9 menit baca

Bersama Gus Dur membangun Bhinneka Tunggal Ika

Corat-coret ttg Gus Dur di Paris (terakhir dari 5 tulisan? Belum tentu)

Tulisan bersambung Corat-Coret ttg Gus Dur di Paris ini, ternyata belum bisa diakhiri dengan nomor 5 ini. Pasalnya, masih saja ada perasaan dan fikiran yang bisa diungkapkan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan kunjungan singkat Gus Dur ini. Biarkan sajalah begitu, pikir saya, mengingat betapa makin menariknya perkembangan situasi transisi besar-besaran di negeri kita dewasa ini, berkat langkah-langkah yang diambil oleh Gus Dur. Konon, sampai-sampai ada orang-orang yang ternganga-nganga seraya geleng kepala, tentang apa-apa yang telah terjadi akhir-akhir ini di negeri kita.

Betapa tidak! Umpamanya, peristiwa digesernya Wiranto adalah sesuatu yang tidak terpikirkan bagi kita semua, kalau mengingat betapa hebatnya kekuasaan militer yang sudah bercokol secara sewenang-wenang selama 32 tahun. Seakan-akan, tanpa menggunakan kata-kata yang berlebih-lebihan, benteng sisa-sisa kekuatan Orde Baru mulai makin jebol dan brantakan. Tetapi, seyogyanyalah kalau kita semua jangan tertawa terlalu pagi, sebab buntutnya masih panjang, dan, segala kemungkinan buruk masih bisa menyusul. Kita lihat saja bagaimana permainan mereka.

Dalam membaca 4 Corat-coret yang terdahulu, dan juga 7 artikel Cacatan dari Den Haag mungkin sejumlah orang bertanya-tanya mengapa tulisan-tulisan itu kelihatan menggebu-gebu sekali dalam memuji politik dan ketokohan Gus Dur - yang kadang-kadang terasa berlebih-lebihan - dan sarat dengan emosi atau ungkapan-ungkapan sentimental, yang bercampur aduk dengan kemarahan > segala.

Berikut inilah duduk perkaranya, kalau boleh dikatakan begitu. Sekarang ini saya sudah berumur 72 tahun. Hampir separoh hidup saya terpaksa dihabiskan dengan klayaban di berbagai negeri asing, gara-gara rezim militer Orde Baru. Pasport saya, seperti banyak teman-teman lainnya dinyatakan dicabut begitu saja artinya, sewenang-wenang -, oleh Departemen Luarnegeri dalam tahun 1966, sehingga terpaksa menggunakan paspor RI yang diperpajang sendiri, dengan stempel palsu, untuk pindah dari satu negeri ke negeri lainnya. (Ceritanya panjanglah, seperti yang bisa diceritakan oleh banyak teman lainnya, yang sampai sekarang masih tetap terpaksa ngendon di luarnegeri).

Selama belasan tahun pernah saya terpisah dari keluarga, tanpa mengetahui di mana istri dan 2 anak saya berada. Keluarga besar saya, yang tersebar dimana-mana di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatera) takut sekali berhubungan dengan saya, sampai jatuhnya Suharto. Bahkan, dalam jangka lama sekali, saya ini pernah hilang dalam daftar nama keluarga besar kami (baik yang dari fihak saya maupun istri saya). Seakan-akan, saya ini sudah tidak ada lagi di dunia yang fana (tidak kekal) ini. Masya Allah, Astagafirulah, betul-betul zaman edan!!!

Bukan RI semacam ini yang kita cita-citakan!

Syukurlah, bahwa sekarang ini makin banyak orang yang menyadari betapa besar kerusakan-kerusakan parah yang telah dibuat oleh sistem politik militer Orde Baru, dan betapa sesatnya pulalah fikiran pendukung-pendukung setianya. Selama berpuluh-puluh tahun dalam pengasingan, dengan kepedihan hati yang dalam dan kekesalan yang makin lama makin menggunung, saya saksikan betapa pembesar-pembesar Orde Baru, beserta aliansi mereka yang terdiri dari berbagai golongan (tak usah diceploskan terlalu jelas-jelas, karena kita sudah sama-sama mafhumlah, kiranya) telah membikin Republik kita menjadi negara yang penuh kebobrokan, dan itupun di segala bidang! Ekspresi ini keterlaluan? Mungkin saja, tetapi mohon sama-sama kita periksa keadaan gila seperti yang berikut ini:

Presidennya, atau kepala negaranya, yang sekaligus panglima tertingginya adalah maling besar yang selama puluhan tahun mencuri kekayaan negara, dengan berbagai cara dan bentuk. Itulah yang sekarang sedang diusut terus. Begitu juga pejabat-pejabat tinggi lainnya, yang disebut sebagai pembantu-pembantunya (para menteri, jenderal-jenderal dll). Jaksa Agungnya (bukan hanya Andi Ghalib saja!), yang seharusnya ikut menjaga supaya hukum dipatuhi, malah memilin-milin hukum untuk melindungi kejahatannya sendiri sambil menciptakan berbagai kebijakan (yang tidak bijak, bahkan tidak senonoh) untuk melindungi tindak-pidana berbagai tokoh dari banyak kalangan (pemerintah atau swasta). Hukum sudah tidak bisa lagi menjadi pelindung bagi warganegara Republik, sebaliknya telah menjadi tameng bagi pencilok-pencilok gadang (bhs Minang, artinya maling-maling besar) dan para pemerkosa hak-hak manusia Indonesia. Hakim dan jaksa sering menjalankan tugas mereka menurut perhitungan laba-rugi dalam tempat basah yang terkenal itu. Konon, pemeo Semua bisa dibeli sudah bukan sekedar pemeo saja, tetapi sudah menjadi kenyataan dan juga kebudayaan. Bukan saja KTP (palsu) yang bisa dibeli, bahkan juga gelar sarjana atau jabatan tinggi. Demokrasi Panca Sila didengung-dengungkan sambil membunuh kehidupan demokrasi, seraya mencekik jiwa asli Panca Sila.

Kita teruskan? Bagaimana tidak dikatakan zaman edan kalau kita saksikan gejala-gejala sebagai berikut : DPR, yang semestinya menjadi corong suara rakyat, telah dibentuk secara ramai-ramai dengan praktek-praktek kotor (antara lain lewat pemilu) supaya hanya berfungsi sebagai stempel penguasa Orde Baru. Supaya lebih gamblang lagi, begini : Dewan Perwakilan Rakyat dalam zaman Orde Baru bukanlah dewan dalam arti sebenarnya, dan bukannya pula perwakilan yang sah, dan (apalagi!!!) sama sekali tidaklah berhak mengatasnamai rakyat. Mereka itu hanya jonggol sebagai pajangan yang buruk. Istilah DPR waktu itu cocok dengan olok-olok dalam masayarakat, yang mencerminkan jati-dirinya, yaitu Dewan Penipu Rakyat. Bedebah! (ssst, ssst, ssst, calm, calm, please!)

Karena penasaran (sambil marah), terpaksa saya tambahkan. Zaman Orde Baru telah menjungkirbalikkan norma-norma moral, merusak tolok-ukur ethik, dan pola berfikir yang waras. KKN sudah dianggap biasa, menjadi budaya yang acceptable. Menyogok sudah menjadi keharusan, dan pemerasan (oleh penguasa) juga terpaksa dihadapi dengan sikap nrimo saja. Pejabat-pejabat (sipil maupun militer) sudah tidak malu lagi mempamerkan bahwa punya 3 atau 5 rumah mewah, atau 4 sampai 7 mobil, sedangkan orangpun tahu berapalah gaji mereka yang sebenarnya. Gebyar dan kemewahan menjadi ukuran keberhasilan, tidak peduli apakah itu diperoleh dengan cara-cara halal, jujur dan luhur, ataukah tidak. Itu terjadi di kalangan luas dalam pemerintahan maupun di kalangan swasta, di masyarakat.

Masih ada lagi lainnya, sekedar untuk mengingatkan mereka yang pernah mati-matian menyokong Bapak Pembangunan beserta dinamisator, stabilisatornya, yaitu ABRI waktu itu : Orde Baru telah membodohkan rakyat di bidang politik. Sejarah telah dibengkok-bengkokkan sehingga tidak ketahuan mana lagi yang benar dan mana yang dipalsukan. Mereka yang berfikiran kritis dibungkem, atau diancam, bahkan dijebloskan dalam penjara atau diculik kemudian dihilangkan (kasus aktifis PRD, Pakpahan, Sribintang dll). Operasi-operasi khusus dilancarkan untuk melumpuhkan lawan-lawan potensial (kasus 27 Juli, rapat NU Cipasung, kongres PDI-Medan dll dll dll). Selama 32 tahun, slogan bahaya laten PKI telah dijadikan momok untuk melancarkan terror terhadap mereka yang tidak setuju dengan sistem politik Orde Baru. Sejumlah besar ulama dan kyai (juga pendeta) telah dibeli pula untuk ikut meracuni kehidupan bangsa. (Ya, Allah, untuk selanjutnya, tunjukkanlah kepada mereka jalan yang benar).

Sudah, sudah, cukuplah kiranya sekilas tentang jati-diri Orde Baru. Itu semua telah kita alami bersama-sama. Silakan, para pembaca, mohon Anda masing-masing menambahnya dengan pengamatan dan pengalaman lainnya. Coretan di atas hanyalah sekedar sekelumit sumbangan untuk bersama-sama mengingat-ingatnya kembali dan merenungkannya. Apakah Republik yang macam ini yang kita cita-citakan bersama? Tidak, tidak dan tidaaaaaak!!!!!! (tanda seru 6 kali.Pen)

Mereka itulah musuh rakyat yang sebenarnya!

Itu semua adalah satu satu di antara banyak faktor, mengapa saya telah berontak bertahun-tahun melalui tulisan-tulisan saya (dengan berbagai nama-samaran) ketika Suharto masih berkuasa. Karena situasi sudah mulai berobah, maka Alhamdulilah, untuk selanjutnya saya bisa menggunakan nama terang-terangan untuk membeberkan segala perasaan dan fikiran tentang berbagai hal. Terutama mengenai dosa-dosa dan kejahatan Orde Baru yang telah menyebabkan kerusakan-kerusakan begitu besar terhadap Republik kita.

Faktor lainnya adalah ini : saya ingin menunjukkan kepada sanak-saudara (dekat maupun jauh) di Tanah Air, bahwa orang yang bernama A. Umar Said (dan teman-temannya yang senasib) itu bukanlah orang yang selama ini telah mengkhianati negara Republik Indonesia. Lihat saja sekeliling Anda sekalian : yang mengkhianati negara adalah mereka-mereka itu, yang sambil bicara lantang tentang cita-cita revolusi 45, atau UUD 45, atau Panca Sila, atau barang-barang muluk lainnya, tetapi dalam prakteknya telah merusak - selama puluhan tahun pula! - sendi-sendi kehidupan bernegara yang demokratis, sehingga mengakibatkan negara kita menjadi brantakan seperti sekarang ini. Secara hakiki, pengkhianatan mereka terhadap negara adalah besar sekali.

Kiranya, perlu ditegaskan dalam tulisan ini bahwa saya (dan teman-teman yang sealiran fikiran) bukanlah bahaya bagi kepentingan rakyat Indonesia. Kalau mau jujur, Bakin atau BAIS atau Kejaksaan Agung pun tahu tentang hal ini. Praktek-praktek Orde Baru selama 32 tahun telah menunjukkan dengan gamblang, dan dengan bukti-bukti yang nyata dialami oleh banyak orang selama ini, bahwa justru mereka-mereka itu pulalah yang telah menginjak-nginjak hak rakyat, yang menipu rakyat, yang membodohi rakyat, yang menghina rakyat, yang menyepelekan rakyat, yang sering merugikan kepentingan rakyat. Secara hakiki, merekalah yang sebenarnya bahaya bagi rakyat. Bahkan, lebih dari itu, bukannya bahaya lagi. Mereka adalah, pada hakekatnya, musuh rakyat yang sebenarnya! (Heh, kedengarannya kok seperti slogan PRD saja! Atau seperti pamflet-pamflet Forkot, Forbes dan forum-forum aksi lainnya! Pen)

Bersama Gus Dur kita membangun Bhinneka Tunggal Ika

Ketika mengetik Corat-coret bagian ini, makin menjadi-jadilah kegemasan saya, dan berang saya makin meluap, karena mengingat itu semua. Betapa tidak? Keadaan negara dan kehidupan bangsa kita sudah demikian parah di berbagai bidang, akibat warisan sistem politik Orde Baru. Proses pembusukan yang menyeluruh ini sudah berlangsung lama, sejak dibangunnya militerisme di bawah pimpinan Suharto. Sejarah Orde Baru sudah membuktikan jelas-jelas bahwa militerisme, yang dikemas dengan bungkus indah Dwifungsi, telah membunuh kehidupan demokrasi. Militerisme inilah yang dengan berbagai cara dan bentuk telah melakukan terror mental (dan juga fisik), dan dalam jangka panjang, untuk mengangkangi kekuasaan. Militerisme ini pulalah, yang dengan dukungan dari lapisan-lapisan tertentu di berbagai golongan, telah membangun diktatur militer terselubung. Itulah sebagian penjelasannya, mengapa hanya dengan 500. 000 sampai 600.000 anggota ABRI, militerisme telah bisa memborgol rakyat yang jumlahnya 210 juta selama puluhan tahun.

Syukur Alhamdulilah, berkat gerakan generasi muda yang dilancarkan bertahun-tahun, Suharto akhirnya dapat diturunkan dari kekuasaan. Inti sari dari perjuangan generasi muda dewasa ini adalah menentang militerisme. Dan, mereka benar. Sejarah dunia sudah mengajarkan bahwa militerisme adalah musuh demokrasi. Dengan menghapus militerisme dari bumi Indonesia, kita semua akan bisa menciptakan syarat-syarat yang lebih baik untuk membangun demokrasi yang sesungguhnya. Indonesia Baru, yang sedang kita perjuangkan bersama-sama Gus Dur, di atas reruntuhan militerisme Orde Baru, adalah Indonesia demokratis yang benar-benar mengejawantahkan atau mentrapkan isi dan arti kebesaran lambang kita bersama, yaitu : Bhinneka Tunggal Ika.

Oleh karena itulah, ketika saya membaca pidato Sekjen PBB Koffi Anan di Jakarta akhir-akhir ini, yang memuji-muji keluhuran arti Bineka Tunggal Ika dalam konteks situasi Indonesia dewasa ini, maka keyakinan saya makin mantep, bahwa arah yang ditempuh oleh Gus Dur adalah benar. (bersambung)