13 menit baca

Makar politik terhadap kepemimpinan Suharto sangat diperlukan

Oleh : Anwar Hasyim (nama samaran)

PEMBEBASAN NO. II/NOVEMBER 1996

Dalam media cetak di Indonesia, dan juga dalam pers luarnegeri, kita baca bermacam-macam masalah penting yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, yang mungkin akan menjadi persoalan yang lebih besar lagi dalam masa-masa yang akan datang. Begitu banyaknya persoalan yang timbul, dan begitu besar keseriusannya, sehingga di antara kita sudah banyak yang bertanya-tanya, peristiwa penting apa sajakah yang akan bisa muncul ? Kejadian-kejadian penting di berbagai bidang di Indonesia akhir-akhir ini makin menunjukkan bahwa unsur-unsur krisis telah mulai tumbuh dalam macam-macam bentuk. krisis politik, krisis demokrasi, krisis moral di kalangan elite, krisis kewibawaan kepemimpinan, krisis kepercayaan kepada pemerintah, krisis hukum dan peradilan, krisis semangat kerakyatan, krisis keadilan sosial, krisis perikemanusiaan, krisis kepercayaan luarnegeri. Selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru, belum pernah ada situasi yang begitu semrawut, yang begitu memprihatinkan banyak orang, seperti halnya dewasa ini.

Gejala yang menarik dalam perkembangan akhir-akhir ini adalah bahwa makin banyak orang yang berpendapat, dan bahkan juga mulai berani menyuarakan (walaupun tidak langsung, dan sering dengan kalimat-kalimat terselubung) bahwa krisis di berbagai bidang atau persoalan-persoalan besar yang timbul itu telah disebabkan oleh sistem politik dan praktek-praktek pemerintahan Orde Baru. Karena kekuasaan politik (dan militer) selama 30 tahun ini terpusat kepada seorang, yaitu Presiden Panglima Tertinggi Suharto, maka banyak orang menyadari bahwa beliaulah yang paling bertanggungjawab terhadap masalah-masalah besar yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan, makin banyak orang yang menudingkan telunjuk jari mereka langsung : Presiden Suhartolah yang menjadi sumber dari banyak kekusutan, keruwetan dan kerusakan di banyak bidang. (Baca : tulisan Made Sutedja, Apakabar 10 November, “Presiden Suharto Bertanggungjawab Terhadap Kekuasaan Mafia Orde Baru”; dan juga Karim Kadir, Apakabar 13 November, “Presiden Panglima Tertinggi Suharto Bertanggungjawab Terhadap Kerusakan ABRI ).

Tetapi, tidak tepatlah kiranya, kalau ada orang atau golongan yang menjatuhkan vonis bahwa segala kebusukan dan kebobrokan yang terjadi di Indonesia selama 30 tahun ini adalah karena perbuatan pribadi Pak Harto seorang diri saja. Dan tidak jujur jugalah kalau menyatakan bahwa semua politik dan tindakan Pak Harto adalah negatif melulu. Tidak adil juga kalau dikatakan bahwa Pak Harto tidak memberikan sumbangan apa-apa kepada bangsa dan negara. Pak Harto adalah juga manusia biasa, dengan segala keunggulan dan kekurangan. Tentu ada jugalah segi-segi beliau yang baik, walaupun bisa diperdebatkan berapa besar perbandingan antara segi negatif dan segi positif beliau, sebagai Presiden, Panglima Tertinggi ABRI, tokoh nasional, kepala keluarga, suami, dan sebagai persorangan pribadi atau manusia biasa. Memang, masalah-masalah besar yang ruwet atau kekacauan pemerintahan Orde Baru, yang telah menimbulkan gejala-gejala krisis di banyak bidang, tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab Pak Harto. Karena, beliaulah Presiden, Panglima Tertinggi, Ketua Dewan Pembina Golkar. Beliau tidak bekerja sendirian dalam mengurusi pemerintahan dan negara. Beliau punya pembantu-pembantu yang banyak sekali, baik yang beliau angkat sebagai menteri maupun pejabat-pejabat tinggi lainnya. Banyak masukan atau laporan yang disajikan oleh para pembantu beliau, dan oleh sahabat-sahabat dan kerabat beliau yang terdekat atau yang terpercaya, termasuk para konglomerat pribumi maupun non-pribumi. Tetapi, bagaimanapun juga, akhirnya beliau sendirilah yang merupakan faktor utama, dalam menentukan berbagai kebijaksanaan yang harus ditempuh atau tindakan yang harus diambil. Dan, justru di sinilah terletak masalah pentingnya watak, kepribadian, pandangan hidup beliau sendiri.

Tulisan Sdr Karim Kadir “Presiden Suharto Bertanggungjawab Terhadap Kerusakan ABRI” mengingatkan kita semua tentang perkembangan yang menyedihkan di bidang yang amat penting bagi kehidupan bangsa kita ini, yaitu bidang militer. Berbagai sinyalemen serius yang telah dipaparkan dalam tulisan ini kelihatannya, di sana-sini, searah dengan macam-macam canang yang juga telah disuarakan oleh berbagai mantan Perwira Tinggi (Pati) akhir-akhir ini, yang menyangkut berbagai soal yang amat vital dan rawan. Sikap banyak mantan Pati ini - ada yang dengan bahasa yang jelas dan ada yang dengan ungkapan-ungkapan berselubung - merefleksikan adanya perkembangan yang amat penting dalam pemikiran berbagai kalangan Abri. Sekedar contoh, berikut di bawah ini adalah apa yang diucapkan oleh Letjen TNI (pur) Hasnan Habib dalam sarasehan “Peran dan Posisi ABRI dalam Format Politik Nasional “ di Surabaya, yang menurut harian Media Indonesia (13 November 96), antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Dunia internasional, khususnya dunia maju, pada umumnya tidak dapat menerima peran politik langsung dari militer dalam suatu sistem politik, karena pada dasarnya militer sebagai lembaga bukanlah lembaga demokrasi. “Militer adalah suatu organisasi keras, ketat, hirarkis, sentralistis, berdisiplin keras dan bergerak atas komando yang hanya mengemban misi sebagai alat kekuatan pertahanan untuk menghadapi, mengendalikan dan mengatasi keadaan gawat yang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan bersenjata, bukan ikut berpolitik. “Oleh karena itu, dalam negara-negara demokrasi liberal (demokrasi penuh), organisasi bersenjata tersebut, mutlak tunduk kepada kekuasaan sipil yaitu kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan. “Namun lain halnya di Indonesia. ABRI selain merupakan kekuatan hankam, juga merupakan kekuatan sosial politik. Persepsi yang demikian timbul sebagai akibat dari kekhasan lahir dan kiprahnya revolusi kemerdekaan dan sesudahnya, membawa Dwifungi sebagai suatu ciri khas sistem politik Indonesia. “Karena negara kita adalah negara demokrasi dan seharusnya mempunyai sistem politik yang demokratik pula, maka dengan sendirinya ABRI sebagai kekuatan sosial politik, tidak bisa lain harus menjalankan Dwifungsinya sebagai sistem politik yang demokratik. “Sistem politik kita belum demokratik, dan ini agaknya tidak dapat dibantah. Hanya orang yang tidak mengerti demokrasi atau menutup mata atau ketidakberdayaan rakyat dalam menentukan dan memperjuangkan kepentingan, hak dan kebebasan saja yang membantah realitas itu. “Hukum adalah suatu pilar penyangga demokrasi yang wajib melindungi kepentingan, hak dan kebebasan itu, justru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. “Harap jangan sampai terulang kasus Marsinah, Nipah, Jenggawah dan Dili yang mencerminkan arogansi dan penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan senjata. Negara dan bangsa mempercayakan pemakaian dan penggunaan senjata kepada ABRI bukan untuk digunakan terhadap rakyat sendiri betapapun kesalahannya. “Demikian pula, jangan mencampuri sengketa interen orsospol, apalagi berpihak kepada salah satu dari yang bersengketa. Orsospol harus dibantu agar mandiri dan mampu menyelesaikan masalah interen sendiri” (kutipan habis).

Ungkapan yang dikemukakan oleh Letjen (Purn) Hasnan Habib di atas itu (kalau cara pemberitaannya benar, dan maksudnyapun sungguh-sungguh) merupakan sesuatu yang patut mendapat perhatian kita semua. Sebab ia merupakan “loudspeaker” dari fikiran yang akhir-akhir ini banyak beredar - secara “sembunyi-sembunyi” - di kalangan mantan pejabat-pejabat ABRI. Fikiran-fikiran itu meniupkan hawa segar dan baru, di tengah-tengah udara busuk yang selama 30 tahun sudah mencengkam dan mencekik negeri ini, dan sudah meracuni hubungan rakyat dengan ABRI begitu lama, dan membikin wajah ABRI amat buruk di mata banyak orang di dalamnegeri dan juga di luar negeri. (Fikiran-fikiran semacam ini, dalam bentuk dan kadar yang ber-beda-beda, juga telah diungkapkan oleh mantan-mantan ABRI, yang namanya disebut dalam tulisan Made Sutedja dan Karim Kadir). Perkembangan ini penting, sebab kerusakan-kerusakan yang telah ditimbulkan oleh kepemimpinan Presiden Suharto dan sistem politik Orde Baru sudah terlalu besar dan amat serius bagi sehatnya kehidupan bangsa Indonesia untuk seterusnya.

Sudah tibalah waktunya bagi tokoh-tokoh penting negeri kita (baik sipil maupun militer, tetapi terutama militer) untuk berani terang-terangan mengatakan “stop” kepada sistem kekuasaan sekarang ini, yang sudah secara jelas menunjukkan kemandegan dan kemandulan bagi lahirnya perubahan dan perbaikan yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Pertemuan di Surabaya merupakan upaya penting dan sumbangan positif untuk menggugah fikiran banyak orang bahwa ABRI perlu menemukan strategi baru dan konsep-konsep baru, dengan meninggalkan yang lama yang sudah dipakai sejak Orde Baru . Mudah-mudahan, pertemuan di Bandung yang direncanakan dalam bulan Desember nanti akan bisa memberikan sumbangan yang lebih besar, dan lebih kongkrit, kepada usaha besar bangsa dalam mencari jalan yang lebih cocok, dibandingkan dengan jalan yang sudah ditempuh selama 30 tahun ini. Ini semua tergantung kepada besarnya tekad tokoh-tokoh yang ingin mengadakan perobahan, kepada ketulusan hati mereka terhadap kepentingan rakyat dan negara, dan kepada terlepasnya kepentingan pribadi atau golongan. Apa ini akan bisa tercapai ? Kita lihat sajalah sama-sama nantinya, bagaimana hasilnya. Maklum, berbagai faktor dan kepentingan akan terus “main” di belakang usaha-usaha ke arah ini. Antara lain, faktor Pemilu 97 dan sidang MPR.

Apapun yang terjadi, sudah makin jelaslah gejala membesarnya kalangan (sipil, militer aktif, mantan pati, intelektual) yang menyadari bahwa kepemimpinan Presiden Panglima Tertinggi Suharto sudah tidak baik lagi untuk dipertahankan terus, karena akan selalu berbenturan dengan tuntutan zaman dan aspirasi banyak orang yang mendambakan adanya pemerintahan yang modern, yang berbudaya dan beradab, yang demokratik. Ini berarti bahwa jumlah orang-orang yang “makar secara politik”, atau “brontak secara politik”, atau melakukan “desersi politik” terhadap sistem politik Orde Baru, akan makin bertambah juga. Sebab, mereka melihat bahwa Orde Baru ini pada hakekatnya sudah menjadi orde yang lama, yang kedaluwarsa, yang membusuk, yang “declining” (merosot atau menurun), karena dihinggapi oleh begitu banyak penyakit yang parah dan tak tersembuhkan. Sejarah akan membuktikan, bahwa melakukan “makar politik” terhadap kepemimpinan Pak Harto bukanlah merupakan kesalahan moral.

Sebab berbagai gejala krisis di banyak bidang, seperti yang disebutkan dalam permulaan tulisan ini, menunjukkan bahwa Pak Harto sudah tidak mampu lagi memimpin negara dan pemerintahan ini secara ideal. Ini disebabkan oleh macam-macam sebab, yang datang dari faktor intern pribadi beliau, dan juga dari banyak faktor ekstern lainnya. Nepotisme yang beliau beberkan dengan tanpa segan-segan dan melampaui batas kenalaran sudah menjadi perbincangan sejak lama dalam masyarakat, dan menjadi sorotan dunia. Kebiasaan negatif feodalisme kraton Jawa yang beliau lakukan dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan juga terlalu menyolok. Konsepsi beliau tentang masalah kehormatan juga bisa membikin banyak orang geleng kepala ( harap ingat, antara lain, kepada upacara kenegaraan secara besar-besaran ketika wafatnya Ibu Tien, dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Tien dan mertua Tutut). Kekayaan besar-besaran yang sudah dan sedang digaruk oleh para putera-puteri beliau juga menjadi bahan pergunjingan di Indonesia sendiri dan bahan artikel dalam pers luarnegeri.

Memang, Pak Harto sebagai Panglima Tertinggi masih selalu bisa memberikan komando kepada bawahan beliau, sesuai dengan peraturan-peraturan militer. Dan logis jugalah bahwa instruksi-instruksi beliau sebagai Presiden masih dipatuhi oleh para pejabat. Tetapi, kewibawaan moral beliau sudah makin lama makin susut di mata banyak orang. Banyak pidato dan petuah beliau sudah kehilangan bobot, dan tidak mengandung message politik yang menggairahkan dan meyakinkan. Budaya kemunafikan yang sudah bercokol secara luas dalam sistem Orde Baru, yang juga bersarang di Jalan Cendana atau di Istana Negara, membayang sebagai latarbelakang pidato-pidato dan petuah-petuah beliau. Upacara-upacara resmi, yang sering ditayangkan di televisi sudah merosot menjadi tontonan yang tidak lucu dan membosankan, untuk tidak mengatakan memuakkan. Perkembangan situasi di berbagai bidang di dalamnegeri menunjukkan bahwa Pak Harto, beserta pejabat-pejabat penting Orde Baru (terutama pejabat militer) dewasa ini sedang menghadapi asalah-masalah besar, yang ditimbulkan oleh banyaknya kesalahan langkah dalam manajemen kepemerintahan yang sudah berlangsung 30 tahun. Kekuasaan, yang pada hakekatnya adalah rezim militer, sudah menjadi lawan politik (adversary) dari aspirasi rakyat. Pak Harto sudah bukan lagi merupakan tokoh yang bisa diharapkan untuk memimpin adanya perbaikan di kalangan ABRI, dan mengembalikan ABRI kepada kedudukan yang terhormat dalam kehidupan bangsa.

Dari Pak Harto sudah tidak bisa diharapkan lagi sumbangan beliau untuk merevitalisasi nilai-nilai kejuangan dan keprajuritan ‘45, karena dalam tindakan beliau sehari-hari mengenai berbagai soal sudah menunjukkan bahwa beliau sendiri, pada hakekatnya, sudah mencampakkan nilai-nilai ini. Tak mungkin lagilah kiranya dari Pak Harto diharapkan untuk memimpin gerakan menemukan strategi baru bagi ABRI (yang jelasnya juga bagi Orde Baru atau Golkar), karena ini semua akan bertentangan dengan kepentingan beliau pribadi beserta keluarga dan konco-konconya. Juga, sudah mustahillah kiranya, untuk menghimbau kepada Pak Harto untuk memberikan sumbangan kepada diteruskannya usaha “nation building” dan “character building”. Sebab politik dan praktek beliau selama ini sudah menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh beliau justru menuju arah yang berlawanan. Bagi tokoh-tokoh penting, baik sipil maupun militer, atau, baik yang dari sisa-sisa Angkatan 45 maupun Angkatan sesudah 66, yang menyadari perlunya perobahan-perobahan dalam sistem politik dan kekuasaan yang sudah macet sekarang ini, sudah waktunya untuk bersama-sama bertindak. Negara kita, yang begitu luas daerahnya dan begitu banyak jumlahnya memerlukan adanya ABRI, sebagai aparat untuk menjaga keamanan negara. Seperti halnya di kebanyakan negara lainnya di dunia, ABRI harus mendapat tempat yang selajaknya dalam kehidupan bangsa, dan mendapat juga respek yang semestinya.

Tetapi, hal semacam ini tidak bisa dicapai dengan peran yang dimainkan oleh ABRI seperti sekarang ini. Sebab, di bawah sistem kekuasaan Orde Baru, dan dengan doktrin-doktrin pra-65 yang menimbulkan banyak distorsi tentang fungsi ABRI, tindakan banyak pejabat-pejabat ABRI telah menjadi sumber banyak penyakit parah dalam kehidupan negara. Perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita harus didahului oleh perbaikan dalam ABRI. Selama ABRI masih dijangkiti oleh macam-macam “ketidak-normalan”, maka situasi buruk yang sekarang sedang kita alami (dan yang sudah berlangsung selama 30 tahun) akan berlangsung terus. TNI pernah mendapat tempat yang terhormat dalam hati banyak orang di Indonesia, ketika ciri-ciri kerakyatannya masih menonjol, dan ketika praktek-prakteknya masih menghargai demokrasi. Di situlah letak kehormatan dan kebesaran TNI. Tetapi, dalam sistem kekuasaan Orde Baru dibawah pimpinan Pak Harto, ABRI telah keluar dari fungsinya yang wajar dan mengangkangi jaringan kekuasaan yang begitu luas, dan menjalankan praktek-praktek yang mematikan kehidupan demokratis. Jaringan kekuasaan yang amat luas (yang dalam tulisan Made Sutedja disebutkan sebagai rezim-maffia), bukanlah merupakan “kebesaran” ABRI.

Berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan kelakuan yang tidak pantas banyak pejabat-pejabat ABRI dalam melaksanakan Dwi-fungsi telah merusak citra ABRI. Dan karena kritik-kritik dari masyarakat mengenai ketidakberesan dalam Orde Baru biasanya telah ditanggapi dengan sikap “bermusuhan” dan arogan, maka ada anggapan bahwa selama Orde Baru masih dikendalikan oleh jaringan kekuasaan seperti yang sekarang ini, maka negara dan bangsa kita akan menjurus ke arah yang berbahaya, disebabkan oleh kebobrokan yang lebih parah lagi. Negara dan bangsa kita sedang menghadapi berbagai agenda yang penting, terutama Pemilu 97 dan sidang MPR 98. Dalam konteks ini, canang para mantan pati Abri (baca lagi, antara lain, pidato Hasnan Habib di Surabaya, Subiakto Prawirasubrata didepan seminar nasional “Demokrasi Versus Korporatisme Negara” oleh HMI di Bandung tgl 12 November), dan berbagai intelektual sipil, mengenai perlunya dirumuskannya kembali sesegera mungkin strategi Orde Baru dan Dwi-fungsi, adalah sangat penting. Sebab, sikap ABRI dalam menghadapi dua agenda penting itu akan ikut menentukan apakah usaha perbaikan di negara kita ini akan berhasil ataukah kita akan terus dipaksa menyaksikan bercokolnya kebobrokan di banyak bidang. Langkah para tokoh penting ABRI - baik yang mantan maupun yang masih aktif - untuk menempuh jalan baru merupakan sumbangan besar sekali untuk ber-sama-sama dengan berbagai kekuatan sosial, politik dan ekonomi, mengarahkan perkembangan situasi menuju perbaikan di macam-macam bidang.

Tanpa meninggalkan konsep ipoleksosbud ABRI yang disalahgunakan selama Orde Baru, penyakit-penyakit parah yang menghinggapi bangsa (korupsi, kolusi, tidak adanya demokrasi, kerusakan moral, dll) akan sulit diberantas. Dan, karenanya, kerusakan-kerusakan yang sudah terjadi selama 30 tahun ini akan berlangsung terus, bahkan akan menjadi lebih besar dan makin membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Kita semua berkewajiban, untuk bersama-sama, mendorong para tokoh-tokoh penting ABRI dan sipil untuk melakukan “desersi politik” dari barisan yang sudah kelihatan bobrok di bawah komando Pak Harto. Walaupun, mau tidak mau, keadaan objektif di negeri kita ini, pada akhirnya, akan memaksakan terjadinya “desersi politik”. “Desersi politik” semacam ini akan disambut dengan gembira oleh rakyat banyak, dibenarkan secara moral, dan disahkan oleh sejarah bangsa kita