23 Januari 2001 — 10 menit baca

HUT ke 100 Bung Karno untuk persatuan bangsa

Tersiarnya berita bahwa sejak Februari sampai 6 Juni yang akan datang akan diadakan berbagai kegiatan secara besar-besaran untuk memperingati HUT ke 100 tokoh besar bangsa Indonesia, Soekarno, merupakan angin segar yang menyejukkan hati bagi banyak orang. Terutama bagi mereka yang melihat pada sosok Soekarno sebagai pejuang anti-penjajahan Belanda yang gigih dan pelopor kemerdekaan, pendiri Republik Indonesia, pemersatu bangsa, penggali Panca Sila, pemupuk patriotisme dan nasionalisme kerakyatan, pendorong semangat kegotong-royongan dalam menangani berbagai masalah besar bangsa dan negara.

Ketika bangsa kita dewasa ini sedang bertekad untuk melaksanakan reformasi di segala bidang terhadap segala aspek buruk dan akibat negatif yang ditinggalkan oleh Orde Baru, segala macam kegiatan untuk merayakan HUT ke-100 Bung Karno ini akan merupakan peristiwa penting. Arti pentingnya bisa dilihat dari berbagai segi, antara lain :

  1. melalui berbagai bentuk kegiatan itu dimungkinkan untuk menelaah kembali beraneka-ragam persoalan yang berkaitan dengan perjuangan tokoh Soekarno, baik kebesaran jasa-jasanya bagi bangsa dan negara maupun kelemahan atau kesalahannya
  2. menjadikan HUT ke-100 Soekarno ini sebagai langkah penting untuk me-restorasi kebenaran sejarah tentang dirinya, yang sejak tahun 1965 telah banyak diplintir atau dirusak oleh para pendukung Orde Barunya Suharto dkk
  3. mengangkat kembali atau menyebar-luaskan fikiran-fikirannya yang positif tentang persatuan bangsa, toleransi antar-agama dan antar-suku, pengabdian kepada kepentingan rakyat, patriotisme dan nasionalisme
  4. menjadikan HUT ke-100 Soekarno sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan reformasi yang sedang bersama-sama kita lancarkan secara nasional dewasa ini.

Tugas Mulia Bagi Seluruh Kekuatan Demokratis

Menurut keterangan Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, kegiatan untuk merayakan peringatan ini akan dimulai dalam bulan Februari dan akan dipuncaki dengan satu pesta rakyat yang akan digelar di Stadion Utama Senayan (yang sudah diusulkan untuk diganti namanya dengan Gelora Bung Karno). Selain itu, malam-malam kesenian dan kebudayaan untuk mengenang Bung Karno akan diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta.

Rangkaian kegiatan 100 Tahun Bung Karno akan diawali dengan serangkaian seminar yang akan digelar di 12 universitas di seluruh Indonesia. Selain itu, juga akan digelar pameran karya dan koleksi Bung Karno yang akan dilangsungkan selama 15 hari dengan mengambil tempat di Balai Sidang Jakarta mulai 1 Juni 2001. Di samping itu juga direncanakan untuk dimulainya penggalangan dana untuk mendirikan “Soekarno Center”, yang akan merupakan institusi studi politik, museum serta memorial house.

Untuk peringatan ini, akan diusahakan terbitnya berbagai buku mengenai Bung Karno, dan di antaranya sebuah buku yang berisi berbagai komentar dari berbagai tokoh dunia tentang presiden pertama RI tersebut. Berbagai pameran, diskusi dan perlombaan juga akan diselenggarakan.

Rencana rangkaian acara itu sudah disampaikan Guntur Sukarnoputra, putra pertama Bung Karno, kepada Presiden Wahid di Istana Merdeka tanggal 18 Januari 2001, yang datang menghadap bersama-sama dengan Panitia Peringatan. Kedatangan panitia ini juga dimaksudkan untuk meneguhkan kesediaan Presiden Wahid menjadi pelindung dalam struktur kepanitiaan itu.

Agaknya, dalam situasi politik negeri kita dewasa ini, yang penuh dengan persoalan-persoalan ruwet dan eksplosif – yang sebagian terbesar adalah bersumber pada warisan yang ditinggalkan rezim militer Orde Baru – peringatan HUT ke-100 Bung Karno akan menimbulkan dampak positif di berbagai bidang. Oleh karena itu, seluruh kekuatan demokratis yang anti-Orde Baru dan pro-reformasi perlu memberikan sumbangan dalam berbagai bentuk dan cara, sehingga peringatan HUT akan berjalan sebaik-baiknya. Mensukseskan peringatan HUT ke-100 Soekarno adalah tugas mulia bagi seluruh kekuatan demokratis.

Kejahatan Besar Orde Baru Terhadap Bung Karno

Adalah wajar bahwa dengan diadakannya berbagai kegiatan dalam rangka peringatan secara besar-besaran HUT ke-100 Bung Karno itu akan muncul pula beraneka-ragam pendapat di kalangan masyarakat tentang berbagai soal yang berkaitan dengan tokoh yang bersejarah ini. Pastilah, dari fihak para pendukung setia Orde Baru akan terdengar suara-suara sumbang atau komentar yang serba negatif, dengan mengemukakan alasan-alasan yang “masuk akal” mau pun yang tidak. Dan tidak mustahil juga, bahwa akan terdengar adanya pendapat-pendapat yang mencerminkan kedangkalan fikiran, kepicikan pandangan, atau keterbatasan pengetahuan.

Kalaupun akan terjadi hal yang demikian, maka perlulah kiranya kita hadapi dengan sikap realis dan lapang dada. Sebab, selama lebih dari 30 tahun, sosok Soekarno telah dicemarkan oleh para dedengkot Orde Baru, baik yang dari kalangan TNI-AD, mau pun yang dari berbagai kalangan lainnya (antara lain : sebagian kalangan Islam, sebagian kaum intelektual). Karena kampanye anti-Sukarno itu dilakukan lama sekali, dan juga dalam berbagai bentuk dan cara, maka dampaknya juga besar sekali di fikiran banyak orang. Dampak itulah yang masih kelihatan secara nyata sampai sekarang.

Sudah sama-sama kita saksikan bahwa Orde Baru telah melakukan banyak sekali kejahatan besar – dan kesalahan serius – di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan moral. Dan, apa yang telah dilakukan terhadap Bung Karno adalah salah satu di antara berbagai kejahatan besar Orde Baru-nya Suharto dkk. Kejahatan ini perlu dicatat oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang sebagai pelajaran bangsa. Untuk itulah kejahatan besar ini perlu sekali dibongkar. Sebab, membongkar kejahatan Orde Baru terhadap Bung Karno merupakan sumbangan penting untuk tercapainya rekonsiliasi nasional. Dengan kalimat lain, rehabilitasi nama Soekarno adalah bagian dari tugas reformasi yang harus dituntaskan oleh bangsa kita.

Pengalaman kita selama puluhan tahun telah menunjukkan bahwa Orde Baru telah menggunakan masalah Soekarno sebagai alat untuk mematikan kehidupan demokratik, untuk melakukan persekusi politik, untuk menimbulkan perpecahan – bahkan permusuhan – di antara berbagai komponen bangsa.

Nama Bung Karno Terlalu Lama Dirusak Orde Baru

Mengingat itu semuanya, maka perlulah kiranya peringatan HUT ke-100 Bung Karno itu dijadikan langkah permulaan yang penting bagi bangsa kita untuk menempatkan kembali Soekarno pada tempat yang selayaknya dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, dalam waktu yang terlalu lama (lebih dari 35 tahun!) nama Soekarno telah dijadikan “momok” . Karena propaganda Orde Baru yang menyesatkan, maka dalam jangka waktu yang lama sekali banyak orang tidak berani bicara tentang “Bung Karno” lagi. Di banyak rumah penduduk negeri kita fotonya diturunkan dari pajangan di dinding, atau disembunyikan dalam laci. Buku-bukunya juga dihilangkan dari lemari-lemari buku, atau bahkan dibuang atau dibakar.

Sungguh, sangatlah menyedihkan bahwa anak-anak sekolah (dari yang paling rendah sampai sekolah lanjutan) tidak diberi pelajaran yang benar tentang sejarah Soekarno. Sebagai akibatnya, maka kalangan muda yang mendapat pendidikan selama Orde Baru banyak yang mempunyai pandangan yang keliru (atau tidak lengkap) mengenai tokoh nasional dan pendiri Republik Indonesia ini. Selama puluhan tahun, media massa juga sedikit sekali memuat tulisan-tulisan yang “netral” atau objektif tentang dirinya. Justru kebalikannya, yang sering muncul selama puluhan tahun adalah tulisan-tulisan yang serba negatif terhadapnya. Itu semua adalah akibat dari indoktrinasi dan terror politik yang dijalankan secara intensif oleh rezim militer Suharto dkk, dengan dukungan dari pengikut-pengikutnya, termasuk di kalangan pers dan kalangan intelektuil.

Boleh dikatakan bahwa Orde Baru telah berusaha dengan segala daya dan cara untuk menyisihkan, atau mengecilkan, atau merusak nama dan peran Soekarno dalam sejarah Indonesia. Dalam hal ini, dosa pimpinan TNI-AD (waktu itu) adalah amat besar, terutama pada masa sebelum dan sesudah terjadinya G30S. Karena itu, pengkajian, pendiskusian, penulisan dan penelitian kembali tentang sikap pimpinan TNI-AD waktu itu (setidak-tidaknya, sebagian dari mereka) terhadap Bung Karno sangat diperlukan. Sebab, justru masalah pertentangan antara sebagian pimpinan TNI-AD dan Bung Karno adalah salah satu di antara banyak faktor yang menyebabkan terjadinya G30S, yang kemudian dilanjutkan dengan didirikannya regime Orde Baru.

Sedangkan faktor-faktor lainnya – yang juga saling berkaitan waktu itu – adalah, antara lain : faktor perang dingin sesudah berakhirnya Perang Dunia ke-II, dibubarkannya negara RIS, diselenggarakannya konferensi Bandung dalam tahun 1955, pemilihan umum 1955, pembrontakan PRRI-Permesta, perjuangan pembebasan Irian Barat, kampanye “ganyang Malaysia”, kerjasama antara intelijen Barat (AS dan Inggris, terutama) dengan kelompok-kelompok anti-Sukarno (terutama lewat sebagian pimpinan TNI-AD), makin membesarnya kekuatan PKI, diboikotnya ekonomi Indonesia oleh dunia Barat.

Terlalu banyak soal-soal yang bersangkutan dengan Bung Karno telah didiamkan, atau disembunyikan, atau dipalsukan selama puluhan tahun, demi kepentingan stabilitas politik kekuasaan Orde Baru. Dan, selama itu, tidak banyak kalangan yang berani menyuarakan hal-hal yang positif tentang Bung Karno. Karena beratnya tekanan opini publik (yang sudah diracuni oleh propaganda Orde Baru), maka banyak kalangan dalam masyarakat yang takut untuk membantah versi “resmi” tentang tokoh nasional kita ini.

Kembalikan Nama Bung Karno Pada Tempatnya

Kalau sama-sama kita lihat dari segi sejarah, maka jelaslah agaknya bahwa setelah disrobotnya kekuasaan politik Bung Karno oleh pimpinan TNI-AD (Suharto dkk) dan didirikannya Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, bangsa Indonesia telah kehilangan simbul persatuan bangsa, pemupuk patriotisme dan nasionalisme, inspirator kerakyatan, penggembleng semangat anti-penjajahan. Dengan segala kekurangan atau kesalahan-kesalahannya, sosok Bung Karno mencerminkan itu semuanya.

Dan inilah yang justru tidak dimiliki oleh Suharto, atau orang-orang yang mendukungnya. Yang dimiliki Suharto dkk adalah justru apa yang berseberangan atau bertentangan dengan apa yang dimiliki Bung Karno. Seperti halnya Mahatma Gandi, Jawaharlal Nehru, Abdul Gamal Nasser, Kwame Nkrumah, Patrice Lumumba, Julius Nyerere, Salvador Allende, J. Bros Tito atau Nelson Mandela, Bung Karno telah memainkan peran penting bagi perjuangan bangsanya masing-masing, sesuai dengan kebutuhan situasi nasional dan internasional waktu itu.

Adalah penting bagi kita semua, terutama bagi generasi muda dewasa ini (dan generasi yang akan datang), untuk mengenal secara baik sejarah perjuangan Bung Karno. Sejarah perjuangan Bung Karno adalah sesuatu yang bisa dibanggakan dan dihormati oleh rakyat. Sedangkan sejarah Suharto dkk beserta Orde Barunya adalah kebalikannya. Sejarah Suharto dkk bersama Orde Barunya adalah sesuatu yang perlu dikutuk habis-habisan, dan dicegah supaya jangan terulang kembali, dalam bentuk barunya yang bagaimanapun juga.

Mengembalikan nama Bung Karno pada tempat yang selayaknya adalah tugas semua kekuatan demokratis di Indonesia, semua golongan yang betul-betul mendambakan reformasi, semua kalangan yang sungguh-sungguh anti sistem politik Orde Baru. Sekarang ini, sudah tibalah waktunya, bagi semua orang untuk lebih berani bersuara tentang Bung Karno. Buku-buku yang memuat karya-karanya atau pidato-pidatonya perlu dicetak sebanyak mungkin dan diedarkan, baik yang mencakup sejak zaman mudanya mau pun sesudah ia menjadi Presiden/Kepala Negara Republik Indonesia. Hanya dengan membaca, kemudian berusaha mengkajinya dalam-dalam, maka kita bisa mengerti dengan lebih jelas tentang jalan fikirannya dan cita-citanya mengenai negara dan rakyat, mengenai persatuan bangsa dll.

Karya Karya Bung Karno Untuk Persatukan Bangsa

Adalah menyedihkan sekali bagi bangsa Indonesia, bahwa dalam jangka waktu yang begitu lama, karya-karya raksasa Bung Karno telah “disembunyikan” oleh Orde Baru, sehingga banyak orang tidak mengerti dengan baik tentang fikiran-fikirannya, tentang perjuangannya bagi bangsa, dan tentang perannya dalam membangun Republik Indonesia.

Contohnya, berapakah di antara anggota MPR/DPR kita dewasa ini, atau para “elit” di berbagai kalangan atau golongan lainnya, yang pernah membaca Di bawah Bendera Revolusi, atau “Indonesia Menggugat”, atau pidato-pidato Bung Karno, yang antara lain : Menyelamatkan Republik Indonesia, Revolusi-Sosialisme Indonesia Pimpinan Nasional (Resopim), Manifesto Politik Republik Indonesia (Maipol), Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari) ? Dan apakah banyak di antara kalangan “elit” kita sekarang ini yang betul-betul bisa menghayati arti pidato “Lahirnya Pancasila” oleh Bung Karno 1 Juni 1945?

Banyak karya-karya Bung Karno yang telah dijadikan “tabu” (atau “bahan terlarang”) selama Orde Baru. Bahkan, pidatonya yang berkaitan dengan “Lahirnya Pancasila” juga tidak banyak dikenal oleh publik. Padahal, resminya, Orde Baru selalu melandaskan segala politiknya atas dasar-dasar Pancasila. Tetapi, seperti yang sudah sama-sama kita saksikan selama itu, prakteknya adalah kebalikannya. Orde Baru bukan saja telah menyalahgunakan Pancasila, bahkan merusak sama sekali arti Pancasila !!! (mohon catat, tanda seru tiga kali). Begitu busuknya Orde Baru merusak Pancasila, sehingga akhirnya menjadi cemooh atau cibiran banyak orang. Akibatnya, dewasa ini Pancasila makin jarang disebut-sebut dalam berbagai kesempatan resmi atau tidak resmi. Dalam hal ini, dosa Orde Baru adalah berat dan besar sekali.

Mengingat itu semua, maka peringatan HUT ke-100 Soekarno adalah kesempatan baik untuk menjadikannya sebagai bagian dari gerakan reformasi. Reformasi (yang sungguh-sungguh!) adalah me-reformasi sistem politik, cara berfikir, kebiasaan, praktek-praktek Orde Baru, yang masih banyak diwariskan sampai sekarang ini. Dalam kaitan ini, perlulah jelas bagi kita semua, bahwa pada hakekatnya Orde Baru telah menjadikan Bung Karno sebagai musuhnya. Bukan saja Bung Karno telah disingkirkan secara fisik, melainkan juga segala ajaran-ajarannya, fikirannya, perjuangannya, dan jasa-jasanya bagi bangsa dan negara. Lebih-lebih lagi, Orde Baru telah menjadikan Bung Karno sebagai faktor perpecahan atau permusuhan antara berbagai komponen bangsa. Dan ini pulalah yang menyakitan hati banyak orang.

Oleh karena itu, menempatkan kembali Bung Karno pada tempat yang selayaknya berarti juga ikut merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa, dan merupakan salah satu jembatan untuk menuju rekonsiliasi nasional.