18 Mei 2000 — 12 menit baca

Apakah the Habibie Center untuk memperjuangkan demokrasi, HAM dan moral?

Sesudah jatuhnya Soeharto dan ambruknya rezim militer Orde Baru, telah muncul berbagai gejala, atau perkembangan yang kadang-kadang kelihatan aneh, atau mengagetkan, atau mengherankan, atau menggelikan, atau menjengkelkan, bahkan membingungkan. Ada orang-orang yang tadinya memuja-muja dan memuji-muji Soeharto setinggi langit dan sekarang dengan galak memaki-makinya. Ada pula yang tadinya pengagum Orde Baru sekarang berusaha menampakkan diri sebagai reformis yang garang. Banyak penjilat-penjilat rezim militer yang sekarang berusaha tampil sebagai pahlawan demokrasi. Tidak sedikit pula koruptor-koruptor besar selama Orde Baru yang sekarang bicara lantang soal penegakan hukum. Bahkan ada juga algojo-algojo pembantai manusia yang sekarang berani bicara soal hak asasi manusia dan keadilan. Jadi cukup banyak bunglon-bunglon yang mejeng di mana-mana. Dan juga maling teriak maling!

Konon, ada orang yang mengatakan bahwa kalau situasi berobah maka sikap kita haruslah pula dirobah, dan bahwa yang penting adalah keselamatan diri dan keluarga. Pendirian semacam ini, sampai batas tertentu, dan dalam keadaan tertentu, agaknya masihlah akseptabel (bisa diterima). Bahkan mungkin juga ada benarnya, kalau ada yang mengatakan bahwa sikap seseorang ditentukan oleh kepentingannya masing-masing, dan bahwa kalau situasi berobah maka kepentingan seseorang bisa berobah juga. Nenek-moyang dan ninik-mamak kita juga memberikan petuah bahwa dalam hidup kemasyarakatan kita harus pandai menyesuaikan diri dengan keadaan atau lingkungan. Tetapi, itu semua adalah relatif, kata orang pula. Pikir punya pikir, ada benarnya juga! Walaupun tidak selalu.

Kiranya, dalam rangka pemikiran yang demikian itulah kita bisa menanggapi berita tentang akan dibukanya The Habibie Center dalam waktu dekat ini. Berita ini patut diperhatikan – dan direnungkan dalam-dalam – oleh para pakar, tokoh politik dan agama, aktivis-aktivis LSM, pejuang demokrasi dan HAM, gerakan mahasiswa, singkatnya, oleh kita semua. Mengapa? Berikut adalah sejumlah bahan untuk pemikiran kita bersama.

Tidak untuk membersihkan nama Habibie?

Menurut harian Kompas tgl 16 Mei 2000, mantan juru bicara kepresidenan semasa Presiden BJ Habibie, Dewi Fortuna Anwar, mengakui, bahwa pendirian The Habibie Center (THC) terilhami oleh Carter Center yang didirikan mantan Presiden AS Jimmy Carter. Meskipun demikian, pendirian THC tidak dimaksudkan sebagai upaya kehumasan untuk membersihkan nama Habibie yang dianggap kurang baik. Juga tidak dimaksudkan sebagai kendaraan politik baru Habibie usai mundur dari kursi kepresidenan.

“Kalau ingin membersihkan nama Pak Habibie yang dianggap kurang baik, lebih baik kami menyewa PR (public relations) profesional”, kata Dewi, Senin (15/5), saat jumpa pers berkaitan dengan launching THC 22 Mei mendatang. Selain Dewi, hadir pula A Watik Pratiknya yang di THC menjabat direktur eksekutif, Jimly Asshidiqie, Marwah Daud Ibrahim, dan Doddy Yudhista.

Dewi mengakui, nama lembaga nonpemerintah dan nonpartisan dengan mengusung nama Habibie akan menjadi pertanyaan dan bahkan polemik di masyarakat. “Memang mantan kepala negara yang satu setelah lengser dikurung di Istana Bogor, yang satunya lagi terkurung di Cendana. Lha kok Pak Habibie malah bebas mendirikan THC”, kata Dewi seraya menekankan, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman adalah hal biasa mantan presiden atau kanselir mendirikan lembaga swadaya masyarakat.

“Seorang mantan kepala negara memiliki nilai tambah bagi masyarakat. Bagi Pak Habibie, hal itu tidak digunakan untuk menumpuk kekayaan untuk anak cucu sampai tujuh turunan”, lanjut Dewi. THC, menurut rencana, akan diresmikan 22 Mei mendatang dengan ditandai serangkaian seminar bertaraf internasional. Selain BJ Habibie, juga direncanakan hadir antara lain Presiden Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Filipina Corazon Aquino, Dubes AS untuk RI Robert Gelbard, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tandjung. (Kutipan dari Kompas habis disini. Komentar atau tanggapan, harap baca selanjutnya. Pen.)

Demokrasi dan ham untuk rekonsiliasi nasional?

Untuk melengkapi berita Kompas, dan supaya mendapat gambaran lebih jelas tentang Habibi Center ini, dibawah ini dikutip berita Antara (tgl 15 Mei 2000), yang antara lain menyebutkan sbb :

Kendati dalam aktivitasnya, “The Habibie Center” juga akan berkecimpung dalam bidang HAM dan Demokrasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipimpin mantan Presiden BJ Habibie itu tidak akan mengambil alih porsi pekerjaan yang telah ditangani oleh lembaga seperti misalnya Komnas HAM. THC merupakan sebuah organisasi yang independen dan non profit yang memiliki visi memperkokoh keberadaan masyarakat modern dan demokratis yang berbasis pada moral dan integritas sesuai kultur dan nilai agama.

“Saya kira kita tidak ingin mengambil alih porsi dari lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH), di Habibie Center kita akan lebih banyak pada pengembangan wacana”, kata Dewi Fortuna , yang juga peneliti dari LIPI itu. Namun demikian, dia, mengakui bahwa pihaknya belum tahu sejauh apa LSM itu akan melakukan tindakan advokasi.

“Saya kira untuk saat ini kita tidak akan mampu melakukan pembelaan seperti yang dilakukan Kontras, karena ini membutuhkan keahlian yang berbeda. Jadi di Habibie Center kita lebih banyak pada pengembangan wacana”, katanya tegas.

Dewi menambahkan, THC akan melakukan kajian dan penelitian-penelitian yang ada kaitannya dengan isu-isu demokrasi dan HAM, juga akan menerbitkan jurnal yang berisi demokrasi dan HAM. Juga akan menyediakan “homepage” yang akan memberikan lebih banyak informasi tentang demokrasi dan HAM.

Dijelaskan, THC merupakan sebuah organisasi independen dan non profit bervisi memperkokoh keberadaan masyarakat modern dan demokratis yang berbasis pada moral dan integritas sesuai kultur dan nilai agama.

Untuk menyambut Inaugurasi THC itu yaitu pada 22 Mei, mantan Presiden Prof BJ Habibie akan menyampaikan visi, misi dan strategi THC, kemudian dilanjutkan dengan presentasi tentang Demokrasi dan Hak Asasi Manusia yang dibawakan oleh mantan Mensesneg/Menkeh Prof Dr. Muladi yang juga Ketua Lembaga Demokrasi dan HAM THC.

Acara peresmian THC itu juga akan diisi dengan seminar ilmiah (Colloquium) bertema “Promosi Demokrasi dan HAM untuk Mencapai Rekonsiliasi Nasional”. Dijadwalkan dalam pembukaan seminar ini akan tampil pembicara Presiden K H Abdurrahman Wahid, dan Mantan Presiden Philipina Mrs. Corazon Aquino.

Seminar ilmiah tersebut akan diselenggarakan selama dua hari yakni 23-24 Mei, pada hari pertama seminar ini akan mengambil tema pembuka “HAM dan Demokrasi dalam Era Global”. Pembicara yang akan tampil antara lain anggota Komnas HAM Sutandyo Wignyosubroto dan pembicara dari luar negeri Philipe C Schimitter dan Dwight King akan membawakan tema “Sejarah Demokrasi dan HAM Dulu dan Sekarang”

Meneg HAM Hasballah M Saad, Nurcholish Madjid akan berbicara tentang Rekonsiliasi dalam Konteks Hukum Politik, Moral dan Agama. Sedangkan Harold Crouch (Australian National University), Hasnan Habib akan membahas “Pandangan Mengenai Hubungan Sipil dan Militer di Indonesia”. Dijadwalkan pula Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tanjung akan hadir untuk membahas “Ide Mengenai Rekonsiliasi Nasional”. (Kutipan berita Antara habis disini)

Pertanyaan dan polemik

Setelah membaca dua berita seperti yang dikutip di atas, memang wajarlah kiranya bahwa (seperti yang dikatakan oleh Dewi Fortuna Anwar sendiri) persoalan ini bisa menimbulkan pertanyaan atau polemik di masyarakat. Pertanyaan itu bisa macam-macam, dan dalam polemik itu bisa muncul berbagai pendapat. Umpamanya :

Kalau betul bahwa didirikannya The Habibi Center (THC) tidak untuk membersihkan nama Habibie yang dianggap kurang baik, mengapa justru dipakai nama ini? Mengapa tidak menggunakan nama yang lainnya saja, walaupun seandainya - sekali lagi seandainya ! - Habibie memang betul-betul mau melaksanakan segala tujuan yang sudah dijanjikan itu? Pemakaian nama Habibie dalam projek ini adalah tidak saja counter-productive, melainkan juga provokatif.

Tidak perlulah kiranya dibuktikan dengan bertele-tele bahwa nama Habibie memang kurang baik di mata banyak orang. Dan pendapat yang semacam itu mempunyai dasar, artinya masuk akal, atau objektif. Sebab, tanpa dihujat-hujat, siapapun tahu bahwa selama puluhan tahun Habibie sudah menjadi kaki-tangan, anak-emas, dan pengagum Suharto. Dan, sekarang ini makin banyak orang yang meyakini bahwa Suharto (dan pendukung-pendukung setianya!) bukan saja telah melakukan pelanggaran-pelanggaran besar terhadap kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia, melainkan juga telah menumpuk kekayaan yang luar biasa besarnya dengan cara-cara yang tidak luhur: (kasarnya, mencuri kekayaan negara dengan merugikan kepentingan rakyat).

Dikatakan juga dalam berita itu bahwa :_ THC merupakan sebuah organisasi independen dan non profit bervisi memperkokoh keberadaan masyarakat modern dan demokratis yang berbasis pada moral dan integritas sesuai kultur dan nilai agama_. Kalimat ini betul-betul bagus dan menggiurkan sekali. Tetapi, bagaimanakah orang bisa percaya bahwa organisasi ini independen, kalau pimpinannya adalah Habibie? Independen terhadap siapa dan juga terhadap apa? Bisakah ia sungguh-sungguh independen dari sisa-sisa Orde Baru? Bisakah ia benar-benar mengakui dan meyakini bahwa Orde Baru telah melakukan berbagai kesalahan besar di banyak bidang, dan karenanya juga perlu tegas-tegas mengutuknya? (Termasuk kesalahan-kesalahannya sendiri?)

Dan yang berikut ini adalah yang lebih menggelikan lagi. Dalam kalimat itu disebut bahwa THC bervisi memperkokoh masyarakat modern dan demokratis yang berbasis pada moral dan integritas sesuai kultur dan nilai agama. Apakah Habibie (dan konco-konconya, baik yang dalam ICMI, Golkar, atau Iramasuka, atau pendukung-pendukung Orde Baru lainnya) sudah lupa bahwa selama 32 tahun demokrasi telah mereka berangus secara ramai-ramai? Namun demikian, perlulah dengan jujur diakui bahwa Habibi, ketika menjabat Presiden, telah mengadakan langkah-langkah yang cukup penting (kebebasan pers, pembebasan tapol-napol, masalah Timor Timur dll). Walaupun, itu semua hanyalah akibat perkembangan situasi dalamnegeri dan juga tekanan-tekanan opini internasional. Bisalah kita ragukan bahwa itu semua memang berkat keluhuran budi dan kebenaran sikap politiknya.

Kalau perkara moral, lebih baiklah Habibie (dan kroni-kroninya) tidak usah bicara! Sebab, bukan saja akan ditertawakan orang, bahkan orang bisa jadi marah atau ngamuk (antara lain, yang pasti dan terutama adalah George Aditjondro). Sebab, patut kiranya nalar kita yang normal menduga-duga bahwa kekayaan Habibi (dan sekeluarga) yang begitu panjang daftarnya itu, tidaklah semuanya berbasis pada moral dan integritas sesuai kultur dan nilai agama, seperti yang dinyatakan oleh Dewi Fortuna.

Sudahlah, mengenai kultur dan nilai-nilai agama ini, sebaiknya para pendukung setia Suharto YANG MANAPUN JUGA, tidak hanya menguar-uarkannya dengan lantang sampai berbusa-busa di mulut saja, tetapi lebih baik mempraktekkannya secara kongkrit. Sebab, selama 32 tahun lebih (bahkan sampai sekarang!!!) kita menyaksikan adanya tokoh-tokoh yang dengan getol bicara soal agama atau atas nama agama sambil sekaligus menjadi maling-maling besar kelas kakap. Sudah terlalu banyak penipuan dan kemunafikan semacam ini. Dan orangpun tahu mereka-mereka ini.

Bisa disambut, tetapi dengan syarat

(Catatan : Mohon maaf, kalau ada yang merasa tersinggung dengan uangkapan-ungkapan yang terlalu polos (atau kasar) dalam tulisan ini. Itu semua adalah sekedar untuk menggaris-bawahi, dengan tebal-tebal pula, persoalan-persoalannya).

Namun demikian, mengingat sejarah manusia sejak ribuan tahun, maka kita patut percaya bahwa fikiran atau sikap manusia bisa berobah ketika situasipun sudah berganti. Kesalahan bisa diperbaiki, dan dosapun bisa ditebus (walaupun kadang-kadang ternyata sukar!). Dalam menghadapi gejala semacam itu perlulah kiranya fikiran dan hati kita membuka diri. Sebab, kalau mau jujur, kita harus mengakui, bahwa diri kita masing-masing juga begitu. Asal saja, dengan syarat-syarat bahwa semuanya itu dilakukan dengan tulus, ikhlas, dan dengan penuh kesadaran akan kesalahan atau dosa-dosa kita masing-masing.

Terhadap para pendukung THC (Habibie dan konco-konconya), semestinya kita juga perlu bersikap demikian. Kita boleh-boleh saja memberikan kesempatan kepada mereka untuk dengan sungguh-sungguh dan sejujur-jujurnya mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan dan menebus dosa-dosa mereka, yang telah mereka lakukan selama masa Orde Baru.. Tetapi, sekali lagi, tetapi, mereka perlu sekali menyadari bahwa hanya dengan sungguh-sungguh memperbaiki kesalahan-kesalahan itulah mereka akan mendapat kepercayaan dari opini umum.

Kita semua tidak akan bisa memaafkan lagi, kalau dengan THC-nya ini, ia (bersama-sama koncon-konconya) malahan justru ingin meneruskan kesalahan-kesalahan mereka dengan cara-cara atau bentuk baru, baik dengan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Sebab, kalau memang tujuan didirikannya THC itu untuk hanya melindungi diri, dan untuk sekali lagi menipu opini umum, maka perlulah kiranya diblejedi sehingga telanjang bulat. Apapun pajangan yang dipasang, apapun jubah yang disandang, apapun slogan-slogan bagus yang dijajakan, kalau tujuannnya adalah melangsungkan praktek-praktek dan mentalitas Orde Baru, maka THC ini bisa berbahaya.

Untuk memupuk demokrasi dan ham?

Karena THC sudah menyatakan diri sebagai lembaga yang ingin membela demokrasi dan Hak Asasi Manusia, maka kita perlu mengikuti kegiatan-kegiatannya dengan waspada. Sebab, jangan-jangan, justru dengan kedok membela demokrasi dan HAM (atau merek-merek yang megah dan gemebyar lainnya) itulah, mereka malahan melakukan yang sebaliknya. Agaknya, tidak tertutup kemungkinan, bahwa kegiatan-kegiatan mereka itu semata-mata hanyalah sebagai tabir asap, untuk melindungi kepentingan (jangka dekat maupun jauh) sisa-sisa kekuatan Orde Baru.

Sebab, kalau THC memang mau sungguh-sungguh mau menyumbangkan jasa kepada negara dan bangsa di bidang moral, demokrasi dan Hak Asasi Manusia, maka ada berbagai hal yang sangat urgen dan maha penting yang bisa jugaditanganinya. Umpamanya :

  1. Membantu pemerintah (Kejaksaan Agung, Kepolisian dll) dengan berbagai langkah kongkrit dan jujur, supaya Soeharto bisa diadili atau mempertanggungjawabkan kesalahan dan dosa-dosanya di berbagai bidang, baik yang berkaitan dengan KKN maupun yang berkaitan dengan pelangggaran-pelanggaran berat di bidang kehidupan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Karena Habibie pernah dekat sekali dengan Suharto dan juga pernah menduduki jabatan penting maka ia tentunya mengetahui banyak hal tentang pelanggaran-pelanggaran itu.

  2. Bekerjasama dengan berbagai badan pemerintah maupun swasta (LSM dll) untuk ikut membongkar kasus-kasus korupsi di masa-masa yang lalu. Karena korupsi ini sudah merajalalela sejak lama, dan merupakan penyakit parah bangsa, maka seandainya THC dapat memberikan sumbangan dalam pemberantasan korupsi, maka akan merupakan bukti nyata kepada umum bahwa tujuan THC ini memang sungguh-sungguh mulia, dan bukannya sebagai bedak untuk memupuri muka yang buruk saja.

  3. Dalam membela Hak Asasi Manusia, THC perlu mengadakan langkah-langkah kongkrit dan jelas tentang masalah keluarga korban pembunuhan besar-besaran 65/66, masalah ex-tapol yang sampai sekarang masih terkatung-katung, dan juga korban-korban pelanggaran HAM di Aceh dll. Sikap THC terhadap TAP 25/1966 juga merupakan indikasi yang jelas, sampai di manakah komitmennya yang sesungguhnya terhadap masalah-masalah HAM.

Sebenarnya, masih bisa diperpanjang lagi daftar persoalan-persoalan penting dan urgen, yang bisa dijadikan program kegiatan The Habibie Center ini. Tetapi, kalau dari yang tiga tersebut ada satu saja yang bisa ditangani secara serius, maka sudah merupakan satu sumbangan besar. Namun, sekali lagi namun, mengingat sejarah Habibie yang begitu lekat dengan sejarah Orde Baru, mungkinkah diharapkan hal yang demikian itu? Jauh panggang dari api!

Dapatlah diduga bahwa THC memiliki dana yang besar, yang datangnya entah dari mana saja. Jaring-jaringan para pendukung Orde Baru di kalangan konglomerat masih sangat kuat, walaupun krisis moneter tahun 1998 sudah melanda negeri kita. Dan keluarga Habibi sendiri pastilah bersedia untuk mengeluarkan beaya besar untuk projek yang megah ini.

Kita tunggu sajalah apa saja yang ada di belakang itu semuanya. Tetapi, betapapun juga, sulitlah kiranya untuk diharapkan bahwa dari the Habibie Center ini akan lahir gagasan, karya dan praktek yang betul-betul mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara. Lebih dari itu, rupanya, ada sesuatu yang buruk yang terlindung di bawah selimut. Sejarahlah yang akan menjadi saksinya.