11 menit baca

Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965-1966

Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia (pamflet, gaya bebas berfikir)

Agaknya, bagi banyak orang, pernyataan Gus Dur dalam dialog interaktif Secangkir kopi yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret (2000) yang lalu adalah sesuatu yang menyentak fikiran, atau, setidak-tidaknya, bisa menggugah berbagai pertanyaan dalam hati. Ini dapat sama-sama kita saksikan dari banyaknya reaksi atau tanggapan baik positif maupun negatif berbagai fihak di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Mengingat pentingnya masalah ini bagi kehidupan bangsa dan negara, maka bisalah diramalkan bahwa buntutnya masih akan panjang, bahkan bisa panjang sekali. Dan, karena dampaknya persoalan ini bisa sangat besar dalam bidang politik, sosial dan moral, maka makin banyak orang ikut mempersoalkannya, akan makin baiklah kiranya bagi kehidupan bangsa kita selanjutnya.

Dalam pernyataan Gus Dur itu (menurut Kompas 15/3) disebutkannya bahwa sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), dirinya sudah meminta maaf terhadap para korban G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HA) lainnya. Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis.

Menurut Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. “Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi. Dan, ma’af ya, hal semacam itu terjadi, justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU. Gus Dur mengatakan, kalau masalah G30S/PKI dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar, paparnya. (Kutipan habis).

Kalau kita kaji dalam-dalam, dan kita renungkan baik-baik isi pernyataan Gus Dur tersebut di atas, maka terasalah bahwa pernyataan Gus Dur memang luar biasa. Karenanya, wajarlah kalau banyak sekali orang yang terperanjat atau terheran-heran. Sebab, apa yang dinyatakannya itu menyentuh suatu persoalan besar yang selama lebih dari 34 tahun menjadi duri besar dalam tubuh bangsa Indonesia, dan juga suatu masalah yang selama puluhan tahun menjadi tabu (larangan) untuk diangkat secara terbuka dan terang-terangan. Di samping itu, karena pernyataannya itu bisa ditafsirkan sebagai pesan politik dan pesan moral yang amat penting, terutama dalam konteks situasi aktual di negeri kita ini, maka perdebatan mungkin akan menarik.

Mencari kebenaran dari kenyataan

Barangkali cukup banyak di antara kita yang sudah pernah mendengar (atau membaca) bahwa ketika masih menjabat Ketua Umum NU Gus Dur sudah berani terang-terangan mengatakan bahwa dalam pembunuhan besar-besaran yang terjadi dalam tahun-tahun 65/66 banyak anggota-anggota NU yang terlibat dalam malapetaka besar itu. Ini telah dinyatakannya terus-terang dalam berbagai kesempatan, terutama dalam pertemuan-pertemuan dengan berbagai LSM atau dengan sahabat-sahabat. Di antaranya adalah dalam suatu pertemuan, sambil makan malam, di restoran koperasi INDONESIA di Paris dalam tahun 1995.

Dalam pertemuan tersebut hadir belasan orang, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang yang mendapatkan suaka politik dari pemerintah Prancis, atau yang menurut istilah Gus Dur, adalah orang-orang yang klayaban. Dalam pembicaraan santai tentang macam-macam soal yang dihadapi negeri kita waktu itu (perjuangan buruh, masalah demokrasi dll), telah terungkap juga masalah peristiwa 65. Waktu itulah, kami semua terheran-heran bercampur kagum mendengar pernyataan Gus Dur bahwa di antara orang-orang yang terbunuh itu banyak yang tidak bersalah apa-apa, dan bahwa tidak sedikit yang telah menjadi korban tindakan-tindakan orang-orang NU sendiri. (Pernyataan Gus Dur ini, yang kami anggap berani dan jujur ini, lama menjadi pembicaraan di antara kami, juga setelah Gus Dur kemudian meninggalkan Paris)

Sekarang ini, setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden, diulanginya lagi pernyataannya itu di depan TVRI, yang berarti bahwa ia telah melakukannya dengan kesadaran yang jelas dan dengan tujuan supaya pesannya itu didengar oleh seluruh bangsa. Yang perlu mendapat perhatian kita semua yalah bahwa pada kesempatan itu ia minta maaf kepada para korban yang diakibatkan oleh peristiwa tahun 1965 itu. Di sinilah letak kebesaran arti pesan Gus Dur. Sebab, kali ini ia tidak lagi berbicara sebagai Ketua Umum NU atau sebagai pemimpin ummat Islam, melainkan sebagai Kepala Negara.

Sudah tentu, kita semua bisa saja memberikan tanggapan yang macam-macam terhadap pernyataan Gus Dur itu, atau melihatnya dari sudut pandang yang berbeda-beda. Justru dengan dasar pemikiran yang begitulah seyogyanya kita mengangkat pernyataan Gus Dur itu. Makin banyak orang ikut membicarakannya akan makin baik bagi usaha bersama kita semua untuk memberikan sumbangan kepada penegakan kultur demokrasi di negeri kita yang sudah begitu lama diborgol oleh rezim militer Orde Baru. Sebab, dari perdebatan yang rame inilah kita bisa mengharapkan akan adanya kejelasan tentang masalah-masalah besar yang selama ini masih ditutup-tutupi oleh rezim militer Orde Baru.

Terlebih lagi, perdebatan tentang pembunuhan besar-besaran tahun 65/66, tentang peristiwa G30S (harap catat bahwa disini tidak dicantumkan PKI sebagai embel-embelnya! Pen), tentang peran Suharto dkk waktu itu, tentang campurtangan asing, tentang sikap Presiden Sukarno, tentang pengaruh Perang Dingin waktu itu, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan peristiwa itu semuanya akan bisa, lambat laun, membantu sejarah bangsa kita menemukan kebenaran. Kebenaran sejarah yang didasarkan kepada fakta atau kenyataan.

Adalah kewajiban kita semua untuk memberikan sumbangan untuk ditegakkannya kebenaran ini. Sumbangan ini bisa kita berikan dengan berbagai cara dan bentuk, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing dan bidang kita masing-masing. Dengan begitu, para pakar di bidang masing-masing atau lembaga-lembaga yang kompeten (misalnya : Masyarakat Sejarawan Indonesia, Universitas-universitas, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komnas HAM dll) juga akan bisa menunaikan tugasnya dengan lebih baik.

Dari sudut inilah, kiranya, bisa dilihat pentingnya - dan juga benarnya - pernyataan Gus Dur bahwa pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S. Karena, menurut Gus Dur, kalau masalah G30S dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa. Karena banyak orang menganggap PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar , kata Gus Dur.

Arah dan dasar pemikiran yang benar

Pendapat Gus Dur bahwa pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S adalah suatu hal yang perlu ditanggapi secara serius oleh kita semua. Sebab, pengalaman selama 32 tahun Orde Baru telah menunjukkan bahwa peristiwa G30S, beserta akibat-akibatnya kemudian, adalah suatu masalah besar bangsa kita. Bukan saja karena adanya kenyataan bahwa sebagai akibat peristiwa itu telah dibunuh secara besar-besaran lebih dari sejuta warganegara Indonesia dalam tempo yang singkat, tetapi juga karena adanya kenyataan-kenyataan lainnya.

Di antara kenyataan-kenyataan yang lain itu adalah : sebagai kelanjutan peristiwa G30S telah terjadi kudeta merangkak oleh Suharto dkk. Serentetan peristiwa-peristiwa menunjukkan bahwa pimpinan TNI waktu itu telah melakukan insubordinasi terhadap panglima tertinggi Sukarno, dan kemudian menyingkirkannya dari kekuasaan dan bahkan memenjarakannya dalam tahanan rumah sampai meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Suharto beserta pendukung-pendukungnya telah membersihkan secara sewenang-wenang DPR dan MPR dari unsur-unsur PKI (yang telah terpilih secara sah dalam pemilu demokratis dalam tahun 1955) dan simpatisan-simpatisan Presiden Sukarno. Kemudian disusul oleh pembubaran dan larangan terhadap PKI. Sejak itulah, rezim militer Orde Baru menjadi semakin kokoh dan semakin mengganas dalam merusak kehidupan demokratis dan dalam memperketat cengkeraman tangan-besinya di segala bidang. Sejak itulah demokrasi dimasukkan dalam liang kubur.

Jadi, bisalah kiranya dirumuskan secara singkat dan sederhana bahwa rezim Orde Baru telah dibangun atas tumpukan tulang-belulang dan banjiran darah dan air mata satu juta (bahkan lebih, barangkali) manusia Indonesia yang tidak berdosa sama sekali. Di antara mereka terdapat anggota-anggota dan juga simpatisan PKI, tetapi sebagian terbesar adalah anggota-anggota biasa (non-PKI) dari puluhan organisasi-organisasi massa seperti wanita, buruh, tani, pemuda, pelajar, mahasiswa, guru, pegawai negeri, pengusaha, sarjana di berbagai bidang, nelayan, sastrawan, seniman, wartawan dll. Mereka ini dibunuh tanpa proses pengadilan, tanpa salah apapun, sedangkan mereka tidak ada sangkut-pautnya samasekali dengan peristiwa G30S di Jakarta.

Namun, sekarang ini juga, masih saja ada orang yang tetap belum jelas dalam fikirannya tentang hakekat yang satu ini, yaitu bahwa : rezim Orde Baru telah dilahirkan dari rahim yang haram. Anak haram inilah yang menciptakan konsep pelanggaran HAM secara besar-besaran yang skalanya jarang ditemukan bandingannya dalam sejarah modern dunia. Pembunuhan besar-besaran 65/66, yang diikuti berturut-turut oleh berbagai pelanggaran parah HAM sepanjang 32 tahun adalah bagian yang inherent (tak terpisahkan) jati-diri rezim militer Orde Baru Suharto.

Dari sinilah kelihatan pentingnya arti pernyataan Gus Dur. Lewat pernyataannya itu ia mengajak bangsa kita untuk bersikap luhur, yaitu minta maaf kepada para korban pembunuhan besar-besaran 65/66. Sebab, dilihat dari segi yang manapun, pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 adalah kesalahan besar, adalah dosa berat, adalah kejahatan terhadap sesama ummat manusia, adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama yang manapun. Malapetaka besar ini harus menjadi pelajaran yang penting bagi generasi kita dewasa ini, dan juga bahkan terutama sekali bagi generasi kita yang akan datang.

Aspek penting lainnya dari pernyataan Gus Dur adalah ketika ia mengatakan bahwa pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S, dan bahwa dibukanya kembali kasus G30S akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. Ini juga merupakan sikap yang mencerminkan pemikiran yang demokratis, yang perlu didukung dan dikembangkan oleh semua fihak yang mendambakan kebenaran. Membuka kembali kasus ini haruslah dilandasi oleh tujuan untuk rekonsiliasi nasional dan persatuan nasional, dan bukan untuk membalas dendam atau justru untuk memperparah sentimen permusuhan.

Sebenarnya, masalah G30S bukanlah soal lama yang sudah selesai. Belum, masih belum selesai. Masih terlalu banyaklah soal-soal gelap yang perlu diungkap tentang peristiwa ini. Buntutnya masih terasa sampai sekarang. Sebab, sekarang semakin kelihatan bahwa apa yang sudah banyak disebarluaskan selama 32 tahun ini adalah versi rezim militer Orde Baru. Sedangkan sejumlah pakar dan tokoh (baik dalamnegeri maupun luarnegeri) sudah menyajikan versi yang berbeda-beda. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mengenai peristiwa ini ada 11 versi !!!

Perdebatan untuk mencari perdamaian

Agaknya, perlu kita usahakan bersama-sama supaya perdebatan tentang peristiwa 65 bisa merupakan sumbangan kepada usaha untuk mencerdaskan bangsa. Sebab, selama 32 tahun daya fikir bangsa kita telah dibius atau ditumpulkan oleh rezim militer Orde Baru, dengan segala macam indoktrinasi, manipulasi sejarah, intimidasi atau terror mental melalui segala cara dan bentuk. Begitu hebatnya terror mental ini sehingga tidak banyaklah orang yang berani mengutarakan pendapat yang berbeda dengan versi Orde Baru. Situasi yang semacam ini tidak sehat bagi kehidupan bangsa. Dan inilah yang sudah sama-sama kita rasakan selama puluhan tahun.

Bagi mereka yang takut - atau menakut-nakuti - bahwa mempersoalkan peristiwa 65 ( G30S dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak berdosa) akan bisa menimbulkan sentimen permusuhan atau gesekan dalam masyarakat perlu diingatkan - atau disadarkan bahwa sebenarnya, secara hakekatnya, gesekan ini sudah - dan masih terus juga, sampai sekarang - berlangsung selama puluhan tahun. Rezim militer Orde Barulah yang dengan berbagai cara telah terus-menerus memupuk gesekan atau sentimen permusuhan ini.

Kalau kita semua mau merenungkan dengan fikiran yang jernih dan dengan hati yang bersih, yang dipersenjatai dengan iman pula, maka kita akan bisa mengambil kesimpulan bahwa perlakuan terhadap para ex-tapol (berikut sanak-saudara mereka) yang jumlahnya begitu besar, dan yang sampai sekarang tetap terus mengidap penderitaan dalam berbagai bentuk, adalah manifestasi dari sikap permusuhan terhadap sebagian dari bangsa kita. Sikap permusuhan inilah yang selama puluhan tahun telah dipupuk, dibesarkan, dipelihara oleh rezim militer Orde Baru, beserta para pendukung setianya di berbagai kalangan. Jadi, sebenarnya, selama berkuasanya Orde Baru, sikap yang tidak menguntungkan persatuan bangsa ini tertanam - bahkan dengan sengaja ditanamkan - dalam masyarakat. Dan justru sikap permusuhan inilah yang mau diberantas oleh Gus Dur.

Dari sudut pandang inilah kiranya kita perlu menjabarkan isi pernyataan Gus Dur. Pernyataannya itu bertujuan untuk mengusahakan tercapainya kedamaian dalam hati banyak orang, yang sangat diperlukan untuk memupuk persaudaraan atau kekeluargaan antara sesama ummat. Jadi, tujuan ini adalah luhur dan mulia. Dan tujuan ini adalah bertentangan sama sekali dengan apa yang sudah puluhan tahun dipraktekkan oleh rezim Orba beserta para pendukung setianya. Alangkah kelirunya, kalau ada di antara kita yang mengartikan bahwa pernyataan Gus Dur itu bertujuan untuk sekedar mengungkit-ungkit peristiwa lama, dan membikin lebih parahnya luka-luka hati bangsa. Jelasnya, pernyataan Gus Dur itu perlu ditanggapi sebagai usaha supaya kita semua belajar menghargai hak-hak asasi manusia.

Sekarang ini, kita sedang menyaksikan bahwa pernyataan Gus Dur ini mendapat reaksi yang cukup rame dari berbagai fihak, baik yang positif maupun yang negatif. Perkembangan ini bagus. Dari berbagai pendapat yang muncul itu kita akan semakin melihat dengan jelas, siapa-siapa sajakah atau golongan yang manakah yang benar-benar menghargai hak-hak asasi manusia, yang menjunjung tinggi ajaran agama, yang berfikir dengan peradaban, dan yang tidak. Dari segala pernyataan atau pendapat yang muncul itu, akan semakin gamblanglah bagi kita untuk membedakan mana yang emas dan mana yang loyang.

Berdasarkan nalar yang waras, dan berpedoman kepada hak-hak asasi manusia, dan bersenjatakan dengan iman dan ajaran-ajaran Tuhan, bisalah kiranya kita berharap bahwa arah benar yang sudah ditunjukkan oleh Gus Dur akhirnya akan dimenangkan oleh opini banyak orang, bukan saja di dalamnegeri, melainkan juga di luarnegeri. Dan, perlulah jelas dalam fikiran kita semua, bahwa kemenangan ini merupakan kemenangan kita bersama, tidak peduli dari kalangan agama yang manapun, kalangan suku apapun, dan dari kalangan politik yang bagaimanapun. Ini merupakan kemenangan perikemanusiaan dan kemenangan fikiran beradab (HABIS).