15 April 2009 — 10 menit baca

Buanglah jauh-jauh ilusi tentang Pemilu 2009

Media pers Indonesia akhir-akhir ini ramai mempersoalkan terdapatnya banyak sekali masalah yang timbul berkaitan dengan Pemilu Legislatif 9 April yang lalu. Sejumlah besar kekurangan persiapan teknis, kesalahan penyelenggaraan administrasi, dan bermacam-macam kecurangan telah ditemukan di banyak bidang. Karenanya, kiranya sudah bisa diantisipasi akan timbulnya berbagai kekisruhan sebagai buntut adanya ketidakpuasan, kemarahan, kejengkelan, protes dan perlawanan dari berbagai fihak. Bahkan ada kalangan yang menyatakan bahwa pemilu legislatif 9 April tidah sah, ada yang sudah menuntut supaya dibatalkan, dan ada yang menyerukan pemilihan ulang. (Harap baca selanjutnya “Seluk-beluk dan hiruk-pikuk Pemilu 2009” dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

Dari apa yang sudah diketahui dari media massa nyatalah dengan jelas bahwa Pemilu Legislatif 9 April merupakan pemilu yang paling buruk persiapannya ( antara lain : pengiriman surat suara yang terlambat), paling banyak kesalahan atau kecurangannya (umpamanya : soal DPT yang salah kirim atau sengaja dikelirukan alamatnya, KTP ganda), paling banyak diprotes oleh berbagai golongan (contohnya : karena banyak orang tidak bisa ikut memilih), kalau dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, kecuali dengan 7 kali pemilu selama di bawah Orde Baru. Sebab, pemilu selama pemerintahan Suharto, yang dengan gagah (tetapi palsu) selalu digembar-gemborkan sebagai “pesta demokrasi” sama sekali bukanlah pesta dan tidak pula ada bau-baunya demokrasi. Pemilu selama pemerintahan militer Suharto 32 tahun adalah hanya, sebenarnya (!), “sandiwara demokrasi”. Dan itu pun sandiwara paksaan yang paling jelek.

Kita semua sedang menunggu pekembangan selanjutnya dari segala hiruk-pikuk yang berkaitan dengan pemilihan legislatif 9 April. Karena, berbagai hal yang bisa merupakan “surprise” besar masih bisa saja terjadi, di samping makin menggeloranya banyak reaksi dari masyarakat. (Harap perhatian pernyataan dari “Dewan Perubahan Nasional dan Pergerakan Kaum Muda Indonesia” tentang “Pemilu 9 April cacat, selamatkan demokrasi Indonesia” yang disajikan dalam website.

Apalagi, tidak lama lagi (tanggal 8 Juli), akan dilangsungkan pemilu untuk memilih presiden, yang juga akan merupakan peristiwa politik yang besar. Jadi, setidak-tidaknya, sampai bulan Agustus yang akan datang, bisa diduga akan adanya berbagai ketegangan-ketegangan di kalangan masyarakat, berhubung dengan itu semuanya. Dan hal semacam ini adalah baik sekali. Ini pertanda bahwa rakyat kita tidak loyo, atau tidak mlempem, dan juga tidak bisa lagi dibungkem.

DPR “dikuasai” oleh hanya 9 partai

Dari hasil pemilihan legislatif 9 April itu sudah dapat kita lihat bahwa DPR yang baru nanti akan hanya terdiri dari wakil-wakil 9 partai politik yang memperoleh suara lebih dari 2,5% dari seluruh suara, seperti yang ditentukan oleh Undang-undang (parliamentary threshold) yang dipakai untuk pemilu 2009. Sebagai akibatnya, , 35 partai-partai politik lainnya yang ikut dalam pemilu legislatif 2009 tidak akan punya wakil dalam DPR, karena masing-masing hanya memperoleh suara kurang dari 2,5% dari seluruh suara. Apakah “penguburan” begitu banyak partai-partai (walaupun partai kecil-kecil) yang begini ini mencerminkan demokrasi yang sebenar-benarnya, adalah satu soal yang bisa diperdebatkan panjang lebar oleh banyak kalangan.

Dengan akan dikangkanginya DPR oleh hanya 9 partai selama 5 tahun yang akan datang, maka banyak urusan negara dan bangsa kita seolah-olah hanya menjadi hak partai-partai besar, yang kebetulan mempunyai dana dan sarana lainnya yang besar pula, kecuali partai Gerindra dan Hanura yang termasuk baru. Kalau dalam DPR yang lalu ada 16 partai poltiik yang bisa mengirimkan wakilnya, maka untuk DPR yang akan datang “perwakilan rakyat” itu makin menciut atau mengecil.

DPR hasil pemilihan 2009 akan didominasi terutama oleh tiga kekuatan politik besar (Partai Demokrat, PDI-P dan Golkar) sedangkan DPR hasil tahun 2004 didominasi oleh Golkar dan PDI-P. Sekarang kita masih menunggu-nunggu hasil perundingan-perundingan di antara 9 partai untuk membentuk koalisi dalam kabinet dan komposisi koalisi dalam DPR.

Dari pemilu 9 April 2009 adalah menarik untuk kita perhatikan bersama-sama bahwa Partai Demokrat telah mengungguli Golkar dan PDI-P dengan lonjakan yang besar sekali (sekarang sekitar 20% sedangkan dalam pemilu 2004 baru 7,45%, jadi naik dengan sekitar 300% ). Luar biasa !!! Sehingga menimbulkan banyak reaksi dari kalangan-kalangan yang curiga tentang adanya berbagai rekayasa dan kecurangan-kecurangan. Hal yang menarik lainnya adalah bahwa Golkar telah anjlok dari tingkat yang tertinggi dalam pemilu 2004 (21,6%) menjadi sekitar 15%. Sekarang juga makin nyata bahwa citra Golkar sudah merosot jauh sekali di mata banyak orang, kalu kita ingat bahwa selama puluhan tahun Orde Baru Golkar selalu menggondol suara sebanyak 60 sampai 70 %, berkat adanya berbagai paksaan (secara terang-terangan dan terselubung) oleh rejim militer Suharto.

Suara partai-partai Islam dalam Pemilu 2009 Kecuali itu, adalah menarik juga untuk diperhatikan bahwa partai-partai Islam (PKS, PKB, PPP, PBB) pada umumnya tidak mendapat kenaikan suara dibandingkan dengan pemilu 2004, kecuali PKS yang naik dengan 1%. Ini menunjukkan bahwa segala macam persoalan yang menghebohkan dan menimbulkan kekuatiran tertentu dalam masyarakat (antara lain sekitar masalah-masalah : syariah Islam, pornografi, poligami, larangan tarian jaipongan, jilbab dll) tidak menyebabkan bertambahnya suara golongan Islam garis keras. Pemilu legislatif 2009 menunjukkan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia tetap menginginkan atau mempertahankan sekularisme dan pluralisme di negara kita. (Empat partai yang terang-terangan menjunjung suara Islam ini mencakup sekitar 25% dari seluruh suara).

Dari berita-berita yang sudah tersiar didapat informasi bahwa jumlah orang-orang yang memilih jadi “golput” adalah besar sekali. Ada yang menaksir sekitar 50 %. Jadi besar sekali. Ini menunjukkan bahwa sebagian dari masyarakat kita ada yang tidak peduli dengan pemilu, karena tidak percaya lagi kepada partai-partai politik atau DPR, DPRD, dan DPD, atau kepada pemerintahan. Besarnya jumlah orang-orang yang “golput” – karena sengaja tidak mau memilih atau karena sebab-sebab lainnya sehingga tidak bisa memilih – merupakan cacat besar bagi legitimasi pemilu 2009.

Patutlah kiranya sama-sama kita perhatikan selama kampanye untuk pemilu legislatif 2009 ini tidak banyak lagi suara-suara yang memuji-muji Suharto beserta Orde Barunya, walaupun dapat diduga bahwa masih banyak juga sisa-sisa pendukung Orde Baru di banyak kalangan dalam berbagai partai yang ikut dalam pemilu yang lalu. Sebaliknya, nama Bung Karno sering disebut-sebut, bukan saja oleh kalangan PDI-P, melainkan juga dalam iklan-iklan Partai Demokrat, dan acara-acara terbukanya Partai Gerindra . Tetapi, kita tidak boleh punya ilusi bahwa penyebutan nama Bung Karno oleh mereka-mereka itu adalah karena mereka betul-betul menjiwai ajaran-ajaran revolusioner pemimimpin besar rakyat Indonesia ini, melainkan semata-mata hanyalah untuk memancing suara saja.

Tidak akan ada perubahan besar dan fundamental

Dengan dikuasainya DPR (pasca 9 April) oleh hanya 9 partai dan pemerintahan koalisi yang terdiri dari wakil-wakil sebagian dari 9 partai itu juga dapat diramalkan sejak sekarang bahwa akan sulit sekali diadakannya perubahan-perubahan besar dan fundamental, sehingga situasi politik, ekonomi dan sosial pada pokoknya akan tetap sama saja seperti sekarang ini selama 5 tahun yang akan datang. Siapa pun yang akan terpilih sebagai presiden nanti, dan bagaimana pun komposisi kabinet koalisi yang akan terbentuk nanti, orang-orangnya toh terpaksa akan diambil dari kalangan 9 partai itu. Dan di antara 9 partai-partai itu (kecuali Gerindra dan Hanura) semuanya sudah pernah lama di pemerintahan dan DPR, yaitu Golkar, PDI-P, Partai Demokrat, PPP, PKB, PAN, PKS. Sepakterjang partai-partai tersebut selama ada di berbagai pemerintahan atau DPR sudah lama dikenal masyarakat luas, yang hasilnya banyak yang mengecewakan seperti yang kita saksikan selama ini.

Jadi, perwakilan politik dalam kabinet koalisi dan juga dari DPR yang akan datang pada dasarnya akan terdiri dari unsur-unsur kekuatan politik lama, yang masih menggembol (membawa) banyak sisa-sisa Orde Baru dan menjalankan politik neo-liberal. Dengan orang-orang dari kalangan 9 partai ini kiranya sulit sekali diharapkan adanya sikap yang tegas-tegas anti neo-liberalisme, sehingga bisa terjadi perubahan yang besar dan fundamental. Kalangan “orang-orang lama” yang pernah ikut bersatu dengan Orde Baru tidak mudah meninggalkan, atau mengkhianati, atau memusuhi sisa-sisa politik yang sudah dijalankan selama 32 tahun rejim Suharto ditambah 10 tahun pasca-Suharto. Padahal perubahan besar dan fundamental hanyalah bisa dicapai dengan menghilangkan atau menghancurkan segala hal jelek dari sistem politik Suharto dan pendukung-pendukungnya.

Oleh karena itu, bagi seluruh kekuatan demokratis di Indonesia, atau seluruh golongan yang menginginkan adanya perubahan besar dan fundamental (seperti perubahan yang terjadi di Venezuela, Bolivia, dan berbagai negeri Amerka Latin lainnya) perlu membuang jauh-jauh ilusi atau harapan kosong terhadap kabinet koalisi yang akan datang, dan juga DPR yang baru. Mereka tidak akan menjalankan politik yang mengutamakan rakyat. Seperti yang sudah ditunjukkan oleh praktek nyata selama puluhan tahun, mereka bukanlah wakil rakyat yang sesungguhnya. Mereka tidak akan memperjuangkan adanya perubahan, yang menguntungkan sebagian terbesar rakyat kita.

Sementara itu, kita melihat bahwa di dunia sedang terjadi perubahan-perubahan besar. Contohnya, antara lain, adalah : Presiden Obama sudah membolehkan langkah-langkah penjebolan blokade terhadap Kuba yang sudah berjalan selama setengah abad ; kebangkrutan sistem kapitalisme AS dengan ambruknya bank-bank raksasa dan industri mobil ; G-20 yang memutuskan adanya peraturan-peraturan baru dalam sistem keuangan dan ekonomi di skala internasional; dicabutnya rahasia perbankan yang banyak disalahgunakan oleh pemilik-pemilik modal raksasa; munculnya Tiongkok, India dan Brasilia sebagai kekuatan ekonomi dunia dll.

Lanjutkan revolusi yang belum selesai

Perkembangan semacam itu semuanya menunjukkan bahwa sistem kapitalisme, yang sudah diagung-agungkan kemujarabannya bagi kesejahteraan umat manusia di dunia selama lebih dari satu abad, kelihatan kelemahan-kelemahannya, dan karenanya perlu ramai-ramai atau bersama-sama diperbaiki. Dan, apa yang sedang terjadi dengan sistem kapitalisme AS, yang diikuti oleh banyak negeri di dunia, merupakan peringatan penting bagi bangsa Indonesia. Terutama bagi kalangan “elite” negara kita –- yang terdapat di kalangan pemerintahan dan partai-partai politik ( bukan hanya Golkar saja, melainkan yang lainnya juga !!!) – yang selama puluhan tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto sudah menjadikan Indonesia sebagai jajahan dan ladang jarahan neo-liberal, sehingga banyak kekayaan alam kita dikuras atau digadaikan kepada kepentingan asing.

Dalam menghadapi situasi internasional yang tidak menjanjiikan kecerahan, ditambah dengan banyaknya persoalan yang parah di Indonesia sebagai akibat politik berbagai pemerintahan yang salah atau buruk, maka dengan “dikuasainya” kehidupan politik negara kita oleh 9 partai sama sekali tidaklah merupakan pertanda yang baik bagi bangsa.

Siapa pun yang akan jadi presiden, dan semacam apa pun komposisi kabinet koalisi yang akan dibentuk, dan bagaimana pun komposisi DPR, dapat diramalkan bahwa situasi ekonomi dan sosial sebagian terbesar rakyat kita tidak akan banyak berobah dalam masa-masa yang akan datang. Sebab,mereka toh tidak akan berani, atau tidak akan mau, atau tidak akan bisa, mengambil jalan baru atau orientasi yang radical dalam bidang politik dan ekonomi, yang berlainan sama sekali dengan apa yang sudah dijalankan selama puluhan tahun.

Mengingat itu semunya, sekarang tambah jelas bagi kita semua bahwa kita – sekali lagi, perlu ditandaskan berulang-ulang di sini – harus mencampakkan jauh-jauh segala ilusi atau harapan terhadap hasil pemilu 2009, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Hari kemudian bangsa kita serta nasib anak-cucu kita yang akan datang tidak bisa (dan tidak boleh !!!) kita percayakan mentah-mentah hanya kepada kekuatan-kekuatan politik (yang sebagian besar terdiri dari bandit-bandiit politik) yang sudah terbukti selama sekitar setengah abad (sejak 1965) telah merusak perjuangan revolusioner rakyat Indonesia untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi” dan juga dalam buku “Revolusi Belum Selesai”.

Untuk itu, seluruh kekuatan demokratis di Indonesia, harus berusaha sekuat-kuatnya – dengan segala cara dan bentuk – berjuang bersama-sama untuk merebut peran dan tugas penting ini dari tangan partai-partai politik yang lama dan usang, yang juga korup dan busuk.

Kekuatan politik alternatif, yang seyogianya bisa terdiri dari gerakan rakyat yang seluas-luasnya (antara lain : segala bentuk gerakan ekstra-parlementer, partai-partai kecil-kecil, LSM, segala macam organisasi massa) akan bisa menjadi senjata di tangan rakyat banyak dalam membela kepetingannya, dan meneruskan revolusi yang (menurut Bung Karno) belum selesai.