14 November 2000 — 11 menit baca

Gerakan revolusioner untuk menuntaskan reformas

(Sekedar pengantar : Mohon perhatian bahwa berhubung dengan adanya berbagai reaksi atau tanggapan - yang merangsang semangat - terhadap tulisan Cegah neo-Orde Baru dan blejeti terus GOLKAR , maka tulisan yang kali ini berusaha untuk menyajikan sejumlah bahan renungan lainnya sekitar topik ini).

Kiranya, adalah wajar kalau di antara kita banyak yang limbung atau bingung dalam memikirkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa kita dewasa ini. Beraneka-ragam problem serius terdapat di berbagai bidang, dan bertumpuk-tumpuk serta tumpang-tindih tidak karuan lagi. Semua persoalan kelihatan urgen dan menuntut pemecahan segera. Dan, karenanya, tidak begitu jelas lagi, mana yang lebih dulu harus ditangani, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, mau pun kebudayaan. Semua ada kait-mengaitnya, sehingga sulit ditemukan mana yang ujung dan mana yang pangkal. Di samping itu, ada pertanyaan yang sulit dijawab dengan sederhana dan pasti : gerangan, apa sajakah yang menjadi sumber itu semuanya?

Mungkin, karena di antara kita banyak yang disibukkan oleh pekerjaan untuk mencari nafkah masing-masing, atau oleh kegiatan praktis yang macam-macam, maka sering sekali tidak sempat untuk merenungkan dalam-dalam berbagai persoalan-persoalan serius dan besar yang sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini. Padahal, bangsa ini sedang sakit keras. Dan, keadaannya gawat. Sehingga banyak orang tidak bisa lagi meramalkan apa saja yang akan terjadi. Ada juga yang menghitung-hitung berbagai kemungkinan yang akan menimpa rakyat yang berjumlah 210 juta orang ini.

Betapa tidak ? Sekarang ini diperkirakan sekitar 40 juta orang menganggur. Utang luarnegeri sekarang sudah melebihi 142 milyar $US. Di seluruh Indonesia sekarang ditaksir ada 1 juta orang yang mengungsi dari tempat tinggal mereka. Urusan penyelesaian sejumlah besar bank-bank yang ambruk dan dirundung utang masih macet. Kasus Bank Bali yang bikin kacau elite politik dan ekonomi juga belum jelas juntrungnya. Persoalan Bob Hasan, Texmaco, Prayogo Pangestu, Group Salim masih diliputi berbagai tanda tanya. Peristiwa Semanggi, 27 Juli, Tanjung Priok perlu diusut dan dituntaskan terus. Jutaan ex-tapol beserta keluarga mereka masih harus direhabilitasi (harap catat: mereka tidak bersalah!). Sejarah palsu versi Orde Baru perlu direvisi atau dikoreksi. Rakyat Aceh makin gencar menuntut kemerdekaan. Demikian juga di Irian Jaya. Sedangkan di Maluku jiwa orang masih melayang terus, sementara puluhan ribu rumah menjadi sasaran pengrusakan dan pembakaran. Pers juga menyiarkan tentang ruginya Pertamina, tentang utang PLN dan Garuda. Juga dipersoalkan terus masalah pengadilan Suharto. Sedangkan (ketika tulisan ini sedang diketik) Tommy masih terus jadi buronan!

Mesin Birokrasi Yang Dibangun Puluhan Tahun

Melihat begitu banyaknya persoalan besar dan gawat yang harus diselesaikan oleh bangsa kita, maka patut-patut sajalah kiranya kalau banyak di antara kita - mungkin sama halnya, seperti Anda sendiri juga yang jengkel, marah, kecewa, dan prihatin. Ada orang-orang yang menjadikan Gus Dur sebagai kambing hitam dari masih terbengkalainya penyelesaian begitu banyak persoalan-persoalan serius itu semua. Tetapi, ada juga yang beranggapan bahwa problem besar dan gawat memang terlalu banyak, sebagai warisan sistem politik Orde Baru yang sudah berjalan lebih dari 32 tahun. Karena itu pulalah maka reformasi berjalan tersendat-sendat, bahkan mandeg atau macet di sana-sini.

Kiranya, bisa dibenarkan adanya kritik atau pendapat bahwa Gus Dur mempunyai kelemahan-kelemahan dalam melaksanakan tugasnya sebagai presiden, bahkan juga kesalahan-kesalahan. Tetapi, agaknya, bisa juga dibenarkan pendapat yang mengatakan bahwa problem-problem serius memang sudah begitu bertumpuk-tumpuk sejak lama, sehingga sulit bagi siapa pun untuk bisa menyelesaikannya sekaligus atau serentak, apalagi dalam waktu yang singkat. Ibarat penyakit parah yang sudah menjangkiti seseorang selama lebih dari 32 tahun, untuk menyembuhkannya secara tuntas diperlukan pula proses yang sepadan.

Apalagi, kalau diingat bahwa struktur kekuasaan pemerintahan Gus Dur sebenarnya masih bertumpu sepenuhnya pada birokrasi lama Orde Baru, baik di tingkat pemerintahan pusat, maupun sampai di daerah-daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan sampai kelurahan). Sesudah jatuhnya Suharto dan Habibi dari pucak pimpinan pemerintahan, birokrasi yang dibangun oleh Orde Baru ini boleh dikatakan masih utuh dan tidak mengalami perobahan yang signifikan (kecuali dihapuskannya Departemen Penerangan dan Sosial dan dipisahkannya Polri dari ABRI). Bagi mereka yang hidup di daerah-daerah, kenyataan ini kelihatan menyolok sekali. Dan, patutlah sama-sama kita ingat bahwa birokrasi Orde Baru ini, yang jumlahnya jutaan pegawai, telah dibangun selama puluhan tahun, melalui cara-cara spesial (contohnya : ketentuan memakai uniform, upacara pemasangan bendera dan appel, penataran Pancasila dan indoktrinasi lainnya, keharusan masuk Korpri dll). Pengamatan teliti tentang soal ini menunjukkan bahwa dengan cara-cara semacam itu, maka terciptalah selama puluhan tahun semacam mono-loyalitas jajaran birokrasi kepada GOLKAR. Mono-loyalitas ini telah dirajut dengan indoktrinasi, intimidasi, paksaan, rayuan, kebohongan politik, dan juga penyalahgunaan agama.

Kerusakan Moral Yang Parah

Dalam rentang waktu yang puluhan tahun, rezim militer Suharto dkk selalu membanggakan pentingnya peran dan dukungan dari jalur ABG (singkatan yang mereka gunakan untuk ABRI, Birokrasi dan Golkar), yang juga merupakan pilar utama Orde Baru. Manunggal-nya ABG inilah yang merupakan mesin kekuasaan raksasa yang telah membunuh kehidupan demokrasi begitu lama di negeri kita, yang menyuburkan korupsi dan kolusi, yang melecehkan hukum, yang menginjak hak asasi manusia dalam skala luas, yang merusak moral bangsa. Ini semua nampak jelas tidak hanya di pusat pemerintahan (Jakarta) saja, melainkan juga sampai di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan kelurahan, di seluruh negeri.

Dari ketinggian sudut pandang yang ini jugalah kita bisa melihat betapa besarnya skala tugas bersama kita untuk memperbaiki moral bangsa. Apalagi, kalau kita renungkan dampak kerusakan-kerusakan itu di bidang pendidikan. Bukan saja sebagian besar generasi muda zaman Orde Baru telah terkontaminasi oleh segala macam racun pola berfikir Orde Baru, melainkan juga mereka menjadi kader-kader, atau tokoh-tokoh muda, yang terseret ke dalam sistem yang bobrok. Seperti yang sudah ditunjukkan dalam sejarah bangsa-bangsa lain di dunia, sistem politik yang bobrok juga akan menciptakan sistem pendidikan yang tidak baik. Masuk nalar jugalah kiranya bahwa gabungan sistem politik yang bobrok dan sistem pendidikan yang bobrok, dengan sendirinya, akan menghasilkan juga manusia-manusia yang tidak unggul kualitasnya. Dan inilah yang sedang kita saksikan dewasa ini di mana-mana di negeri kita, dengan keprihatinan yang pedih sekali.

Marilah sama-sama kita renungkan yang berikut ini : selama zaman Orde Baru, jiwa asli Pancasila telah dikebiri sehingga dianggap gombal busuk oleh banyak orang; penciptanya (Bung Karno) malah dicap pengkhianat bangsa dan rakyat; kata gotong-royong sudah dijadikan barang yang asing; patriotisme sudah hilang artinya; pengertian revolusi dan revolusioner dijadikan tabu; semboyan mengabdi kepada rakyat dijadikan cemooh; kata reaksioner dicurigai dan buruh diganti dengan karyawan. Pendidikan budi-pekerti tentang nilai kejujuran dan kesederhaan telah dimatikan. Perlombaan pamer yang serba gebyar muncul di mana-mana tanpa mempedulikan kesengsaraan hidup rakyat. Itu semua adalah logis, sebab Orde Baru adalah pada dasarnya, atau secara hakekatnya, adalah anti-rakyat (tarohlah, supaya kedengaran lebih lunak: tidak peduli kepada rakyat).

Reformasi Adalah Pekerjaan Raksasa

Inti tujuan gerakan reformasi adalah memperbaiki kerusakan-kerusakan yang sudah diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berbau Orde Baru. Tetapi, ini hanya bisa dilaksanakan kalau pola berfikir, kebiasaan, atau praktek-praktek Orde Baru bisa kita bongkar sampai ke akar-akarnya. Reformasi tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sisa-sisa pola berfikir rezim militer Suharto dkk. Jelasnya lagi, reformasi tidak akan bisa dilaksanakan oleh, atau bersama-sama, dengan oknum-oknum yang masih tetap terus menggembol semangat atau jiwa Orde Baru. Adalah omong-kosong belaka, dan adalah nol besar, kalau ada pendukung setia Orde Baru yang berbicara soal pentingnya reformasi. Titik.

Dengan mengamati tingkah-laku berbagai kalangan di beraneka-ragam sektor masyarakat, baik di Pusat (antara lain, dan termasuk di DPR) maupun di daerah-daerah, maka jelaslah bahwa sisa-sisa pola berfikir Orde Baru masih bercokol dalam kepala banyak tokoh-tokoh, sampai sekarang!. Dari sinilah justru kelihatan betapa besarnya, dan juga sulitnya, usaha bersama untuk meng-goal-kan reformasi. Padahal, reformasi adalah syarat mutlak untuk bisa diselesaikannya problem-problem besar dan parah yang diwariskan oleh sistem politik Orde Baru. Tanpa reformasi, tidak mungkin problem-problem yang sudah menggunung itu bisa dipecahkan. Dan, berikut inilah yang mungkin patut kita renungkan bersama : reformasi yang terpenting adalah reformasi mental, atau reformasi cara berfikir, atau juga reformasi moral, atau reformasi budi-pekerti, yang sudah begitu rusak itu. Dan karena kerusakan budi-pekerti itu sudah sangat lama, mendalam dan meluas, maka tidak akan mudah untuk memperbaikinya, apalagi dalam waktu singkat. Reformasi budi-pekerti ini memerlukan waktu yang relatif panjang, dilakukan bersama-sama secara besar-besaran, dan terus-menerus.

Sepuluh Gus Dur Atau Seratus Mega

Seandainya kita mau meng-inventarisasi problem-problem di berbagai bidang yang harus diselesaikan oleh bangsa kita, maka mungkin beberapa puluh halaman tidak akan cukup untuk memuatnya. Untuk pekerjaan raksasa ini, seyogyanyalah kalau kita tidak menggantungkan harapan kita akan terlaksananya reformasi hanya dan melulu kepada peran Gus Dur atau Megawati saja. Sebab, 10 Gus Gus Dur atau seratus Megawati, tidak mungkin menyelesaikannya sendirian, dalam waktu singkat, dan dengan aparat birokrasi yang masih diracuni oleh mental Orde Baru. Di samping itu, masih saja ada golongan-golongan dalam masyarakat yang terus mengidap penyakit yang pernah disebarkan selama puluhan tahun oleh Orde Baru,

Oleh karena itu pulalah, perlu kita buang ilusi bahwa dengan Amin Rais atau Akbar Tanjung (atau tokoh-tokoh lainnya), reformasi akan bisa jalan lebih baik. Bahkan, dengan 500 Amin Rais pun reformasi bisa malahan melenceng kesasar ke-arah yang salah, dan menuju jurang kegagalan. Apalagi, dengan Akbar Tanjung! Dengan 1000 Akbar Tanjung, reformasi bahkan bisa berbalik arah dengan kecepatan tinggi, artinya : kembali menuju masa gelap Orde Baru. Dan, kalau sudah begitu, maka celaka dua kalilah bangsa kita. Sebab, pengalaman sudah membuktikan, dan dengan pahit pula, bahwa GOLKAR tidak dapat diharapkan untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Bahkan, kebalikannya!!! Titik.

Perjuangan untuk reformasi adalah urusan seluruh bangsa. Dan rakyatlah yang paling membutuhkannya, demi kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang sekarang, mau pun bagi yang akan datang. Kalangan atas - dari jenis aliran politik yang mana pun - mungkin saja kurang membutuhkannya, dan karenanya kurang jugalah tekad dan keteguhan untuk memperjuangkannya. Sebab, umumnya mereka sudah mapan, dalam situasi yang bagaimanapun juga (kecuali ribut-ribut dan hiruk-pikuk antar-elite dalam memperebutkan kedudukan dan pembagian rezeki). Apa yang kita saksikan dalam DPR dewasa ini adalah hanya secuwil dari kenyataan keruh yang sesungguhnya. Reformasi yang sungguh-sungguh mengandung syarat-syarat untuk dilaksanakannya demokrasi sepenuhnya, ditegakkanya hukum dan keadilan, dijunjungtingginya hak asasi manusia. Itu semua tidak akan menguntungkan maling-maling besar berdasi, dan juga akan lebih menyempitkan lagi ruang gerak bagi para reformis gadungan serta parasit bangsa lainnya, dalam segala jenisnya.

Gerakan Revolusioner Untuk Menuntaskan Reformasi

Sekarang terdengar suara ribut-ribut yang menuntut mundurnya Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden. Tetapi, banyak orang meragukan, apakah kalau diganti dengan orang lain, ada jaminan bahwa banyak soal akan menjadi lebih baik. Atau, apakah reformasi kemudian bisa dituntaskan? Dan orang pun bertanya-tanya siapakah gerangan yang bisa menyelesaikan begitu banyak soal besar dan gawat, yang sebagian terbesar adalah peninggalan Orde Baru itu. Baiklah sama-sama kita ingat bahwa pengertian reformasi adalah : merobah, atau merombak, atau membangun kembali, atau menyusun kembali.

Kalau diteliti benar-benar, dan dengan menyimak latar-belakang sejarah sebelum dan sesudah lahirnya Orde Baru, maka nyatalah bahwa friksi, konflik atau kontradiksi, yang dewasa ini muncul dalam berbagai bentuk dan di beraneka-ragam bidang, adalah tetap merupakan pertentangan antara kekuatan pro-rakyat melawan kekuatan anti-rakyat. Dengan kalimat lain, antara kekuatan pro-reformasi dan pro-status quo (baca: kekuatan pro-Orde Baru, dalam segala bentuknya dan kadar kekentalannya).

Karena reformasi adalah urusan bersama rakyat dan bangsa, dan karena reformasi tidak bisa - dan tidak boleh - diserahkan semata-mata dan mentah-mentah di tangan kaum atasan saja, maka agaknya sudah benarlah sikap berbagai organisasi dalam masyarakat (gerakan pemuda, mahasiswa, LSM, yayasan dll) untuk menjadikan tuntutan reformasi sebagai salah satu kegiatan utama mereka. Ketika dari pemerintah, dari lembaga-lembaga resmi, dari DPR dan DPRD dll tidak bisa lagi diharapkan adanya kesungguhan mereka untuk memperjuangkan reformasi, maka bendera perjuangan ini harus direbut oleh gerakan massa yang luas.

Hasil gerakan reformasi, yang pernah dikobarkan beberapa tahun oleh perjuangan mahasiswa, (sehingga Suharto dan Habibi tumbang), sekarang mulai diserobot dan diperebutkan oleh tokoh-tokoh reformis gadungan. Di tangan politisi dan tokoh-tokoh masyarakat semacam mereka itulah gerakan reformasi sudah mulai dibelok-belokkan arahnya. Bukan ke arah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan parah yang sudah ditimbulkan Orde Baru, dan bukan pula untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak, tetapi untuk tujuan sempit yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing.

Di tengah-tengah kekelaman kabut yang menyelimuti agenda gelap para reformis gadungan inilah reformasi menghadapi bahaya kemacetan atau kehancuran. Oleh karena itu, sudah waktunyalah kiranya bagi gerakan massa extra-parlementer, yang luas dan besar-besaran, yang lintas-aliran politik, yang lintas-agama dan lintas-suku, untuk lebih menggalakkan lagi aksi-aksinya. Gerakan reformasi extra-parlementer yang luas dan besar-besaran ini harus bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak, dan menjaga persatuan bangsa. Gerakan revolusioner reformasi ini adalah gerakan politik yang sekaligus juga gerakan moral, untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Artinya, suatu perjuangan bersama demi kepentingan kita semua, sebagai sesama warnegara, dan sebagai sesama Manusia.