17 Februari 2002 — 12 menit baca

Indonesia bangkrut karena "sampah"

Mungkin, selanjutnya di kemudian hari, kata “sampah” akan banyak digunakan dalam kehidupan politik di Indonesia, atau, bahkan di berbagai kalangan masyarakat luas dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Setelah Presiden Megawati mengucapkannya di depan Rapat Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara baru-baru ini di Jakarta, yang dihadiri 900 pejabat pemerintahan, arti kata “sampah” ini sudah tidak hanya terbatas pada segala kotoran atau barang yang tidak berguna yang sering kita temukan di jalan, di dalam rumah atau di halaman. Tidak pula hanya terbatas pada sampah yang banyak ditemukan dalam banjir akhir-akhir ini.

Dalam konteks situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia dewasa ini, kata “sampah” bisa dikaitkan dengan orang-orang atau hal-hal yang sudah membusuk, kotor, menjijikkan, tidak berguna, dan, karenanya, perlu dibuang atau disingkirkan! Ungkapan semacam ini adalah tepat, jelas, dan “mengena” sekali untuk digunakan terhadap : segala tokoh yang melakukan KKN, para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, anggota-anggota DPR/DPRD yang mengkhianati amanat rakyat, hakim-hakim yang bisa dibeli, jaksa yang melacurkan diri, polisi yang memperjual-belikan undang-undang, advokat/pengacara yang memelintir hukum demi uang, pimpinan bank yang “merampok” uang publik, konglomerat yang melarikan uang rakyat ke luarnegeri, anggota-anggota Mahkamah Agung yang menjadi perusak norma-norma hukum dan keadilan, kyai dan ulama (juga pendeta) yang menipu dengan menggunakan ayat-ayat suci, dan …..entah apa lagi lainnya.

“Sampah” semacam itu bisa kita lihat di mana-mana., baik di Jakarta maupun di daerah-daerah (provinsi, kabupaten dan kecamatan). Dan, kita bisa saksikan juga, bahwa sebagian terbesar “sampah” itu adalah produk sistem politik Orde Baru. Namun, adalah jelas sekali juga, bahwa berbagai pemerintahan sesudah tumbangnya Orde Baru juga terus melahirkan sampah-sampah baru. Sampah-sampah baru ini bercampur-aduk dengan sampah-sampah lama yang terdapat dalam pemerintahan, lembaga-lembaga resmi maupun swasta, BUMN, bahkan juga di kalangan partai politik (PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll).

Sampah-sampah lama dan baru inilah yang sekarang menyebabkan kehidupan moral bangsa makin membusuk, memacetkan reformasi, menghalangi penegakan hukum, mencegat jalannya pembrantasan korupsi. Singkatnya, karena sampah-sampah itulah maka negara dan bangsa kita menghadapi begitu banyak penyakit parah dan berbahaya, sehingga sudah mulai megap-megap (!!!) dan mungkin bisa pingsan nantinya. Begitu banyaknya sampah, sehingga banyak orang menjadi pesimis, apakah dengan pimpinan tokoh-tokoh Angkatan 45, Angkatan 65, Angkatan 74 (Malari), dan sebagian Angkatan 97 (sesudah tergulingnya Suharto), Indonesia akan bisa punya “clean government”. Sebab, banyak orang dari berbagai Angkatan itu sudah begitu rusaknya, sehingga menjadi sampah masyarakat, yang bukan saja tidak berguna lagi, bahkan menjadi sumber penyakit bangsa.

Situasi negara kita memang sudah betul-betul payah, sebagai akibat banyaknya sampah busuk yang merusak tubuh bangsa kita. Di antara banyak contohnya, yang bisa jadi renungan bersama kita, adalah yang berikut :

Sampah Yang Bikin Utang Menggunung

Dalam suratkabar Jawa Pos (10 Februari 2002) bisa kita baca satu berita yang amat panjang dan bisa “mengejutkan” banyak orang. Berita penting ini mungkin sulit ditemukan dalam suratkabar lainnya di Indonesia, atau, kalaupun ada, maka tidak segamblang itu dalam penyajiannya. Yaitu, uneg-uneg bercampur kekesalan atau kemarahan Menko Perekonomian Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjorojakti tentang utang luarnegeri dan dalamnegeri yang sedang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini dan di masa yang akan datang. Uneg-uneg ini dilampiaskannya selama hampir 2 jam di depan kira-kira 200 orang Indonesia di KBRI Washington, tanggal 11 Februari malam.

Dalam uneg-uneg yang dimuntahkannya dengan nada tinggi dan kekesalan besar itulah ia membeberkan betapa besarnya utang yang ditanggung oleh bangsa, sebagai warisan lama, dan yang sekarang menjadi tanggungan berat bangsa. Ia kemukakan bahwa utang luarnegeri Indonesia hampir sama dengan utang dalamnegeri, yang masing-masing adalah sekitar USD 70 miliar. Tetapi, menurutnya, sebenarnya utang yang paling dahsyat itu bukan utang luarnegeri. Bedanya, utang luarnegeri itu berupa soft loan, sehingga jangka pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga pinjaman ODA (Official Development Assistant) bahkan hanya 0,3 persen. Pinjaman dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen, katanya.

Tetapi, bunga untuk pinjaman dalamnegeri itu sama dengan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), yakni kuranglebih 17 persen. “Coba bayangkan”, kata Dorodjatun yang mantan dekan FE-UI itu, sambil mengajak hadirin berhitung. Dalam hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sama dengan sekitar Rp 655 triliun (Rp 655 000 000 000 000). Dengan bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya saja sudah sekitar Rp 60 triliun SETIAP TAHUN (dengan angka lengkap, supaya lebih jelas : Rp 60 000 000 000 000). Dan itu sama dengan USD 6 miliar. Sedangkan bunga utang luarnegeri paling banter kita bayar hanya USD 2 miliar. Utang luarnegeri ini bisa diusahakan untuk dijadwalkan kembali, kalau keadaan sudah mepet, seperti yang sudah-sudah.

Menurut Dorodjatun, yang parah adalah utang dalamnegeri. Sebab, harus dibayar lewat budget (anggaran negara). Itu diambil dari penghasilan negara, yang dikeluarkan lewat bank-bank yang bangkrut itu. Supaya banknya tidak bangkrut, kita berikan obligasi. Lantas, kita berikan penghasilan kepada bank, sehingga bank jalan. Jadi dengan begitu sebetulnya kita memberikan subsidi kepada bank-bank itu. Kalau kita tenggelamkan bank-bank itu, sekian juta nasabah bank kita tidak mempunyai lagi lembaga penjamin, tidak ada deposit insurance seperti yang semestinya, katanya.

Dalam uraiannya itu, Dorodjatun mengisyaratkan kekesalannya bahwa di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah harus mengganti. Kalau di AS, jaminannya dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100 000 USD. Sedangkan untuk Indonesia, untuk berapapun, tidak ada jaminan seperti itu. Karena itu, kita terpaksa memberi blanket guarantee (jaminan menyeluruh) saat krisis 1998. Tidak peduli apa sebabnya, pokoknya semua yang berurusan dengan bank, kita garansi. “Jadi enak saja, diganti. Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi. Yang hebat, on budget dan off budget digaransi”, ungkapnya.

Kegemasan hatinya nampak ketika ia bicara tentang beban utang dalam negeri. “Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial hanya Rp 2,85 triliun, sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi (bank) Rp 60 triliun. Penghutang besar (dari kalangan berbagai pimpinan bank) itulah yang membikin brantakan negeri ini. Sebab, mereka lupa memenuhi kewajiban membayar utang-utang itu, dan ini sudah berlangsung selama 4 tahun”, ujarnya dengan nada tinggi. Singkatnya, dengan panjang lebar Dorodjatun mengungkap berbagai keanehan dan ketidakberesan dalam sejarah masalah utang negara kita, yang selama ini tidak pernah terungkap.

(Catatan penulis : cuplikan di atas adalah ringkasan dari bagian-bagian terpenting berita Jawa Pos itu. Dari ringkasan itu saja sudah kelihatan bahwa utang kita yang amat besar sekarang ini adalah akibat faktor “sampah” yang bertimbun di kalangan “atas” pemerintahan, di kalangan bank, di kalangan konglomerat)

60% Penduduk Indonesia Di Bawah Garis Kemiskinan

Berikut adalah beberapa kutipan dari pers, yang amat penting bagi berbagai golongan dalam masyarakat, untuk makin menyadari betapa urgennya perjuangan kita bersama untuk membersihkan negeri kita dari “sampah”. Menurut Deputi Sekretaris Wapres Bidang Kewilayahan, Kebangsaan dan Kemanusiaan, Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, sekitar 60 persen penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan ( KOMPAS Cybernews 16 Februari 2002)

Angka 60 persen ini amat besar, kalau kita ingat bahwa penduduk Indonesia dewasa ini sudah mencapai lebih dari 210 juta orang. Ini berarti bahwa sekitar 126 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Menurut data Bank Dunia berdasarkan barometer International Poverty Line (garis kemiskinan internasional) sebesar US$2 per hari, dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 60 persen itu, ada 10 sampai 20 persen yang termasuk SANGAT MISKIN. Artinya, antara 20 sampai 40 juta orang hidup dalam kesengsaraan yang amat menyedihkan.

Sedangkan menurut Bomer Pasaribu, mantan Menteri Tenaga Kerja, yang sekarang menjabat Direktur CLDS (Center of Labor and Development Studies), angka pengangguran di Indonesia akan terus meningkat 1 juta sampai 2,5 juta per tahun selama 2002-2004. Untuk tahun 2002, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 3,3 persen, angka pengangguran diperkirakan akan mencapai jumlah 42 juta orang. (Kalau jumlah tenaga kerja yang aktif ditaksir sekitar 100 juta - laki dan perempuan –, maka jumlah pengangguran mencapai lebih dari 40% !!! Pen.).

Masih menurut Bomer Pasaribu, yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya pembengkakan pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi, yakni dari 1,8 juta orang di tahun 2001 menjadi 1,9 juta (2002), 2,41 juta (2003), dan mencapai 2,56 juta (2004). Angka tersebut akan terus bertambah dengan timbulnya bencana banjir, dan kekeringan akibat La Nina dan El Nino yang diperkirakan akan segera melanda Indonesia. Belum lagi persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luarnegeri yang belum terselesaikan (Suara Pembaruan, 16 Februari 2002)

Kalau kita renungkan dalam-dalam, dan dengan kepedulian yang peka, maka akan nyatalah bahwa angka-angka tersebut di atas bisa membikin brontak hati-nurani banyak orang. Apalagi, kalau kita tambahkan di situ kerugian jiwa dan benda, dan juga penderitaan pedih begitu banyak orang yang disebabkan oleh bencana besar kali ini. Atau, juga kalau kita tambahkan penderitaan lebih dari 1,2 juta orang “pengungsi” di negeri kita sendiri, yang disebabkan oleh kerusuhan dan pertikaian dengan latar-belakang SARA, yang ditimbulkan atau dikompori oleh oknum-oknum yang sesat fikiran.

Bersihkan Sampah-Sampah Masyarakat Itu!

Karena begitu banyaknya “sampah masyarakat” yang terdapat di mana-mana, lalu apakah bangsa kita harus berusaha menyingkirkannya? HARUS! Sebab, tanpa membuangnya, maka kapal yang berbendera “Republik Indonesia” akan makin karatan, makin bolong-bolong, makin rapuh, makin bobrok, sehingga bisa tenggelam. Namun, kita semua perlu bersikap realis dan menyadari bahwa pekerjaan “membuang sampah” ini tidak mudah, memerlukan waktu dan juga cara yang tepat. Yang perlu mendapat prioritas untuk dibuang atau disingkirkan adalah “sampah kelas kakap”, yang ada hubungannya dengan masalah kasus-kasus berat seperti penyelesaian praktek-praktek “konglomerat gelap” yang tersangkut dengan masalah BPPN, BLBI, dan dana-dana haram keluarga Cendana

Sebab “sampah kelas kakap” inilah (baik yang di pemerintahan maupun di kalangan swasta) yang melakukan kejahatan yang besar sekali di bidang politik, ekonomi, dan … moral, sehingga negara menjadi bangkrut akibat krisis berat yang multidimensional, seperti sekarang ini. Mereka inilah, yang dengan mempermainkan uang haram (sogokan atau kolusi) telah memperjual-belikan hukum dan kekuasaan. Mereka ini pulalah yang sebagai maling-maling besar telah mencuri secara besar-besaran – dan tanpa segan-segan - kekayaan publik. Mereka ini jugalah yang menyebabkan utang negara menggunung begitu tinggi, yang sekarang menjadi tanggungan yang berat bagi bangsa. Padahal, utang besar ini hanyalah dinikmati oleh para “sampah masyarakat” itu. Sedangkan ratusan juta rakyat hidup dalam penderitaan karena serba kekurangan.

Kiranya, sekarang makin jelaslah bagi banyak orang, bahwa “sampah masyarakat” kelas kakap inilah yang selama lebih dari 32 tahun telah mengotori iman banyak orang, merusak moral banyak kalangan, membusukkan hati-nurani banyak tokoh masyarakat, membunuh kepekaan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Karena ulah “sampah masyarakat” itulah maka banyak orang kehilangan kejujuran. Karena ulah “sampah masyarakat” itulah maka kebudayaan mengejar uang haram menjadi-jadi. “Sampah masyarakat” ini, yang terdapat di kalangan “atas”, telah menjadi contoh jelek bagi banyak orang yang ikut-ikut - secara berlebih-lebihan dan membabi-buta - mengejar kebendaan dan kemewahan yang haram, dengan menghalalkan segala cara.

Melihat sudah begitu luasnya dan begitu beratnya kerusakan-kerusakan yang sudah dilakukan “sampah masyarakat” terhadap negara dan bangsa, maka jelaslah bahwa segala usaha harus ditempuh sehingga “sampah masyarakat” ini tidak bisa terus merusak kesehatan tubuh bangsa kita. Untuk itu, opini publik perlu terus digalang dan digalakkan bersama-sama, guna mendorong dan mendesak pimpinan pemerintahan, DPR/MPR, aparat-aparat penegak hukum, untuk lebih berani dan lebih tegas bertindak terhadap “sampah masyarakat kelas kakap”, tanpa pandang bulu (asal keturunan, agama, suku, aliran politik, dan kedudukan sosial).

Hubungan Antara “Sampah” Dan Uang

Mengingat situasi negeri kita yang sudah terpuruk begitu dalam dewasa ini, sehingga sudah diperumpamakan sebagai “perusahaan yang bangkrut” (karena membayar cicilan utang saja pun sudah tidak mampu!), dan juga mengingat begitu banyaknya masalah-masalah besar yang tidak bisa (atau belum bisa) di atasi, maka kita patut merenungkan mengapa keadaan negeri bisa menjadi sedemikian parah ? Terhadap pertanyaan semacam itu, tentu saja orang bisa mengajukan bermacam-macam analisa, dan melihatnya dari sudut-pandang yang berbeda-beda.

Namun, kalau kita teliti dalam-dalam, akan nampaklah bahwa persoalan-persoalan besar dan parah yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah, pada dasarnya, dilatarbelakangi oleh faktor-faktor : uang haram, moral rendah, dan tujuan hidup yang tidak luhur. Apa yang terjadi di belakang kasus-kasus BLBI (Bantuan Likuiditas BI) , BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), BULOG, PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), adalah faktor uang haram yang jumlahnya besar sekali (ratusan triliun rupiah!!!) , yang dipermainkan oleh oknum-oknum yang memang patut untuk dijuluki “sampah masyarakat”. Moral rendah itulah yang membimbing mereka dalam melakukan penipuan, pemalsuan, penyogokan, demi “keuntungan” besar-besaran dan secepat-cepatnya. Padahal, umumnya mereka itu adalah oknum-oknum yang sudah kaya raya. Bahkan, banyak yang SANGAT kaya raya. Dari segi itulah kita bisa melihat ukuran moral mereka. Sudah kaya raya, tetapi masih juga bertindak sebagai maling-maling besar dan tidak segan-segan mendatangkan penderitaan bagi banyak orang!

Karena itu, sampah masyarakat “kelas kakap” inilah yang perlu “diberesi” lebih dulu lewat cara-cara yang adil baik secara hukum, secara politik, maupun secara moral. Tindakan tegas terhadap mereka akan membikin jera segala macam “sampah” lainnya, yang tergolong “kelas teri” (termasuk di kalangan pejabat). Tindakan tegas terhadap “sampah masyarakat” kelas kakap akan memberikan sumbangan penting kepada pendidikan politik dan moral bagi bangsa. Selain itu juga merupakan langkah penting untuk membuktikan bahwa hukum sudah bisa tegak di negeri ini, dan bahwa uang bukanlah lagi suatu kekuatan yang bisa dengan arogan, dan dengan mudah pula, “membeli” para pejabat (termasuk aparat-aparat peradilan).

Namun, apakah dengan banyaknya “sampah” yang masih berjubel di mana-mana (antara lain, di kalangan : advokat/pengacara, pemerintahan pusat, anggota DPR/MPR, para penegak hukum) apakah ‘sampah masyarakat” kelas kakap akan bisa ditindak? Apakah dengan menggunakan sampah kita akan bisa membersihkan sampah?

Salah satu di antara jawabannya (barangkali) adalah : “Mari kita galakkan terus aksi-aksi reformasi, dengan berbagai cara dan bentuk. Galang terus seluas-luasnya kekuatan lintas-agama, lintas-suku, lintas-partai, untuk mengganyang korupsi. Kritik terus dan gugat terus pemerintah, DPR (dan berbagai lembaga lainnya) untuk bertindak tegas. Namun, janganlah kita hanya menunggu kesediaan dan kesiapan pemerintah untuk membersihkan “sampah masyarakat” ini. Republik ini adalah milik rakyat, dan marilah kita cegah para “sampah masyarakat’ itu merusak terus-terusan milik kita yang berharga ini. Marilah kita jaga bersama-sama supaya Republik Indonesia tidak dibangkrutkan oleh para “sampah masyarakat” itu!