28 November 2003 — 9 menit baca

Dosa dan aib besar Golkar

Mengingat seriusnya masalah yang diungkapkan Akbar Tanjung mengenai Golkar, maka dengan hati nurani yang jernih, pandangan yang jauh, dan pemikiran yang dalam, kita perlu baca berita yang ditulis Tempo tanggal 25 Oktober 2003. Berita itu, antara lain menyebutkan bahwa Akbar Tanjung mengatakan dalam pidato politik pada peringatan ulang: tahun Golkar ke 39 di Bali pada tanggal 25 Oktober 2003 : « Golkar kalah, keadaan makin memburuk ». Di depan sekitar 15 ribu pendukungnya, dengan berapi-rapi, Akbar menegaskan, keadaan selama 32 tahun Golkar berkuasa adalah jauh lebih baik dibanding keadaan sekarang ini. “Karena itulah kita ingin kembali merebut kemenangan dan memperbaiki keadaan dengan merebut hati rakyat,” tegasnya.

Menurut Akbar, masa-masa kejayaan Golkar yang ditandai dengan kemenangan Golkar sejak pemilu 1971 sampai 1997, adalah masa-masa dimana terdapat stabilitas politik dan keamanan. Kondisi itu menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang kemudian menjadi jaminan bagi kesejahteraan rakyat. Tapi, kehadiran era reformasi, Golkar surut. Di masa itu, Golkar dijadikan sasaran segala fitnah dan tuduhan dan seolah menjadi yang paling bertanggungjawab atas buruknya keadaan. “Apakah itu betul, saudara-saudara?,” tanya Akbar kepada massanya yang disambut dengan gemuruh teriakan “tidak”. Untungnya, lanjut dia, meski mengalami masa yang sangat buruk, Golkar tetap dapat bertahan. “Walaupun dikejar-kejar, dan saya sendiri diuber-uber, kantor Golkar dibakar, termasuk di Bali, kita tetap dapat bertahan,” katanya.

« Sekarang, konsolidasi partai sangat rapi sampai ke tingkat pedesaan. Bahkan kader Golkar sudah tidak takut lagi menunjukkan identitas dirinya dengan mengibarkan bendera kuning milik Golkar. Ia lalu menegaskan, sesudah 5 tahun reformasi ini, rakyat mulai kecewa karena janji-janji perubahan ke arah yang lebih baik yang gagal diwujudkan. “Apakah kehidupan menjadi lebih baik? Petani lebih makmur? Ekonomi stabil, jawabnya tidak,” tegasnya. Dengan pengalaman Golkar sebagai partai yang pernah memerintah selama 32 tahun, menurutnya, sudah pasti Golkar akan melakukan perbaikan di segala.

Selain jajaran pimpinan DPP Golkar, para calon Presiden hasil konvensi Golkar juga hadir lengkap dalam upacara ulangtahun yang ke 39 itu. Yakni, Jenderal Purnawirawan Wiranto, Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Yusuf Kalla, pengusaha Abu Rizal Bakrie, Surya Paloh dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mereka sempat dipangil satu-persatu oleh Akbar Tandjung yang disambut teriakan hidup Golkar. » (kutipan dari Tempo selesai)

Golkar Adalah Orde Baru

Ketika membaca berbagai ungkapan Akbar Tanjung seperti tersebut di atas, maka kita bisa ragu apakah Akbar Tanjung bicara begitu itu dengan fikiran jernih, atau nalar yang sehat, ataukah karena ia “keblinger” dan tidak tahu diri lagi. Ucapannya bahwa “kalau Golkar kalah, maka keadaan makin memburuk” adalah sesuatu yang patut dianggap lelucon oleh banyak kalangan. Apalagi, ketika ia mengatakan dengan berapi-api bahwa “keadaan selama 32 tahun Golkar berkuasa adalah jauh lebih baik dibanding keadaan sekarang ini”.

Kita bisa mengerti bahwa Akbar Tanjung ( berikut tokoh-tokoh utama Golkar lainnya) memang harus membela dan berusaha memenangkan Golkar dalam Pemilu 2004. Sampai batas tertentu, kita juga bisa saja mempunyai toleransi bahwa dalam propaganda, partai Golkar menggunakan cara-cara yang kurang pas atau tidak cocok dengan kenyataan. Tetapi, ketika tokoh-tokohnya berani mengumbar kebohongan dengan mengatakan “keadaan selama 32 tahun Golkar berkuasa adalah jauh lebih baik dibanding keadaan sekarang ini”, perlulah kiranya ucapan yang begitu menyolok provokatifnya itu disanggah secara beramai-ramai oleh berbagai kalangan dan lewat berbagai cara. Sebab, kalau dibiarkan saja, berarti kita membolehkan Golkar terus melakukan perusakan dan pembusukan terhadap kehidupan Republik kita.

Sekarang ini, banyak sekali orang masih merasakan, dengan pengalaman sendiri, bagaimana keadaan selama 32 tahun Golkar berkuasa. Karena itu, mengatakan bahwa 32 tahun Golkar bekuasa adalah jauh lebih baik dibanding keadaan sekarang ini, adalah penghinaan kepada Rakyat (khususnya pemuda dan mahasiswa) yang sudah menggulingkan Orde Baru, yang selama itu sepenuhnya didukung oleh Golkar. Kiranya sudah jelas bagi banyak orang, bahwa penolakan rakyat terhadap Orde Baru pada hakekatnya adalah penolakan terhadap Golkar. Sebab, seluruh sejarah Orde Baru tidaklah bisa dipisahkan sama sekali dari Golkar. Dengan kalimat lain : Orde Baru, pada intinya, atau pada dasarnya, adalah Golkar yang bersekutu dengan pimpinan (sebagian) TNI-AD. Ketika Akbar Tanjung mengatakan bahwa selama 32 tahun Golkar berkuasa, yang dimaksudkan juga adalah Orde Baru. Tidak bisa lain!

Keadaan Lebih Baik Dibanding Sekarang?

Adalah kebohongan atau penipuan yang sangat keterlaluan bahwa Akbar Tanjung (dan konco-konconya) berani mengatakan “keadaan selama 32 tahun Golkar berkuasa adalah jauh lebih baik dibanding keadaan sekarang ini”. Ia sendiri pasti menyadari bahwa ucapannya itu tidak benar sama sekali. Bahwa sebagai pimpinan Golkar ia bisa saja mengucapkan hal-hal yang termasuk aneh-aneh atau tidak masuk akal, itu bisalah kiranya dimengerti. Tetapi, kali ini ucapannya adalah sesuatu kebohongan yang harus dikutuk atau diblejeti habis-habisan.

Sebab, makin banyak orang yang sekarang melihat bahwa dalam sejarah Republik Indonesia yang 58 tahun periode kekuasaan Golkar (Orde Baru) adalah periode yang paling gelap bagi bangsa Indonsia. Lebih dari separoh umur Republik Indonesia telah dirusak atau dibusukkan oleh Golkar, sebagai kuda tunggangan atau kendaraan kekuasaan rezim militer Suharto dkk. Lebih dari 32 tahun bangsa Indonesia telah dikerangkeng, atau diberangus oleh Golkar (Orde Baru). Selama itu tidak ada kebebasan pers atau menyatakan pendapat. Hampir semua bidang kehidupan bangsa dikuasai, atau dikontrol secara ketat oleh rezim militer. Tidak hanya bidang eksekutif, legislatif dan judikatif dikangkangi secara menyeluruh dan besar-besaran, tetapi juga bidang ekonomi dicengkeram para pejabat militer (dan Golkar) melalui KKN dan percukongan.

Hukum dan peradilan tidak berjalan semestinya, karena dimanipulasi, disalahgunakan, atau dikuasai oleh para pejabat penting militer (dan Golkar). Kehidupan demokratis dicekik, parlemen diberangus, dan kebebasan berserikat dan berorganiasi dibatasi. Selama 32 tahun pemilu direkayasa secara kasar dan menyolok, sehingga Golkar selalu mendapat suara sekitar 70 %. Hak Azasi Manusia dilecehkan atau diingkari, sehingga pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak bersalah sering terjadi di mana-mana selama puluhan tahun. Para eks-tapol harus menderita puluhan tahun, walaupun tidak bersalah apa-apa. Pemimpin-pemimpin organisasi buruh dan pemuda dipersekusi. Selama Golkar (Orde Baru) berkuasa, terror terhadap golongan kiri atau pendukung Bung Karno merejalela dalam berbagai bentuk dan cara.

Para pegawai negeri dipaksa menjadi anggota KORPRI. Para petani dan buruh, atau pemuda digiring dalam berbagai wadah yang didirikan dan dikontrol oleh Orde Baru. Kodam, Korem dan Kodim, merupakan instansi-instansi yang ditakuti oleh penduduk. Muspida, DPRD dan pengadilan negeri merupakan alat untuk memperkokoh kekuasaan Golkar (rezim militer). Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang banyak dilakukan pejabat militer dan sipil (Golkar) selama puluhan tahun dibiarkan saja. Contohnya yang paling menyolok adalah KKN dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh keluarga Suharto. Jadi; singkatnya, 32 tahun Golkar berkuasa adalah 32 tahun yang penuh dengan kebusukan. Hal ini makin jelas bagi banyak orang.

Stabilitas Politik Dan Keamanan

Menurut Akbar, masa-masa kejayaan Golkar yang ditandai dengan kemenangan Golkar sejak pemilu 1971 sampai 1997, adalah masa-masa di mana terdapat stabilitas politik dan keamanan. Sudah barang tentu, ia tidak menjelaskan bagaimana, atau dengan cara apa Golkar selalu memperoleh “kemenangan” mutlak dalam pemilu itu. Cara-cara yang paling kotor, pemaksaan dan berbagai macam terror politik telah digunakan oleh rezim militer Orde Baru untuk memenangkan Golkar. Pemilu selama masa Orde Baru adalah selalu merupakan rekayasa politik besar-besaran yang tidak pantas disebut pemilu. Apalagi, sama sekali bukanlah “pesta demokrasi”, seperti yang sering digembar-gemborkan. Begitu kotornya pemilu di era Orde Baru, sehingga para pemimpin Golkar yang sekarang sepatutnya merasa malu atau tidak berani bicara soal kemenangan Golkar di masa lalu. Pemilu adalah salah satu di antara banyak dosa dan aib yang besar Golkar.

Soal lain yang yang sebaiknya para pemimpin Golkar yang sekarang jangan bicara adalah masalah stabilitas politik dan keamanan di masa Orde Baru. Sebab, banyak orang tahu bahwa stabilitas (dan keamanan) di masa Orde Baru adalah stabilitas politik semu, atau stablilitas politik di ujung bayonet, atau stabilitas politik dalam kerangkeng. Selama 32 tahun (dan ini jangka waktu yang amat panjang dalam kehidupan suatu bangsa) rezim militer Suharto sudah dengan kejam atau kasar melibas segala macam oposisi, dan membungkam suara-suara kritis, dan menindas kebebasan berserikat dan berorganisasi. Bangsa Indonesia telah membayar mahal sekali stabilitas semu ini dengan darah, dengan penderitaan di penjara-penjara, dengan air-mata dalam kehidupan sehari-hari. Stabilitas politik (dan keamanan) selama kejayaan Golkar adalah stabilitas politik yang didasarkan atas penderitaan sebagian besar rakyat Indonesia, atau stabilitas politik yang dilandasi oleh penindasan HAM secara besar-besaran dan berjangka lama.

Golkar Paling Bertanggungjawab

Dalam pidatonya itu Akbar Tanjung juga mengatakan bahwa Golkar telah dijadikan sasaran segala fitnah dan tuduhan dan seolah menjadi yang paling bertanggungjawab atas buruknya keadaan. Tentang masalah tanggungjawab atas buruknya keadaan ini, semestinya Akbar Tanjung mengakui bahwa Golkar, sebagai pemegang kekuasaan selama 32 tahun, adalah MEMANG paling bertanggungjawab.Jadi, bukannya sekadar fitnah atau tuduhan yang sembarangan saja.

Golkar pernah menyandang kekuasaan politik yang amat besar dan perkasa (dan berjangka lama sekali!) , karena disokong sepenuhnya oleh pimpinan rezim militer Suharto dkk. Sebenarnya, kepentingan rezim militer Orde Baru dan kepentingan Golkar adalah satu dan senyawa. Jadi, berbagai kesalahan yang pernah dibuat rezim militer selama puluhan tahun adalah, pada hakekatnya, juga kesalahan Golkar. Artinya, buruknya keadaan di berbagai bidang yang ditimbulkan oleh politik Orde Baru adalah tanggungjawab Golkar. Karena, Golkar selama itu ikut aktif menciptakan dan melaksanakan politik Orde Baru (rezim militer). Buruknya keadaan di berbagai bidang (termasuk bidang moral) di masa Orde Baru itu begitu parahnya dan begitu banyaknya, sehingga sampai sekarang masih belum bisa diatasi atau belum bisa diperbaiki.

Akbar Tanjung juga mengatakan bahwa dengan pengalaman Golkar sebagai partai yang pernah memerintah selama 32 tahun, menurutnya, sudah pasti Golkar akan melakukan perbaikan di segala bidang. Pengalaman Golkar memang banyak selama berkuasa 32 tahun, tetapi seperti yang bisa kita saksikan bersama, hasil total jenderal pengalaman ini adalah negatif atau buruk untuk rakyat dan negara. Ini tidak bisa lain, sebab dasar politik Golkar adalah bukan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara, melainkan kepentingan perseorangan, kelompok, dan golongan. Seperti sudah ditunjukkan oleh praktek selama ini, sebagian terbesar kader, tokoh, atau pemimpin Golkar adalah orang-orang yang patut diragukan ketulusan dan kesetiaan mereka dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara. Contohnya, atau buktinya, dapat kita saksikan di Jakarta, dan di banyak kota atau daerah di seluruh Indonesia.

Jadi, kalau Akbar Tanjung mengatakan “Golkar kalah, keadaan makin memburuk”, kita sebaiknya balas dengan lantang “Pengalaman negatif selama 32 tahun sudah cukup, dan tidak perlu diperpanjang lagi”.