11 November 2000 — 11 menit baca

Cegah neo-Orde Baru dan blejeti terus Golkar

Perkembangan situasi terakhir di negeri kita menunjukkan gejala-gejala yang memberi isyarat kepada seluruh kekuatan yang benar-benar pro-demokrasi dan pro-reformasi, tanpa pandang bulu dari golongan yang manapun juga, bahwa perlu sejak sekarang, dan terus-menerus, mengadakan langkah-langkah untuk menghadapi kemungkinan bahwa Golkar akan bisa berkuasa lagi seperti selama Orde Baru. Sebab, seperti yang bisa sama-sama kita cermati, bahaya bahwa Golkar akan dapat angin lagi sudah mulai menampakkan diri.

Mencegah terulangnya masa gelap Orde Baru, dalam bentuknya yang bagaimana pun juga, adalah untuk mencegah makin rusaknya kehidupan bangsa di berbagai bidang, yang sudah dibikin bonyok, membusuk dan terkoyak-koyak selama 32 tahun lebih. Dan, adalah jelas bahwa untuk mencegah terulangnya pengalaman pahit dan pedih yang berkepanjangan itu, perlulah dilawan usaha Golkar dan unsur-unsur tertentu dalam TNI-AD yang ingin merebut kembali kekuasaan politik. Sebab, lengsernya Suharto bukanlah berarti segera longsornya Golkar dan kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru di kalangan TNI-AD.

GOLKAR Adalah Anak Kandung Tni Ad

Agaknya, sudah jelaslah bagi banyak orang bahwa inti kekuatan Orde Baru adalah Golkar dan militer (terutama TNI-AD) yang mendapat dukungan - karena keterpaksaan atau tidak - dari sebagian komponen-komponen bangsa (antara lain : kalangan Islam tertentu). Artinya, rezim Orde Baru bisa berkuasa dengan leluasa dan sewenang-wenang dalam kurun waktu yang begitu lama, justru karena adanya dukungan yang kuat dari Golkar dan TNI-AD. Atau, kalau dirumuskan dengan lebih sederhana : Orde Baru adalah pada dasarnya pengejawantahan persekutuan monster (Belanda : monster verbond) antara Golkar dan TNI-AD (tarohlah, sebagiannya).

Yang kadang-kadang dilupakan (atau tidak diketahui) oleh banyak orang adalah bahwa Golkar adalah sebenarnya anak kandung TNI-AD, yang dilahirkan untuk menghadapi kekuatan kiri di zaman Sukarno (sebelum 1965). Untuk mendapat sekedar gambaran tentang persoalannya, perlulah kita menengok kebelakang ke masa akhir tahun 50-an dan permulaan tahun 60-an. Singkatnya, dan secara garis besarnya, adalah situasi yang seperti berikut : Pemilihan umum pertama (tahun 1955) yang diadakan secara demokratis dan dalam keadaan yang relatif damai, telah memunculkan PKI sebagai salah satu di antara 4 partai yang terbesar waktu itu. Bahkan, di kalangan militer, suara yang diperoleh PKI juga cukup besar. Perkembangan ini sudah menimbulkan kekuatiran di kalangan militer (sebagian) dan juga kalangan Islam (sebagian juga). Yang tidak kalah penting yalah yang ini : kalangan Barat juga mulai kuatir (terutama AS, Belanda, Inggris) tentang perkembangan di Indonesia.

Garis politik Bung Karno yang kiri, yang sudah dicerminkan sejak lama (mulai tahun 1926) dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda (baca : “Indonesia Menggugat” dan karya-karyanya yang lain dalam “Di bawah Bendera Revolusi”), makin mencemaskan kalangan Barat, dengan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955). Konferensi yang bersejarah bagi bangsa-bangsa yang masih terjajah waktu itu merupakan isyarat bagi Barat bahwa Sukarno adalah berbahaya bagi kepentingan mereka. Melalui berbagai saluran dalamnegeri, dan dengan menggunakan persoalan-persoalan yang timbul waktu itu, kalangan Barat telah mendukung (secara terang-terangan dan juga sembunyi-sembunyi) gerakan-gerakan separatis yang dilancarkan oleh sebagian dari TNI-AD waktu itu di berbagai daerah. Sejarah telah mencatat adanya Peristiwa Tiga Selatan (Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan), dan kemudian juga lahirnya Dewan Garuda, Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Manguni, Permesta, yang kemudian memuncak dengan diproklamasikannya PRRI di Bukittinggi pada tanggal 15 Februari tahun 1958. (Akhirnya, diketahuilah bahwa PRRI dan Permesta telah mendapat bantuan secara rahasia dari Barat, terutama oleh Amerika Serikat)

Kalau kita simak secara cermat situasi waktu itu, maka jelaslah kiranya bahwa semua gerakan yang dilakukan oleh berbagai tokoh militer di berbagai daerah waktu itu adalah, pada dasarnya, bertujuan untuk melawan dan kemudian menjatuhkan pemerintahan Sukarno. Dan ini adalah logis. Sebab, politik dalamnegeri dan luarnegeri pemerintahan Sukarno yang makin condong ke kiri makin tidak menguntungkan kepentingan Barat dan sekutu-sekutu mereka di dalamnegeri. Faktor Perang Dingin sudah mulai punya peran penting di belakang layar (Ingat, antara lain : lahirnya Republik Rakyat Tiongkok, Perang Korea, persoalan Indo-Cina) Terbentuknya Front Nasional yang dipimpin oleh Menteri Sudibyo, dipandang oleh kalangan TNI-AD waktu itu sebagai bahaya yang perlu dihadapi secara serius.

Lahirnya Sekbergolkar Dan GOLKAR

Front Nasional yang dibentuk dalam tahun 1961 telah merupakan wadah bagi Bung Karno untuk menyebarkan pandangan-pandangan politiknya. Dalam Front Nasional inilah bergabung kekuatan-kekuatan yang mendukung garis politiknya. Politik Sukarno ini tertuang dalam berbagai pidato-pidatonya yang penting (Manifesto Politik, Jarek, Tavip, dll) dan juga dalam konsep-konsepnya yang lain, umpamanya : Nasakom, Dekon dll. Dengan adanya perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dan politik untuk mengganyang Malaysia (waktu itu), maka Barat (dan sekutu-sekutunya di dalamnegeri) makin melihat pada sosok Sukarno sebagai seorang yang perlu dilawan.

Sebagian pimpinan TNI-AD, yang sejak permulaan tahun 50-an sudah mempunyai ambisi untuk ikut-ikut berperan lebih aktif dan lebih besar dalam percaturan politik, mengadakan langkah-langkah untuk mengimbangi kekuatan Sukarno dan PKI. Pada tanggal 2 Desember 1962 kalangan militer ini telah melahirkan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia) yang dipimpin oleh perwira-perwira TNI-AD. Kemudian, SOKSI ini telah membentuk juga ormas-ormas untuk mengimbangi ormas yang bernanung di bawah PKI atau partai-partai lain. Umpamanya, didirikan P3I untuk mengimbangi Pemuda Rakyat, Gerwasi untuk menghadapi Gerwani, Gertasi dan Kartasi untuk menghadapi BTI, LEKRI untuk menghadapi Lekra

Dengan diakuinya kedudukan golongan karya dalam MPRS, maka sejumlah tokoh TNI-AD telah membentuk pada tanggal 20 Oktober 1964 Sekretariat Bersama Golongan Karya (disingkat Sekbergolkar). Tanggal inilah yang kemudian diresmikan sebagai hari lahir GOLKAR. Sekbergolkar mengadakan Mukernas dalam bulan Desember 1965, untuk merumuskan program organisasi dan perjuangan di segala bidang dalam rangka menegakkan Orde Baru. Walaupun Sekbergolkar resminya bukanlah partai politik, tetapi Orde Baru telah membantunya untuk ikut dalam Pemilu 1971. Sekbergolkar telah meraih 62,79% suara pemilih (Tidak perlulah kiranya ditulis di sini, mengapa dan bagaimana caranya sehingga suara yang sampai setinggi itu bisa diperoleh waktu itu !!!). Pada tanggal 17 Juli 1971 Sekbbergolkar telah dirobah oleh pimpinan militer menjadi Golongan Karya (GOLKAR), yang merupakan organisasi politik dan berfungsi sebagai partai politik pula.

GOLKAR Dan Orde Baru Adalah Satu

Adalah pekerjaan yang menarik (dan perlu!!!) bagi para pakar sejarah, para pakar politik, kaum intelektual untuk mengadakan studi yang mendalam dan ilmiah tentang fenomena GOLKAR dalam sejarah Orde Baru. Sebab, selama lebih dari 32 tahun, GOLKAR ini telah menjadi alat politik dan mesin kekuasaan rezim militer di bawah pimpinan Suharto dkk. Bukan itu saja!. Kalau kita lihat kembali praktek rezim militer Suharto dkk selama puluhan tahun itu, maka bisa dibenarkanlah kiranya kalau ada orang yang mengatakan bahwa pada hakekatnya GOLKAR adalah Orde Baru itu sendiri. Artinya, tidak berlebih-lebihan, atau bukanlah sesuatu yang dikarang-karang secara sembarangan saja, kalau ada yang mengatakan bahwa GOLKAR tidak bisa dipisahkan dari Orde Baru. Dan sejarah sudah membuktikan, bahwa Orde Baru adalah suatu rezim militer yang berusaha menampilkan diri dengan topeng cantik.

Kita semua masih ingat secara segar, betapa hebatnya GOLKAR telah mengangkangi seluruh kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif selama puluhan tahun. Boleh dikatakan, hampir semua “pembesar” di berbagai bidang atau sektor kehidupan bangsa, adalah para “tokoh” GOLKAR (baik yang betul-betul karena keyakinan dan keloyalan, atau hanya karena “terpaksa”). Dari Presiden (yang menjadi Ketua Dewan Pembina) sampai kepada menteri, gubernur, bupati, camat dan bahkan lurah. Dari ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, sampai kepada pimpinan polisi dan pimpinan militer. Dari ketua MPR, ketua DPR, ketua DPRD (tingkat I atau tingkat II), sampai kepada rektor universitas atau pimpinan suratkabar dan persatuan wartawan. Semua pegawai negeri digiring menjadi anggota Korpri (yang juga embel-embel Golkar). Bahkan organisasi kepemudaan, perburuhan dan kewanitaan, dan juga kalangan seniman dan ulama juga di-“Golkar”-kan.

Republik Mafia Yang Kita Warisi Sekarang

Bagi generasi muda kita yang sekarang, dan lebih-lebih lagi bagi generasi yang akan datang, adalah amat penting untuk mempelajari dengan seksama pengalaman pahit dan buruk bagi bangsa kita yang diakibatkan oleh GOLKAR bersama militer (catat : terutama TNI-AD) selama puluhan tahun Orde Baru. Oleh karena itu, alangkah besar manfaatnya bagi bangsa, kalau semakin banyak karya-karya yang ditulis oleh berbagai kalangan dan beragam komponen bangsa, untuk melakukan riset serius tentang sistem politik GOLKAR dan membedahi praktek-prakteknya selama Orde Baru (dan juga sekarang !!!).

Kiranya, tidak salahlah kalau dikatakan bahwa selama Orde Baru, negara kita telah dijadikan oleh GOLKAR (bersama-sama kalangan militer) sebagai republik mafia. Jaring-jaringan mafia ini tidak hanya terdapat di Pusat (Jakarta), melainkan juga sampai di daerah-daerah, baik di kota-kota yang besar maupun kota yang kecil-kecil. Masyarakat setempat di banyak daerah dapat melihat, selama ini, betapa KKN merajalela tanpa mendapat sanksi atau hukuman, sehingga banyak “tokoh-tokoh” bisa mempunyai dua tiga mobil (bahkan empat!) atau beberapa rumah (dan perusahaan!) walaupun resminya hanya bergaji cupet atau berpendapatan cekak. Karena jaring-jaringan yang bersifat mafia inilah maka terjalin semacam kesepakatan untuk saling melindungi dan saling tutup mata , walaupun terjadi beraneka-ragam kasus serius yang merugikan negara dan rakyat.

Dosa-dosa politik dan kejahatan moral GOLKAR selama lebih dari 32 tahun adalah amat serius dan besar skalanya. Kerusakan mental, keruwetan antar-suku dan antar-agama, kesulitan ekonomi yang parah sekarang ini adalah akibat sistem politik GOLKAR. Dalam jangka lama sekali GOLKAR telah ikut “secara aktif dan sadar” membunuh kehidupan demokrasi, telah merekayasa berkali-kali pemilu, telah ikut menginjak-injak secara besar-besaran HAM (ingat, antara lain : kasus pulau Buru, perlakuan terhadap eks-tapol beserta keluarga mereka, surat-bebas G30S, “politik bersih lingkungan” dll dll). Problem-problem besar yang terjadi di Aceh, Irian Jaya, Timor-Timur dll adalah akibat politik Suharto dkk, yang mendapat dukungan penuh dari GOLKAR.

Orde Barunya Suharto dkk bisa bertahan begitu lama adalah karena jasa GOLKAR. Tanpa GOLKAR, rezim militer Suharto dkk tidak akan bisa merusak kehidupan bangsa dan negara kita sedemikian besar dan parah berkepanjangan, seperti yang kita warisi sekarang ini.

GOLKAR Akan Rebut Pemerintahan Lagi

Dalam kaitan itu semualah kita perlu merenungkan apa yang diutarakan baru-baru ini oleh Ketua Umum DPP GOLKAR, Akbar Tanjung, yang juga menjabat sebagai Ketua DPR dewasa ini. Menurut Harian Kompas ( 5 November 2000) ia mengatakan di depan sarasehan kader Partai Golkar di Medan bahwa Partai Golkar merasa optimis pada Pemilihan Umum 2004 mendatang akan mampu kembali mengambil alih kekuasaan politik di Tanah Air, mulai dari jabatan presiden, gubernur dan bupati, bahkan wakil bupati. Rasa optimisme itu akan menjadi kenyataan jika perolehan suara Golkar 2004 cukup signifikan. Soal pemerintahan, itu soal waktu saja, Insya Allah, kita akan meraihnya kembali.

Menurut Tanjung, optimisme Golkar mengambil alih kekuasaan politik di masa mendatang, karena memiliki dasar yang kuat dan dapat diandalkan. Yaitu, pertama, modal historis yang terkandung di dalamnya pengalaman politik sejak pemilu 1971 sampai 1999. Pengalaman historis ini sangat berharga karena tak dimiliki oleh partai-partai lain. Kedua, Partai Golkar memiliki infrastruktur yang terbentuk mulai dari pusat ke desa-desa sehingga sangat memudahkan bagi Golkar untuk mensosialisasikan dirinya ke tengah-tengah masyarakat. Ketiga, Partai Golkar memiliki sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk memimpin partai dan berkompetisi dengan partai lain menduduki jabatan terpenting di pemerintahan.

Bila dilihat dari situasi sulit sekarang ini, di mana Golkar sering dihujat dan didiskreditkan sebagai partai rezim pemerintah Orde Baru, janganlah putus asa. Sebab bila dilihat dari perolehan suara pada Pemilu 1999, Golkar masih mampu bertahan di posisi kedua dengan memperoleh 120 kursi atau 25 persen dari jumlah anggota DPR, ungkap Akbar Tanjung. (kutipan habis).

Karatan Moral Yang Sudah Menumpuk

Setelah membaca ungkapan yang demikian, wajarlah kiranya kalau beraneka-ragam kesan dan pendapat muncul di kepala banyak orang. Dari yang menggerundel, yang berang, yang menghujat, sampai yang memaki-maki atau sumpah-serapah. Akbar Tanjung memang punya hak untuk berbicara demikian. Dalam alam demokrasi boleh-boleh saja orang mempunyai pendapat yang macam-macam. Tetapi, adalah hak yang sah juga bagi orang lain untuk menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Akbar Tanjung itu adalah merupakan bahaya besar bagi bangsa dan negara kita. Sudah selama lebih dari 32 tahun, GOLKAR (bersama TNI-AD) memperlihatkan kepada bangsa kita apa yang telah dikerjakan oleh Orde Baru-nya. Rakyat sudah terlalu lama dibikin megap-megap, ketika parasit-parasit yang mengangkangi GOLKAR (baik sipil maupun militer) keenakan mengenyam beraneka-ragam kenikmatan yang haram dari sistem politik maksiat.

Mungkin saja, tokoh-tokoh GOLKAR sekarang berani menyatakan dengan lantang bahwa mereka sudah berobah, bahwa sudah mempunyai paradigma baru, bahwa sudah menyadari kesalahan-kesalahan mereka yang telah diperbuat selama puluhan tahun, atau juga bahwa sudah menyetujui reformasi (heh, benar ?? Pen). Tetapi, apakah itu semuanya memang sungguh-sungguh, adalah yang patut (bahkan, perlu!!!) kita sangsikan. Karatan moral yang sudah bertumpuk-tumpuk dan berlapis-lapis selama 32 tahun tidaklah mudah untuk hilang begitu saja dalam tempo yang singkat.

Kita sudah sama-sama menyaksikan bahwa sudah puluhan tahun tokoh-tokoh GOLKAR (sipil dan militer) selalu mendendangkan lagu demi rakyat , demi bangsa, demi negara, demi kemurnian Pancasila, tetapi sambil sekaligus : menyebarkan kebejatan moral KKN (ingat: membudayanya korupsi dari atas sampai ke bawah), menyuburkan rasa permusuhan (ingat, antara lain : perlakuan terhadap para eks-tapol beserta keluarga mereka), menginjak-injak hak asasi manusia (ingat : penculikan aktifis-aktifis PRD dll, penyerbuan 27 Juli, pembunuhan Marsinah dan Udin dll).

Nah, sebaiknya, dengan mengingat itu semualah kita baca kembali pidato Akbar Tanjung di Medan (dan juga yang di Puncak baru-baru ini) dan merenungkannya dalam-dalam. Sejarah GOLKAR berlumuran dengan segala macam praktek yang tidak luhur secara politik dan nista secara moral. GOLKAR telah merusak Republik Indonesia, dan, karenanya, seluruh kekuatan demokratis dan pro-reformasi perlu bersama-sama berjuang, dengan segala cara dan dalam berbagai bentuk, untuk mencegah come-back-nya di panggung kekuasaan politik. Masa gelap Orde Baru tidak boleh terulang lagi, dalam bentuk barunya yang bagaimanapun juga.