01 September 2003 — 20 menit baca

Hari Hari Berlangit Temaram

Catatan Seorang Anak Korban Tragedi Nasional September 1965

Oleh JELITENG

Tanggal pasti: 2003-09

Usia saya 15 tahun, ketika peristiwa 30 September 1965 pecah. Baru dua bulan saya berada di Jakarta bergabung dengan kedua orang tua dan kakak serta ketiga adikku. Aku anak kedua dari lima bersaudara. Ibu dan bapakku punya profesi sama: guru. Ibuku guru sekolah rakyat yang kemudian menjadi sekolah dasar, sedangkan bapakku guru sekolah guru yang di Perguruan Taman Siswa disebut Taman Guru.

Ibu dan bapakku keduanya didikan Taman Siswa dan memulai karier guru juga di Perguruan Taman Siswa , meski dalam perjalanan kemudian ibuku memilih untuk menjadi pegawai negeri sedangkan bapakku bertahan hingga usia senjanya.

Berangkat dari profesi guru, bapak aktif di organisasi guru yang dikenal dengan nama PGRI. Sebagai anggota PGRI pula bapak sempat mengunjungi berbagai negri; Jepang, Tahiland, Amerika dan Uni Sovyet.Aku tahu Bapakku memang aktif di organisasi PGRI tetapi Ibuku sama sekali tidak tertarik untuk aktif di organisasi seperti PGRI. Ibuku hanya tertarik pada organisasi WTS (Wanita Taman Siswa) yang bergerak lebih ke masalah sosial praktis sehari hari, misalnya arisan, membantu orang yang sedang kesulitan dikarenakan berbagai sebab.

Kecuali adik terkecil yang lahir di Jogya, kami berempat lahir di Malang. Ketika itu Bapak dan Ibu sedang bertugas menjadi guru di Taman Siswa cabang Malang. Sebelumnya mereka bertugas di Taman Siswa Purwokerto. Ketika usiaku menginjak enam tahun bapak pindah ke Jogyakarta. Di kota ini kami bersaudara tumbuh sebagai remaja sebelum akhirnya menjadi dewasa di Jakarta.

Awal tahun 1965 lagi-lagi Bapak pindah tugas, dan pada tahun ini ia bertugas di Jakarta. Karena awal tahun, terpaksa aku dan abang tertuaku tinggal sementara di Jogya untuk menyelesaikan akhir pelajaran. Aku di SMP sedangkan abangku di SMA.

Kata dewasa kemudian benar-benar menjadi arti sesungguhnya dan menagih bukti ketika peristiwa 65 pecah. Bagi saya pribadi peristiwa 30 September 1965 adalah mimpi buruk yang sangat menyakitkan dan meninggalkan luka dalam pada sanubari tak terhapuskan seumur hidup.Usia remaja yang penuh mimpi dan citacita oleh Peristiwa ini harus rusak sekaligus lenyap dirampas paksa oleh satu kekuasaan tanpa batas. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa peristiwa ini akan berdampak luas dan sangat dahsyat tidak saja bagi kami sekeluarga tetapi juga bagi beriburibu keluarga lainnya di seluruh Indonesia sampai hari ini.

Periode awal, artinya akhir 65 hingga awal 1966, kami anakanak belum sadar benar apa sesungguhnya yang terjadi dan bagaimana dampak langsung selanjutnya bagi kami sekeluarga. Memang bapak nampaknya sudah tidak bekerja, karena aku lihat dia sudah banyak di rumah dan mulai berpikir untuk membuka warung kecil sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Sedangkan Ibuku masih bekerja seperti biasa, yaitu mengajar di sekolah dasar yang kebetulan berada dekat rumah. Aku sudah lupa tepatnya kapan, ketika ada berita bahwa abangku di Jogya sempat ditahan di kantor Polisi setelah diciduk di sekolahnya.Dia diciduk oleh teman sekelasnya sendiri yang dilakukan dengan praktek kekerasan dipukul dan diinjakinjak. Pencidukan terhadap abangku merupakan pertama kali untuk lingkungan sekolahnya. Ada untungnya demikian karena langsung ditangani polisi dan bukan oleh “massa” umum . Mengapa saya katakan untung karena pada awal-awal peristiwa, prosesnya jelas dan mempunyai surat resmi. Beberapa hari saja dia ditahan, kemudian dilepaskan dengan syarat harus melapor ke kantor polisi saban duakali seminggu. Dia keluar dengan bekal surat resmi pembebasan dari kantor polisi.

Sementara itu dia masih bertahan di Jogya dengan harapan masih bisa melanjutkan sekolahnya.

Keadaan secara umum di Jogya waktu itu semakin panas. Tidak saja tentara dan polisi yang mengadakan aksi penggropyokan atau menciduk orangorang yang dianggap terlibat atau tersangkut PKI, tetapi juga massa luas anggota organisasi yang anti PKI pada waktu itu. Pada suatu malam, kampung tempat abangku tinggal, mendapat giliran. Malam itu ada seorang teman sekelasku yang sedang menginap di tempat kos abangku. Kebetulan memang dia anak dari sahabat bapakku yang sama sama guru di Taman Siswa. Aksi menggedor pintu kemudian menggelandang kaluar rumah orang yangdisangka terlibat G30S digelar. Abang dan teman ini terpaksa keluar. Abangkuternyata cukup cerdik. Surat bebas dari polisi selalu dalam posisi siapdalam kantong celana dan selalu dibawa kemanapun dia pergi. Dan waktu adadialog sedikit dengan para penggropyok tadi dia memperlihatkan surat bebastersebut kepada mereka. Selamatlah dia oleh selembar kertas tadi. Tetapimalanglah bagi teman sekelasku. Dia berumur sama denganku 15 tahun, tetapikarena dia lelaki dengan perawakan tegap dan tinggi untuk ukuran ratarataanak Indonesia, maka dia tidak lolos dari sergapan malam itu! Beberapa tahunkemudian aku tahu bahwa temanku ini terbawa sampai ke pulau pembuangan pulauBuru dan mati di sana karena ditembak tentara dengan alasan akan melarikandiri. Membaca berita ini aku tak bisa menahan tangisku. Aku mengenalnyasejak usia kanakkanak. Siapa, apa dan bagaimana dia, sangat kukenal baik.Sungguh sangat keliru dan kejam menuduh kemudian menahan lalu membuangnya kepulau Buru dengan alasan sebagai seorang komunis atau anggota PKI. Dia anakmasih ingusan dan sama sekali tak tahu- menahu soal politik apalagi soalgerakan 30 Sepetmebr 1965. Tidak seharusnya dia menerima beban seperti itu.

Situasi ibu kota semakin gerah dan panas. Pemeriksaaan, penggeledahan,penangkapan oleh tentara atau militer terus digerakkan setiap hari. Bapakkumendapat giliran.

Kami waktu itu tinggal di daerah Rawasari di salah satu gang. Sejakgencarnya penangkapan oleh militer, tidak asing bagi kami sekeluargamendengar derap langkah sepatu tentara pada malam atau subuh melintasi gangkami. Sering suara derap teratur ini membangunkan tidurku. Kamarku yangletaknya di depan menghadap ke gang, tentu saja paling jelas suaranya.Sering aku dan adik perempuan yang sekamar denganku mengintip melalui celahjendela melihat apa yang sedang melintas di gang kami. Dan malam inisegerombolan tentara berbaret hijau tua lengkap dengan senjata laras panjangmasuk ke halaman rumah kami. Adik perempuanku yang terkenal paling penakutdi antara kami berlima langsung terduduk lemas di lantai. Satu diantaramereka langsung menggedor pintu minta dibuka. Bapakku bergegas bangun dansegera membuka pintu. Tanpa berpanjang cerita seorang tentara memintabapakku jongkok di sudut teras sambil kedua tangannya dilipat dibelakangkepala di bawah todongan senjata. Aku juga adikku lelaki keluar kepinginmelihat apa yang terjadi (perlakuan tentara malam ini kepada bapak, ternyatasangat membekas dalam ingatan kami dikemudian hari dan sampai hari ini.Sampai sekarang saya aku mendengar suara derap sepatu di halaman, bayanganyang kusaksikan malam-malam pada Peristiwa September 1965 kembali muncul didepan mata ). Sementara itu beberapa tentara lainnya masuk serentak kedalamrumah, memeriksa setiap kamar, plafond dan kolong tempat tidur jugamengobrak abrik semua lemari yang ada. Mesin ketik besar alat kerja bapakdan hampir semua kertas yang ada tulisan ketik juga album photo dibawabersama bapakku entah ke mana. Barang-barang ini sampai sekarang tak pernahkembali.

Bapakku sempat ditangkap tiga kali. Dua kali pertama hanya memakan tempomingguan dan bulanan sedangkan yang ketiga kali sampai tahunan danberpindahpindah tempat.Ibu juga sempat ditahan beberapa hari di jalan KramatV setelah penangkapan bapak yang kedua kalinya. Ketika ayah-ibu ditangkap,kami yang masih berusia kanak, harus mencari sesuap nasi sendiri denganmengerahkan tenaga dan pikiran bocah kami. Para sanak keluarga danorang-orang yang pernah dekat dengan keluarga kami nampak menyingkir entahke mana.

Sampai sekarang kami anakanak tidak tahu mengapa ibu mempunyai nasib baiktidak ditahan dan dibuang ke Plantungan seperti banyak kenalan ibu danlebih baik lagi tidak dipecatnya ibu sebagai pegawai negri. Keadaan inilahyang mempunyai jasa besar untuk kelangsungan hidup kami sekeluarga.Kenyataan ini pula yang menggundahkan hati ibu alamarhum sebagai pahlawankeluarga. Ibuku telah begitu banyak berjasa untuk banyak orang. Tidak sajamenghidupi suami dan kelima anaknya, tetapi juga banyak anakanak teman ataukenalan yang senasib dengan kami datang kerumah sekedar untuk numpangberteduh bahkan sampai menumpang hidup. Mengandalkan gaji plus jatah berastiap bulannya, ibuku mencoba bertahan sebisanya.

Keadaan ekonomi semakin berat. Bapak di tahanan perlu ekstra makanan yanglebih baik dari jatah penjara. Ini perlu dipikirkan dengan serius demikesehatan bapak, yang berarti penambahan biaya. Untuk itu ibu sudah mulaimenjual apa saja dari yang kami punya. Mula-mula scooter, sepeda lalumerembet ke barangbarang lain yang punya nilai jual.

Aku menyelesaikan SMAku tiga setengah tahun. Mengapa tiga setengah tahunkarena pada tahun 1967 ada perubahan waktu akhir ajaran sekolah. Pengajaranyang biasanya berakhir bulan Juli pada tahun itu berubah menjadi pada bulanDesember. Masa SMA ini aku rasakan sebagai masa yang paling berat dan samasekali tak punya kesan menarik bagiku. Setiap pergi kesekolah selalu sajaada perasaan tidak nyaman dan terpaksa. Semua ini akibat dari suasanasekolah dan susana di kelas. Setiap hari aku lihat teman lakilaki terutamaberlagak sebagai tentara bahkan ada beberapa yang mempunyai senjata genggam.Suasana belajar tampak kacau karena secara tibatiba dan hampir setiap hariada acara demo untuk menjatuhkan Soekarno. Kami para pelajar wajibmengikutinya tanpa menghiraukan kewajiban belajar di kelas. Pada masa ituguru tampak tak punya kekuasaan untuk mengatur anak didiknya. Murid yangmenjadi anggota KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) lebihberkuasa daripada guru. Merekalah yang mengkomando para murid untukmengikuti program KAPI. Bagi para murid yang tidak mengikuti acara KAPPIdengan mudah dijatuhi vonis sebagai anak PKI dan masih akan mendapattindakan lanjutan dikemudian hari.

Suasana tegang dan tertekan menderaku setiap hari. Pergaulanku dengantemanteman kurasakan sangat tidak wajar dan kaku. Bukan aku termasuk anakyang tidak senang bergaul atau kaku dalam pergaulan. Justru sebaliknya dalamkeadaan wajar tanpa tekanan psikologis, aku termasuk anak yang mudah bergauldan sangat criwis!Untuk menyembunyikan identitasku yang sebenarnya, selama di,SMA,taksekalipun aku memperkenalkan diri yang sebenarnya. Sedapat mungkin akuselalu menghindar dari pertanyaan seputar diriku, keluargaku dan latarbelakang kehidupanku. Tak sekalipun aku menawarkan atau mengajak temankuuntuk datang ke rumah walau temanku yang paling dekat.Nama bapak terpaksakurubah dengan nama baru yang Bapak buat selama di penjara, dengan demikianjejak siapa bapakku terputus.Tiga setengah tahun terasa begitu panjang danlama. Harihari kulalui dengan perasaan waswas dan takut. Waswas takut ketemukenalan lama yang tidak jarang bisa menjadi awal bencana. Pada masa itutidak sedikit teman atau kenalan lama yang membongkar jati diri kita laluhal itu dilaporkan kepada pihak militer atau organisasi massa yang anti PKI.Tekanan demikian sangat memakan enerji dan menekan perasaan. Rasa tidak amandan selalu menaruh rasa curiga serta syakwasangka terhadap orang yang barudikenal mendominasi pikiran seharihari. Rasanya hidup dengan tekanan seberatitu dan aku tidak jadi gila sudah merupakan satu anugrah. Aku yakin tidakhanya aku yang mempunyai rasa seperti apa yang kusebut di atas. Banyak dansangat banyak teman senasib bahkan lebih besar lagi bebannya dari pada aku.

Aku menyaksikan bagaimana Yuyuk,teman masa remajaku di Jogya, teman kamiyang tercantik diantara kami bertiga yang pada tahun 65 baru berusia 14tahun terpaksa kawin dengan anggota militer yang menangkap bapaknya. Akubisa memastikan bahwa perkawinan itu melalui proses tidak wajar yang samasekali tidak dikehendaki temanku itu. Dari Jakarta aku membayangkan temankuyang masih bocah sudah harus berhenti sekolah dan mengurus rumah tangga. Akutidak berani melanjutkan bayanganku, dugaanku, bagaimana masadepan rumahtangga yang berangkat dari situasi demikian.

Aku sendiri selepas SMA tahun 1969, memutuskan untuk segera bisa bekerjauntuk mendapat hasil untuk paling tidak, bisa memenuhi kebutuhan sendiri.Sementara itu Ibu memutuskan untuk menjual rumah Rawasari. Ada dua alasanmengapa Ibu mau menjualnya. Pertama, Ibu sudah tidak tahan hidup dilingkungan Rawasari. Hampir semua penduduk Rawasari tahu siapa kami dankebanyakan dari mereka menunjukkan sikap yang tidak bersahabat kepada kami.Kedua Ibu mengharapkan adanya selisih harga yang bisa ditabung untuk biayamenyambung hidup selama situasi masih belum jelas. Ibu sudah punya calontempat pengganti rumah Rawasari. Cilandak, selatan Jakarta, daerah baru yangkebanyakan masih merupakan kebun rambutan atau karet. Semula kami, anakanakkurang senang dengan keputusan ibu. Melihat letak dan kondisi transport umumwaktu itu, kami merasa tidak bisa leluasa bergerak. Padahal semua kegiatanada di pusat Jakarta. Bersama dengan berjalannya waktu, kendala ini bisakami lalui tanpa banyak keluhan. Ibu segera mendapat tempat mengajar yangtidak jauh dari rumah, sedangkan aku mendapat pekerjaan membantu memeliharaayam potong dari paman, adiknya ibu. Adikku perempuan yang sempat kursuskecantikan selepas SMA, juga segera praktek menjadi pegawai disebuah salonkecantikan. Kini abangku , aku dan adikku sudah punya penghasilan meskipunsangat kecil dan tidak stabil, artinya setiap saat kami bisa berhentibekerja karena tidak ada kontrak kerja. Hal ini bisa dipahami karena tempatkami bekerja adalah satu usaha rumahan jauh dari profesionel. Bahkan abangkumasih melanjutkan usaha jualan sabun kakilima di pasar Senen. Walaupunbegitu Ibuku sudah sedikit merasa lega dan ibuku mulai lagi dengan ‘hobby’lamanya untuk membantu anak saudara atau kenalan untuk disekolahkan.

Tahun 1971, Bapak sudah dioper ke Nusa Kambangan, Cilacap. Ibuku sudahmenyusun jadwal kapan mengirim makanan kering dan keperluan lain lewat pos,dan kapan membezuk datang ke Cilacap.Dalam kondisi keuangan yang paspasandan tidak stabil, tentu pengaturan begini tidak sederhana. Ongkos jalan keCilacap dengan transport yang paling murahpun masih terasa berat untuk Ibu,apalagi Ibu tentu tidak akan sendirian pergi kesana. Usaha besar demikianmasih belum cukup memuaskan dan menyenangkan kami. Tidak jarang kirimanperpos atau kiriman yang langsung kita bawa ke tempat tidak utuh diterimaoleh Bapak. Jangankan uang, tembakau, gula ataupun celana dalam bisa lenyapdalam bungkusan. Siapa yang mengambil barangbarang tersebut tidak bisadipastikan. Di loket penerimaan kiriman, ada dua macam petugas yang akanmemeriksa isi tas atau bungkusan. Pertama adalah petugas resmi dari militerdan kedua mereka tahanan yang dipercaya oleh petugas untuk membantupekerjaan petugas. Dari omongan ‘rasan-rasan’ keluarga tapol sesamapembesuk, aku dengar petugas tapol yang diperbantukan di loket penerimaankiriman ada kemungkinan ikut ‘menilep’ barang kiriman. Kalau saja beritaini benar, tentu sangat membuat kami tidak bahagia. Kenyatan demikianmembuat kami semakin kecut. Sementara itu diluar lingkungan kami yang dekatdengan kekuasaan, kehidupannya semakin gemerlap.

Harga minyak dunia ketika itu melonjak dan devisa negera mengalir deras. Gapantara si kaya dan si miskin semakin kentara. Ruang gerak kami para keluargatapol sangat terbatas. Menjadi tentara, polisi, guru, pegawai kantorpemerintah , pendeta, dalang atau pengarangpun tertutup bagi kami. Ketentuansemacam ini sangat tidak benar dan tidak adil. Kami yang langsung terkenasangat merasakan sakit dan sangat marah. Kesakitan dan kemarahan ini takterbandingkan sekalipun dengan tendangan sepatu lars tentara atau sabetanikan pari di ruangan interogasi. Kesakitan pisik bisa terobati dan hilangditelan waktu. Tetapi kehilangan kesempatan dan kehilangan masa produktifakan dibawa sepanjang hayat. Hal inilah yang sama sekali tak diperhitungkanoleh para pembuat keputusan. Mereka telah dengan gegabah tanpa perhitungankemanuasiaan membunuh masa depan seseorang yang sebenarnya itu adalah hakmendasar dari seseorang. Kalau saja mau jujur banyak sekali dari parakenalan dan temanku yang mengalami goncangan kehilangan kepercayaan diri.Ini disebabkan karena tekanan jiwa yang berat dan dalam jangka waktu yangpanjang. Ini tercermin dari sikap seharihari dalam pergaulan. Tingkah lakuyang nyleneh dan tidak wajar. Mereka kebanyakan dari orang yang terdidikbaik, bangku universitas sudah dilampaui tetapi setelah itu mereka tidakbisa mengembangkan ilmu dan pribadinya. Bukan mereka tidak mau bekerjatetapi kesempatan yang tidak ada atau tertutup. Bukankah kenyataan demikianmembuat orang sakit hati dan menjadi frustrasi?

Perlakuan rezim Soeharto dengan tindakan sangat represif dalam jangkapanjang sungguh sangat berdampak jauh. Dampak menyakitkan itu masihberkelanjutan sampai sekarang. Bagi mereka yang terkena, rasanya sulitsekali melupakan atau menutup masa kelam kehidupan lebih dari tiga dasawarsa. Mereka telah kehilangan segala milik yang paling hakiki. Masa mudamasa produktif yang paling berharga bagi masa depan sudah lenyap dirampaskekuasaan absolut. Kehilangan istri, suami, tunangan, pacar orang tua ,sanak saudara bukan lagi cerita langka. Semua ini cerita yang sangatmemilukan dan sangat kejam kalau ditinjau dari kemanusiaan.Dalam keadaan demikian mencari jodohpun menjadi hal yang sulit dan rumit.Cinta tidak lagi menjadi prioritas utama. Pada jaman ini, untuk sekolah,cari pekerjaan dan cari jodoh prioritas pertama adalah tidak tersangkutg30s. Adik perempuanku sudah mengalami hal ini. Suatu malam datanglah calonmertua dan calon ipar ke rumah menemui Ibuku (Bapak ada di penjara NusaKambangan). Kami semua heran, kok tanpa berita mereka datang. Namunkeheranan tidak berlangsung lama ketika kami mengintip dan melihat ada wadahcincin di atas meja. Tak salah bahwa mereka mengembalikan cincin pertunanganadikku.

Entah kekuatan darimana Ibuku malam ini yang dengan sangat tenang dan kalemmenerima dan menghadapi calon besan yang membatalkan hubungan anaknya denganadik perempuanku. Dari balik tembok kamar tamu dengan lamatlamat akudengarkan pembicaraan mereka yang nampaknya wajar seolah tak mengandungkepahitan.

Setelah tamu pergi, ibuku segera memanggil adik perempuan juga aku. Secarasingkat dan pelan ibuku menceritakan semua apa yang dibicarakan tadi bersamabesan wurung (besan nggak jadi). Wajar kalau adikku nangis sejadinya.Tampikan demikian tentu sangat menyakitkan dan sulit diterima secaraperasaan. Pelanpelan ibuku memberikan pengertian kepada adikku, bahwa jamanini jaman tidak normal. Kawin tidak saja memerlukan rasa cinta, tapi jugaperlu keterangan tidak tersangkut g30s. Juga tidak terlalu salah mungkin,mengapa calon suami adikku membatalkan niatnya untuk mengmbil adikku jadiistrinya, karena dia merasa perkawinan dengan adikku tidak menjaminkelangsungan karirnya di satu kantor pemerintah. Latar belakang pendidikansebagai insinyur membuatnya percaya diri bisa meniti karir tinggi hanyadengan bersih lingkungan atau tidak tersangkut g30s.

Pengalaman adikku ini diamdiam menjadi momok juga bagiku. Pada usia 21 tahunada beberapa lakilaki yang mendekatiku dan diantaranya ada yang sudah beranimengajukan lamaran minta dijadikan istri. Terus terang dari diriku waktu itubelum ada keinginan untuk kawin. Jangankan kawin, jatuh hati, jatuh cintapada seseorang dalam arti kata yang sebenarnya saja aku belum merasakannya.Apalagi sekarang setelah ada kejadian adikku. Aku malah jadi takutberkenalan atau berteman akrab dengan lelaki. Aku takut apa yang sudahmenimpa adikku akan terulang pada diriku.

Waktu terus berjalan dan tak banyak merubah nasib keluargaku. Kabar tindakankekerasan terhadap tapol di penjara secara teratur kami dengar. Si itudisabet ekor ikan pari, si anu diselomot puntung rokok, si badu di setrom ,mas badu diinjekinjek sepatu tentara dlsb. … Menjadi berita rutinseharihari bagi kami keluarga tapol. Pada hari-hari besuk di penjara adalahmerupakan hari pertemuan diantara kami keluarga tapol. Dari sinilah kamitahu berita berita buruk demikian. Para pembesuk ini disamping mengirimmakanan juga obatobatan.Pada kesempatan hari besuk kami keluarga tapol saling berbincang berbagirasa dan pengalaman. Di sini kita bisa melihat pergulatan manusiamempertahankan hidup serta kesetiaan terhadap orang yang dikasihi. Pada saatsulit beginilah kita bisa melihat dengan jelas kualitas manusia. Sebagianbesar dari para pembesuk tampak jelas bukan dari kelas ekonomi sedangapalagi kuat. Para suami atau bapak pada umumnya meninggalkan keluargakarena ditangkap tanpa meninggalkan banyak materi. Tidak sedikit para suamidan bapak ketika ditangkap meninggalkan anakanak masih usia kanak dan isteritidak bekerja. Bisa dibayangkan bagaimana para isteri dan ibu bertahan setiadan mengasuh anakanak tanpa suami. Tak dipungkiri ada juga beberapa istridengan berbagai alasan minta cerai atau meninggalkan suami dalam penjarauntuk kawin dengan lelaki lain atau kawin dengan tentara yang menangkap ataumemeriksa suami.

Pada suatu siang, datang ke rumah seorang lakilaki yang biasa kita panggildengan Mas Sam. Dia dulu indekos di rumah kami di Jogya. Mas Sam anakseorang lurah di Jawa timur, dan dia aktif di organisasi mahasiswa yangdikenal sebagai onderbouw PKI. Oleh karena itu dia harus menempuh perjalanansebagai orang tahanan sampai ke tanah pembuangan pulau Buru. Waktu diaditangkap, dia boleh dikatakan pengantin baru. Dan waktu itu isterinya sudahmulai hamil. Waktu terus bergulir dan berlanjut hingga belasan tahun.Saatnya tiba mas Sam bebas dan pulang ke rumah, kembali menemui isteri dananak…Tetapi apa yang terjadi? Si isteri menolak dan lebih menyedihkan lagimas Sam dilarang untuk menemui anaknya.Mas Sam menceritakan kisahnya kepada Ibu dan Bapak sambil berlinang airmata. Semua itu jelas bagaikan mimpi buruk yang tidak pernah dibayangkanatau diperhitungakn sebelumnya.Disini siapa yang patur disalahkan?

Ketahanan seseorang ada batas dan tidak semua sama. Demikian juga isteri MasSam, dia tidak tahan dengan tekanan emosi demikian dalam dan jangka lama.Begitu sayangnya dia kepada anak lelaki satusatunya yang saat itu sedangberangkat akil balik, tak sampai hati menghadapi sesuatu yang bisa terjadisetelah tahu siapa bapaknya, si ibu terpaksa berlaku tetap menyembunyikanidentitas bahkan keberadaan bapaknya. Boleh jadi dia sudah terlanjurmengatakan bapaknya mati atau hilang, sehingga kemudian dia merasa kehabisanakal ketika keberadaan bapaknya hadir dihadapannya.

Tahun 1972 saya menemukan jodoh yang adalah tetangga sendiri. Perkawinan inisesungguhnya lebih faktor dorongan dari Ibu. Ketika itu bapak masih di NusaKambangan.Calon suamiku bekerja di kantor pemerintah singkatnya dia adalah pegawainegeri. Aku lebih menghargai dia sebagai manusia ketimbang rasa cintaku.Ibuku melihat lelaki ini serius mencintaiku dan sadar apa konskwensinya diasebagai pegawai negri dengan mangawiniku. Tanpa ragu dia segera mengirim ibudan abang tertuanya ke rumah untuk meminangku ketika ibuku memberikan lampuhijau bahwa aku bersedia dijadikan isterinya. Hanya limabelas tahun kamibersatu dalam perkawinan. Tepat pada usianya ke limapuluh dia berpulangkarena sakit. Kami dikaruniai dua anak, lelaki dan perempuan yang sekarangsudah berangkat dewasa. Sepanjang aku menjadi isteri pegawai negri, akumerasa berhasil melakonkan orang yang bersih lingkungan atau tersangkutg30s. Pada awalnya sama sekali tidak ada hambatan utnuk suami melewatijenjang pangkat, meski dia selalu senewen setiap kali ada ujian jabatan atauskrening sebelum promosi kenaikan jabatan. Berlembarlembar pertanyaan harusdiisi, pertanyaan lebih banyak berkisar sejarah keluarga dan pandanganpribadi terhadap ideologi negara pancasila dan pendapat atau penilaianterhadap pemerintahan orde baru.

Beberapa tahun sebelum meninggal, dia dipromosikan untuk menjadi kepalatingkat propinsi. Pada waktu inilah aku mulai merasa dan melihat gelagattidak normal.Surat Keputusan untuk suamiku menjabat kepala di tingkatpropinsi sudah terbit bahkan sudah ditandatangani Presiden. Tetapi demikianlama ditunggu dan ditunggu tak kunjung datang bapak dirjen memanggil untukpelantikan. Akhirnya ketika suamiku menanyakan langsung kepada pakdirjen,mendapat jawaban bahwa tenaga dan pikiran suamiku masih dibutuhkan dikantor Jakarta. Sampai suamiku meninggal surat keputusan tak pernah adatindak lanjutnya dan hanya menjadi pajangan di rumah .

Aku bisa merasakan betapa kecewanya suamiku. Lebih trenyuh dan sedih taksekalipun suamiku menyebut atau memperkarakan status bapakku yang tapol.Kenyataan ini menambah rasa hormat dan banggaku kepadanya. Sebaliknya akumemendam rasa bersalah, bersalah karena akulah kariernya mandek. Bahkantidak lama setelah kasus itu suamiku sering sakit dan dalam waktu yang tidakterlalu lama dia pergi untuk selamalamanya. Bagiku umur limapuluh tahunterlalu cepat dia pergi. Tapi siapa yang bisa mengelak dari maut ?Kepergian suami, memaksaku untuk bangun dan bergerak lebih aktif mencarikegiatan yang mempunyai hasil . Bersama abangku kami membuat satu usahakecil dibidang kerajinan tangan dan pembuatan barangbarang promosi.

Dengan uang pensiun suami ditambah dengan hasil usaha inilah aku bisamengantarkan kedua anakku kejenjang pendidikan tinggi.Pada tahun 1991 aku punya kesempatan berlibur ke Eropa, Paris. Mengapa keParis? Ini memang sengaja karena aku mempunyai teman dekat sejak masaremajaku di Jogya. Hubungan kami memang akrab, keakraban yang berangkat darisatu kegiatan kesenian di Jogya. Kami sama sama suka menyanyi dan bersajak,dan bahkan aku pernah diajar menulis meski tak bisa berlangsung lama karenakami terpaksa berpisah karena dia tugas ke kota lain sednagkan aku mengikutiorangtua yang pindah ke Jakarta. Sejak itu kami tak lagi jumpa.Duapuluhtujuh tahun kemudian aku punya kesempatan menjenguknya. Akumendapatkan kontak pertama dengan temanku ini melalui teman lain yang jugamengenalnya. Dari surat menyurat aku tahu keadaanya dan aku percaya dia akansenang dan tidak keberatan menerimaku tinggal dirumahnya kalau akudatang.Tanggal keberangkatan telah kutetapkan dan kepadanya aku mintamenjemputku di bandara. Tadinya aku kuatir sudah tak bisa mengenal wajah danbentuknya…tetapi ternyata tak banyak berubah. Senyum dan perawakan masihtetap seperti dulu. Raut muka penuh kegembiraan agaknya yang membuat awetmuda.Sebulan penuh aku melancong ke Eropa. Dari pertemuan ini rasa kasih lamadiantara kami berdua tumbuh kembali. Pertemuan kali ini mengobarkan semangathidupku kembali setelah kepergian suamiku. Temanku ini berhasil meyakinkandan memberikan motivasi hidup yang indah dan perlu dinikmati kepadaku.Limatahun kemudian kami sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri.Demikian mengapa saya sekarang berada di Paris.

Dari kejauhan, benua lain aku sekarang memandang kampung halamanku. Darikejauhan, semakin tampak bopeng coreng-moreng negriku yang katanya elokpermai. Walau begitu, rasa cinta dan rinduku tak pernah pupus bahkanlambaian nyiurnya selalu memanggil- manggil pulang.

Peristiwa 30 Sepetmber 1965 sudah tigapuluhdelapan tahun berlalu.Tigadasawarsa bukan satu perjalanan pendek, tetapi bagiku seakan barukemarin semua mimpi buruk terjadi.Peristiwa enam lima bagiku juga saudarasaudaraku adalah satu mimpi burukyang telah merusak dan merebut masa depan kami sebagai anak bangsa.Kehilangan masa depan bukan suatu kehilangan sepele dan murah. Masa depanadalah milik yang paling berharga dan hak hakiki setiap manusia. Hidup tanpamasa depan adalah sesuatu yang sangat siasia. Dan yang paling menyakitkanadalah kami di’tai’kan dan dari posisi ‘tai’ kami bangkit dan bertarunguntuk menjadi manusia yang manusiawi mencari cahaya keluar dari hari-hariyang kelam gelita. Usaha bangkit dan pertarungan mandi darah dan air mataini memperlihatkan bahwa pada akhirnya manusia bisa dan tetap jadi pemenang.

Kalau sampai sekarang bangsa ini masih men’tai’kan jutaan dan jutaanputraputrinya, tidakkah bangsa ini merupakan bangsa tai itu sendiri.Akankah di tanahair bangsa tai, manusia akan juga jadi pemenang yang mampumeraih cahaya menyisihkan kekelaman?