12 menit baca

Suharto bertanggungjawab terhadap kerusakan ABRI

Oleh Karim Kadir (nama samaran)

Tanggapan terhadap tulisan Sdr. Made Sutedja

Catatan penulis : Tulisan ini juga disampaikan dengan hormat kepada Bapak-bapak (urutan nama disusun tanpa maksud tertentu) : Wahono, ZA Maulani, Sayidiman Suryohadiprojo, Ali Sadikin, A.H. Nasution, Bambang Triantoro, Kharis Suhud, Sumitro (jenderal purn), Kemal Idris, Rudini, Soebiakto Prawirasubrata, Ahmad Tirto Sudiro

Dalam tulisan yang cukup panjang “Presiden Suharto bertanggungjawab terhadap kekuasaan maffia Orde Baru” (Apakabar 10 November), Sdr Made Sutedja telah mengungkap berbagai persoalan yang bisa dianggap provokatif oleh berbagai fihak. Apapun penilaian orang mengenai soal-soal yang diangkatnya dalam tulisan itu, tetapi inti-persoalan yang disajikan olehnya patut menjadi renungan kita bersama. Sebab, yang dicoba ditelaah olehnya adalah berbagai aspek dari sistem kekuasan di Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto.

Tulisan itu telah menyinggung macam-macam soal, yang pada pokoknya menggambarkan adanya jaring-jaringan kekuasaan, yang menyerupai maffia, yang sudah memerintah negeri kita ini selama 30 tahun. Sampai di mana kebenaran penelaahannya, terpulanglah kepada penilaian jujur kita masing-masing. Maklum, biasanya, orang mempunyai pandangan terhadap sesuatu menurut kepentingan subjektif masing-masing, dan pandangan itupun bisa berobah-robah menurut situasi dan kepentingan masing-masing, yang juga berobah-robah pula.

Tanggapan saya kali ini akan saya pusatkan kepada bagian tulisannya yang memaparkan bahwa Presiden Suharto telah merusak ABRI. Sebab, bukan saja masalah ini sangat penting untuk kita bahas bersama sekarang, melainkan juga karena ada sangkut-pautnya yang erat dengan apa yang akan terjadi dalam satu dua tahun yang akan datang ini, bahkan dalam tahun-tahun sesudahnya. Berlainan dengan keadaan di berbagai negeri lainnya (umpamanya, negeri-negeri Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan juga sebagian negara-negara Asia), peran ABRI dalam struktur kekuasaan di Indonesia adalah khusus, untuk tidak mengatakannya aneh.

Pers dan televisi Indonesia selama puluhan tahun ini sudah sering sekali menyiarkan jasa-jasa Presiden Suharto. Pidato banyak pejabat-pejabat ABRI maupun sipil biasanya juga sudah selalu memuji kepemimpinan beliau. Kita semua sudah tahu tentang hal-hal itu. Karena itu, dalam tulisan kali ini tidak akan diulangi pujian-pujian itu. Sebaliknya, tulisan ini akan mengungkapkan - dan itupun sebagian kecil saja - segi-segi yang menunjukkan gejala negatif dari kepemimpinan beliau. Khususnya kerusakan-kerusakan di bidang militer. Sebab, walaupun banyak segi-segi negatif kepemimpinan Presiden Suharto di bidang militer selama ini sudah dilihat dan dirasakan oleh banyak orang di Indonesia, tetapi tulisan mengenai hal-hal itu sedikit sekali kita temukan di Indonesia. Syukurlah bahwa akhir-akhir ini mulai ada suara-suara, walaupun tidak dalam bahasa yang terang-terangan dan sering dengan kalimat-kalimat yang terselubung, yang mempersoalkan hal-hal yang tidak sehat atau segi-segi yang buruk mengenai ABRI.

Banyak kerusakan besar dan serius di macam-macam bidang yang telah diakibatkan oleh kepemimpinan Presiden Suharto. Tetapi, kerusakan yang paling menyedihkan adalah di bidang moral atau budi-pekerti, terutama sekali di kalangan ABRI. Dan, sebagai kelanjutannya, kerusakan-kerusakan dalam ABRI telah mengakibatkan kerusakan serius pula di bidang-bidang lain. Ini disebabkan oleh kedudukan-kunci ABRI dalam sistem kekuasaan Orde Baru, yang oleh Sdr Made Sutedja digambarkan sebagai kekuasaan rezim maffia.

Dalam tulisan saya yang terdahulu mengenai soal ini (Apakabar, 19 September 1996, “Kekuasaan Presiden Suharto”) dapat dibaca, antara lain : “ Di tangan Pak Harto, kekuasaan jabatan Panglima Tertinggi ABRI pun telah menimbulkan kerusakan yang besar dalam ABRI. Sebab, ABRI yang tadinya dekat dengan rakyat atau menjadi pelindung rakyat, sudah sejak lama menjadi makin asing bagi rakyat. Banyak orang sudah tidak mempunyai rasa bangga atau rasa hormat kepada ABRI. Bahkan, dalam situasi atau kasus-kasus tertentu, ABRI (tidak semuanya !) telah menjadi musuh yang ditakuti rakyat, atau menjadi tentara pendudukan. Di samping itu, di tangan Pak Harto, kekuasaan Panglima Tertinggi telah mereduksi peran ABRI menjadi penjaga keamanan pribadi Presiden.

Pak Harto, telah merobah ABRI sebagai alat untuk menghadapi gejolak-gejolak dalam masyarakat, yang dianggap bisa mengganggu stabilitas Orde Baru (ingat peristiwa penggebugan terhadap demonstran di berbagai tempat akhir-akhir ini, penahanan gelap terhadap sejumlah aktivis LSM, penyiksaan terhadap Hendrik Sirait). ABRI telah dijadikan oleh Pak Harto (panglima tertinggi) sebagai mesin yang mati, yang bisa dimanipulasi menurut kehendak beliau. Karena pelaksanaan yang keliru konsep Dwifungsi, maka penyalahgunaan kekuasaan telah menjalar ke mana-mana. Banyak tokoh-tokoh militer yang telah menjadi kaya (secara tidak sah dan tidak patut) karena mereka “dikaryakan”, sedangkan para prajurit tetap hidup dalam kesempitan” (kutiban selesai).

Sejak tahun 60-an pengaruh perang dingin antara blok komunis dan blok Barat telah memasuki negeri kita. Presiden Sukarno, sebagai tokoh gerakan anti-imperialisme dan solidaritas Asia-Afrika dan dunia ketiga umumnya (Konferensi Bandung, Games of the Emerging Forces, Gerakan Non-blok) telah menggariskan politik luarnegeri yang tidak menyenangkan dunia Barat. Politik Presiden Sukarno ini, yang didukung oleh golongan kiri (diantaranya, PKI) telah ditentang oleh sebagian dari kekuatan politik di dalamnegeri, termasuk sebagian ABRI.

Pertentangan politik di dalamnegeri telah memuncak dengan terjadinya G-30-S, yang sebab-sebabnya, dan latar-belakang sesungguhnya, masih banyak yang gelap. Tetapi yang jelas yalah bahwa Presiden Sukarno kemudian dapat disingkirkan dari kekuasaan (mula-mula dengan Supersemar dan kemudian dengan ketetapan MPR), setelah terjadi pembunuhan besar-besaran di kalangan pengikut-pengikut macam-macam gerakan kiri, dan dilumpuhkannya PKI. Sejak itulah Orde Baru telah ditegakkan di mana Abri memainkan peran utama. Dan sejak itu pulalah maka wajah atau watak ABRI ber-angsur-angsur mengalami perobahan, yang makin lama makin jauh dari ciri-ciri sebelumnya.

Dengan disingkirkannya Presiden Sukarno dari panggung politik Indonesia, maka Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto - dengan Angkatan Darat sebagai tulang punggungnya - telah memaksakan berbagai politik dan tindakan yang menempatkan kekuasaan militer di atas segala-galanya. Dengan konsepsi (yang didasarkan atas pertimbangan yang tulus maupun hanya dengan dalih yang di-cari-cari) bahwa tugas militer adalah menyelamatkan negara, dalam tahun-tahun pertama Orde Baru segala bidang yang penting-penting telah dikuasai sepenuhnya, dikontrol, atau diawasi. Dalam tahun-tahun itu, kita saksikan bagaimana militer (terutama Angkatan Darat) mengangkangi pemerintahan sipil. Tindakan yang mula-mula disajikan sebagai “tindakan darurat” ini kemudian dijadikan konsep tetap, yaitu dengan “kekaryawanan” dalam rangka Dwi-Fungsi ABRI. Sampai sekarang.

Karena politik inilah maka, sejak itu, mulai banyak terjadi kerusakan moral dan mental di kalangan pejabat-pejabat ABRI. Banyak di antara mereka yang kemudian menganggap, bahwa dengan Orde Baru, mereka berhak untuk mengambil sikap atau tindakan-tindakan yang “luar biasa”, demi penyelamatan Pancasila dan kepentingan negara dan bangsa. Kita masih ingat bagaimana, waktu itu, dengan selogan “demi pembangunan” maka banyak pejabat (di Pusat maupun di daerah) menjadi “centeng” para pengusaha atau memberikan “backing” kepada para konglomerat yang baru tumbuh waktu itu. Untuk ber-tahun-tahun, para pengusaha di berbagai tingkatan telah dijadikan “sapi perahan”, dengan macam-macam cara.

Dalam masa-masa permulaan Orde Baru, banyak pejabat-pejabat ABRI, dari tingkat Pusat maupun sampai Kodam, Korem, Kodim dan bahkan kecamatan, ber-tindak se-wenang-wenang di berbagai bidang. Hukum dipersetankan, dan Hak Azasi Manusia masih belum “dikenal” waktu itu. Ancaman dan pemerasan telah menjamur di-mana-mana terhadap mereka-mereka yang dituduh tersangkut dengan Orde Lama atau gerakan kiri, berdasarkan kebenaran atau tidak. Banyak tindakan pejabat-pejabat ini yang dilatarbelakangi oleh persoalan pribadi (pandangan politik, dendam, cemburu dll) atau kepentingan pribadi yang hina (uang atau kekayaan, kenaikan pangkat, penyelamatan diri, penjilatan kepada atasan dll). Dalam masa-masa inilah terasa menghebatnya kemerosotan moral dan kerusakan budi-pekerti para pejabat ABRI. Dan, ternyata kemudian, bahwa penyakit-penyakit parah ini telah menjalar dan tumbuh secara mengganas selama puluhan tahun. Dampaknya masih terasa sampai sekarang.

Bahwa pimpinan Orde Baru, dengan menggunakan ABRI sebagai aparatnya yang utama, untuk menggulung Orde Lama sebagai kekuatan politik, ini adalah hal yang logis. Tetapi, ketika Jenderal Suharto sebagai panglima tertinggi membiarkan para pejabat-pejabat militer melakukan pelanggaran yang serius di bidang perikemanusiaan, dan menutup mata terhadap kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan, dan menutup kuping terhadap ber-macam-macam penjelewengan mereka, inilah suatu kesalahan besar beliau. Sebab, kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di permulaan masa-masa Orde Baru ini ternyata makin “membudaya” di kalangan ABRI selama 30 tahun, dan menimbulkan kerusakan-kerusakan besar di kalangan pejabat-pejabat ABRI, bahkan juga di kalangan keluarga mereka, termasuk para “putera dan puteri” mereka. Kerusakan yang paling serius adalah dalam masalah moral, masalah sikap hidup mereka sebagai warganegara Republik Indonesia, masalah pandangan terhadap kedudukan mereka dalam masyarakat, dan masalah tugas mereka sebagai militer.

Kerusakan di kalangan pejabat-pejabat ABRI yang terjadi selama 30 tahun di bawah pimpinan Pak Harto bersumber berbagai faktor yang bertumpuk-tumpuk atau saling tindih. Konsepsi tentang peran militer untuk menentang bahaya komunis dalam rangka Perang Dingin telah menjadi salah satu pilar dari politik ABRI dalam menangani berbagai persoalan, dan merupakan modal untuk mengangkangi macam-macam kekuasaan di berbagai bidang, termasuk yang mestinya bukan urusan mereka. Dengan macam-macam dalih dan interpretasi yang di-cari-cari, Dwi-Fungsi ABRI telah disalahgunakan, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang negatif dalam urusan-urusan pemerintahan sipil dan pengaturan kehidupan masyarakat. Politik “pendekatan keamanan” yang menjadi obsesi (sungguh-sungguh, atau hanya untuk dalih saja) telah memungkinkan pejabat-pejabat ABRI untuk melanggar prinsip-prinsip demokrasi dalam mengurusi pemerintahan dan masyarakat.

Dalam Orde Baru yang 30 tahun ini, banyak pejabat-pejabat militer, yang berkwalitet maupun yang tidak, telah diangkat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota, anggota DPR dan MPR, direktur perusahaan-perusahaan, dan sebagai pejabat-pejabat tinggi departemen atau lembaga-lembaga penting. Karena jabatan yang demikian itu, pejabat-pejabat militer itu mudah dihinggapi macam-macam penyakit. Dapat dimengertilah bahwa dalam menjalankan “kekaryawanan” mereka di bidang-bidang sipil untuk mengurusi pemerintahan, ekonomi dan politik, pejabat-pejabat militer ini sering memakai pola berfikir kemiliteran juga. Karena kebiasaan kehidupan profesional mereka dan juga pendidikan mereka sebagai militer, pejabat-pejabat ini mempraktekkan demokrasi secara tidak semestinya.

Pentrapan yang salah Dwi-Fungsi ABRI, ditambah dengan pentrapan konsepsi yang salah tentang “pendekatan keamanan” dalam menangani macam-macam persoalan bangsa dan rakyat, membikin banyak pejabat ABRI menjadi arogan, merasa lebih dari pada golongan sipil, menganggap bahwa hak dan kewajiban mereka juga lebih besar dari pada golongan lain. Kerusakan moral yang lebih memprihatinkan lagi yalah gejala bahwa banyak di antara mereka yang menunjukkan sikap meremehkan rakyat. Di samping itu, banyak juga yang dihinggapi penyakit feodalisme, bapakisme yang berlebih-lebihan, “tundukisme”, “ndoro”-isme. Dalam Orde Baru-nya pak Harto, banyak Guberbur, Bupati, Walikota, bahkan camat sudah menjadi “raja-kecil” dan menjadikan diri “angker” dalam macam-macam ukuran. Masjarakat di kota-kota seperti Tulung Agung, Bodjonegoro, Pati, Bantul, Serang, Tasikmalaya, Teluk Betung, Medan, Makasar, Ambon dll, bisalah bercerita banyak tentang soal-soal ini.

Semua itu, ditambah lagi dengan adanya jaring-jaringan kekuasaan ABRI-GOLKAR yang omnipresent (hadir di mana-mana) dan sudah merupakan “maffia” yang dipimpin oleh Presiden Panglima Tertinggi Suharto (meminjam istilah Sdr Made Sutedja), maka kerusakan-kerusakan moral telah melanda di mana-mana. Korupsi dan kolusi, yang sudah berjalan 30 tahun, sulit dibrantas sampai sekarang. Dan keadaan begini ini akan berlangsung terus, selama Pak Harto menguasai ABRI beserta jaring-jaringan kekuasaan yang dilaksanakan dengan macam-macam cara dan bentuk. Koreksi dan kritik terhadap kepincangan di berbagai bidang kehidupan bangsa akan mandeg terus. Banyak pejabat-pejabat ABRI telah dijadikan oleh Pak Harto sebagai oknum-oknum yang memusuhi golongan-golongan dalam masyarakat yang menginginkan adanya perobahan dalam sistem politik.

Dalam jangka waktu yang cukup panjang di masa-masa yang lalu, banyak pejabat-pejabat ABRI juga telah dipakai oleh Pak Harto sebagai robot-politik untuk melumpuhkan kehidupan demokratis dan mematahkan partisipasi rakyat dalam urusan-urusan negara, dengan jalan penyederhanaan sistim kepartaian, dengan memaksakan 5 UU politik tahun 1985 yang membikin buntunya jalan untuk reformasi. Karena makin memburuknya citra ABRI di banyak kalangan di Indonesia, dan karena keprihatinan terhadap situasi yang memburuk di banyak bidang, maka sejumlah mantan perwira tinggi akhir-akhir ini mengeluarkan pendapat mereka.

Di antara pendapat-pendapat itu ada yang mengemukakan bahwa ABRI harus memelihara semangat kerakyatan, harus kembali ke rakyat, hidup berbaur dengan rakyat agar mereka bisa mendengarkan aspirasi rakyat. Selain itu, untuk menghadapi tantangan zaman, sudah saatnyalah sekarang bagi ABRI untuk mengkaji ulang doktrin-doktrin serta meredefinisi jati-dirinya. Tentara adalah milik orang banyak. Ada pendapat juga bahwa semangat kerakyatan yang dulu dimiliki oleh tentara supaya ditransformasikan ke masa kini. Karena, sekarang ini ada “ketakutan rakyat” yang disebabkan oleh berbagai pendekatan keamanan. Di samping itu ada gejala “eksklusif” di kalangan ABRI yang mengakibatkan alienasi (menjadi asing) ABRI dari rakyat (diambil dari artikel “Tentara harus kembali ke rakyat”, Kompas tanggal 11 November 1996).

Tanggungjawab Pak Harto sebagai Presiden Panglima Tertinggi terhadap kerusakan di kalangan ABRI adalah besar sekali. Dan kesalahan ini adalah amat serius, sebab kerusakan moral di kalangan pejabat-pejabat ABRI telah menimbulkan kerusakan besar juga di bidang-bidang lain. Inilah yang sedang kita saksikan di negeri kita dewasa ini. Turunnya kewibawaan hukum membuat mrosotnya kepercayaan terhadap kebersihan pemerintahan. Dominasi birokrasi (pemerintahan, yang juga dikontrol oleh militer) telah menghambat usaha-usaha untuk mengurangi korupsi. Doktrin-doktrin lama yang sudah kedaluwarsa, yang pada suatu periode waktu memang dibutuhkan, sekarang menjadi halangan untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Karena ada pejabat-pejabat militer yang masih menggunakan pola berfikir yang lama dalam mengurusi persoalan-persoalan baru yang rumit-rumit, maka mereka kelihatan seperti figur-figur robot, yang tidak dimengerti rakyat, dan karenanya tidak disukai rakyat.

“Tak ada prajurit yang bodoh, hanya ada perwira yang bodoh. Tak ada rakyat yang bodoh, hanya ada pemimpin yang bodoh”. Ungkapan ini disitir Prof. Dr. Juwono Sudarsono untuk menggarisbawahi arti penting kepemimpinan. Diakui oleh Juwono bahwa soal kepemimpinan merupakan soal penting dan krusial saat ini. Indonesia adalah negara yang paling undermanaged di Asia Tenggara, dan ini tentu punya kaitan dengan rendahnya kualitas manajerial dan kepemimpinan. (dikutib dari Republika 11 November 1996, “Kepemimpinan Abri dan masa depan”).

Lalu, bagaimana dengan kerusakan-kerusakan di ABRI ? Dan kerusakan-kerusakan besar lainnya di berbagai bidang yang disebabkan oleh kerusakan di ABRI ? Pak Harto mempunyai tanggungjawab besar terhadap masalah serius yang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Beliau telah membiarkan timbulnya kerusakan-kerusakan ini, dalam rangka rezim-maffianya tulisan Sdr Made Sutedja. Beliau jugalah yang menciptakan kondisi-kondisinya. Beliau tidak memberikan contoh yang baik sebagai pejabat tinggi Abri, sebagai Presiden, sebagai kepala keluarga, sebagai bapak. Masalah kolusi, pengumpulan kekayaan oleh keluarganya, dengan cara-cara yang luar biasa, adalah hanya sebagian kecil saja dari noda-noda Presiden Panglima Tertinggi kita ini, yang kemudian menular dan menghinggapi banyak pejabat-pejabat lainnya. Ada satu pepatah yang cocok untuk mengungkapkan masalah ini : “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” (artinya, kelakuan orang bawahan selalu mencontoh atasan).