19 menit baca

Calon-calon militer dalam pemilu 2009

Organisasi TAPOL yang berkedudukan di London mulai bulan September 2008 yang lalu menyiarkan tulisan atau bahan-bahan mengenai pemilu di Indonesia, yang diberi nama « Election project ».Tulisan nomor 1 (dalam bulan September) mengangkat masalah yang penting sekali bagi bangsa dan negara, yaitu kemungkinan-kemungkinan tampilnya sejumlah jenderal-jenderal yang sudah pensiun untuk muncul dalam panggung politik, termasuk dalam persaingan untuk menjadi presiden.

Dalam tulisan tersebut, dengan baik dan gamblang telah disoroti keterlibatan militer dalam politik sejak 1952, hubungan yang erat antara militer dan Golkar, sampai jatuhnya Suharto, dan juga berbagai aspek dari persoalan Wiranto, Prabowo, Sutiyoso serta sejumlah jenderal atau pembesar militer dan kepolisian.

Mengingat pentingnya tulisan tersebut bagi kita semua dalam menghadapi pemilu yang sudah makin dekat maka berikut di bawah ini disajikan teksnya secara lengkap. Kiranya, tulisan ini dapat menambah wawasan kita bersama untuk merenungkan atau menelaah persoalan-persoalan besar bangsa dan negara kita, termasuk masalah pemilu 2009.

A. Umar Said = = = = = = = = = =

Tulisan yang disiarkan TAPOL selengkapnya adalah sebagai berikut :

” Pemilu adalah indikasi beberapa hal: popularitas atau terpuruknya pemerintah dan kecenderungan politik lainnya. Dalam negara yang kompleks seperti Indonesia, pemilu juga melibatkan usaha kelompok dalam elit yang berkuasa untuk mempertahankan kemenangannya atau upaya mereka yang telah tenggelam untuk tampil kembali. Sejak jatuhnya Suharto tahun 1998, elit militer telah banyak kehilangan kekuatan politiknya dan sekarang mereka secara resmi disingkirkan dari arena politik. Karena itu bukan suatu kebetulan kalau banyak pensiunan perwira, terutama mantan jenderal angkatan darat, yang ingin kembali ke panggung politik. Banyak yang sudah menjadi calon legislatif dalam pemilu 2009 sementara beberapa kaliber berat telah melangkah menuju pemilihan presiden yang akan diadakan kemudian pada tahun depan (2009).

Ini dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara. Selama lebih dari tiga dekade, Suharto memimpin kediktatoran militer dengan dwifungsi sebagai doktrin utamanya. Dwifungsi memberi militer hak untuk bermain dalam politik, yang kemudian dieksploitasi dalam skala besar. Meskipun anggota angkatan bersenjata tak diperbolehkan memilih, mereka diberi jatah 100 kursi dalam DPR dan DPRD.

Tetapi, setelah jatuhnya Suharto, dwifungsi dilempar masuk ke tong sampah sejarah. Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah memiliki beberapa pengalaman mengenai keterlibatan militer dalam politik. Selama apa yang disebut sebagai jaman liberal (1952- 1959), militer tak puas disingkirkan dari panggung politik dan membentuk partai politik mereka sendiri, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang tampil dengan menyedihkan dalam pemilu1955. Aspirasi politik mereka kembali muncul setelah beberapa organisasi militer mendirikan platform baru bernama Golkar (Golongan Karya) pada tahun 1964. Maksudnya adalah agar Golkar dapat menghadapi pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang kian besar. Golkar menjadi mesin politik yang ampuh bagi Suharto dan jenderal-jenderalnya setelah mereka merebut kekuasaan pada bulan Oktober 1965 dan menyingkirkan gerakan sayap kiri.

Selama lebih dari 30 tahun Golkar tetap menjadi satu-satunya kendaraan politik militer tetapi partai ini secara konstan direcoki oleh pergulatan kekuasaan internal. Pada tahun 1990-an, Suharto kian terisolasi dan memutuskan untuk “menyipilkan” pucuk pimpinan Golkar. Tahun 1993 ia menunjuk Harmoko, seorang sipil, sebagai ketua, dan lima tahun kemudian, Akbar Tandjung mengambil alih. Tahun lalu, Jusuf Kalla, wakil presiden Indonesia, terpilih sebagai ketua partai. Perkembangan ini mengantarkan keterlibatan militer dalam politik menuju fase ketiga: dengan peran yang kini melemah, beberapa jenderal utama mulai mendirikan organisasi politik di luar Golkar.

Ada politisi senior yang berkilah bahwa memasang jenderal dalam pemilu merupakan hal positif karena kalangan sipil kurang memiliki wewenang dan lemah dalam pengambilan keputusan. Tetapi ada jauh lebih banyak hal dari itu. Banyak perwira yang dengan tegas meyakini bahwa militer adalah satu-satunya kekuatan yang dapat melindungi integritas negara dan politisi selalu membuat hal menjadi kacau. Ini tak diragukan lagi merupakan kerangka kerja ideologis dan pemikiran pensiunan jenderal seperti Wiranto, Prabowo dan banyak lagi.

Sudah pasti benar bahwa militer tetap merupakan institusi terkuat di Indonesia dan bahwa penyelenggara pemerintahan yang memiliki kemauan kuat, otoriter dan tangguh sering kali muncul dari jajaran ini. Selama Orde Baru di bawah Suharto yang berlangsung sedemikian lama, suatu kasta penyelenggara pemerintahan militer telah tercipta. Di Indonesia sekarang ini, banyak penyelenggara pemerintahan baru yang merupakan warga sipil, yang terpilih melalui proses demokrasi, tetapi mereka sering kali dipandang tak dapat memutuskan dan lemah dibandingkan dengan penguasa yang otoriter di masa lalu.

Dari sekian banyak pensiunan perwira yang ingin memperoleh posisi politik, yang paling ambisius adalah jenderal Wiranto, Prabowo dan Sutyoso yang akan memperebutkan kursi presiden. Banyak pensiunan perwira lain yang mencoba meraih posisi tertinggi dalam salah satu dari 38 partai politik yang bakal bertarung dalam pemilihan tingkat nasional dan daerah, atau berusaha menjadi gubernur atau bupati. Yang lain berharap untuk memperoleh posisi strategis dalam birokrasi daerah.

Ketiga jenderal itu dikenal memiliki catatan pelanggaran HAM berat dan keunggulan politik mereka mencerminkan kegagalan akuntabilitas kriminal di masa pasca-Suharto dalam menyeret mereka ke meja hijau untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Ketiganya senantiasa tampil di muka umum dan telah mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin partai politik baru yang ingin menantang presiden yang berkuasa sekarang ini, pensiunan jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Jenderal bintang empat Wiranto adalah senior SBY di angkatan darat. Selama hari-hari penuh huru hara tahun 1998-1999 sebelum dan setelah jatuhnya Suharto, ketika terjadi penganiayaan di banyak kota dan pengambilan suara bagi kemerdekaan Timor Timur yang mengakibatkan kehancuran militer yang disengaja di muka negara, Wiranto menduduki tingkat tertinggi dalam angkatan bersenjata Indonesia.

Letjen (purn) Prabowo mempunyai riwayat HAM yang sama kelamnya. Ia adalah salah satu tokoh kunci dalam kegiatan penumpasan pemberontakan di Timor Timur dan bertanggungjawab atas pelatihan dan pembiayaan kelompok milisi yang merajalela di sana tahun 1999. Sebagai komandan unit baret merah yang terkenal, Prabowo juga bertanggungjawab terhadap penculikan dan hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi beberapa hari sebelum jatuhnya Suharto (yang ketika itu adalah mertuanya).

Letjen. (purn) Sutiyoso juga komandan baret merah dan bertugas dalam beberapa daerah konflik seperti Timor Timur, Aceh dan Papua Barat. Ia berturut-turut menjabat sebagai gubernur Jakarta selama dua periode dan posisi inilah yang menggugah berkeinginan menjadi presiden.

Jenderal Wiranto telah mendirikan partai yang disebut Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang kantor pusatnya berada di seberang kediaman resmi wakil presiden di daerah Menteng, Jakarta. Cabang-cabang Hanura telah berdiri di seluruh Indonesia, yang memang dimungkinkan karena sumber keuangan yang melimpah. Hanura tampil cukup meyakinkan dalam jajak pendapat dan diharapkan memenangkan hingga 7% suara. Partai ini telah menarik dukungan dari kalangan angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara serta polisi, pengusaha, mantan anggota Golkar dan bahkan beberapa aktivis prodemokrasi.

Sebagai ketua Hanura, Wiranto memasang sejumlah pensiunan perwira disekelilingnya seperti Letjen. (purn) Arie Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya merupakan wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura adalah Majen. (purn) Aqlani Maza dan Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh, Marsekal Muda (purn) Budhy Santoso, Jenderal Polisi (purn) Chaeruddin Ismael, Letjen. (purn) Fachrul Razi, Letjen. (purn) Suaidi Marassabessy dan Jenderal (purn) Soebagyo. Wakil bendaharanya adalah Mayjen. (purn) Iskandar Ali.

Wiranto memulai karir militernya sebagai perwira infantri dan perlahan-lahan pangkatnya naik dengan menduduki beberapa posisi territorial. Tahun 1989 ia menjadi ajudan Presiden Suharto dan menjabat posisi itu hingga 1993. Sejak itu karirnya kian cerah dan ia dikenal sebagai pendukung Suharto yang setia. Ia kemudian berturut-turut menjadi Pangdam Jaya (1994), Pangkostrad (1996), Panglima TNI (1997), Panglima Angkatan Bersenjata (1998) sekaligus menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan ketika Suharto jatuh. Ia terus menjabat sebagai menteri pada masa Habibie dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjadi presiden sampai ia dipecat tahun 2000. Sejak itu tampak jelas bahwa Wiranto mempunyai ambisi untuk menjadi presiden.

Wiranto telah berhasil membangun partainya dengan efektif dan cukup mengherankan melihat adanya sejumlah warga sipil, termasuk beberapa aktivis pro-demokrasi, yang memutuskan untuk bergabung dalam barisan. Beberapa analis secara bercanda membandingkan Hanura dengan penjual tupper ware. Setiap orang dapat mendirikan cabang selama barang yang cocok terjual.

Orang yang tak mempunyai banyak uang yakin dapat memperoleh uang kontan jika mereka mendirikan cabang sementara sebagian pengusaha menanamkan uangnya dalam suatu cabang atau mempromosikan kegiatan Hanura yang lain. Setiap cabang Hanura diminta untuk mendirikan koperasi sebagai tanda tanggung jawab sosialnya sehingga menarik minat lebih banyak pendukung.

Patut dipertanyakan apakah jajaran Hanura betul-betul loyal terhadap Jenderal Wiranto. Salah satu tokoh kunci di Hanura adalah Indro S. Tjahyono yang merupakan aktivis mahasiswa yang terkemuka tahun 1978 dengan catatan anti-militer yang mengesankan. Indro merupakan salah seorang pimpinan utama oposisi pada akhir tahun 1980-an dan terlibat dalam banyak kegiatan pro-demokrasi yang penting. Dia sekarang wakil ketua Hanura meskipun diragukan apakah ia akan mendukung Wiranto dalam merebut kursi presiden. Orang-orang lain seperti Indro jelas menggunakan Hanura sebagai kendaraan untuk menjadi anggota legislatif.

Letjen.(purn) Prabowo memiliki latar belakang yang hebat. Ayahnya adalah ahli ekonomi terkemuka yang menjadi menteri baik di jaman Sukarno maupun Suharto. Prabowo menikah dengan putri kedua Suharto dan menjadi bagian dari “keluarga pertama” negara ini. Meskipun ia memiliki latar belakang seperti itu dan telah mengecap pendidikan di sekolah umum di Inggris, ia memasuki akademi militer.

Karir militernya sangat sukses sampai ia dipecat dari angkatan bersenjata tahun 1998. Selama karirnya dalam militer, ia menduduki sejumlah posisi yang bergengsi seperti Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad. Prabowo mendapatkan pelatihan militer dan mengambil kursus pemberantasan pemberontakan di Jerman tahun 1981 dan Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort Benning, AS juga pada tahun 1981. Ia kemudian menjadi letnan jenderal Indonesia termuda pada usia 46 dan sebagian orang mengatakan bahwa ia dapat muncul sebagai pengganti ayah mertuanya, Suharto.

Tetapi, sekarang ia adalah pengusaha sukses dan CEO beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, bubur kertas dan kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Tahun 1998, dengan kian dekatnya kejatuhan Suharto, Wiranto dan Prabowo muncul sebagai saingan. Saat rejim akan tenggelam, Wiranto, yang memegang jabatan militer utama, mendukung gagasan Suharto untuk turun sementara Prabowo membela keberadaan Suharto sebagai presiden hingga berakhir pahit.

Ada banyak versi peristiwa Mei 1998 seperti yang tertuang dalam sejumlah buku mengenai peristiwa itu. Setelah Suharto akhirnya turun, Prabowo meninggalkan Indonesia menuju Jordan di mana ia menetap selama beberapa tahun. Sejak itu Prabowo telah merubah citranya dan kini tampak sebagai pengusaha terhormat. Beberapa tahun yang lalu ia membuat upaya lain untuk mendongkrak citranya dengan merengkuh jabatan sebagai pemimpin organisasi petani, HKTI. Organisasi ini didirikan pada jaman Suharto sebagai wadah utama bagi berjuta-juta petani Indonesia meskipun sangat diragukan apakah sekarang ini mampu memobilisasi konstituantenya.

Prabowo juga merupakan apa yang disebut sebagai anggota biasa sebuah partai bernama Gerindra. Jelas bahwa ia bakal menjadi calon presiden dari Gerindra dan mungkin dapat mengharapkan dukungan dari banyak cabang HKTI di seluruh Indonesia. Ini merupakan contoh khas kerendahan hati Jawa. Di atas kertas, paling tidak, Prabowo telah muncul kembali sebagai tokoh publik.

Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) sebetulnya tidak didirikan oleh Prabowo tetapi jelas bahwa dari awal partai ini akan menjadi kendaraan politiknya. Dua perwira yang terkenal dengan reputasi buruknya adalah anggota pengurus Gerindra: Mayjen. (purn) Muchdi Purwopranyoto yang merupakan wakil ketua, dan pensiunan perwira intel Mayjen. (purn) Gleny Kairupan, juga wakil ketua, yang memainkan peran jahat di Timor Timur. Muchdi sekarang sedang diadili karena pembunuhan berencana terhadap Munir, aktivis HAM terkemuka di Indonesia

Seperti yang telah diuraikan, baik Wiranto maupun Prabowo sangatlah dekat dengan istana. Latar belakang inilah yang mungkin mendorong mereka untuk maju dalam pemilihan presiden. Tak ada yang istimewa dalam program partai mereka dan kedua partai tersebut memiliki kemampuan politik yang kurang memadai. Meski tak ada bukti bahwa Gerindra mempunyai mesin yang diminyaki dengan baik dibandingkan dengan Hanura, jelas bahwa ia akan menggunakan HKTI untuk memenangkan suara. Gerindra mencoba menarik anggota baru dengan menawarkan asuransi jiwa gratis.

Seperti Wiranto, Prabowo juga menarik beberapa mantan aktivis ke kubu mereka, yang menonjol adalah Pius Lustrilanang dan Desmond Mahesa, keduanya diculik pada tahun 1998 oleh kesatuan yang diketuainya.

Pensiunan jenderal Sutyoso juga mengira bahwa ia mampu menjalankan negara ini dan menganggap latar belakang militernya sebagai suatu keuntungan. Seperti dua jenderal lainnya, ia adalah orang Jawa meskipun tak pernah sampai ke puncak jenjang militer. Posisi tertingginya adalah Pangdam Jaya, yang menjadi batu loncatan baginya untuk menjadi gubernur Jakarta dari tahun 1997 hingga 2007. Menjadi gubernur di ibu kota paling tidak sama berkuasanya dengan posisi senior dalam kabinet seperti yang kita lihat dengan walikota London, Paris, New York dan Beijing.

Sutiyoso bertugas di banyak daerah konflik. Sebagai bintara muda pada tahun 1960-an, ia dikirim ke Kalimantan untuk membasmi pemberontakan PGRS/Paraku. Kemudian ia bertugas di Aceh, Timor Timur dan Papua. Namanya disebut-sebut terkait dengan pembunuhan lima jurnalis asing di Balibo, Timor Timur, tahun 1975. Tahun 1993 ia menjadi perwira territorial dan bertugas di Bogor dan kemudian menjadi Panglima Kodam Jaya tahun 1994. Posisinya sebagai gubernur Jakarta memberinya kesempatan untuk membangun jaringan luas dengan kalangan pengusaha. Ia juga duduk dalam berbagai jabatan bergengsi dalam bidang olah raga: sebagai ketua asosiasi menembak, ketua asosiasi bola basket, ketua asosiasi golf dan yang paling baru, ketua asosiasi badminton.

Strategi pemilihannya sangat berbeda dengan Wiranto dan Prabowo. Ia mendorong pembentukan beberapa partai kecil seperti Partai Republikan, Partai Bela Negara (PBN), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dan Partai Pemersatu Bangsa (PPB). Ia juga berhasil mendapatkan pengaruh dan dukungan dari beberapa partai sedang seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dengan dukungan koalisi ini ia berharap untuk dapat makin dikenal.

Terlebih lagi, fakta bahwa 60% pemilih adalah orang Jawa memberi Sutyoso, yang juga orang Jawa, prospek untuk memenangkan banyak suara. Ia berharap mendapatkan dukungan dari beberapa jenderal utama yang belum memasuki arena politik, termasuk Jenderal (purn) Try Sutrisno, mantan wapres pada masa Suharto dan mantan kepala intel, Mayjen. (purn) Hendropryono.

Semua pensiunan jenderal itu memiliki keuntungan dan agenda yang sama. Mereka adalah bagian dari elit politik di Jakarta, mereka mempunyai uang tak terbatas dan tampaknya mereka nantinya dapat memperoleh lebih banyak lagi. Semuanya adalah penasehat SBY dan sebagian dari motivasi mereka adalah bahwa mereka melihat SBY sebagai perwira yang gagal.

Kenyataannya, baik Wiranto maupun Sutyoso adalah senior SBY dan sekarang merasa terongrong oleh prestasinya. Tetapi ada kesalahan fundamental dari ketiganya. Mereka tak punya program politik dan tak mewakili pemikiran politik atau ideologi apapun yang koheren. Pesannya hanyalah sekedar retorika nasionalis dan kampanye yang menampilkan mereka sebagai penyelamat bangsa. Kecil sekali kemungkinannya bagi pemilih kelas menengah perkotaan untuk memberikan suara untuk mereka dan juga tampaknya tak mungkin mesin politik mereka dapat menjangkau pemilih di pedesaan.

Ada juga pertanyaan mengenai maksud sebagian orang yang disebut sebagai pengikut ketiga jenderal itu. Selama mereka mendapatkan banyak uang dan mungkin bahkan kursi legislatif, mereka akan tetap loyal. Tetapi pemilu dan pemilihan presiden langsung adalah dua hal yang berbeda. Sebagian besar pensiunan jenderal gagal secara menyedihkan dalam usaha mereka untuk memperolah jabatan dalam polkada dan ini tentu akan terjadi lagi dalam pemilu 2009.

Boleh dibilang ada pensiunan perwira di semua partai tetapi ada perbedaan penting: ada yang bergabung untuk memainkan peran utama, tetapi ada juga yang ikut serta karena alasan ideologis atau keagamaan. Di sebagian partai Islam atau Kristen, pensiunan perwira hanya mendapatkan peran marjinal. Ini juga terjadi dalam partai sekuler seperti PDI-P dan Golkar.

Ada perubahan mencolok dalam Golkar, yang pada masa Suharto merupakan kendaraan politik utama, tetapi menjelang tahun 1990an secara bertahap ditinggalkan karena personnel militer mulai sadar bahwa partai itu tak dapat memenuhi aspirasi politiknya. Bahkan sebelum masa pasca-Suharto, pensiunan jenderal sudah mencoba untuk mendapat tempat di arena politik di luar Golkar melalui partai yang bernama PKP ( Partai Keadilan dan Persatuan) dengan ketuanya Jenderal (purn) Edy Sudradjat. Setelah partai itu bubar, banyak yang meninggalkannya dan pindah ke tempat lain.

Di antara 38 partai yang akan ambil bagian dalam pemilu adalah partai sipil yang mempunyai perwira dalam badan kepemimpinan mereka dan partai lain yang dipimpin oleh perwira militer dan mempunyai pandangan militer. Di antara yang disebut belakangan adalah PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) dengan Jen. (purn) Hartono sebagai ketua umum. Mayjen. (purn) Hartarto adalah sekjen sedangkan wakil ketuanya termasuk tiga pensiunan perwira: Mayjen. (purn) H.Namoeri Anoem, Brigjen. (purn) Suhana Bujana and Marsekal Muda (purn) Suharto.

Sebagian dari partai yang baru dibentuk juga menyediakan tempat bagi pensiunan militer. PRN (Partai Republik Nusantara), yang menggunakan Nusantara untuk namanya ketimbang Indonesia, akan berfokus khususnya pada daerah. Letjen. (purn) Syahrir MS sebagai anggota presidium PRN, sementara baik Jen. (purn) Syarnubi maupun Brigjen (purn) Husein Thaib sama-sama menjabat sebagai ketua.

Partai baru lainnya adalah PDK (Partai Demokrasi Kebangsaan) yang merupakan kendaraan perwira dengan jabatan lebih rendah; partai ini juga memiliki agenda nasionalis yang kuat. Kombes Pol (purn) Iyer Sudaryana sebagai ketua sementara tiga pensiunan kolonel (semuanya sekarang memegang jabatan sipil) duduk dalam kepemimpinannya: Kol. (purn) Bahar Mallarangan adalah wakil ketua Lembaga Ombudsman Nasional, Kol. (purn) Tasno HP, sekarang ini wakil kepala Dinas Pembinaan Pertanian, Peternakan dan Perikanan dan Letkol. (purn) Haryanto adalah wakil ketua Dinas Pembinaan Kehutanan dan Pertanian. Keduanya ada dalam kepengurusan PDK.

Mereka mewakili kelompok personel militer yang menempati posisi kekaryaan (sipil) dalam masa Suharto. Sebagian besar personel militer dapat memperoleh posisi selama masa Orde Baru dan sejak pensiun (pada usia 55) menjadi pejabat tinggi, setelah sebelumnya berubah karir dari militer ke sipil.

Dalam dua partai utama Golkar dan PDI-P, pensiunan militer masih memainkan peran, meskipun tak seberapa. Letjen. (purn) Sumarsono adalah Sekjen Golkar tetapi jarang muncul di muka umum. Satu dari politisi senior PDI-P adalah Mayjen. (purn) Theo Syafei, mantan panglima di Timor Timur, yang telah duduk selama dua periode dalam dewan. Kemungkinan keduanya akan digantikan dalam waktu dekat.

Partai Presiden SBY, PD ( Partai Demokrat) juga mencakup beberapa pensiunan perwira. SBY sendiri adalah ketua dewan penasehat tetapi jarang terlibat dalam kegiatan seharihari. Ketua umumnya adalah Kol. (purn) Hadi Utomo sementara Mayjen. (purn) Nur Aman dan Komjen. Pol. (purn) Nurfaizi keduanya merupakan anggota dewan. Yang mengherankan, pengurus PD adalah orang sipil yang berpandangan politik.

Dalam partai Islam PBB (Partai Bulan Bintang), ada beberapa pensiunan perwira. Termasuk di dalamnya adalah Kombes. Pol. (purn) Bambang Sutedjo, Letjen. (purn) Sugiono and Letjen. (purn) Sanif, yang semuanya menjabat sebagai anggota pengurus.

Beberapa perwira penting yang masih aktif maupun sudah pensiun belum muncul dalam kancah politik tetapi tampaknya akan unjuk gigi bulan-bulan mendatang ini. Diantaranya adalah: Ryamizard Ryacudu, Muh. Yasin and Djoko Santoso. Pensinunan jenderal bintang empat garis keras Ryamizard Ryacudu dikenal sebagai orang yang mencoba menggagalkan semua reformasi yang diperkenalkan setelah tahun 1998. Ia mencoba melakukan sabotase dalam proses perdamaian di Aceh dan dalam suatu aksi pembangkangan, ia mengadakan parade militer di depan istana semasa Gus Dur menjabat sebagai presiden. Pada hari berikutnya, Gus Dur diberhentikan oleh MPR dalam proses yang jelas-jelas dihasut oleh Ryacudu. Ia dikenal dekat dengan Megawati, kandidat PDI-P untuk capres. Kalau ini terjadi, kehadirannya kembali dalam panggung politik dapat menandakan kemunduran dari sebagian perubahan politik yang telah ada.

Letjen. (purn) Muhammad Yasin yang sampai belum lama ini merupakan pengikut setia SBY, telah muncul sebagai lawan kuat SBY. Ia menghabiskan seluruh karirnya sebagai perwira intelijen dan karena itu tak dikenal oleh masyarakat umum tetapi ia lebih dari itu semua, ia bertangan dingin. Tanpa diduga, ia telah dijadikan sebagai capres oleh partai kecil bernama PKP (Partai Karya Perjuangan) yang merupakan sempalan Golkar. Yasin dulunya adalah bagian dari lingkaran dalam SBY dan pekerja di kantor kepresidenan.

Dalam suatu wawancara langka, ia menekankan empat ‘permata’ bangsa: UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika; NKRI dan Pancasila. Meskipun Yasin tidak merupakan lawan serius dalam pemilihan presiden, ia dapat memainkan peran seperti Sutiyoso dalam membangun koalisi luas anti SBY. Jenderal bintang empat lainnya Djoko Santoso, sekarang Kepala Staf Angkatan Darat. Presiden SBY telah memilih dengan hati-hati perwira eselon tertinggi dalam angkatan bersenjata dan mereka sebagian loyal terhadap SBY. SBY sendiri adalah satu dari generasi pertama perwira pasca-dwifungsi.

Ini berarti bahwa mereka telah mengadopsi posisi non-politik, meninggalkan negara dan urusan politik ke pemerintahan dan legislatif. Santoso tak lama lagi akan mencapai usia pensiun dan tak jelas apakah ia akan terus menjadi figur politik yang netral.

Belakangan ini TNI menjalani tahun-tahun yang buruk. Ia telah banyak kehilangan kekuatan politik dan ekonominya selama dekade terakhir. Sementara itu, angkatan polisi telah ditingkatkan; ia telah mendapatkan jauh lebih banyak perhatian publik dan juga telah merebut porsi yang cukup besar dari kue ekonomi. Di sejumlah daerah, terdapat konflik publik antara unit polisi dan TNI, sebagian besar menyangkut soal pembagian kue. Djoko Santoso tampaknya dapat mewakili frustrasi angkatan perwira saat ini yang tak pernah mengenyam tahun-tahun basah yang dinikmati Wiranto, Prabowo dan Sutyoso.

Dominasi militer dalam politik Indonesia

Ada suatu masa, pada tahun-tahun awal jaman Orde Baru di bawah Suharto, ketika militer memegang sangat banyak posisi. Sebagian besar posisi dalam kabinet ada di tangan militer sementara dua pertiga dari gubernur provinsi adalah jenderal. Perwira dengan pangkat lebih rendah mengambil alih jabatan camat dan kepala desa yang melarikan diri atau terbunuh saat ada gerakan anti komunis mulai 1965 hingga 1969.

Dari tahun ke tahun ada perbaikan karena sejumlah besar warga sipil yang kompeten, banyak dari mereka merupakan akademisi, telah menunjukkan bahwa mereka lebih handal daripada perwira dalam menjalankan pemerintahan. Kriteria terbaik untuk menilai militer-sipil secara proporsional adalah keadaan dalam Golkar, partai yang berkuasa (tapi juga merupakan partai penguasa, Suharto).

Pada awalnya, Golkar dibentuk sebagai kendaraan beberapa perwira anti komunis, tetapi tahun 1969 Suharto memutuskan untuk menggunakan Golkar sebagai mesin politiknya. Selama 32 tahun di bawah pemerintahan Suharto, militer tetap dominan dalam Golkar. Keadaan itu juga nyata dari jumlah personel militer dalam pemerintahan. Tetapi secara bertahap Golkar menjadi kian sipil. Ini tercermin dalam fakta bahwa ketua Golkar saat jatuhnya Suharto adalah Akbar Tandjung yang tak pelak lagi merupakan salah seorang politisi paling handal di Indonesia dewasa ini.

Ada banyak negara di Asia di mana militer tak pernah memainkan peran penting dalam politik seperti India, Cina dan Vietnam. Tetapi ada banyak juga negara dengan tradisi politik militer yang kuat, terutama Thailand, Pakistan, Turki dan Indonesia. Sejarah telah menunjukkan bahwa tak mudah menghapus militer dari arena politik. Selama 10 tahun terakhir, Indonesia telah melakukan langkah besar dalam reformasi militer dan menghapus mereka dari arena politik. Tetapi masih diperlukan waktu untuk mengubah pola pikir militer guna memastikan bahwa mereka hanya berfokus pada urusan non-politis.