12 menit baca

Biarkanlah para korban peristiwa 65 dan ex-tapol bersuara

Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia

(Pamflet : Bahaya laten Orde Baru)

Mohon perhatian, bahwa tulisan yang kali ini masih juga mempersoalkan masalah korban pembunuhan besar-besaran 65/66 dan nasib para ex-tapol, dalam rangka permintaan maaf Gus Dur akhir-akhir ini. Tulisan ini memang dimaksudkan untuk memprovokasi sebanyak mungkin orang. Mungkin sajalah, karenanya, bahwa sebagai akibatnya, ada orang (atau orang-orang) yang jengkel atau gondok, marah atau gregetan, prihatin atau sedih, gembira atau lega. Namun, terlebih dulu harap diketahuilah hendaknya, sejak permulaan membacanya, bahwa apa yang diutarakan dalam tulisan ini samasekali bukanlah untuk menyebarkan kebencian atau mengobarkan perasaan permusuhan, dan bukan pula untuk menyundut api dendam. Juga samasekali tidak untuk memperparah kepedihan luka-luka yang selama puluhan tahun sudah mengendap dalam hati banyak orang.

Justru sebaliknya. Setelah menyimak sendiri isinya maka akan nyatalah bahwa apa yang diungkapkan berikut ini adalah justru ajakan untuk bersama-sama mempertimbangkan dengan masak-masak, dan dengan nalar sehat, berbagai persoalan yang berkaitan dengan pemupukan rasa kemanusiaan antara sesama ummat dan rasa keadilan. Dan, agaknya, ajakan ini cocok dengan situasi aktual di tanah air kita dewasa ini.

Sebab, sudah sama-sama kita dengar atau kita baca, bahwa pernyataan permintaan maaf Gus Dur itu telah mengundang macam-macam reaksi dari berbagai kalangan atau golongan. Dan kita juga sudah sama-sama merasakan bahwa di antara reaksi itu ada yang terdengar aneh atau mengejutkan. Bahkan ada juga yang terasa mengerikan dan berbahaya bagi ummat manusia. Mungkin, itu semua disebabkan oleh pandangan yang picik, oleh pemikiran yang cetek, oleh hati nurani yang tidak bersih, atau oleh karena tingkat kultur yang rendah belaka. Atau, oleh karena sebab-sebab lainnya, yang hanya diketahui oleh Tuhan YME.

Dampak dahsyat pola berfikir Orde Baru

Ada beberapa hal yang menarik tentang akibat pernyataan permintaan maaf Gus Dur ini. Dan, hal-hal yang menarik ini ada juga yang mengundang pertanyaan pula. Antara lain, mengapa masih ada orang - apalagi orang itu adalah tokoh-tokoh terkemuka - tidak yakin akan perlunya Gus Dur untuk minta maaf kepada para korban pembunuhan besar-besaran 65/66. Padahal skala pembantaian manusia yang TIDAK BERSALAH itu adalah luar biasa besarnya : lebih dari satu juta orang, dan dalam tempo yang amat singkat, dan dengan cara-cara yang mendirikan bulu kuduk pula. Begitu hebatnya trauma yang disebabkan oleh peristiwa ini sehingga puluhan juta sanak saudara para korban pembunuhan 65/66 dan keluarga para ex-tapol, selama 30 tahun menanggung penderitaan atau beban batin. Dan trauma itu berlangsung sampai sekarang!

Sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, perlu diulang-ulang kembali bahwa peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 itu (dan juga masalah ex-tapol) adalah masalah besar bangsa Indonesia, yang perlu mendapat penyelesaian. Agaknya, jelaslah bahwa para penguasa Orde Baru memang selama 30 tahun telah berusaha dengan segala daya-upaya (termasuk penggunaan intimidasi, indoktrinasi, pemalsuan sejarah, dll) untuk menutup-nutupi masalah besar ini. Sebab, justru peristiwa-peristiwa itulah yang merupakan titik lemah rezim militer Orde Baru, baik di hadapan opini umum di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Para penguasa Orde Baru sadar bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan aib atau dosa besar, yang sulit dipertanggungjawabkan. Oleh karena itulah, mereka selalu berusaha untuk mencegah supaya kejahatan besar terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) ini sampai diutik-utik. Untuk itu, selama puluhan tahun telah diciptakan berbagai cara supaya masyarakat selalu takut untuk membicarakan soal pembunuhan besar-besaran 65/66 dan masalah nasib para eks-tapol. Salah satu di antara berbagai cara itu yalah dengan terus-menerus mencekoki pendapat umum dengan propaganda anti-komunis. Ini telah dilakukan dengan keharusan diputarnya film G3OS/PKI, dengan peringatan hari Kesaktian Pancasila, dengan kursus-kursus atau penataran P4 , dan serentetan panjang ketentuan-ketentuan lainnya yang merupakan sarana untuk indoktrinasi. Sebagai akibat dahsyatnya indoktrinasi yang dibarengi dengan teror mental dalam berbagai bantuk, maka terciptalah semacam ketakutan nasional yang telah membelenggu fikiran banyak orang.

Karenanya, masyarakat luaspun (termasuk keluarga para korban pembunuhan 65/66 dan keluarga para ex-tapol) dalam jangka lama tidak berani mempersoalkan secara bebas dan terang-terangan masalah-masalah mereka. Paling tidak, ada 3 penjelasannya terhadap gejala yang semacam ini. Pertama, sebagian terbesar keluarga para korban pembunuhan dan keluarga para ex-tapol sudah demikian parahlah traumanya atau ketakutannya sebagai akibat hebatnya kampanye anti-PKI dan slogan bahaya laten PKI sehingga mereka banyak yang pasrah saja, dan dengan sabar dan dalam penderitaan, terpaksa hanya menunggu datangnya perobahan. Kedua, banyak kalangan dan golongan di berbagai bidang (pers, partai-partai, LSM dll) juga takut untuk mempersoalkan masalah-masalah itu mengingat dahsyatnya repressi atau intimidasi waktu itu. Ketiga, begitu hebatnya indoktrinasi yang dibarengi intimidasi itu, yang dilakukan selama 30 tahun pula, sehingga sebagian besar dari masyarakat percaya kepada versi sejarah (palsu) yang disajikan oleh para penguasa Orde Baru beserta pendukung-pendukung setianya. Dan point yang ketiga inilah yang merupakan akibat yang paling parah. Sebab, bolehlah kiranya dikatakan bahwa versi sejarah resmi yang disajikan oleh penguasa Orde Barulah yang mendominasi pandangan masyarakat selama lebih dari 30 tahun. Artinya, pola berfikir Orde Baru mempunyai pengaruh besar terhadap cara berfikir masyarakat.

Begitu parahnya dampak dahsyat indoktrinasi Orde Baru (yang dibarengi dengan intimidasi) ini, sehingga pernyataan minta ma’af Gus Dur merupakan sesuatu yang mengagetkan banyak orang. Bahkan, juga telah ditanggapi dengan fikiran yang sesat oleh berbagai tokoh masyarakat yang keblinger. Padahal, sebenarnya, masalahnya sudahlah jelas untuk dimengerti oleh nalar yang waras. Begitu keruhnya pandangan tokoh-tokoh tertentu, sehingga sikap Gus Dur yang mulia itu telah dipersalahkan, dituding, atau dijadikan bulan-bulanan.

Biarkan keluarga para korban bersuara

Mengingat pentingnya masalah permintaan maaf Gus Dur bagi kehidupan bangsa, baik bagi generasi kita yang sekarang maupun generasi yang akan datang, maka perlulah kiranya bagi kita semua untuk ikut memikirkan langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan, agar kebenaran dan keluhuran pesan politik dan pesan moral Gus Dur ini bisa lebih dimengerti oleh sebanyak mungkin orang. Ini bisa dilakukan di berbagai bidang, sebisanya, dan menurut situasi masing-masing, melalui berbagai cara.

Di antara berbagai langkah itu adalah membantu terciptanya suasana dan juga sarana, sehingga para keluarga korban pembunuhan besar-besaran 65/66 dan para ex-tapol (beserta sanak-saudara) bisa dengan leluasa, bebas, dan juga terus-terang mengeluarkan suara mereka tentang berbagai persoalan yang mereka hadapi, baik di masa-masa yang lalu, maupun di masa sekarang. Dengan demikian, bangsa kita akan mendapat informasi atau bahan-bahan yang langsung dan otentik dari mereka. Bahan-bahan ini sangat penting bagi kita semua, untuk bersama-sama mengerti, dengan jernih pula, berbagai persoalan yang mereka hadapi.

Soalnya begini : selama puluhan tahun suara mereka telah dibungkam oleh rezim militer Orde Baru, banyak di antara mereka yang dikucilkan dalam masyarakat atau diperlakukan secara tidak manusiawi. Oleh karena akibat politik Orde Barulah, persoalan mereka tidak dikenal secara baik atau diketahui secara tepat oleh banyak orang. Apa yang diketahui oleh masyarakat tentang mereka adalah hanya sebagian atau sepotong-sepotong saja, bahkan acapkali keliru atau penuh distorsi. Pengetahuan yang tidak cukup, atau yang keliru, tentang masalah peristiwa 65/66 inilah yang memungkinkan masih merajalelanya, sampai sekarang, fikiran atau tindakan (termasuk ucapan-ucapan) yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak mencerminkan peradaban (kasarnya: biadab)..

Dengan membantu para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 dan para ex-tapol untuk bisa bersuara secara bebas tentang keadaan dan persoalan mereka yang sebenarnya, maka kita bisa memberikan sumbangan kepada usaha bersama untuk membetulkan kesalahan-kesalahan besar rezim militer Orde Baru.

Suara mereka kita butuhkan

Terciptanya sarana dan suasana sehingga para keluarga korban pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 (dan para ex-tapol beserta sanak-saudara) dapat leluasa bersuara adalah tugas besar nasional kita, yang berkaitan dengan penyelesaian masalah-masalah aktual di masa kini, dan juga untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan kehidupan bangsa di masa datang. Hanya dengan mengenal secara baik keseriusan masalah para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 (dan masalah para ex-tapol) kita bisa mengerti tentang derajat keparahan kesalahan Orde Baru. Dan hanya dengan menyadari betapa besar kesalahan-kesalahan Orde Baru itulah kita semua dapat melihat, dengan pandangan yang jernih, jalan yang harus ditempuh selanjutnya.

Kalau kita renungkan dengan tenang dan dalam-dalam, maka akan nyatalah kiranya bahwa masalah korban pembunuhan besar-besaran 65/66 (dan masalah para ex-tapol) merupakan guru besar bangsa kita di bidang pendidikan politik, pendidikan moral atau akhlak, pendidikan hak asasi manusia. Perlulah kiranya kita sama-sama yakini bahwa pendidikan moral, pendidikan hak asasi manusia adalah salah satu di antara banyak kunci penting untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan parah yang telah dilakukan oleh Orde Baru. Kerusakan-kerusakan itulah yang kita warisi, sekarang ini, di berbagai bidang, antara lain : rusaknya norma-norma kejujuran dan keadilan, penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan, pengejaran gebyar dan harta tanpa mengindahkan moral, berkembangnya pelanggaran toleransi antar-agama dan antar suku, dan se-abreg-abreg penyakit parah lainnya.

Dari pengamatan terhadap berbagai kesalahan parah dan penyakit berat Orde Baru dapatlah agaknya disimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah sumber utamanya. Dan dapat disimpulkan pula bahwa pembunuhan besar-besaran 65/66 (dan masalah ex-tapol) adalah manifestasi terpusat pelanggaran hak asasi manusia ini. Oleh karena itu, sekali lagi, atau kembali lagi, untuk mengerti watak atau jati-diri Orde Baru haruslah kita mengerti tentang keseriusan persoalan peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 beserta akibat-akibatnya. Dan, untuk lebih mengerti dan untuk mengenal secara baik persoalan besar ini, maka diperlukan sebanyak mungkin bahan dan informasi, sehingga kita dapat melihatnya dari berbagai segi. Untuk sampai ke tujuan itu, maka perlulah para korban kita berikan kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk bersuara, melalui berbagai cara dan sarana.

Jangan lewatkan kesempatan emas ini

Di samping hal-hal yang sudah disebutkan di atas, ada aspek-aspek penting lainnya mengapa kita perlu mendorong para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 (dan para ex-tapol beserta sanak saudara mereka) untuk bersuara secara bebas. Sumbangan mereka itu sangat berguna untuk melengkapi atau memperkaya bahan-bahan bagi Masyarakat Sejarawan Indonesia, atau Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran, atau Komisi HAM lainnya, atau lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah lainnya yang membidangi masalah ini.

Tetapi, yang tidak kalah penting adalah yang berikut : dengan diketahuinya secara baik dan secara benar oleh bangsa kita persoalan pembunuhan besar-besaran 65/66 beserta akibat-akibatnya (serta persoalan ex-tapol), maka dasar-dasar untuk rekonsiliasi nasional bisa diletakkan dengan lebih kokoh. Kalau seluruh bangsa kita mempunyai gambaran yang benar tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan pembunuhan besar-besaran 65/66, maka keluhuran pernyataan minta maaf Gus Dur akan lebih bisa dimengerti oleh banyak orang. Dengan begitu, maka kita harapkan bahwa tidak akan ada lagi (setidak-tidaknya, makin berkurang) suara-suara aneh yang menentang permintaan maaf itu. Untuk itulah perlunya sebanyak mungkin suara para korban pembunuhan dan para ex-tapol kita dengar.

Ada segi lainnya yang patut kita renungkan bersama. Peristiwa pembunuhan besar-besaran 65/66 adalah tragedi nasional yang bisa merupakan gudang yang kaya bagi pelajaran bangsa. Gudang inilah yang selama ini ditutup rapat-rapat oleh rezim militer Orde Baru. Dan, sekarang ini, kewajiban bersama kitalah untuk rame-rame membuka gudang ini selebar-lebarnya, untuk memilih barang-barang baik yang bisa kita temukan bersama-sama di dalamnya. Umpamanya, peringatan bahwa kekejaman yang serupa terhadap sesama MANUSIA janganlah sampai terulang lagi di kemudian hari. Atau peringatan lainnya, bahwa berbagai pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran seperti yang dilakukan selama 30 tahun oleh Orde Baru adalah sesuatu yang merusak jiwa atau moral bangsa.

Isi gudang lainnya yang juga amat penting adalah cerita atau pengalaman para korban pembunuhan besar-besaran dan para ex-tapol. Pengalaman mereka, yang negatif maupun positif, selama lebih dari 30 tahun, adalah memori kolektif bangsa yang berharga sekali. Karenanya, akan baiklah kalau sebanyak mungkin buku atau tulisan tentang pengalaman mereka itu bisa diterbitkan. Itu semua merupakan khasanah bangsa. Pertemuan, diskusi, ceramah, seminar, interview dan tulisan mereka dalam berbagai media - atau segala bentuk kegiatan lainnya, dengan tujuan untuk mengenal lebih baik persoalan mereka - perlu dikembangkan. Berbagai kegiatan serupa itu adalah bagian penting dari usaha pendidikan hak asasi manusia, dan juga merupakan sumbangan untuk mendukung langkah-langkah positif politik Gus Dur menuju terciptanya rekonsiliasi nasional secara sungguh-sungguh.

Dewasa ini adalah moment yang baik bagi kita semua untuk menangani pekerjaan penting ini secara lebih serius atau lebih besar-besaran dari pada yang sudah-sudah. Sebab, banyak di antara para korban 65/66 yang sekarang sudah menginjak ujung hidup, dan bahkan banyak yang sudah meninggal. Anak-anak mereka juga sudah menginjak masa tua. Nara sumber yang berhak atau pantas untuk digali pengalaman mereka dari tangan pertama sudah makin berkurang. Oleh karena itu, demi kepentingan sejarah, kita tidak boleh lewatkan kesempatan emas sekarang ini.

Suara mereka tidak akan merupakan bahaya

Agaknya, patutlah diterka-terka, bahwa ada saja orang yang takut bahwa dengan dibukanya kesempatan bagi para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 untuk bersuara tentang masalah mereka, maka akan bangkitlah bahaya rasa permusuhan horizontal antara berbagai kelompok bangsa. Kepada orang semacam ini, kiranya bisa dijelaskan bahwa, sebenarnya, rasa permusuhan ini sudah ada selama ini, tegasnya sudah sejak 30 tahun lebih. Ini kelihatan jelas dari kenyataan bahwa sejumlah besar sesama ummat manusia, atau sesama warganegara Republik Indonesia, telah begitu lama didiskriminasi, bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi, oleh sebagian masyarakat lainnya.

Kepada orang semacam ini perlulah dijelaskan, bahwa justru karena adanya rasa permusuhan inilah, maka perlu bagi para korban pembunuhan 65/66 (dan para ex-tapol) untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang mereka hadapi selama ini, dengan tujuan untuk menghilangkan rasa permusuhan itu. Perlu jelas bagi semua fihak bahwa indoktrinasi salah Orde Barulah yang menyebabkan terjadinya, bahkan dipupuknya, rasa permusuhan itu. Indoktrinasi ini telah membikin berbagai golongan dalam masyarakat menjadi ikut-ikutan membuta-tuli terhadap berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia, yang begitu besar skalanya dan dilakukan dalam tempo begitu lama pula.

Kiranya, bisa diduga pula bahwa tentu ada juga orang yang mengatakan bahwa suara-suara para korban pembunuhan besar-besaran dan ex-tapol akan membahayakan negara dan persatuan bangsa, menimbulkan keonaran, mengobarkan kontradiksi, dan tetek-bengek lainnya. Menghadapi tuduhan semacam itu, seyogyanyalah kita cermati dengan teliti (kita litsus, sinisnya) bagaimanakah sikap orang semacam itu selama Orde Baru dan bagaimana pula terhadap politik Gus Dur sekarang. Sebab, besar kemungkinan, bahwa bahaya bagi negara dan persatuan bangsa justru datang dari fihaknya atau golongannya!

Adalah logis bagi orang yang bernalar sehat, bahwa para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 dan para ex-tapol pada pokoknya adalah pendukung politik Gus Dur. Sebab, mereka ini sudah puluhan tahun menderita oleh perlakuan yang tidak manusiawi selama Orde Baru, yang berbentuk berbagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Sedangkan, politik Gus Dur adalah persatuan nasional, adalah rekonsiliasi, dan adalah hak asasi manusia. Jadi, jelaslah kiranya, bahwa berkumandangnya suara para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 dan para ex-tapol tidaklah mungkin membahayakan negara dan bangsa, yang sekarang dipimpin oleh Gus Dur. Justru sebaliknya!

Mengingat itu semua, maka dapatlah kiranya disimpulkan bahwa suara para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 dan para ex-tapol adalah positif untuk menegakkan demokrasi, untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, untuk menegakkan hukum dan perasaan keadilan, untuk memberantas sisa-sisa pola berfikir Orde Baru.