08 July 2002 — 9 menit baca

Hubungan antara korupsi dan pembusukan iman

Di antara pembusukan yang sudah menyeluruh di Republik kita ini, nyatalah kiranya dengan jelas bahwa korupsi (jelasnya : pencurian) adalah termasuk pembusukan yang amat parah di bidang iman. Tulisan kali ini dimaksudkan sebagai “curahan hati” tentang pembusukan iman ini, suatu masalah yang mempunyai hubungan erat sekali dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai ummat manusia, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warganegara Republik Indonesia. Curahan hati ini juga merupakan imbauan, untuk mengajak para pembaca bersama-sama merenungkan dalam-dalam tentang betapa besarnya kerusakan bagi bangsa dan negara yang disebabkan pembusukan iman ini.

Seperti yang bisa sama-sama kita cermati selama ini (tegasnya : pencurian) adalah cermin dari pembusukan moral dan kerusakan iman yang terjadi di banyak kalangan masyarakat kita (terutama “kalangan atas” ). Dengan kalimat lain, korupsi di negeri kita bersumber pada kebobrokan akhlak banyak “tokoh-tokoh” masyarakat kita. Telah diketahui oleh seluruh dunia, bahwa korupsi di negeri kita telah merupakan aib bangsa, atau penyakit parah Republik kita. Menurut berbagai riset serius yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian asing, korupsi besar-besaran dan menyeluruh di Indonesia termasuk yang paling atas di benua Asia. Bahkan, tidak salahlah kiranya kalau dikatakan bahwa Indonesia termasuk dalam jajaran negara-negara yang terkorup di dunia.

Itu semua sudah sama-sama kita ketahui. Bahkan, sejak lama sekali. Sejak puluhan tahun yang lalu, ketika Orde Baru masih berkuasa. Jadi, membicarakan masalah korupsi bukanlah mengangkat masalah yang baru. Yang masih bisa (dan perlu!) kita bicarakan, - dan juga kita pertanyakan -, adalah, antara lain : mengapakah korupsi yang sudah merejalela selama puluhan tahun tidak bisa diberantas, dan apa pulakah yang menyebabkan mengganasnya korupsi selama ini? Dan juga, mungkinkah korupsi diberantas, dan bagaimana caranya? Sungguh, pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Sebab, masalah korupsi mempunyai berbagai sebab, atau, karena faktor-faktor rumit yang banyak sekali.

Pertanyaan lain yang mungkin juga tidak mudah dijawab adalah yang berikut : penduduk negara kita yang beragama Islam adalah yang terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, namun justru mengapa Indonesia menjadi negara yang terkorup?

Kerusakan Moral Atau Kebangkrutan Iman

Dari begitu banyak sebab (atau faktor) mengapa korupsi sudah begitu merajalela dan sulit diberantas mungkin bisa kita garisbawahi adanya kerusakan moral dan kebangkrutan iman di banyak kalangan. Terutama di kalangan “atas” atau tokoh-tokoh, baik yang di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, maupun yang di lembaga-lembaga resmi dan non-pemerintah (termasuk di kalangan para pemuka agama dan tokoh-tokoh di kalangan NU, Muhammadiyah, PPP, PBB, Partai Keadilan, PDI-P, Golkar dll ). Mengapa bisa ditarik kesimpulan yang demikian? Sebab, sudah sama-sama kita saksikan selama ini bahwa korupsi, yang membikin kerusakan parah terhadap Republik kita dan kerugian besar-besaran terhadap bangsa, adalah justru yang dilakukan oleh kalangan “atas” atau para “tokoh”. Memang, korupsi sudah “membudaya” di negeri kita, sehingga untuk urusan KTP pun kita sering harus menyuap, atau, untuk urusan lalu-lintas dan pengurusan paspor pun kita perlu mengulurkan “salam tempel”.

Namun, korupsi di kalangan “bawah” ini, walaupun perlu kita prihatinkan bersama, masihlah kiranya bisa kita “toleransi” (mohon diperhatikan tanda kutip di sini ) , karena mengingat bahwa gaji mereka kebanyakan adalah kecil sehingga kehidupan keluarga mereka sulit. Yang perlu kita kutuk bersama, bahkan kita lawan bersama, adalah korupsi di kalangan “atas”. Sebab, korupsi di kalangan “atas” menimbulkan kerusakan-kerusakan parah yang berdimensi luas dan mencakup banyak bidang dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Seperti yang sudah kita saksikan bertahun-tahun, korupsi yang dilakukan oleh kalangan “atas” inilah justru merupakan kejahatan besar yang telah menyebabkan pembusukan di bidang hukum dan peradilan. Selanjutnya, pembusukan di bidang hukum dan peradilan inilah yang menyebabkan pembusukan di bidang moral dan kebobrokan iman banyak orang. Sebagai konsekwensinya, kebobrokan moral atau kebangkrutan iman di kalangan “atas” , menyebarkan kerusakan-kerusakan parah lainnya di kalangan masyarakat luas.

Bahwa korupsi di kalangan “atas” lebih-lebih merupakan kerusakan moral atau kebobrokan iman dapat dilihat dari kenyataan bahwa korupsi ini kebanyakan justru dilakukan oleh orang-orang yang sudah kaya-raya, atau, setidak-tidaknya, yang sudah bisa hidup dengan baik beserta keluarga mereka. Jadi, mereka melakukan korupsi itu bukan karena “keterpaksaan” atau karena kebutuhan yang disebabkan kemiskinan, melainkan karena keserakahan, atau karena ingin jadi lebih kaya lagi walaupun melalui cara-cara yang tidak halal dan merupakan kemungkaran. Para koruptor (bahasa lugunya : maling) yang sudah rusak imannya ini banyak terdapat di kalangan eksekutif, legislatif, judikatif dan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat (baik yang resmi maupun yang non-pemerintah). Mereka ini sudah tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran agama, yang jelas-jelas dan juga tegas melarang tindakan-tindakan haram seperti korupsi (pencurian) ini.

Hubungan Antara Korupsi Dan Kerapuhan Iman

Mengingat adanya pertanda bahwa korupsi (pencurian) masih juga akan tetap sulit dibrantas, dan bahkan mungkin bisa makin menjadi-jadi di masa datang (untuk sama-sama kita ingat : pemilu 2004, pelaksanaan otonomi daerah, penanganan kasus-kasus BLBI, peristiwa Akbar Tanjung dan Tommy Suharto dll dll) sudah sepatutnyalah kiranya kalau kita mohon perhatian kepada para pemuka agama (termasuk para ulama, kyai, pendeta, pemimpin-pemimpin partai dan intelektual) di negeri kita tentang betapa seriusnya atau betapa parahnya masalah ini. Sebab, kalau kita amati secara teliti, maka nyatalah bahwa banyak koruptor ini juga terdiri dari mereka yang menyatakan diri sebagai pemeluk agama. Banyak di antara tokoh-tokoh penting ini yang sembahyang, bergelar haji, atau bahkan mengucapkan sumpah (dengan Kitab Suci) ketika memulai jabatan mereka. Namun, ternyata bahwa tidak sedikit di antara mereka yang melakukan korupsi (pencurian) dengan berbagai cara. Ini merupakan gejala tentang kelemahan atau kebobrokan iman yang sudah melanda kalangan “atas” yang memegang peran penting dalam kehidupan negara dan bangsa kita.

Banyaknya koruptor (maling) di kalangan “atas” memberikan kesan kepada banyak orang bahwa ajaran agama sudah tidak diindahkan lagi, bahwa sumpah dengan kitab suci sudah tidak “mempan” lagi, bahwa Pancasila sudah “dikentuti”, bahwa pidato-pidato yang bagus-bagus hanyalah tabir asap untuk menutupi kejahatan mereka, bahwa mencuri kekayaan publik sudah tidak memalukan lagi, bahwa kejujuran dan ketakwaan sudah dicampakkan, bahwa agama justru dapat dijadikan sebagai tameng atau senjata untuk berbuat beraneka-ragam kemungkaran. Kesan ini bisa mudah diperoleh ketika orang melihat siaran-siaran televisi, mendengar radio, membaca koran, atau, akan lebih jelas lagi, kalau melihat kehidupan mereka sehari-hari dalam masyarakat, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.

Berhubung dengan besarnya kerusakan yang disebabkan oleh korupsi (pencurian!) di berbagai bidang di Republik kita, maka patutlah kiranya kita sama-sama terus-menerus (atau sesering mungkin) saling mengingatkan bahwa masalah korupsi ada hubungannya yang erat dengan masalah iman dan moral. Di samping itu, masalah korupsi juga ada hubungannya yang penting dengan penegakan sistem hukum dan peradilan yang baik, dan, sistem pemerintahan yang bersih. Namun, adalah jelas bahwa sistem hukum dan peradilan yang baik dan pemerintahan yang bersih tidak mungkin dijalankan oleh orang-orang yang bejat akhlaknya atau yang rapuh imannya. Dan, justru yang demikian itulah keadaan Republik kita dewasa ini.

Melawan Korupsi Adalah Melaksanakan Arti Ibadah

Mengingat betapa besarnya daya merusak korupsi (pencurian) terhadap pemeliharaan iman, maka kiranya sudah waktunyalah sekarang ini bagi kalangan pemuka agama untuk menjadikan perjuangan melawan segala bentuk korupsi sebagai bagian penting dalam kegiatan beribadah. Korupsi (pencurian) adalah kejahatan yang dilarang oleh Tuhan. Oleh karena itu, kesedaran bersama perlu digugah bahwa untuk menjalankan ajaran agama secara baik, maka perlu juga berjuang melawan korupsi. Sebab, membiarkan atau bersikap “toleransi” terhadap tetap merajalelanya korupsi adalah berarti membiarkan kerusakan iman banyak orang. Perjuangan melawan korupsi merupakan sumbangan besar kepada usaha bersama kita untuk membersihkan ajaran agama dari oknum-oknum yang dalam praktek malah merusaknya. Sampah-sampah serupa ini perlu dibersihkan.

Dengan partisipasi aktif kalangan pemuka agama dalam perjuangan melawan korupsi (pencurian), maka pandangan negatif sebagian orang bahwa dunia agama “acuh tak acuh saja” terhadap kejahatan atau kemungkaran besar ini bisa makin berkurang. Pendapat sebagian orang bahwa di Indonesia ajaran agama telah bisa dibikin “mandul” terhadap kejahatan korupsi perlu ditanggapi dengan serius. Adalah ideal sekali, kalau para ahli agama kita dapat, secara khusus, mengumpulkan ajaran-ajaran agama untuk menunjukkan kepada sebanyak mungkin orang bahwa korupsi (pencurian) adalah kemungkaran yang mempunyai bobot dosa yang besar sekali. Adalah juga penting sekali, kalau masalah korupsi (pencurian) ini bisa dijadikan salah satu di antara berbagai kegiatan dalam pesantren dan madrasah yang jumlahnya ratusan ribu di negeri kita. Dan alangkah baiknya bagi negara dan bangsa kita, kalau masalah perjuangan melawan kejahatan korupsi ini bisa “disuarakan” dalam mesjid-mesjid yang terdapat di seluruh pelosok negeri.

Perjuangan melawan korupsi (pencurian), yang bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara yang berkebudayaan, merupakan jalan yang benar (dan kongkrit!) dalam menunaikan sebagian ibadah. Perlulah kiranya disadari sebanyak mungkin orang bahwa kerusakan bagi bangsa dan negara yang disebabkan oleh korupsi adalah jauh lebih besar daripada kerusakan yang diakibatkan oleh minum bir atau alkohol atau berzina atau mengedarkan gambar porno, atau maling ayam dan sepedamotor atau mencopet.

Bangsa Ini Sedang Sakit

Serentetan masalah-masalah besar yang sudah dan sedang terjadi di negeri kita menunjukkan bahwa bangsa kita benar-benar sedang “sakit” berhubung rapuhnya iman (bahasa kasarnya : kebejatan moral), terutama di kalangan “atas”. Hukum sudah dengan gampang dipermainkan oleh banyak penjahat-penjahat yang pandai saling bersekongkol atau saling menutupi (mohon ingat : kasus PLN, Pertamina, Garuda, Manulife, Jamsostek, IPTEK, BULOG, kasus 3 Direksi Bank Indonesia, BLBI, Bank Bali, Kanindotex, APKINDO, kasus Tommy, kasus Bob Hassan dll ). Disiplin moral sudah dilecehkan oleh tokoh-tokoh penting di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan pimpinan BUMN (harap catat bahwa sebagian besar pejabat negara masih belum mau atau tidak berani mengisi/menyerahkan formulir KPKPN yang mengharuskan didaftarkannya kekayaan mereka).

Berbagai masalah besar, parah, dan rumit sedang dihadapi oleh bangsa (antara lain : pelaksanaan otonomi daerah, penyelesaian hutang dalam dan luarnegeri yang amat besar dan memberatkan beban rakyat, penanganan keamanan dalamnegeri, persiapan Pemilu 2004, soal amandemen UUD 45, hubungan dengan IMF). Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, maka kita sudah bisa memperkirakan bahwa di belakang masalah-masalah besar ini para koruptor (dan calon koruptor) sedang membikin rencana-rencana busuk atau mempersiapkan segala siasat durjana, untuk mencuri atau mengejar uang dengan cara-cara yang haram. Dan karena jumlah uang yang mereka incer dengan berbagai cara ini bisa mencapai ratusan milyar, bahkan puluhan trilyun rupiah, maka banyak cerita yang bisa muncul di televisi atau media pers. Sejak adanya penolakan DPR untuk membentuk Pansus Buloggate II untuk memeriksa kasus Akbar Tanjung dalam rangka dana Rp 40 milyar, maka kita bisa perhitungkan bahwa “koalisi mafia” ini akan membikin kerusakan-kerusakan yang lebih parah lagi di bidang iman.

Sakit bangsa kita yang disebabkan rapuhnya iman ini akan berlangsung terus, selama kalangan pemuka agama dan tokoh-tokoh (umpamanya : yang di Majlis Ulama Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dll) tidak lebih BERANI atau tidak lebih TEGAS mengumandangkan suara mereka dalam melawan korupsi (pencurian). Suara mereka akan memperkuat perjuangan berbagai kekuatan moral lainnya dalam masyarakat (antara lain : berbagai LSM, ornop, gerakan-gerakan extra-parlementer, beraneka ragam gerakan rakyat, terutama gerakan generasi muda) yang selama ini sudah mulai berjuang ke arah ini. Kalau kalangan agama mengabaikan tugas ini, maka citra mereka akan makin lebih buruk lagi daripada yang selama ini. Dalam hal ini, kenetralan adalah pemihakan kepada kejahatan atau kemungkaran. Juga, dalam hal ini, diam bisa ditafsirkan sebagai menyetujuinya. Kepasifan juga bisa berarti “ke-tidakpedulian” atau “ke-tidak-acuhan”. Kalau tetap demikian terus, maka pastilah, bukan saja mereka akan ketinggalan jaman, melainkan, akhirnya, bisa merugikan diri sendiri.