10 menit baca

Instruksi Mendagri nomor 32-1981 perlu dihapus segera

Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia

Kata pengantar : “Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia” ini tidaklah berpretensi sebagai makalah ilmiah ataupun sesuatu yang bersifat “study” khusus mengenai HAM dan demokrasi di Indonesia. Tulisan-tulisan ini lebih menyerupai ungkapan berbentuk pamflet (tulisan satiris yang bernuansa ejekan, sindiran atau gugatan) mengenai berbagai soal aktual yang sedang dihadapi oleh negara dan rakyat Indonesia, yang diutarakan dari sudut pandang pribadi penulis atas dasar pemahamannya tentang prinsip-prinsip HAM dan demokrasi.

Di tengah-tengah kesibukan dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam situasi yang penuh dengan gejolak politik, ekonomi dan sosial dewasa ini di tanah-air, kiranya ada baiknya kalau kita tidak lupa bahwa ada satu soal yang perlu juga mendapat penyelesaian, yaitu : nasib para eks-tapol dan para keluarga mereka, beserta sanak-saudara mereka, baik yang dekat maupun jauh. Sebab, di pandang dari segi yang manapun juga, maka akan nampak jelaslah bahwa masalah mereka ini menyangkut masalah Hak Azasi Manusia, masalah tegaknya hukum, masalah rasa keadilan dan perikemanusiaan. Untuk jelasnya, mohon sudilah kiranya kita renungkan bersama-sama hal-hal sebagai berikut :

Sebagai akibat musibah G-30S, jutaan warganegara Republik kita telah menjadi korban pembunuhan besar-besaran di banyak tempat di tanah air. Sebagian terbesar di antara yang dibunuh itu adalah orang-orang yang tidak berdosa apapun. Banyak sekali wanita, bahkan anak-anak, juga ikut menjadi korban. Kalaupun ada di antara mereka yang dibunuh itu, katakanlah saja “berdosa”, maka dosa mereka itu adalah bahwa mereka pernah menjadi anggota atau simpatisan PKI atau termasuk “golongan kiri”. Bahkan banyak yang telah dibunuh atau ditahan hanya karena dituduh, atau diduga, atau di-indikasikan, atau di-isyukan, sebagai anggota atau simpatisan komunis, atau sebagai anggota organisasi massa (waktu itu), seperti : Gerwani, BTI, Sobsi, Pemuda Rakyat, CGMI, IPPI, HSI, Baperki dll. Itu semua telah terjadi 35 tahun yang lalu. Lalu, sekarang?

Trauma dan penderitaan yang berkepanjangan

Besarnya akibat peristiwa 65 itu sampai sekarang masih terasa, dan bahkan masih nyata kelihatan dewasa ini di sekitar kita, dalam masyarakat, dan dalam kehidupan negara dan bangsa. Skalanya sangat luas dan dampaknya juga mendalam. Kita semua telah merasakannya atau telah menyasikannya. Paling tidak, kita telah mendengarnya. Cobalah sama-sama kita periksa dan kita renungkan dengan hati nurani yang bersih, tentang keanehan-keanehan yang selama puluhan tahun telah mencengkeram bangsa kita ini. Umpamanya :

Entah berapa besar jumlah warganegara republik kita ini yang sampai sekarang masih belum berani bicara terus terang bahwa : bapaknya telah dibunuh, atau kakeknya telah hilang begitu saja, atau pamannya telah dianiaya sehingga cacad sampai sekarang. Entah, seberapa pula besarnya jumlah orang yang masih takut juga untuk bicara terang-terangan bahwa ada saudara-saudaranya (dekat maupun jauh) yang pernah dipenjarakan atau ditahan. Sekedar sebagai contoh : si Anu tidak berani mengakui bahwa si Badu itu adalah kemenakannya, hanya karena bapak si kemenakan itu pernah ditangkap oleh ABRI. Si Polan terpaksa merobah nama keluarganya, karena bapaknya dinyatakan golongan B atau C. Si Dadap terpaksa mengaku bahwa ibunya sudah mati, karena ibunya ini pernah masuk di penjara Plantungan selama bertahun-tahun.

Untuk lebih gamblang lagi, masih bisa diteruskan (Anda juga bisa menambahkannya sendiri!) dengan contoh-contoh lainnya, umpamanya yang begini : Banyak pejabat pemerintahan yang terpaksa memutuskan hubungan keluarganya sendiri atau keluarga istrinya hanya karena seseorang di antara keluarga jauhnya itu pernah menjadi anggota SOBSI. Konon, anak-anak orang-orang yang terbunuh atau hilang tak tahu rimbanya terpaksa di-adopsi oleh orang lain, supaya bisa melanjutkan sekolah. Si Mohammad Abdullah (nama sembarangan) terpaksa merobah namanya dengan Petrus Jacob supaya bisa ditrima menjadi pegawai negeri (karena bapaknya pernah diciduk dan meringkuk di tahanan sampai 4 tahun). Seluruh keluarga dekat maupun jauh pasangan suami istri Sudjono-Maimunah (nama pinjaman saja) sudah puluhan tahun dikucilkan (dibuang) oleh keluarga besarnya, karena si Mainunah adalah kader Gerwani (tadinya).

Masih perlu contoh-contoh lainnya? Mungkin empat halaman lagipun juga masih tidak cukup! Dari yang itu saja, kiranya sudah cukuplah untuk meyakinkan kita bahwa kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan kita ini pernah dibikin sakit puluhan tahun oleh sistem politik Orde Baru. Dan, oleh karena penyakit inilah maka berjuta-juta orang terpaksa mengalami penderitaan yang berkepanjangan, selama puluhan tahun pula. Yang keterlaluan, adalah bahwa justru penyakit inilah yang sampai sekarang masih berjangkit terus. Atau, untuk mengatakannya secara ces-pleng, masih sengaja dijangkitkan terus. Sampai sekarang. Sekali lagi, sampai sekarang! Untuk jelasnya, marilah sama-sama kita simak persoalannya lebih lanjut.

Instruksi nomor 32/1981 itu harus dicabut segera

Kita mengetahui, bahwa di negeri kita banyak sekali eks-tapol. Konon, pada tahun-tahun pertama berdirinya Orde Baru, pernah sampai 700 000 orang ditahan – untuk waktu singkat sampai beberapa tahun – dalam tempat-tempat tahanan militer, tahanan polisi, atau tempat-tempat penahanan sementara di bawah pengawasan Kodim dan Korem. Di pulau Buru sekitar 10 000 orang pernah dibuang, sedangkan penjara-penjara di seluruh negeri juga pernah penuh dengan mereka itu. (Catatan : Tulisan ini bukanlah tempatnya untuk khusus mengangkat persoalan peristiwa 65. Karena, masalah besar ini mempunyai latar-belakang sejarah yang bersegi-banyak.Pen.)

Sekarang ini, menurut pengakuan Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang) Yusrril Mahendra, pemerintahan Gus Dur sudah melepaskan semua tahanan politik, dan bahwa tidak ada lagi tapol di Indonesia. Ini sudah merupakan kemajuan yang menggembirakan. Tetapi, masih banyak lagi soal-soal lainnya yang berkaitan dengan eks-tapol yang harus segera ditangani oleh Menkumdang, Menteri HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dll.

Antara lain, yang paling mendesak adalah dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 32/1981 dan Pedoman Pelaksanaannya yang menjadi dasar pencantuman kode-kode khusus dalam Kartu Tanda Penduduk ex-tapol, yang terkenal dengan ET. Mengapa perlu dicabut? Sebab, Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI ini merupakan suatu warisan Orde Baru, yang telah membikin penderitaan bagi sejumlah besar warganegara RI kita. Karenanya, Instruksi ini perlu segera dibuang jauh-jauh, sebab kalau dipertahankan terus akan merugikan atau membahayakan usaha nasional kita untuk tercapainya rekonsiliasi nasional.

Misalnya, pada masa yang lalu, karena adanya Instruksi Mendagri ini, maka ratusan ribu orang yang pernah ditahan atau dipenjara dan kemudian dibebaskan, selama puluhan tahun masih harus terus “dibina dan diawasi”. “Pembinaan dan Pengawasan” ini memakai bentuk “Santiaji” atau “Sarasehan” secara berkala di kelurahan atau kecamatan atau Koramil. Banyak eks-tapol bila hendak pindah tempat tinggal harus ada penjaminnya dan harus melapor ke Koramil tempat tinggalnya yang baru dengan membawa surat keterangan dari Koramil tempat tinggalnya yang lama.

Dampak trauma psikologis yang meluas

¨Peraturan yang ditrapkan kepada para eks-tapol itu menimbulkan dampak yang amat luas di kalangan keluarga mereka (dekat dan jauh), sanak-saudara bahkan juga teman atau handai-tolan mereka. Mereka merasa ketakutan untuk bergaul dengan para eks-tapol, dan banyak keluarga mereka yang merasa tertekan selama puluhan tahun. Baiklah diingat juga kiranya, bahwa dengan adanya momok “bersih lingkungan”, atau “litsus” atau “bahaya laten PKI”, surat keterangan tidak terlibat G-30-S/PKI, screening mental ideologi terhadap pelamar untuk menjadi PNS, maka terror mental secara nasional dan menyeluruh ini telah pernah mengganas dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dan, sebagian dari penyakit itu masih berjalan sampai sekarang. Apakah hal yang semacam ini bisa kita biarkan terus?

Dulu, memang banyak orang takut untuk mempersoalkannya. Hal semacam itu bisalah dimengerti, mengingat situasi waktu itu. Tetapi, sekarang? Tidak bicara tentang ketidakadilan ini, berarti ikut menyetujui berlangsungnya terus peraturan yang tidak berperikemanusiaan itu. Tidak mempersoalkan masalah Instruksi 82/1981 ini berarti membiarkan orang-orang tak berdosa harus terus menjalani hukuman. Tidak melawan terhadap dipraktekkannya terus Instruksi ini berarti tidak ikut dalam perjuangan bersama untuk membrantas penyakit-penyakit yang diwariskan Orde Baru.

Sebab, soalnya bukanlah hanya urusan para eks-tapol saja. Melainkan juga persoalan yang berkaitan dengan puluhan juta orang lainnya yang ikut menjadi korban. Jelasnya, kita perkirakan sajalah bahwa seorang eks-tapol mempunyai 40 orang sanak-saudara, jauh maupun dekat. Maka ini berarti bahwa ada 40 juta orang yang kena dampak Instruksi 32/1981 ini. Perhitungan ini didasarkan kepada angka dalam komputer di Kementerian Dalamnegeri, yang, konon, mencatat sekitar 1,2 juta ex-tapol golongan A, B, C dan D.

Apakah eks-tapol itu merupakan bahaya?

Sesudah jatuhnya Suharto, kini masih ada juga orang-orang, atau golongan, yang menganggap eks-tapol adalah elemen-elemen yang berbahaya bagi negara dan bangsa. Terhadap orang-orang semacam ini memang patut dipertanyakan apakah mereka itu tidak buta hati nuraninya, apakah tidak picik pandangannya, apakah tidak cupet pemikirannya, apakah tidak tumpul perasaannya, atau, apakah tidak pendek perhitungannya, atau juga tidak buthek otaknya. Atau, supaya lebih tepat, bukankah justru gabungan dari itu semua?

Penjelasannya adalah sederhana saja. Pertama, eks-tapol adalah korban politik sewenang-wenang dan tidak berperikemanusiaan Orde Baru. Sekarang, politik pemerintahan di bawah pimpinan Gus Dur dan Megawati, pada pokoknya, adalah bertentangan dengan politik rezim Suharto. Banyak aspek-aspek bobrok yang diwariskan oleh masa-masa gelap itu sedang atau mulai dibrantas oleh Gus Dur. Secara logika yang sederhana saja, maka masuk akallah bila para eks-tapol itu mendukung berbagai politik pemerintahan yang sekarang. Mereka berkepentingan untuk terlaksananya berbagai politik Gus Dur yang berkaitan dengan pengembangan demokrasi dan ditegakkannya hukum dan keadilan. Jadi, terhadap segala celotehan orang-orang (baik di kalangan pemerintahan, DPR, atau dalam masyarakat) bahwa eks-tapol itu berbahaya, perlu dijawab : prek!!! (bagi yang tidak faham istilah ini, artinya kira-kira begini : bah, jangan hiraukan, atau jangan pedulikan!).

Kedua, para eks-tapol itu umumnya sudah lanjut usia, sudah mencapai ujung hidup. Sebagian terbesar di antara mereka, dalam kehidupan yang susah. Bahkan, banyak yang dalam penderitaan yang mengharukan. Ketika baru dibebaskan dua puluh tahun yl, mereka susah cari pekerjaan. Ke mana-mana ditolak, karena banyak orang takut mempekerjakan mereka. Sekarang, sesudah mereka kian tua, tentu kian sulit pulalah untuk bekerja. Di samping itu, lapangan kerjapun makin menciut karena banyaknya pengangguran. Banyak yang terpaksa hidup dari belas kasihan anak, saudara, teman atau pertolongan berbagai fihak.

Kepada orang-orang (termasuk pejabat-pejabat atau anggota-anggota DPR dll) yang menganggap bahwa para eks-tapol masih berbahaya perlu dianjurkan : kenalilah dari dekat pribadi para eks-tapol, dengarkanlah pandangan politik mereka, ketahuilah dengan baik sikap mereka terhadap kepentingan rakyat, negara dan bangsa.

Aib nasional ini harus kita buang jauh-jauh

Persoalan eks-tapol ini bukannya sesuatu yang bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia. Ini merupakan aib besar yang dihasilkan oleh kebebalan para penciptanya. Ini merupakan dosa dari kesewenang-wenangan rezim militer Suharto. Instruksi Mendagri 32/1981 ini adalah salah satu contoh dari banyak contoh lainnya tentang pelanggaran Hak Azasi Manusia. Kiranya, patutlah sama-sama kita ingat, dan kemudian kita yakini, bahwa pelanggaran HAM adalah salah satu pelanggaran yang dianggap serius oleh opini umum di seluruh dunia. Jadi, mempertahankan masih berlakukanya Instruksi Mendagri 32/1981 adalah sama saja dengan memupuri wajah bangsa dan negara kita dengan kotoran. Atau, sama saja dengan merongrong atau menyabot usaha Gus Dur untuk menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang beradab.

Karenanya, sebagai warganegara Republik kita, kita sudah sepantasnya untuk memprotesnya, karena soal ini mengotori rumah kita bersama, yaitu republik kita. Sebagai sanak-saudara dari salah satu eks-tapol, kita berhak berteriak lantang “Hentikan kedunguan ini”. Sebagai manusia, mahluk Tuhan, kita berkewajiban untuk memperingatkan : “Para eks-tapol itu juga mahluk Tuhan!!!”.

Mengingat itu semua, demi tugas nasional untuk bersama-sama membersihkan pola berfikir bangsa kita dari penyakit parah yang diwariskan Orde Baru semacam itu, perlulah kiranya kita semua bersama-sama menuntut dihapuskannya segera instruksi Mendagri tsb. Untuk itu, berbagai kegiatan (umpamanya : seminar, aksi-aksi protes, rapat-rapat, surat-surat kepada berbagai menteri) perlulah dilancarkan. Berbagai LSM atau organisasi non-pemerintah bisa mengangkat masalah ini sebagai bagian dari pendidikan di bidang politik, pengembangan kesedaran tentang HAM, dan bagian dari pengkonsolidasian demokrasi. Di sisi lain, kegiatan-kegiatan semacam itu merupakan dorongan lebih lanjut supaya pemerintahan Gus Dur tetap berjalan di atas jalur yang benar. (HABIS)