08 Desember 2005 — 10 menit baca

Generasi Orde Baru adalah generasi busuk bangsa

Melihat pembusukan yang sudah amat parah sebagai akibat korupsi dan menggunungnya kesulitan-kesulitan besar di banyak bidang politik, ekonomi, sosial - dan moral !!! – yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini, maka kita bisa bertanya-tanya apakah kita masih patut merasa bangga menjadi bangsa Indonesia ? Dan apa sajakah yang masih bisa atau pantas dibanggakan oleh Republik Indonesia sekarang ini? Apakah kita sekarang ini tidak malu sebagai orang Indonesia ?

Kalau mau bersikap jujur terhadap diri kita masing-masing, maka, sungguh, itu semua merupakan pertanyaan yang tidak mudah kita jawab. Untuk itu kita patut merenungkan bersama-sama, berbagai soal yang dihadapi rakyat kita di masa yang lalu, di masa kini dan di masa depan.

Negara kita sekarang ini sudah terkenal di dunia sebagai negara yang paling terkorup tetapi yang paling sedikit koruptornya yang ditangkap. Indonesia sudah juga - sejak puluhan tahun ! - terkenal di dunia sebagai negara di mana pernah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah, tetapi tidak seorang pun di antara pembunuhnya dituntut atau diadili (!!!). Republik Indonesia juga dikenal oleh berbagai organisasi internasional sebagai negara yang tidak menghargai Hak Asasi Manusia. Para korban 65 dan para eks-tapol beserta keluarga dan sanak-saudara mereka masih juga belum mendapat perlakuan yang adil, walaupun 40 tahun sudah berlalu sejak rejim militer Suharto melakukan berbagai kebiadaban yang keterlaluan itu. Sementara itu, Indonesia juga sudah terkenal di dunia sebagai negara di mana terorisme, yang menyalahgunakan nama Islam, beroperasi secara aktif.

Sesudah jatuhnya Suharto sebagai presiden tahun 1998, dan kemudian digantikan berturut-turut oleh Habibi, Gus Dur, Megawati dan sekarang SBY-Jusuf Kalla, keadaan politik, ekonomi dan sosial negeri kita tidak mengalami perobahan besar atau tidak meraih perbaikan fundamental bagi kehidupan rakyat banyak, yang merupakan 90 % penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 230 juta orang. Bahkan sebaliknya, banyak tanda-tanda yang menunjukkan, bahwa keadaan pada umumnya malahan merosot atau mundur, kalau pun tidak dikatakan mandeg. Yang menyedihkan sekali, ialah tidak adanya perspektif - dalam jangka dekat - tentang akan terjadinya perbaikan yang radikal bagi kehidupan sebagian besar rakyat. Setahun lagi, lima tahun lagi, lima belas tahun lagi ?

Pengangguran Dan Orang Miskin

Kalau melihat banyaknya persoalan-persoalan rumit yang tak kunjung bisa diselesaikan, ditambah lagi dengan menumpuknya kesulitan-kesulitan baru, maka masuk akallah kalau ada orang yang sudah putus asa terhadap hari kemudian bangsa. Sebab, hutang luar negeri kita yang sebesar sekitar US$ 150 miliar masih terus merupakan beban berat bagi seluruh rakyat. Inflasi yang sekarang sekitar 17% diperkirakan akan melebihi 18% di akhir tahun (Republika, 18/11/2005). Karena naiknya harga BBM banyak UKM (Usaha Kecil Menengah) yang terpaksa tutup atau menciutkan usaha. Sebagai akibatnya, pengangguran terbuka yang sudah besar, makin membengkak terus.

Dengan terjadinya banyak PHK di industri tekstil, alas kaki dan makanan, maka pengangguran setengah terbuka pun melonjak, sehingga pengangguran seluruhnya menjadi sekitar 30 juta dari seluruh angkatan kerja yang sebesar 107 juta orang. Jumlah pengangguran di Indonesia dewasa ini sudah merupakan ancaman yang nyata bagi stabilitas politik dan keamanan. Pengangguran di kalangan generasi muda membikin meluasnya frustasi juga di kalangan orang tua mereka.

Karena itu, jumlah orang miskin kota dan pedesaan yang sudah besar itu, juga tidak makin berkurang dalam jangka waktu dekat, dan bahkan sebaliknya. Tayangan televisi (dan berita dalam pers) di masa lalu tentang penderitaan banyak ibu-ibu tua ketika berebutan antri - ada yang tewas atau pingsan-pingsan - untuk menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar RP 300.000 selama 3 bulan membuka mata banyak orang tentang keadaan sebenarnya bangsa kita. Sungguh menyedihkan! Dan sangat memalukan !!!

Sebagian Terbesar Rakyat Menderita, Tetapi

Boleh dikatakan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia tahu bahwa kehidupan sehari-hari memang sulit . « Harga beras saja sudah Rp 3.000 per liter, harga minyak saja sudah Rp 3.000 per liter, harga telur sudah 10.000 per kilogram. Sementara dana kompensasi dalam satu bulan itu hanya Rp 100 ribu, jadi satu hari hanya Rp 3.300. Bagaimana sekeluarga bisa cukup dengan dana itu? » , begitu tanya sebuah tulisan dalam Bali Post (21 November 2005).

Namun, kehidupan sebagian terbesar rakyat yang amat menyedihkan ini kelihatannya tidak dipedulikan sama sekali oleh banyak tokoh-tokoh di pemerintahan, di partai-partai politik, di lembaga-lembaga sipil dan militer. Contohnya, yang bisa menyakitkan hati banyak orang, ialah hiruk pikuk tentang usaha di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menaikkan dana operasional dengan Rp 15 juta sehingga pendapatan mereka per bulan menjadi Rp 30 juta per orang. Mereka mengusulkan kenaikan gaji yang keterlaluan ini ketika kemiskinan melanda rakyat di 199 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal (Media Indonesia, 15/7/2005).

Di samping itu, dalam pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dalam rangka otonomi daerah di banyak DPRD terjadi juga “desentralisasi korupsi”. Korupsi besar dan kecil, dewasi ini - dan sejak lama - merupakan penyakit yang parah di daerah. “Korupsi terbesar di Indonesia tahun 2004 dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disusul kepala daerah, aparat pemerintah daerah, direktur badan usaha milik daerah, serta pimpinan proyek. Dari 432 kasus korupsi yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia sepanjang tahun 2004, sebagian besar dilakukan oleh DPRD. Demikian catatan Indonesia Corruption Watch.(Kompas, 18/2/2005)

Generasi Orde Baru Adalah Generasi Busuk

Jadi, korupsi (atau, dalam bahasa lugunya : pencurian oleh maling-maling), tidak hanya banyak terjadi di Jakarta saja, melainkan juga sudah melanda di daerah-daerah secara parah. Ini berarti, bahwa di negara kita memang sedang berkuasa banyak pejabat yang menjadi penjahat, yang menyelinap di berbagai bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Dan kalau kita teliti benar-benar riwayat hidup mereka, maka akan nyatalah bahwa kebanyakan koruptor yang merajalela di Jakarta dan daerah-daerah ini, adalah - pada umumnya - ketika masa Orde Baru orang-orangnya Golkar atau pendukung rejimnya Suharto. Dan (harap dicatat dengan huruf besar-besar), kebanyakan koruptor ini adalah orang-orang terkemuka yang umumnya sudah kaya-raya. Jadi mereka melakukan korupsi bukan karena kebutuhan hidup sehari-hari yang mendesak. Melainkan, karena ketamakan atau kerakusan, yang bersumber pada rendahnya moral atau buruknya akhlak.

Sejarah Orde Baru sudah membuktikan bahwa moral atau mentalitas para tokoh pendukung utamanya (walau pun tidak semuanya !) tidaklah bisa digolongkan luhur dalam menghadapi kepentingan rakyat dan negara. Seperti sudah disaksikan oleh banyak orang selama ini, sistem politik dan pemerintahan Orde Baru ( yang intinya adalah golongan TNI-AD dan Golkar) bukan hanya represif atau otoriter saja tetapi juga korup. Sebagai akibat berbagai kejahatan, kemaksiatan dan pelanggaran yang dilakukan selama lebih dari 32 tahun, bolehlah kiranya dikatakan bahwa « generasi Orde Baru » adalah satu generasi bangsa Indonesia (sudah tentu saja, tidak seluruhnya!) yang paling busuk dalam sejarah bangsa. Generasi Orde Baru telah merusak apa saja yang luhur dari bangsa Indonesia dan juga apa saja yang terbaik dari Republik Proklamasi 45. Ini sudah dibuktikan di masa lalu, di masa kini ini, dan juga akan lebih gamblang lagi di masa yang akan datang.

Dalam menghadapi banyaknya masalah-masalah besar bangsa dan merosotnya moral bangsa dewasa ini, terasa sekali kebutuhan adanya tokoh besar bangsa, yang bisa menjadi panutan sebagian terbesar rakyat, yang berwibawa, yang memiliki integritas yang tinggi, yang betul-betul bisa mempersatukan seluruh bangsa yang bersifat majemuk. Kita memerlukan adanya kepemimpinan yang berbobot, yang betul-betul mampu melaksanakan Bhinneka Tunggal Ika dalam praktek kehidupan bangsa, yang bisa memupuk moral bangsa untuk mencintai demokrasi, toleransi dan perikemanusiaan dan keadilan.

Kekosongan Pedoman Moral Bangsa

Sejak Suharto berhasil menggulingkan Bung Karno dan menghancurkan kekuatan pendukungnya yang utama, yaitu PKI beserta golongan kiri lainnya, bangsa Indonesia telah kehilangan seorang pemimpin rakyat yang besar. Sejak itu, sampai sekarang, belum muncul tokoh bangsa yang sekaliber Bung Karno. Kita tidak bisa tahu sekarang, apakah bangsa Indonesia nantinya bisa mempunyai pemimpin yang baik ketokohannya maupun integritas politik dan moralnya bisa menyamai Bung Karno. Yang sudah bisa dikatakan dengan tegas ialah bahwa pemimpin yang semacam itu tidak mungkin muncul dari kalangan Golkar, suatu kekuatan politik pendukung rejim militer Suharto yang menggulingkan Bung Karno.

Dalam buku sejarah bangsa Indonesia perlu dicatat bahwa kesalahan yang paling besar yang pernah dilakukan oleh Suharto dkk (artinya pimpinan TNI-AD, pada waktu itu, yang bersekongkol dengan kekuatan nekolim yang dikepalai AS) adalah pembunuhan secara politik (dan kemundian juga secara fisik) terhadap Bung Karno dan penghancuran kekuatan golongan kiri, termasuk PKI. Kalau direnungkan dalam-dalam, maka nyatalah bahwa digulingkannya Bung Karno dan dihancurkannya kekuatan kiri telah menyebabkan terjadinya kekosongan pedoman moral bangsa. Patutlah kiranya dikatakan, dengan jelas-jelas, bahwa Orde Baru selama lebih dari 32 tahun sama sekali tidak memupuk moral bangsa ke arah yang baik.

Apa yang dialami bangsa Indonesia selama Orde Baru berkuasa (yang sebagian masih diteruskan sampai sekarang) ialah indoktrinasi reaksioner dan anti-rakyat, pemalsuan sejarah, pengebirian atau pemelacuran Pancasila, dan pelecehan HAM. Dalam buku sejarah yang akan dibaca oleh anak-cucu kita di kemudian hari perlu juga dicatat bahwa karena Orde Barulah maka bangsa Indonesia menghadapi pembusukan moral dan kebejatan iman secara parah dan besar-besaran, seperti yang bisa kita saksikan sekarang ini di mana-mana di negeri kita.

Dan karena pembusukan moral dan kebejatan iman ini sudah begitu parah, dan sudah meluas ke mana-mana, maka wajarlah bahwa Presiden SBY menyatakan bahwa Indonesia memerlukan waktu sekitar 15 tahun untuk menciptakan kehidupan yang bersih dari praktek-praktek korupsi. Bahkan, kalau melihat terjadinya pembusukan-pembusukan di Mahkamah Agung, di Kejaksaan Agung, di Mabes Polri, dan berbagai instansi negara lainnya, maka dalam 15 tahun pun masih belum pasti berhasil memberantas korupsi.

Perlu Adanya Gerakan Besar-Besaran

Untuk menghadapi pembusukan moral dan kebejatan iman ini, yang merupakan sumber utama dari segala kesulitan dan masalah-masalah parah – termasuk korupsi – diperlukan adanya gerakan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa kita. Kita tidak boleh hanya mempercayakan penanganan soal pemberantasan korupsi yang begitu serius ini hanya kepada tokoh-tokoh di eksekutif, legislatif dan judikatif saja (atau, kepada aparat-aparat negara saja) karena sudah terbukti selama ini bahwa justru mereka pun harus dijadikan sasaran gerakan. Dalam gerakan ini perlu diikutsertakan sebanyak mungkin golongan atau kalangan dalam masyarakat, baik yang tergabung dalam partai-partai politik, organisasi massa, LSM maupun perkumpulan-perkumpulan lainnya.

Dalam gerakan besar-besaran melawan korupsi ini, penting sekali ikut sertanya secara aktif kalangan Islam, karena mereka merupakan majoritas penduduk Indonesia. Di masa yang lalu sebagian dari kalangan agama Islam ini sudah mengambil tindakan-tindakan positif ke arah ini, antara lain : sejumlah ulama NU pernah mengeluarkan fatwa yang cukup keras terhadap para koruptor (kalau koruptor mati jenazahnya tidak perlu disembahyangkan). Sayang sekali, orang mendapat kesan bahwa selama ini kalangan Islam dalam masyarakat masih belum menunjukkan gebrakannya yang “all-out” (sekuat-kuatnya) dalam melawan kejahatan besar yang bernama korupsi ini.

Dalam gerakan moral melawan korupsi ini akan baik bagi rakyat Indonesia kalau golongan Islam lebih menggalakkan gerakannya, umpamanya dengan menjadikan perlawanan terhadap korupsi sebagai jihad. Dengan begitu, sasaran gerakan moral ini menjadi lebih jelas, manfaatnya juga besar sekali. Sebab, tidak dapat diingkari, bahwa sebagian terbesar dari orang-orang yang melakukan korupsi adalah justru pemeluk agama Islam. Banyak di antara koruptor-koruptor kelas kakap ini yang - yang tidak malu-malu dan juga tidak takut-takut - mengucapkan sumpah jabatan di bawah Alqur’an. Banyak juga di antara mereka yang rajin sembahyang lima waktu, berpuasa, dan juga pergi naik haji ke Mekah..

Hal-hal yang tersebut di atas adalah sejumlah bahan pemikiran, untuk mencoba memandang (dari satu sudut pandang) salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa kita sekarang ini, yaitu kemerosotan moral atau kebejatan iman di kalangan Generasi Orde Baru, dihubungkan dengan masalah korupsi yang merupakan penyakit parah sekali bangsa kita dewasa ini.