4 menit baca

Rekonsiliasi Model Blitar Selatan

Oleh Asvi Warman Adam

Dewasa RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) sudah berada di tanganDPR. Pembahasannya tentu akan diikuti dengan pengesahan serta pembentukankomisi tersebut. Namun institusi itu tentu bersifat formal dan berada padalevel nasional. Sesungguhnya untuk menciptakan rekonsiliasi nasionaldiperlukan juga lembaga yang bersifat non formal dan menyentuh sampai kepadamasyarakat lapisan bawah.

Tulisan ini mengangkat aktivitas sebuah LSM yang bergerak melakukanrekonsiliasi pada tingkat akar rumput (grass root) di seluruh pulau Jawa.Kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2002 di Jawa Timur dan kemudiandilanjutkan tahun 2003 di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Salah satuaktivitasnya berlangsung di Blitar Selatan justeru pada pelataran MonumenTrisula. Bila secara internasional dikenal Rekonsiliasi ala Afrika Selatan,maka secara nasional dan lokal menarik pula diketengahkan rekonsiliasi modelBlitar Selatan.

Semasa Orde Baru, wilayah Blitar Selatan dianggap “tidak bersih lingkungan”.Penataran P4 secara intensif dilakukan dua kali dalam sebulan. Bahaya latenkomunis senantiasa disampaikan dari waktu ke waktu lewat berbagai media.Untuk memperingati keberhasilan penumpasan PKI tahun 1968 dibangun MonumenTrisula di Blitar, Jawa Timur. Operasi militer itu menangkap 850 orang, 33tewas. Jumlah korban itu tentu lebih banyak karena berdasarkan penggalianmedio

Pada era reformasi, wacana anti komunis dicoba dicairkan Abdurrahman Wahiddengan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian 1965 serta usulanpencabutan TAP MPRS/XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelaranganKomunisme/Marxisme/Leninisme. Ide itu macet di tengah jalan. Walaupundemikian, gagasan rekonsiliasi itu tetap hidup terutama di lingkungan anakmuda NU yang bergabung dalam jaringan Syarikat yang merasa perlu meluruskansejarahnya sendiri. “Kami menanggung beban karena orang tua kami terlibatpembunuhan”, demikian ucap seorang aktivis. Itulah sebabnya merekaberikhtiar untuk berekonsiliasi dengan keluarga korban pembantaian dan/ataueks tapol peristiwa 1965 seperti terlihat dalam kasus Blitar Selatan dibawah ini.

Bagaimana caranya ? Diawali dengan membongkar kembali ingatan tentang masasekitar tahun 1965, sebagaimana dituturkan oleh Budiawan, doktor sejarahlulusan National University of Singapore. Sebelum 1965 tidak ada keteganganyang signifikan antara PKI dan NU (Ini untuk kasus di Blitar Selatan, bukanJawa Timur secara keseluruhan). Situasi “membunuh atau dibunuh”.”mendahului atau didahului” diciptakan begitu meletus G30S 1965. Ketika ituberedar selebaran berisi daftar kyai NU yang hendak dibunuh PKI; di lainpihak di kalangan PKI juga muncul selebaran berisi nama-nama tokoh PKI yanghendak dibunuh Banser NU. Ternyata sekarang masing-masing pihak mengakutidak pernah membuat selebaran tersebut. Menurut para kyai tua NUpembunuhan itu

Muncul kesadaran baru di kalangan nahdiyin di sana bahwa mereka duludiperalat militer untuk menghancurkan PKI. Para kyai tua gundah, di satupihak, mereka setuju ide “berbaikan kembali” dengan eks PKI/BTI dankeluarganya; di pihak lain, ada rasa sesal yang tidak mudah dihilangkan.Itulah sebabnya mereka mendukung rekonsiliasi, tapi tidak diucapkan secaraeksplisit. Sebaliknya, para eks PKI/BTI dan keluarganya lebih bersemangatmenyambut rujuk sosial ini. Mereka merasa kembali “diuwongke”(dimanusiakan). Ada kesan, seperti diungkapkan Budiawan, beban psikologistentang masa lalu justeru lebih kuat di kalangan “pelaku” daripada “korban”.. (Bandingkan dengan Tzvetan Todorov, Facing The Extreme: Moral Life in theConcentration Camp”, 1999).

Dengan adanya beban psikologis di kalangan (sebagian) kyai tua, rekonsiliasitidak dalam format bermaaf-maafan seperti hari raya Idul Fitri, atau”pengakuan-pengakuan publik” seperti di Afrika Selatan, melainkan dikemasdalam pertunjukan kesenian bersama, untuk memperingati Maulid Nabi MuhammadSAW dengan kepanitiaan bersama. Perencanaan, pembiayaan hingga pelaksanaankegiatan dibicarakan dan dikerjakan bersama. Dipilihnya pertunjukan kesenianbersama (kentrung dari kalangan NU, dan campur sari dari kalangan keluargaeks-tapol) merupakan taktik aktivis muda NU untuk memudahkan izin penguasalokal (Danramil, Kapolsek dan Camat). Agar pesan rekonsiliasi tidakkabur –karena memang masih sulit untuk diungkapkan secara verbal–,pertunjukan kesenian bersama sengaja digelar di pelataran Monumen Trisula.

Dengan digelar di pelataran tugu tersebut, kedua kelompok yang kini dudukberdampingan itu, diingatkan kembali akan posisi mereka yang berseberangantahun 1968: pihak PKI/BTI sebagai target operasi militer, sedangkan pihak NUsebagai pendukung/front belakang operasi tersebut. Selama ini kedua belahpihak memandang monumen itu dengan perasaan traumatis. Tetapi sekarangmelalui pertunjukan kesenian bersama dan dalam situasi psikologis yangberbeda, pemaknaan terhadap “situs sejarah” itu pun berubah. Tugu itu telahmenjadi saksi rujuk sosial. Dengan demikian sebuah peristiwa baru diciptakanuntuk menetralisir ingatan tentang masa lalu yang pahit sekaligus peristiwayang baru ini direkam sebagai memori kolektif bersama. Di sana tidak adatestimoni publik seperti di Afrika Selatan, namun kebenaran telahdiungkapkan.

Upaya ini jelas berbeda dengan ishlah yang dilakukan oleh Jenderal-Jenderalyang terlibat dalam kasus pembunuhan Lampung dan Tanjung Priok denganmemberi sejumlah uang kepada korban peristiwa tersebut agar tidak lagimelakukan penuntutan. Ikhtiar rekonsiliasi tingkat akar rumput dengan modelBlitar Selatan ini tentu perlu disosialisasikan ke tempat lain dan olehorganisasi lain. PPRP (Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian)yang dipimpin Judo Poerwowidagdo juga telah melakukan kegiatan sejenis diPoso. Demikian pula

Dalam waktu dekat diharapkan sudah terbentuk Komisi Kebenaran danRekonsiliasi. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa komisi itutidak memiliki tujuan, mandat dan tingkat keberhasilan yang sama. Namunpaling sedikit komisi itu diharapkan bisa mengungkapkan fakta sejarahkekerasan yang selama ini telah digelapkan. Dengan demikian pelanggaran HAMitu diharapkan tidak terulang lagi di masa datang. Yang tak kalahpentingnya upaya ini merupakan bagian dari penyembuhan trauma masa lalu parakorban maupun pelaku kekerasan itu sendiri. Yang paling penting, KKR ituperlu ditopang oleh kegiatan non-formal oleh berbagai lembaga swasta dan LSMsehingga bisa menyentuh masyarakat akar rumput dan menyebar ke seluruhdaerah. Bahkan KKR secara nasional itu tidak akan efektif bila tidakdidahului oleh gerakan model Blitar Selatan itu.

(Asvi Warman Adam, peneliti LIPI)