07 Februari 2001 — 14 menit baca

Front rakyat anti-Orba dan anti-korupsi perlu digalakkan

Kalau kita amati dengan cermat perkembangan situasi politik, ekonomi dan sosial negeri kita akhir-akhir ini, maka kiranya makin jelaslah bahwa apa pun yang akan terjadi, satu hal yang amat penting untuk diusahakan oleh seluruh kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi, adalah penggalangan front rakyat yang seluas-luasnya, untuk membasmi sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Tidak peduli apakah Gus Dur akan tetap terus memegang kedudukannya sebagai presiden atau tidak, front rakyat anti-Orde Baru dan anti-KKN ini tetap sangat perlu untuk dibangun terus bersama-sama.

Front rakyat pro-demokrasi dan pro-reformasi yang kuat dan luas adalah satu-satunya benteng untuk membela kepentingan rakyat banyak, untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari perpecahan dan pembusukan, dan untuk terus melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Sebab, banyak bukti yang menunjukkan dengan jelas bahwa setelah jatuhnya rezim Suharto dkk, masih terlalu banyak kerusakan-kerusakan besar di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif, yang telah dibikin Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, belum bisa ditangani. Seperti yang bisa disaksikan di seluruh negeri, baik di Pusat dan (apalagi!!!) di daerah-daerah, masih terlalu banyak berbagai borok-borok busuk yang belum bisa di berantas. Bahwa, sekarang ini, reformasi berbagai bidang sudah macet tidak hanya bisa dilihat di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah.

Bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah, baik yang di pulau Jawa maupun luar Jawa, dapat menyaksikan sendiri sehari-hari betapa banyaknya gejala-gejala yang menunjukkan bahwa kebiasaan, praktek atau cara berfikir Orde Baru yang sudah “membudaya” selama lebih dari 30 tahun, masih tetap berlangsung. Ini bisa dilihat dalam praktek-praktek yang terjadi di kalangan pemerintahan propinsi, kabupaten bahkan juga kecamatan. Juga dalam praktek-praktek yang terjadi di kantor-kantor berbagai jawatan, antara lain: Pengadilan, Kejaksaan, atau kepolisian. Berita-berita atau tulisan-tulisan yang dimuat dalam koran-koran daerah, mencerminkan itu semuanya.

Kekuatan Pro Gus Dur Melawan Kebudayaan Orba

Memang, dengan lengsernya Suharto sebagai presiden, sudah kelihatan adanya perobahan di sana-sini, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Kekebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi telah muncul. Kodam, Korem, Kodim, Babinsa dan “intel” sudah tidak bisa lagi (sepenuhnya!) memainkan terus praktek-praktek negatif seperti yang terjadi selama Orde Baru. Seperti halnya di tingkat nasional, institusi perwakilan (DPRD) juga mengalami perobahan-perobahan dalam komposisi atau jumlah kursinya. Di berbagai daerah, GOLKAR yang selama puluhan tahun telah “mencaplok” - dengan cara-cara tidak sah bahkan kotor - suara 70 sampai 90% mengalami kemorosotan yang luar biasa. Demikian juga PPP, partai yang “mewakili” ummat Islam dan berkolaborasi dengan Orde Baru selama puluhan tahun.

Tetapi, pengalaman selama pemerintahan Habibie (dan juga selama pemerintahan Gus Dur-Mega) menunjukkan bahwa lengsernya Suharto bukanlah berarti juga secara otomatis longsornya kekuatan atau “kebudayaan” Orde Baru. Kekuatan atau “kebudayaan” Orde Baru ini telah dibangun dalam jangka yang lama sekali, dan dengan menggunakan berbagai cara dan bentuk, secara sistematis dan menyeluruh, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan “pendidikan”. Sebagian besar dari persoalan-persoalan rumit yang sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini adalah –secara langsung atau tidak langsung – adalah produk atau akibat “kebudayaan” Orde Bari itu. Persoalan-persoalan rumit ini tidak hanya yang berskala nasional dan terdapat di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah .

Dari sudut pandang ini pulalah kita perlu melihat latar-belakang terjadinya segala gejolak politik dan hiruk-pikuk perdebatan dewasa ini, yang, antara lain (!), berbentuk kasus Pansus Buloggate atau Bruneigate dan SI MPR. Secara garis besar, bisalah kiranya dikatakan bahwa hakekat pertentangan antara kekuatan pro-Gus Dur dan kekuatan anti Gus Dur adalah: pertentangan antara kekuatan pro- Gus Dur melawan kekuatan sisa-sisa “kebudayaan” Orde Baru. Dalam pengertian lain, perjoangan Gus Dur dkk adalah bagian dari perjuangan kita bersama untuk memenangkan reformasi. Barangkali, sekarang ini, hakekat inilah yang perlu kita cengkam sebagai pedoman, ketika pergolakan politik kelihatan makin ruwet dan membingungkan disebabkan oleh permainan akrobatik berbagai macam “tokoh politik” anti-reformasi yang mengenakan berbagai kedok.

Kerusakan Kerusakan Besar Oleh Orde Baru

Bangsa dan negara kita dewasa ini sedang menghadapi tugas yang amat bersejarah, yaitu membangunnya kembali dari kerusakan-kerusakan besar dan parah yang diwariskan Orde Baru di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan moral yang berkaitan erat pula dengan kerusakan-kerusakan di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Kerusakan-kerusakan atau kebobrokan inilah yang harus di-reformasi. Dalam hal ini, pengertian “reformasi” adalah jelas, yaitu: mengubah, atau membentuk kembali, atau memperbaiki, atau bahkan membuang bagian-bagian tertentu untuk digantikan dengan yang baru. Dan karena kerusakan-kerusakan itu amat besar dan meliputi bidang-bidang yang luas, maka pekerjaan ini tidak mudah.

Sebab, dalam sejarah dunia modern, rezim militer Orde Baru adalah merupakan salah satu di antara sistem pemerintahan yang luarbiasa jenisnya. Rezim ini dibangun dengan pembantaian terhadap jutaan orang yang tidak berdosa dalam tahun 1965, merampas kemerdekaan (memenjarakan) ratusan ribu orang lainnya dalam masa yang panjang sekali, menyengsarakan puluhan juta anggota keluarga para korban selama puluhan tahun. Para pembangun rezim ini pulalah yang telah melancarkan kudeta terhadap pejoang kemerdekaan dan pemimpin bangsa, Bung Karno, dengan cara-cara yang licik dan dasar moral atau pandangan yang nista (Harap baca tentang hal ini, buku-buku yang diterbitkan oleh Omar Dani, Subandrio, Kol. A. Latief, Tumakaka, Oei Tjoe Tat SH dll dll).

Kalau difikir dalam-dalam, dan dengan mempertimbangkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai keseluruhan, maka jelaslah kiranya bahwa dengan menjadikan Bung Karno (beserta ajaran-ajarannya) sebagai “musuh” , Orde Baru telah menghancurkan “caracter and nation building” rakyat Indonesia, mematikan jiwa kerakyatan dan semangat gotong-royong, melumpuhkan kesedaran persatuan dan kesatuan bangsa. Adalah menyedihkan bahwa karena “permusuhannya” terhadap Bung Karno itu, maka sejarah revolusioner dan kerakyatan bangsa Indonesia telah dikebiri selama 30 tahun. Sebagai salah satu di antara akibatnya yang parah, selama pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia kehilangan jati-diri dan juga panutan bangsa.

Bung Karno telah digulingkan oleh pimpinan TNI-AD (waktu itu) karena sikap beliau yang tidak mau memusuhi PKI, atau karena konsep-konsep politik beliau tentang Nasakom dan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Sikap politik “kiri” yang dianut Bung Karno sejak mudanya inilah, yang, kemudian, dalam konteks sejarah “perang dingin” yang berlangsung dalam tahun 60-an, telah dimusuhi pimpinan TNI-AD beserta sekutu-sekutunya, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Karena berhasilnya dilumpuhkannya kekuatan yang mendukung politik Bung Karno (termasuk kekuatan PKI) inilah maka Orde Baru bisa berdiri selama 30 tahun dan melakukan kerusakan-kerusakan besar dan parah di berbagai bidang. Dipandang dari segi ini, dosa sejarah Orde Baru adalah amat besar terhadap rakyat. Dan untuk itu, para tokoh pembangun dan penggerak Orde Baru haruslah dimintai pertanggungan-jawab yang setimpal. Mereka itu adalah para tokoh utama di GOLKAR dan sebagian pimpinan TNI-AD, beserta sekutu-sekutunya (antara lain: sebagian tokoh-tokoh Islam dan para konglomerat hitam pendukung Orde Baru).

Reformasi Berarti Menghancurkan Kebudayaan Orde Baru

Sepintas lalu, anak judul di atas mungkin terdengar seperti slogan sembarangan, atau ungkapan yang bersifat provokasi rendahan, atau cara berfikir yang tidak demokratis. Tetapi, kalau pengkajian tentang masalahnya kita dasarkan kepada sejarah Orde Baru, maka akan jelaslah bahwa rumusan itu adalah tepat. Sebab, selama ini slogan kata-kata reformasi telah menjadi buah-bibir di mana-mana setiap hari, dan juga dalam tulisan atau pidato-pidato, tanpa pengertian yang jelas tentang apa yang perlu di-reformasi atau apa saja yang harus jadi sasaran perjuangan. Begitu kaburnya batas-batas dan tujuan reformasi, sehingga berbagai macam tokoh reformis gadungan bisa naik pentas dengan mengibarkan panji palsu “reformasi”, termasuk tokoh-tokoh utama GOLKAR dan sebagian pimpinan militer (baik yang mantan maupun yang masih aktif).

Oleh karena itu, agaknya perlu sekali terus-menerus, artinya berulang-ulang, kita ingat bersama (dan memberi peringatan kepada yang lain) bahwa yang perlu di-reformasi adalah segala produk buruk dan sistem politik atau kebudayaan Orde Baru, yang telah membikin berbagai kebobrokan di banyak bidang (politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, moral). Kebudayaan buruk ini pulalah yang telah merusak atau membusukkan bidang eksekutif, legislatif, judikatif, sehingga korupsi besar-besaran merajalela dari tingkat yang paling atas sampai yang paling bawah. Kebudayaan Orde Baru adalah identik dengan kemerosotan moral, pelecehan hak asasi manusia, pembunuhan demokrasi, penginjak-injakan hukum dan keadilan, penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri secara tidak sah, diremehkannya kepentingan rakyat, dipalsukannya sejarah tentang peristiwa 65, pembentukan mafia kekuasaan yang didominasi oleh TNI-AD dan Golkar.

Kebudayaan Orde Baru ini jugalah yang telah membusukkan dan merusak sistem peradilan, sehingga hukum dan keadilan tidak dihormati karena hakim dan jaksa dapat dibeli. Begitu hebatnya kerusakan sistem peradilan negeri kita ini sehingga penjahat-penjahat besar dan pejabat-pejabat tinggi yang menjadi maling-maling kelas kakap selama puluhan tahun Orde Baru masih saja, sampai sekarang, berlenggang-kangkung secara leluasa, dan bahkan masih terus ikut membikin berbagai keonaran politik atau kerusuhan sosial dan ekonomi. Bahwa Bob Hassan, yang telah menggunduli jutaan hektar hutan atau menumpuk kekayaan dengan cara-cara “aneh”, hanya mendapat hukuman 2 tahun adalah perwujudan tentang buruknya wajah sistem peradilan kita.

Sekarang ini, sebagian besar produk busuk atau kebiasaan negatif kebudayaan Orde Baru itu masih terus dihadapi oleh rakyat kita, sebagai warisan yang masih belum bisa kita buang atau kita brantas.. Dan itu semua adalah sasaran gerakan reformasi kita. Oleh karena kebudayaan buruk Orde Baru ini masih terus diusahakan oleh sebagian golongan atau kalangan untuk berlangsung terus, maka berarti bahwa kekuatan pro-reformasi mempunyai tugas yang mulia untuk menghancurkan golongan pro-Orde Baru itu. Sebab, singkatnya dan padatnya : reformasi tidak mungkin jalan tanpa menghancurkan kekuatan golongan pro-Orde Baru. Artinya, adalah omongkosong besar untuk bisa memberantas KKN tanpa menghancurkan kekuatan golongan pro-Orde Baru, dan ilusi juga sajalah untuk bisa menegakkan hukum tanpa menghancurkan kekuatan golongan pro-Orde Baru.

Dan, kekuatan pro-Orde Baru ini, seperti yang sudah ditunjukkan oleh pengalaman selama 30 tahun, sekarang ini terdiri dari: tokoh-tokoh utama Golkar, sebagian tokoh Islam dan sebagian pimpinan TNI-AD, dengan sokongan konglomerat hitam. Mereka ini, sekarang, banyak yang mengenakan topeng cantik untuk bisa main di atas pentas sebagai “reformis” (artinya: gadungan), supaya masih terus melanjutkn peran busuk mereka atau hanya untuk menyelamatkan diri mereka dari pengusutan atas dosa-dosa dan kejahatan mereka terhadap rakyat dan negara. Serentetan peristiwa akhir-akhir ini (antara lain : kasus memorandum DPR kepada Gus Dur dan ancaman SI MPR) menunjukkan bahwa kekuatan pro-Orde Baru yang beraliansi dengan berbagai golongan anti-Gus Dur, sedang berusaha untuk melengserkan Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden. Tujuan mereka adalah untuk mengganti pemerintahan Gus Dur-Mega dengan pemerintahan lainnya yang lebih mengutungkan kepentingan mereka.

Pada umumnya, mereka ini adalah orang-orang atau golongan yang pernah mendapat keuntungan sebesar-besarnya selama Orde Baru, atau memperkaya diri dengan cara-cara yang haram, tidak sah atau melanggar hukum atau tidak bermoral. Hebatnya, justru mereka itu pulalah yang sekarang berteriak-teriak setinggi langit tentang korupsi di lingkungan dekat Gus Dur, dengan tujuan untuk mengganti pemerintahan dan menutup-nutupi kasus-kasus korupsi raksasa mereka di masa lalu yang ratusan bahkan ribuan kali berlipat ganda besarnya..

Front Rakyat Anti Kkn Dan Anti Orde Baru

Agaknya, makin banyaklah golongan dalam masyarakat kita yang sekarang ini melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam kepentingan rakyat dengan adanya berbagai kegiatan kekuatan pro-Orde Baru yang beraliansi dengan kekuatan anti-Gus Dur. Banyak sekali LSM dan berbagai ornop (organisasi non-pemerintah) yang telah mengeluarkan pernyataan bersama untuk menyuarakan kesatuan sikap dan tekad mereka tentang pentingnya meneruskan reformasi secara total dan juga tentang bahaya permunculan kembali Orde Baru dalam kekuasaan politik (harap baca, antara lain, pernyataan 51 LSM, dalam tulisan terdahulu). Di antara aksi-aksi oleh masyarakat untuk membela kelangsungan reformasi secara total ini adalah gerakan pemuda dan mahasiswa.yang dilancarkan di berbagai kota besar. Di antara aksi-aksi para pemuda dan mahasiswa itu ada yang menuntut dibubarkannya Golkar dan dihukumnya kroni-kroni Suharto yang korup. Sebagian lainnya lagi ada juga yang terang-terangan menyuarakan dukungan mereka kepada kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden sampai tahun 2004.

Perkembangan terakhir yang menarik adalah dikeluarkannya Pernyataan Sikap oleh Forum Aliansi Partai-partai Islam, yang diketuai oleh Prof. Dr Deliar Noer. Forum Aliansi tersebut, terdiri dari Partai Nahdatul Ummat (PNU), Partai Islam Indonesia Mayumi, Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Partai Persatuan (PK), Partai Ummat Islam (PUI), Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (Partai KAMI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Ummat Muslimin Indonesia (PUMI), Partai Daulat Rakyat (PDR), dan Partai Abulyatama (PAY).

Dalam pernyataan sikap yang panjang itu antara lain disebutkan tuntutan kepada DPR supaya segera mengajukan hak angket mengenai kasus BLBI, Dana Non-neraca Bulog, Yayasan Kostrad, kasus penjatahan tanah Patrajasa Kuningan kepada mantan pejabat-pejabat Orde Baru secara tidak wajar. Di samping itu disebut dalam pernyataan sikap itu soal Golkar dan Orde Baru sebagai berikut:”Sebagai pilar utama Orde Baru, GOLKAR harus bertanggungjawab atas keterpurukan bangsa dan negara pada saat ini, oleh karena itu maka sudah sepantasnya apabila GOLKAR membubarkan diri sebagai partai politik, karena bagaimanapun juga keberadaan GOLKAR menjadi penghalang bagi tegaknya reformasi secara tuntas”.

Hal menarik lainnya yang disebutkan dalam Pernyataan Sikap tersebut adalah yang berikut:”Kepada mantan-mantan pejabat Orde Baru, dihimbau agar mengundurkan diri dari segala jabatan-jabatan publik dan atau jabatan politik, sebagai wujud tanggung jawab moralnya karena selama bertahun-tahun (bahkan ada yang puluhan tahun) telah mendukung rezim Orde Baru yang otoriter, korup, kolutif dan nepotis”. (catatan : dalam pernyataan ini tidak disebut masalah perlu turunnya Gus Dur sebagai presiden).

Perlunya Gerakan Extra Parlementer

Dari peristiwa-peristiwa yang berkembang akhir-akhir ini kita semua bisa melihat bahwa dalam masyarakat, baik di Pusat maupun di daerah-daerah, sedang terjadi pergolakan yang besar. Di mana-mana terjadi demo-demo (atau aksi-aksi dalam bentuk lain) yang anti-Gus Dur maupun pro-Gus Dur. Ada yang berlangsung secara tertib terorganisasi, tetapi ada juga yang liar dan tidak terkontrol lagi. Ada yang dibayar oleh kekuatan-kekuatan gelap sisa-sisa Orde Baru, ada yang merupakan manifestasi gerakan moral yang masih murni. Bahkan, di berbagai kota di Jawa Timur ada aksi-aksi massa pendukung Gus Dur yang telah merusak dan membakar kantor Golkar atau memblokir jalan dengan menebangi pohon-pohon.

Secara umum, tetapi sampai batas-batas tertentu, kita bisa melihat peristiwa-peristiwa itu sebagai bagian gerakan extra-parlementer dan manifestasi suara rakyat. Di negara-negara demokrasi yang menghormati prinsip-prinsip Deklarasi Uinversal Hak Asasi Manusia, kebebasan untuk berdemonstrasi memang dijamin, walaupun biasanya disertai dengan peraturan atau undang-undang, untuk melindungi kepentingan publik secara keseluruhan. Bahwa sudah terjadi pembakaran atau perusakan kantor-kantor Golkar, memang merupakan sesuatu yang patut ditentang, walaupun kita bisa mengerti dasar-dasar emosional yang menyebabkannya.

Namun, betapapun juga, ekses-ekses yang terjadi dalam demonstrasi-demonstrasi atau berbagai kegiatan extra-parlementer lainnya, tidaklah boleh dijadikan alasan untuk meniadakan hak fundamental rakyat yang ini. Sebagai contoh, di negeri Prancis boleh dikatakan setiap hari ada demonstrasi (bahkan puluhan sekaligus dalam sehari), baik yang besar-besaran maupun yang kecil. Dalam demonstrasi ini sering sekali terjadi perusakan kaca kantor, atau pembakaran mobil, atau ada juga orang yang luka-luka, kemacetan lalu-lintas dll. Sering para pelaku kerusakan itu dihukum, tetapi prinsip boleh berdemonstrasi tetap dipertahankan terus.

Seperti yang sudah ditunjukkan dalam sejarah Perancis (dan juga banyak negeri lainnya), walaupun kehidupan demokratis sudah berjalan dengan baik, kegiatan-kegiatan extra-parlementer tetap diperlukan. Sebab, pengalaman juga mengajarkan bahwa tidak selamanya parlemen bisa menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat (atau sebagian masyarakat). Bahkan ada kalanya, bahwa sikap parlemen adalah bertentangan dengan aspirasi rakyat. Secara konstitusi memang betullah kalau dikatakan bahwa parlemen mewakili suara atau kepentingan rakyat. Tetapi, sejarah berbagai dunia juga menunjukkan bahwa bisa saja bahwa parlemen itu hanya dikuasai oleh wakil-wakil golongan tertentu yang karena kebetulan mempunyai kekuasaan, pengaruh atau uang kemudian bisa “membeli” suara rakyat dengan berbagai cara dan berbagai bentuk.

Dengan kaca-mata ini pulalah kita agaknya bisa melihat persoalan DPR (dan MPR) kita dewasa ini, yang sedang menghadapi persoalan-persoalan besar seperti masalah reformasi, KKN, penegakan hukum, hak asasi manusia (dan juga masalah memorandum tentang Buloggate dan Bruneigate dll). Sudah banyak gejala (bahkan bukti-bukti nyata) yang menunjukkan bahwa DPR kita sudah tidak bisa dijadikan saluran aspirasi rakyat mengenai reformasi (harap catat : reformasi terhadap kerusakan-kerusakan yang diwariskan oleh Orde Baru!!! ) dan aspirasi tentang pembrantasan korupsi, penegakan hukum, perbaikan ekonomi. Bahkan, dalam hal-hal tertentu, DPR kita telah merupakan penyumbat aspirasi rakyat.

Mengingat itu semua, maka seruan yang sudah disuarakan oleh berbagai golongan masyarakat untuk menggalakkan dan memperbesar kekuatan extra-parlementer guna memperjuangkan reformasi total adalah tepat sekali untuk dewasa ini. Kekuatan extra-parlementer ini bisa dijalain bersama-sama oleh LSM, ornop yang bermacam-macam, gerakan mahasiswa, persatuan pemuda, serikat buruh, organisasi tani, organisasi wanita, pesantren, paguyuban dan berbagai organisasi lainnya di berbagai sektor dan bidang kehidupan masyarakat.

Gerakan extra-parlementer anti-Orde Baru yang kuat dan luas (yang lintas-agama, lintas-suku, lintas-ideologi) akan ikut menjamin keselamatan kehidupan demokratis di negeri kita, dan juga menjadi kancah pendidikan politik. Gerakan extra-parlementer yang besar adalah juga wadah perjuangan bersama untuk menuntaskan reformasi secara sungguh-sungguh dan total. Dan, kerjasama antara berbagai komponen gerakan extra-parlementer ini akan merupakan front rakyat untuk memperjuangkan reformasi, demokrasi dan hak asasi manusia. Front rakyat pro-reformasi adalah senjata rakyat kita untuk mencegah lahirnya kembali Orde Baru.