dalam fikiran kita semua. Revolusi dalam fikiran ini perlu dilakukan oleh semua golongan atau komponen bangsa, tidak peduli dari suku yang manapun atau dari agama apapun. Terutama perlu dilakukan oleh para tokoh, pemuka, pemimpin atau kalangan “atas”. Sebab, kita sudah sama-sama melihat, selama ini, bahwa banyak persoalan besar dan parah yang dihadapi oleh bangsa dan negara kita dewasa ini adalah justru akibat dari tingkah-laku dari kalangan “atas” ini.

Contohnya, walaupun resminya saja negara kita adalah negara hukum, namun beraneka-ragam kasus menunjukkan bahwa hukum sudah tidak diindahkan oleh banyak tokoh pemerintahan dan pemuka masyarakat. KKN yang merajalela selama puluhan tahun di kalangan eksekutif, legislatif, judikatif dan sektor swasta, adalah bukti tentang tidak diindahkannya hukum dan merajalelanya kerusakan akhlak. Ini tidak hanya terjadi di kalangan keluarga Cendana, dan tidak hanya di kalangan pimpinan Golkar di berbagai tingkat dan jajaran (dan partai-partai lainnya), melainkan juga di kalangan banyak pejabat-pejabat negara. Tidak bisa dibayangkan lagi betapa besar dana publik yang sudah dikorupsi selama pemerintahan Orde Baru. Ini sudah terjadi sebelum terjadinya krisis moneter dalam tahun 1997 dan sebelum munculnya kasus Bank Bali atau BLBI dll. Sebagian dari buktinya yalah banyaknya rumah-rumah mewah dan mobil-mobil yang dimiliki para tokoh itu (yang sudah pensiun dan yang masih aktif), baik yang di Jakarta maupun yang di daerah-daerah. Juga banyaknya simpanan mereka di bank-bank, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Bahwa sampai sekarang tidak banyak koruptor yang sudah ditindak - walaupun semua orang tahu bahwa korupsi sudah merajalela selama puluhan tahun - adalah bukti bahwa hukum sudah sejak lama tidak berjalan seperti seharusnya, baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Ini juga menunjukkan bahwa selama puluhan tahun pemerintahan telah dikelelola oleh oknum-oknum yang berakhlak buruk, baik yang di eksekutif, legislatif, maupun judikatif, dan bahwa masyarakat telah dipimpin oleh tokoh-tokoh yang tidak menghargai Pancasila dan ajaran-ajaran agama. Karena kerusakan akhlak di kalangan atas ini sudah menyeluruh, maka masalah-masalah besar dan parah yang dihadapi bangsa tidak mungkin bisa diatasi tanpa adanya revolusi besar-besaran dalam fikiran. Untuk itu jihad nasional untuk memerangi kebathilan perlu dilancarkan bersama-sama.

Diperlukan Pemberontakan Moral Besar-Besaran

Republik kita adalah milik rakyat yang berjumlah lebih dari 210 juta. Republik adalah Res Publica, milik umum. Bukan hanya milik para pejabat pemerintahan, bukan pula hanya milik anggota dewan-dewan perwakilan rakyat, atau badan resmi lainnya. Bukan pula hanya milik satu golongan agama, suku, ras atau keturunan. Ini adalah milik kita bersama. Pejabat-pejabat atau anggota-anggota dewan perwakilan rakyat (baik tingkat Pusat maupun tingkat daerah) adalah orang-orang yang ditugaskan (dan dibayar!) untuk mengurusi negara dan masyarakat, atas nama dan demi kepentingan umum. Bukannya untuk dengan berbagai jalan - dan menggunakan beraneka-ragam cara – menipu umum sambil sekaligus mencuri kekayaan negara dan rakyat, demi kepentingan diri sendiri, golongannya atau partainya.

Apa yang kita lihat dalam kasus Bank Bali, BLBI, Buloggate II , Tommy Suharto, atau juga yang sama-sama kita saksikan dalam begitu banyak persoalan-persoalan rumit di DPR, MPR, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, kepolisian, militer adalah cermin bahwa generasi yang dididik dan dibesarkan oleh Orde Baru adalah generasi yang mempunyai banyak masalah akhlak (tidak semuanya !) dan yang miskin akan rasa pengabdiannya kepada kepentingan rakyat, kepada keadilan sosial, dan kepada peri-kemanusiaan (juga tidak semuanya !!!). Bahwa penyelesaian adil terhadap kasus Buloggate II (soal dana Rp 40 milliar) yang melibatkan Akbar Tanjung/Golkar menghadapi begitu banyak hambatan yang dibikin-bikin adalah juga bukti jelas tentang kerusakan akhlak di kalangan “atas” ini.

Kerusakan akhlak di kalangan “atas” di negeri kita adalah sumber dari segala masalah besar dan parah yang sedang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kerusakan akhlak ini adalah produk “kultur” Orde Baru, yang sekarang masih disandang oleh banyak orang. Jelaslah kiranya bahwa dari orang-orang yang buruk akhlaknya tidak mungkin timbul konsep-konsep pemikiran (atau politik dan praktek) yang sungguh-sungguh mengutamakan kesejahteraan rakyat, atau mengabdi kepada keadilan sosial dan peri-kemanusiaan.

Mengingat kerusakan akhlak yang sudah demikian parah dan menyeluruh di kalangan “atas” itu, maka jelaslah bahwa suatu gerakan besar-besaran yang merupakan pembrontakan moral adalah diperlukan sekali untuk memeranginya. Kalau pembrontakan moral secara besar-besaran ini bisa dilakukan oleh sebanyak mungkin golongan dalam masyarakat di seluruh negeri, maka akan merupakan sumbangan besar bagi revolusi (atau jihad) melawan kebathilan yang sudah begitu lama mencengkam di kalangan “atas” . Pembrontakan moral atau jihad yang harus dilakukan dengan cara-cara beradab dan damai ini, bisa dilancarkan oleh beraneka-ragam organisasi kerakyatan, Ornop atau LSM, organisasi mahasiswa dan pemuda, lewat berbagai cara dan bentuk. Partisipasi kalangan Islam (umpamanya, lewat pesantren dan mesjid-mesjid) dalam gerakan moral besar-besaran ini adalah manifestasi kongkrit dari ajaran agama : amar makruf nahi mungkar (menyuruh dilakukannya perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang jahat). Jihad dalam bentuk yang demikian itu merupakan salah satu di antara berbagai cara kongkrit dalam mengabdi kepada kepentingan ummat, yang jumlahnya amat besar di negeri ini.

Berontak Adalah Dibenarkan

Ketika negeri kita sedang dirusak oleh para pejabat (atau tokoh-tokoh masyarakat) baik di Pusat maupun di daerah-daerah, yang menyalahgunakan kedudukan mereka untuk melakukan berbagai kejahatan terhadap kepentingan rakyat (terutama korupsi) maka adalah kewajiban luhur dan hak yang sah bagi setiap orang untuk melakukan perlawanan atau pembrontakan terhadap mereka. Pembrontakan atau jihad terhadap perbuatan oknum-oknum semacam itu, tanpa peduli dari golongan atau partai yang manapun, adalah demi kepentingan orang banyak, atau demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik. Dalam hal ini, berontak adalah dibenarkan.

Sebab, jika kejahatan-kejahatan mereka tidak diperangi bersama, maka situasi negeri kiita yang sudah sangat buruk dewasa ini, akan menjadi lebih buruk lagi dikemudian hari. Korupsi akan berjalan terus, wakil-wakil rakyat (tidak semua!) akan tetap mengkhianati rakyat, dan tokoh-tokoh masyarakat akan terus bisa mengelabui orang banyak. Rakyat yang sekarang sudah sengsara hidupnya bisa akan makin lebih sengsara lagi. Situasi ekonomi yang sudah buruk dewasa ini, akan bisa lebih parah lagi nantinya. Salah satu contohnya adalah yang berikut :

Menurut ekonom senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Dradjat H. Wibowo, total kewajiban pembayaran utang pemerintah tahun 2002 akan mencapai Rp 162,2 triliun atau sepertiga dari penerimaan negara (dan hibah) dalam RAPBN 2002. Total kewajiban pembayaran utang tersebut meliputi Rp 63,46 triliun utang dalamnegeri dan Rp 98,73 triliun utang luarnegeri, termasuk pokok dan bunganya. Sedangkan berdasarkan data Bank Indonesia, kewajiban pembayaran utang luarnegeri pemerintah pada 2002, baik pokok dan bunganya, mencapai US$10,97 miliar (tanpa penjadwalan ulang melalui Paris Club III). Dengan perkiraan kurs sebesar Rp 10.922 per US$ maka kewajiban pembayaran utang tersebut menjadi Rp 119,8 triliun. (Media Indonesia, 4 Desember 2001).

Untuk bersama-sama menyadari betapa seriusnya masalah utang bangsa dan negara kita itu, perlu kita ingat bahwa jika angka-angka tersebut itu akurat, maka berarti bahwa beban utang kita memang besar sekali. Dan, kewajiban pembayaran utang luarnegeri sekitar US$ 10 miliar ( US$ 10 000 000 000) adalah amat berat bagi negara dan bangsa kita, ketika keadaan perekonomian kita sedang dalam keadaan yang morat-marit seperti dewasa ini. Apalagi, kalau diingat bahwa bagi pemerintah juga ada kewajiban untuk membayar utang dalamnegeri yang berjumlah sekitar Rp 63 triliun (Rp 63 000 000 000 000).

Ini berarti bahwa pajak mungkin akan lebih berat lagi bagi kebanyakan orang di kemudian hari. Rakyat diharuskan ikut menanggung utang besar, yang sebagian besar adalah karena kesalahan para pejabat di samping juga karena kejahatan mereka (terutama korupsi). Sebagian dari utang itu adalah utang di masa yang lalu, yang tidak sedikit di antaranya telah dinikmati oleh para koruptor (Harap ingat bahwa di masa yang lalu, sekitar 30% utang luarnegeri telah dikorup!)

Kasus Akbar Tanjung Dan Tommy Suharto

Revolusi moral atau jihad besar-besaran untuk memerangi korupsi dan berbagai kejahatan para pejabat dan tokoh masyarakat, yang perlu dilakukan sebanyak mungkin golongan dan kalangan, adalah langkah penting untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih. Bercokolnya oknum-oknum jahat dan berakhlak buruk di pemerintahan atau berbagai lembaga (termasuk tokoh-tokoh masyarakat lainnya) merupakan penyakit kangker atau benalu yang telah - dan sedang terus - merusak tubuh bangsa. Selama penyakit kangker ini belum bisa dibrantas secara tuntas, maka tubuh bangsa akan selalu dirundung berbagai penyakit. Dan, di antara begitu banyak penyakit kangker parah itu adalah kasus Akbar Tanjung/Buloggate II dan Tommy Suharto.

Bolehlah kiranya dikatakan, bahwa dua kasus tersebut merupakan “simbol” keburukan sistem politik dan ekonomi, ketidakberesan sistem hukum, dan kemerosotan kehidupan moral yang sudah berlaku puluhan tahun sejak berdirinya Orde Baru. Oleh karena itu wajarlah bahwa berbagai golongan dalam masyarakat (organisasi pemuda dan mahasiswa, serikat buruh, LSM) telah melancarkan aksi-aksi dan menuntut supaya kasus Akbar Tanjung/Buloggate II diperiksa oleh Pansus DPR dan ditindak oleh Kejaksaan Agung.

Adalah hal yang patut dicatat bersama bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri sudah memerintahkan Jaksa Agung MA Rachman untuk sungguh-sungguh mengusut kasus penyelewengan dana nonbujeter Bulog, sesuai keinginan masyarakat, serta agar sungguh-sungguh melakukan semua prosedur yang ada, semua ketentuan yang ada, tanpa pandang bulu dalam mengusut kasus Bulog II ini. Itu semua demi menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Di samping itu, diberitakan juga bahwa Megawati menginstruksikan Fraksi PDIP DPR agar mendukung pembentukan Pansus Buloggate II untuk memeriksa dugaan keterlibatan Ketua DPR Akbar Tandjung dalam skandal dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar (Media Indonesia, 5 Desember 2001).

Jihad Damai Untuk Melawan Korupsi

Ada kemungkinan bahwa dengan munculnya kasus Akbar Tanjung/Buloggate II akan terjadi berbagai gejolak politik dan sosial, yang dampaknya dan skalanya masih sulit diperkirakan sekarang. Contohnya adalah ancaman dari Ketua DPP Golkar, Mahadi Sinambela, yang mengkhawatirkan terjadinya disintegrasi bangsa, jika DPR ngotot membentuk Panitia Khusus (Pansus) Buloggate II. Pansus itu bisa membuat 16 provinsi melepaskan diri dari Indonesia. Menurutnya, 16 provinsi yang sebagian besar terletak di Indonesia Timur itu saat ini dipimpin gubernur dari Partai Golkar. ‘‘Jika pansus dibentuk dan akhirnya diputuskan bersalah, kan Golkar harus bubar. Lalu, atas legitimasi apa, gubernur itu memimpin provinsinya?’’ tanya Mahadi. Enam belas provinsi yang disebutkan Mahadi itu, adalah empat di Kalimantan, lima di Sulawesi, dua di Maluku, ditambah Irian Jaya (Papua), NTB, NTT, Riau, dan Aceh. ‘‘Karena itu, serahkan saja pada proses hukum, bukan politik, karena dampaknya akan lain,’’ kata Mahadi, yang menekankan kembali, jika Golkar dibubarkan, sulit menjaga keutuhan Indonesia (Suara Pembaruan 6 Desember 2001).

Bahwa kasus Akbar Tanjung/Buloggate/Golkar akan menimbulkan gejolak politik adalah masuk akal. Sebab, Golkar yang pernah berkuasa selama lebih dari 32 tahun sebagai penyangga utama Orde Baru, sekarang masih cukup kuat. Walaupun Suharto sudah jatuh, dengan penumpukan dana besar yang diperoleh dengan cara-cara mafia, partai politik ini dalam Pemilu yang lalu masih bisa memperoleh suara nomor dua, dan bisa menduduki tempat-tempat penting dalam eksekutif, legislatif, judikatif, baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Karenanya, walaupun sudah banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyak kejahatan politik, ekonomi dan moral yang telah dilakukan oleh kader-kader Golkar, namun partai politik yang satu ini masih bisa terus menampilkan diri sebagai kekuatan politik yang penting.

Kasus Akbar Tanjung/Buloggate II menunjukkan bahwa Golkar tetap merupakan suatu kekuatan politik yang bisa merekayasa berbagai kegiatan yang merusak. Ancaman Mahadi Sinambela adalah petunjuk yang jelas bahwa Golkar tidak setuju dengan diberantasnya korupsi. Padahal kasus Akbar Tanjung/Buloggate adalah persoalan yang sarat dengan masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tingkat tinggi. Oleh karena itu, ancaman Mahadi Sinambela bisa diartikan juga sebagai tantangan kepada semua kekuatan demokratik dan semua komponen bangsa yang mendambakan tegaknya “clean and good governance” (pemerintahan yang bersih dan baik). Ancaman bahwa 16 propinsi akan memisahkan diri dari RI dan terjadinya disintegrasi bangsa harus mendapat perlawanan atau tanggapan yang serius.

Untuk itu, pembrontakan moral atau jihad nasional perlu dilancarkan oleh rakyat guna menyelamatkan republik kita dari kehancuran dan kerusakan yang sedang dilakukan (atau direncanakan) oleh tokoh-tokoh Golkar. Jihad untuk membrantas korupsi dan membela keselamatan Republik kita adalah jalan yang benar. Berbeda dengan seruan jihad yang dewasa ini sering kita dengar, dan yang telah mengobarkan kerusuhan-kerusuhan yang menumpahkan darah manusia, jihad untuk memerangi korupsi dan Golkar adalah gerakan moral secara damai, dengan tujuan untuk menghilangkan sumber-sumber kejahatan terhadap kepentingan ummat dan negara. Dalam rangka pembrontakan atau jihad melawan korupsi inilah akan kelihatan perbedaan antara siapa-siapa saja, (atau golongan yang mana saja), yang menyatukan diri dengan fihak yang hak (benar) dan siapa-siapa saja yang memihak yang bathil (salah).