15 menit baca

Djohan Effendi mengkritik Menteri Agama soal Ahmadiyah

Berikut di bawah ini adalah tulisan Pak Djohan Effendi, tokoh pluralisme dalam agama, sahabat dekat sekali Gus Dur. Beliau pernah dipilih oleh Gus Dur sebagai Sekretaris Negara, ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Tulisannya mengenai persoalan Ahmadiyah dan kritikannya terhadap Menteri Agama mengenai masalah ini adalah tajam sekali. Berhubung dengan pentingnya isi tulisan tersebut, maka di bawah ini disajikan teksnya selengkapnya.

A. Umar Said

= = =

Negara dan “Aliran Sesat”

Djohan Effendi

“Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, di pinggiran yang dianggap angker banyak setannya sekalipun, atau di pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan, hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan. Atau, jika telah dianggap menodai agama, telah melanggar Undang-undang No. 1 PNPS/1/1966, sebagaimana selama ini diancamkan, jebloskanlah kami, Bapak Wali Kota, ke dalam penjara. Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda maupuan anak-anak, lahir batin, ikhlas di penjara, tanpa proses hukum sekalipun. Atau jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami, di ruang penjara tidak ada tempat bagi kami, di pekuburan-pekuburan juga tidak ada tempat bagi kami, maka galikanlah bagi kami, Bapak Wali Kota, kuburan. Kami seluruh warga Ahmadi pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup. …”

Kutiban di atas adalah jeritan penderitaan batin yang disuarakan oleh segelintir warga negara Republik Indonesia setahun yang lalu, yang dipaksa meninggalkan rumah kediaman mereka, hanya karena mereka menganut aliran yang difatwakan sesat. Mereka adalah warga Ahmadiyah yang sekarang masih di tampung di tempat transit transmigrasi karena mereka diusir dari rumah mereka di pinggiran kota Mataram, Lombok, sekitar 4 tahun yang lalu. Sangatlah ironis karena mereka adalah warga negara yang tidak melakukan kejahatan terhadap masyarakat maupun terhadap negara. Kemeriahan peringatan 65 tahun merdeka mereka saksikan di tempat pengungsian tanpa menikmati udara kemerdekaan.

Saya merasa perlu mengungkapkan tragedi kemanusiaan ini sehubungan dengan pernyataan Menteri Agama belum lama ini yang nampaknya sangat bernafsu ingin melarang Ahmadiyah setelah lebaran ini. Terbetik pertanyaan bahkan kekhawatiran dalam hati apakah warga jemaat itu akan mengalami nasib tragis seperti yang dialami warga saudara-saudara mereka yang masih berada di tempat penampungan di kota Mataram itu? Tidak mustahil! Belajar dari pengalaman selama ini, akibat entah ketidakmampuan atau malah ketidakmauan aparat Pemerintah menangani kasus seperti yang terjadi Lombok hingga saat ini, besar kemungkinan musibah kemanusiaan semacam itu akan terjadi bahkan bisa jadi akan lebih besar. Sebuah tontonan untuk masyarakat dunia yang beradab tentang pelanggaran hak asasi manusia di bumi Pancasila. Ironis!
Keinginan Menteri Agama itu tidaklah mengagetkan karena ketika berkampanye untuk menarik suara pemilih dalam pemilihan umum yang lalu beliau berjanji untuk membubarkan Ahmadiyah. Namun keinginan Menteri Agama ini mengusik perasaan kita yang mendambakan terwujudnya ideologi negara kita, Pancasila, yang memuat sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan yang mengingkan terpenuhinya hak-hak sipil warga negara yang dijamin oleh Konstitusi negara kita.

Sukar digambarkan bagaimana kekecewaan para Pendiri Republik ini mendengar ancaman Menteri Agama yang ingin menciderai kemerdekaan beragama di negeri kita ini. Hal ini pasti tak terbayangkan oleh pendahulu kita ketika mereka memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita. Tulisan seorang tokoh yang tak diragukan kepatriotan dan kemuslimannya seperti K.H. Agus Salim dalam Agenda Kementerian Agama tahun 1952/1953 perlu kita resapi kembali. Kata beliau: “Dalam karangan ini kita hendak menunjukkan minat kepada kemerdekaan agama itu. Bagaimana kemerdekaan itu harus dipahamkan dalam negara kita, yang didasarkan kepada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapatkah dengan asas negara kita itu kita mengakui keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi? Tentu dan pasti!” Tentu dan pasti, sebuah ungkapan yang menggambarkan tekad dan komitmen yang teguh para Pendiri Republik kita untuk menegakkan kebebasan berkeyakinan di negeri kita. Bagi mereka negara menjamin kebebasan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani setiap orang. Mengapa setelah 65 tahun merdeka masih ada pikiran di kalangan aparat negara kita yang ingin mengkhianati komitmen pendahulu kita. Apa salah mereka sehingga semangat kemanusiaan dan nilai keberadaban mesti kita campakkan?

Kebebasan berkeyakinan sebagai salah satu hak konstitusional warga negara ditegaskan oleh MPR di masa Orde Baru. Bahkan ditegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian suatu golongan. Karena itu aparat negara tidak berwenang memberangus kemerdekaan beragama dan berkeyakinan warga negara selaku pemegang kedaulatan tertinggi dalam republik ini. Negara apalagi para pejabatnya tidak berada di atas Tuhan yang menganugerahkan bumi untuk umat manusia tanpa kecuali dan diskriminasi, beriman atau tidak, benar atau sesat, untuk hidup dengan nyaman.

Kebebasan Beribadah sesuai dengan Keyakinan

Larangan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing sangatlah memerihkan hati seorang penganut agama dan kepercayaan apapun. Larangan seperti ini adalah sebuah pemerkosaan hati nurani yang menyebabkan derita batin yang tak terperikan. Betapa fundamentalnya kebebasan berkeyakinan dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan itu kita bisa menarik pelajaran dari sebuah kasus nyata yang dialami almarhum Buya Hamka selaku Konsul Muhammadiyah untuk Sumatera Utara di masa penjajahan Jepang sebagaimana beliau kisahkan dalam otobiografi beliau, Kenang-kenangan Hidup. Ketika itu, di awal tahun ‘45, ratusan warga Muhammadiyah kampung Rampah di wilayah Kesultanan Deli ingin mendirikan sembahyang Jum’at tersendiri. Keinginan warga Muhammadiyah ini dilarang oleh kerajaan. Salah seorang warga Muhammadiyah Rampah yang memelopori pelaksanaan ibadah sembahyang Jum’at sendiri, Yahya Pintor, bahkan sempat dipenjara. Selaku Konsul Muhammadiyah almarhum Buya Hamka terpaksa berhadapan dengan pihak kerajaan. Terjadilah ketegangan yang memaksa Penguasa Jepang turun tangan untuk mencari penyelesaian. Namun usaha ini terbentur pada sikap kedua belah pihak yang bersikukuh pada sikap masing-masing.

Menarik untuk disimak pembelaan Buya Hamka terhadap warga Muhammadiyah yang berjuang melaksanakan sembahyang Jum’at sendiri yang dianggap melanggar hak Kerajaan. Kata Buya Hamka: “Ke bawah Duli patik mengerti hak kerajaan. Dan kalau dahulu demikian, sekarang sudah mesti berobah. Faham-faham baru dalam kalangan rakyat telah kembang dan tidak dapat diikat lagi. Kalau kerajaan hendak tetap dijunjung rakyat, hendaklah dia robah caranya berfikir. Dia jangan membela suatu pihak faham, tetapi melindungi semua faham. Satu mesjid berhaluan tua, dan ada pula yang lain berhaluan muda, keduanya di bawah lindungan kerajaan. Patik percaya, dengan begitu kerajaan akan senantiasa dapat sokongan rakyat. … Rancangan Muhammadiyah tidaklah terlalu tinggi. Janganlah ke bawah Duli menyangka yang tidak-tidak terhadap patik dan pacal-pacal Tuanku teman patik. Asal kemerdekaan melakukan agama menurut yang kami yakini telah bebas, cukuplah bagi kami. Lebih dari itu tidak!” Larangan kerajaan itu didasarkan pada anggapan pada mendirikan sembahyang Jumat sendiri melanggar ketentuan dalam mazhab Syafie yang dianut Kesultanan Deli. Menanggapi anggapan ini Buya Hamka mengatakan kepada penguasa Jepang yang berusaha mendamaikan pertentangan Muhammadiyah dan Kesultanan Deli: “Majlis Hakim Kerajaan telah memutuskan bahwa kami melanggar Mazhab Syafie. Untuk menjaga perdamaian, kami kemukakan alasan Mazhab Syafie yang menganggap sah Jum’at kami. Sekarang sebab Pemerintah Dai Nippon telah sudi mencampuri soal ini, sebab menjaga persatuan semangat dalam perang, biarlah saya kemukakan pendirian kami yang sebenarnya. Kami Muhammadiyah tidak terikat dalam Mazhab Syafie.… Kami hanya memakai suatu mazhab untuk langkah menuju dasar Islam, yaitu Quran dan Hadits. Pada pendapat kami Jum’at kami tidak sah, selama kami bersatu dalam Jum’at kerajaan. Menurut pandangan kami, di sana terlalu banyak bid’ah, yang dalam mazhab Syafie sendiri pun tidak ada! … Saya percaya pihak pemerintah Dai Nippon akan dapat mendamaikan hal ini! Yaitu kemerdekaan beragama! Dalam hal yang lain kawan-kawan saya di daerah kerajaan akan tetap menjadi rakyat yang patuh! Tetapi berilah dia kemerdekaan mengerjakan agama menurut keyakinannya!”

Ketika pihak kerajaan menegaskan bahwa seluruh kekuasaan agama adalah di tangan Sultan. Muhammadiyah boleh berdiri tetapi jangan mengerjakan agama berbeda dengan amal pihak kerajaan, Buya Hamka menangkis mengapa mendirikan klenteng dan gereja dibolehkan? Pihak kerajaan menjawab bahwa kalau Muhammadiyah sudah terang tidak Islam, mereka akan diizinkan melaksanakan ibadahnya sendiri. Lalu Buya Hamka berkata: “Bukankah menurut keyakinan kerajaan, kami ini adalah golongan yang sesat? Golongan Wahabi, Mu’tazilah, keluar dari Mazhab Ahli Sunnah Wal-Jama’ah? Apa salahnya tuan golonglan saja kami sebagai pemeluk agama yang lain? Sebab berbeda pendirian dengan tuan-tuan.”

Dalam kasus yang dihadapi Buya Hamka ini adalah yang menarik, yakni pengertian dari pejabat Jepang. Ia mengomentari kasus itu dengan menyampaikan sebuah ungkapan dalam bahasa Jepang “Nici Den”. Ketika Buya Hamka menanyakan arti ungkapan itu, pejabat Jepang itu mengatakan: “Terhadap suatu faham agama seseorang bersedia mati untuk keyakinannya”.
Kebebasan berkeyakinan dan kebebasan melaksanakan ibadah berdasarkan keyakinan sebagaimana yang diperjuangkan Buya Hamka di masa kerajaan ternyata masih harus kita perjuangkan di masa republik sekarang ini. Kebijakan kerajaan 65 tahun yang lalu ingin diulangi lagi. Jarum sejarah ingin diputar balik. Tragis!

Ahmadiyah di Pakistan

Sejak tahun 1974 Ahmadiyah diposisikan sebagai minoritas non-muslim berdasarkan undang-undang. Mereka tidak dilarang bahkan sesuai dengan konstitusi Pakistan kelompok Ahmadiyah mendapat jatah kursi di parlemen Pakistan sebagaimana halnya golongan minoritas lainnya seperti Hindu, Buddha dan Kristen. Hanya saja mereka tidak mau mengambilnya. Hal ini terjadi karena dalam amandemen konstituasi dimuat definisi tentang siapa yang disebut sebagai muslim. Berdasarkan definisi itu Ahmadiyah dikatagorekan sebagai non-muslim. Makaitu kenon-musliman Ahmadiyah di Pakistan tidak atas dasar pengakuan diri warga Ahmadiyah akan tetapi semata-mata berdasarkan konstitusi negara itu yang diamandemen pada tahun 1974. Mereka dilarang mengucapkan salam assalamu ‘alaikum, mengganti sebutan mesjid untuk tempat sembahyang mereka, dan mengumandangkan azan dengan pengeras suara.

Memang sejak kemunculan jemaat ini telah terjadi kontroversi dalam lingkungan umat Islam di Anak Benua India. Ketegangan dengan golongan Ahmadiyah ini pernah juga muncul pada tahun 1953. Terjadi demonstrasi meminta pemberhentian Menteri Luar Negeri Zafrullah Khan, seorang penganut Ahmadiyah. Kerusuhan terjadi karena pemerintah Pakistan di bawah Perdana Menteri Khwaja Najamuddin menolak tuntutan kelompok yang menuntut agar pengikut Ahmadiyah diberi status sebagai golongan dzimmi, atau non-muslim. Zafrullah Khan sendiri saat itu justru mendapat penghargaan yang luar biasa dari negeri-negeri Islam terutama negara-negara Arab di Timur Tengah karena pembelaannya terhadap hak-hak rakyat Palestina yang terdesak akibat pembentukan negara Israel. Sebagai Menteri Luar Negeri Republik Islam Pakistan Zafrullah berusaha menggalang negeri-negeri Islam untuk memperkuat posisi mereka dalam dunia internasional. Di saat itu terbit fatwa Al-Azhar yang mempersoalkan kemusliman Zafrullah yang kemudian berimbas ke Pakistan dan muncul tuntutan pencopotan Zafrullah Khan sebagai Menteri Luar Negeri Pakistan. Hal bermula dari ketersinggungan Raja Faruk karena “kelancangan” Zafrullah Khan memberi nasehat kepadanya ketika ia menemuinya pada tahun 1952.

Ketersinggungan Raja Faruk itu diceritakan oleh K.H. Wahid Hasyim dalam tulisan beliau seperti dimuat kembali dalam Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar yang dihimpun H. Abubakar Aceh. Dengan nada membela Zafrullah Khan beliau menulis: “Zafrullah Khan, ketika itu Menteri Luar Negeri Pakistan, datang berkunjung kepada Raja Faruk dengan suatu rencana untuk menyelenggarakan suatu pertemuan antara Perdana Menteri negara-negara Islam. Kepadanya beliau memajukan uraian pendek menyatakan bahwa kini dunia telah memandang negara-negara Islam sebagai faktor penting dalam menentukan politik internasional. Dalam pada itu beliau menyatakan penyesalannya, bahwa penghargaan dunia pada negara-negara Islam itu kadang-kadang mendapat gambaran jelek karena beberapa pembesar negara Islam kurang berhati-hati dalam hidup privenya. Orang boleh bersenang-senang tetapi jangan menyolok mata. Waktu itu Faruk berdiri seketika dan meninggalkan tempat dan tidak kembali lagi hingga si tamu keluar dengan tidak berpamitan. Besoknya Faruk memanggil Syekh Al-Azhar, disuruhnya menyatakan bahwa Zafrullah Khan itu seorang pengikut Ahmadiyah Qadian, yang menganggap Nabi Mirza Ghulam Ahmad, kenapa pemerintah Pakistan memakai orang yang keluar dari Islam buat menjadi Menteri Luar Negeri?”

Tapi nasib malang menimpa raja Faruk. Tidak berselang lama kemudian terjadi peristiwa yang justru membuat sang raja flamboyan itu terpaksa lari ke Roma. Beberapa perwira tentara Kerajaan Mesir menggerakkan kupdetat, mengambil alih kekuasaan dan mengusir Faruk serta mengangkat Jenderal Muhammad Najib sebagai Presisen Republik Mesir. Tak beberapa lama Najib sendiri digantikan oleh pemimpin perwira tentara Mesir, Kolonel Jamal Abdul Naser. Dalam rangka usahanya menggalang negeri-negeri Islam Zafrullah kembali ingin menemui penguasa baru Mesir. Sebelum dia menemui Presiden Mesir itu Sang Presiden baru diberi tahu bahwa Zafrullah Khan adalah seorang pengikut Ahmadiyah yang dianggap non Muslim. Menarik adalah jawaban Jamal Abdul Naser yang menunjukkan penghargaan Presiden Mesir itu kepada Zafrullah Khan. Ia berkata: “Andaikan Zafrullah Khan itu seorang non-Muslim maka aku ingin menjadi non-muslim yang baik seperti Zafrullah Khan.”

Selain K.H. Wahid Hasyim beberapa pemimpin Indonesia dengan tegas membela Zafrullah Khan. Majalah Partai Islam Masyumi, Hikmah, terbitan 19 Juli 1952 menulis sebuah editorial membela Zafrullah Khan atas fatwa Al-Azhar yang mengafirkannya. Antara lain dikatakan: “… mencap kafir kepada sesama kawan Islam itu saja sudah cukup besar dosanya, maka alangkah besarnya dosa seseorang yang mencap kafir kepada kawan seagama justru pada saat kawan itu sedang dalam pergulatan membela keagungan Islam.” Merujuk pada gaya bahasanya serta penyebutan Zafrullah Khan sebagai kawan, tulisan itu tak diragukan tentu ditulis oleh almarhum Muhammad Natsir, pemimpin redaksi Majalah Hikmah, organ resmi partai Masyumi. Seorang tokoh Masyumi yang lain, almarhum Yusuf Wibisono juga menulis kecamannya terhadap huru-hara di Pakistan itu dalam Majalah Mimbar Indonesia dan mengingatkan akan jasa besar Zafrullah Khan pada dunia Islam. Bahkan tidak kurang dari Presiden Soekarno sendiri, beliau malah memanggil Duta Besar Pakistan, Choudry Muddabbir Husein, dan dengan agak gusar mengirim pesan kepada Pemerintah Pakistan untuk tidak membiarkan huru-hara itu berlarut-larut.

Berkenaan dengan huru-hara yang terjadi di Pakistan tersebut, pemerintah Khwaja Najamuddin akhirnya menyatakan negara dalam keadaan darurat. Para penggerak demostrasi dibawa ke pengadilan. Selain itu Pemerintah Pakistan membentuk sebuah komisi khusus yang dipimpin oleh Hakim Senior Muhammad Munir. Komisi ini mengajukan pertanyaan kepada sejumlah ulama definisi apakah Islam itu dan siapakah muslim itu. Dalam laporannya menyebutkan: “Memperhatikan berbagai definisi yang diberikan oleh ulama-ulama, tak perlu kita berkomentar kecuali bahwa tak ada dua ulamapun yang seia dalam masalah yang fundamental ini. Bila kita mencoba membuat definisi kita sendiri sebagaimana dilakukan oleh para ulama itu, dan definisi kita berbeda dengan definisi-definisi yang diberikan oleh semua lainnya, tak ayal lagi kita keluar dari lingkungan Islam. Dan apabila kita mengikuti definisi yang diberikan oleh salah satu ulama maka kita tetap muslim menurut ulama yang bersangkutan akan tetapi kafir menurut definisi ulama lainnya.” (Munir Report hal. 218 tahun 1954). Laporan Munir ini dengan jelas menunjukkan bahwa interpretasi dan formulasi para ulama tentang hal yang sangat fundamental apakah Islam dan siapakah Muslim tidak sama. Maka tidak seyogyanya apabila kita memaksakan interpretasi dan formulasi kita kepada orang lain. Apalagi kalau hal itu dilakukan dengan kekuasaan dan kekerasan. Nabi sendiri tidak diberi wewenang untuk melakukannya.

Apa yang akan dilakukan Menteri Agama?

Kontroversi tentang faham Ahmadiyah di begeri kita bukan masalah baru. Sejak kedatangannya telah terjadi polemik dan perdebatan. Akan tetapi ulama-ulama dulu tidak pernah meminta tangan penguasa untuk membasmi faham yang mereka anggap mengandung kekeliruan. Mereka adu otak dan tidak adu otot. Mereka mempergunakan cara-cara yang cerdas.

Kalau Menteri Agama bersikukuh melaksanakan keinginan beliau, mungkin ada baiknya beliau menyampaikannya lebih dahulu kepada Bapak Presiden sebagai Kepala Negara yang bersumpah untuk menjalankan Undang-Undang Dasar. Keinginan Menteri Agama ini sangat penting karena menyangkut pencabutan hak dasar warga negara yang dijamin oleh Konstitusi dan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara kita. Lebih dari itu Menteri Agama seyogyanya memikirkan dampak pemberangusan hak-hak sipil warga Ahmadiyah tersebut. Ada baiknya apabila Menteri Agama merenungkan apa yang dikatakan seorang pejabat Jepang kepada Buya Hamka bahwa berkenaan dengan faham agama seseorang bersedia mati untuk keyakinannya. Lalu apa yang akan dilakukan oleh Menteri Agama apabila warga Ahmadiyah bersikukuh dengan keyakinannya? Apakah Menteri Agama akan mengadakan institusi “mihnah” yang memaksa warga negara menganut faham resmi seperti dilakukan kekhalifahan Abbasiyah di abad pertengahan ketiga aliran Mu’tazilah menjadi anutan penguasa? Apakah Menteri Agama akan mengusir warga Ahmadiyah dari negeri ini, atau memenjarakan mereka, atau mengiring mereka ke pekuburan massal demi membersihkan negeri kita dari orang-orang yang sesat? Apakah penderitaan warga negara yang kebetulan pengikut Ahmadiyah di Mataram yang sampai kini masih terlunta-lunta masih belum cukup? Tolong renungkan Bapak Menteri!

Kepada Presiden sendiri diharapkan untuk merenungkan apakah di era kekuasaan beliau sebuah tindakan melanggar konstitusi akan dibiarkan bahkan direstui? Suatu kebijakan yang tidak pernah dipikirkan oleh Menteri-menteri Agama sebelumnya. Mereka bukan orang sembarangan. Kebanyakan mereka adalah pejuang kemerdekaan dan ulama-ulama terkemuka yang tidak diragukan gairah kemuslimannya. Mereka bukan orang yang tidak mengerti tentang berbagai faham dan aliran keagamaan yang berkembang di negeri kita, juga tentang Ahmadiyah. Tapi mereka sadar dan teguh untuk menempatkan diri sebagai pejabat negara yang mengayomi semua golongan, tidak memihak dan bersikap partisan, dan arif untuk tidak terlibat dalam kontroversi sesat-menyesatkan. Mereka adalah para agamawan yang saleh dan negarawan yang bijak.

Ada baiknya kita mengingat kembali apa yang disampaikan Presiden Suharto di hadapan Rapat Kerja Departemen Agama 30 tahun yang lalu: “Hendaknya disadari bahwa setiap dan segenap warga negara berhak mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang wajar dan adil dari aparat Pemerintah, juga dalam bidang agama. Harus dijaga sebaik-baiknya agar jangan ada sebagian atau sekelompok umat beragama yang merasa diperlakukan tidak wajar dan tidak adil, yang merasa hak-hak mereka dikurangi atau tidak dipenuhi sebagaimana seharusnya.”
Konstitusi negara kita sedang dipertaruhkan Bapak Presiden! Kemauan dan kemampuan kita untuk menegakkannya sedang diuji!

Penulis adalah aktifis Lintas Agama dan Kepercayaan.