19 July 2000 — 13 menit baca

Aksi-aksi subversif kaum reformis gadungan

Dari berita-berita yang kita baca, atau dari ucapan-ucapan berbagai orang yang kita dengar, tercerminlah bahwa fikiran banyak orang di Indonesia dewasa ini diselimuti oleh selaput tebal kebencian yang berdasarkan SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) atau oleh pertentangan ideologi dan pandangan politik. Di samping itu, kita sedang menyaksikan dengan perasaan sedih adanya gejala bahwa banyak tokoh penting - dan “tokoh” kecil dan kerdil - di berbagai kalangan sedang terus sibuk saling berebut kedudukan, pengaruh dan kekuasaan (dan …uang haram!).

Kesedihan ini bertambah lagi - dan bahkan bisa bercampur dengan geram - ketika kita melihat betapa sibuknya penjahat-penjahat politik dan maling-maling besar pendukung Orde Baru (baca : koruptor-koruptor militer kelas kakap, tokoh-tokoh Golkar, konglomerat, pimpinan bank-bank yang bermasalah dll) sedang ramai-ramai berusaha menyelamatkan diri dari pengejaran tuntutan hukum. Mereka ini (termasuk keluarga Suharto beserta kroni-kroni terdekatnya) menyebar tabir asap yang berupa manuvre-manuvre politik, dan isyu-isyu soal kepemimpinan Gus Dur, untuk berusaha menguasai kembali panggung politik. Bahkan, bukan itu saja!

Seperti yang sama-sama kita amati selama ini, dalam usaha untuk merebut kembali kedudukan dan kekuasaan politik yang mulai tergeser sejak terjungkalnya Suharto dkk, “mereka” ini (yang terdiri dari pendukung-pendukung lama dan setia Orde Baru, bersama-sama dengan orang-orang baru “reformis” gadungan) sedang membikin keruh suasana politik, ekonomi dan sosial. Usaha “mereka” ini dituangkan dalam berbagai bentuk, cara dan warna. Dari yang paling halus (berupa isyu-isyu tentang Buloggate, Bruneigate, tentang kasus Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, tentang ceplas-ceplosnya Gus Dur, tentang SU MPR dll) sampai kepada penggunaan kekerasan, kerusuhan sosial, dan kekacauan berdarah (Aceh, Maluku, Poso, Mataram dll)

Mereka Itu Adalah Orang Orang Berbahaya!

Situasi sekarang sedang memanas. Maka, banyak orang menjadi bingung dan was-was. Karena, kita semua tidak tahu dan tidak pula bisa meramalkan apa sajakah yang mungkin terjadi, baik sebelum, selama maupun sesudah SU MPR bulan Agustus nanti. Sebab, perbenturan atau pertarungan antara kekuatan pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-HAM (yang pada pokoknya berfihak kepada politik Gus Dur) melawan kekuatan pro-statusquo (sisa-sisa pro-Orde Baru dan anti-HAM) makin menjadi-jadi, dan bisa meledak dalam bentuk yang menakutkan. Oleh karena kekuatan pro-status quo ini (baca : sebagian dari militer, Golkar, dan berbagai kalangan Islam) mempunyai dana yang besar, dan jaring-jaringan yang luas, maka bahaya yang datang dari fihak mereka ini tidak bisa dianggap enteng.

Berdasarkan pengalaman selama lebih dari 32 tahun, kita bisa menyimpulkan bahwa “mereka” itu bisa saja mengulangi lagi segala kesalahan dan kejahatan yang sudah terbiasa mereka lakukan dalam jangka yang begitu lama. Seperti yang sudah sama-sama kita saksikan, “mereka” ini telah menghalalkan segala cara, demi mencapai tujuan yang tidak luhur, yang batil, yang haram, yang merusak akhlak, yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama dan Hak Asasi Manusia. Atas dasar kerusakan moral, “mereka” ini telah menumpuk kekayaan dengan menjarah kekayaan negara dan hasil keringat rakyat. Tanpa perasaan segan sedikit pun “mereka” melakukan KKN, sambil mencekek batang leher kehidupan demokratis dan sekaligus merusak sendi-sendi negara. “Mereka” ini adalah orang-orang berbahaya bagi kepentingan rakyat, sejak dari dulu!

Dan “mereka” ini pulalah yang sekarang dengan pura-pura menyetujui reformasi, atau dengan kedok pro-demokrasi, sedang getol merongrong usaha reformasi (yang sungguh-sungguh!) dan menghalangi perombakan sistem buruk dan praktek busuk yang diciptakan oleh Orde Baru. Karenanya, kita semua perlu selalu waspada terhadap gerak-gerik mereka, perlu mengamati tingkah-laku dan ucapan-ucapan mereka. Kita semua, yang menginginkan terlaksananya demokrasi yang tulen, demokrasi yang humanis, demokrasi yang merakyat, demokrasi yang untuk semua, harus ikut berjuang, bersama-sama, menggagalkan usaha-usaha “mereka” ini.

Siap Untuk Menghadapi Segala Bahaya

Tetapi, perjuangan ini mungkin akan berlangsung lama. Sebab, setelah dipupuk selama 32 tahun, sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih cukup besar, dan tersebar dimana-mana dengan mengenakan baju, jubah, topeng dan peci yang beraneka-ragam. Mereka inilah, yang, setelah Orde Baru runtuh secara resmi, masih ingin berusaha meneruskannya dalam bentuk dan cara-cara baru, tetapi dengan jiwa dan pola berfikir yang dulu-dulu juga. Karenanya, mereka ini akan tetap terus merupakan musuh yang membahayakan kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi.

Itu semua tidak aneh, dan masuk akal. Dan, bahwa “mereka” tidak senang atau memusuhi kekuatan pro-reformasi atau pro-demokrasi, adalah sesuatu yang bisa dimengerti. Dan itu adalah urusan mereka. Tetapi - dan di sinilah letak tetapinya - kalau karena itu mereka mau terus berusaha menghalangi, merongrong, melawan atau menyabot proses reformasi, demokratisasi dan rekonsiliasi, maka perlulah usaha mereka yang jahat atau tidak luhur ini dilawan dan dikalahkan secara politik. Kata-kata secara politik perlu digarisbawahi, untuk tidak kesasar ke dalam daerah kekerasan “main libas” atau “main gebug” seperti yang lazim dipakai selama pemerintahan Orde Baru.

Perbenturan atau pertempuran politik antara kekuatan pro-demokrasi dan kekuatan statusquo (baca : sisa-sisa Orde Baru) untuk mengelola kekuasan di negeri kita ini akan berjalan terus-menerus, dan mengalami pasang-surut, atau jalan naik-turun dan berkelok-kelok. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada suatu saat, kekuatan pro-statusquo akan bisa berada “di atas angin”. Untuk menghadapi kemungkinan bahaya semacam itu, seyogyanyalah seluruh kekuatan pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-rekonsiliasi sejak sekarang mempersiapkan diri. Kita semua harus berusaha, dan sekuat mungkin pula, supaya kekuatan pro-status quo - walau pun dalam versi atau edisi baru - tidak bisa merusak terus negara dan bangsa. Pelajaran yang diberikan kepada kita semua oleh Orde Baru sudah kita bayar dengan mahal sekali!

Perlulah kita sama-sama menyadari - sedalam-dalamnya dan sejernih-jernihnya - bahwa terpukulnya kekuatan demokratik merupakan pukulan pula bagi kepentingan rakyat banyak. Kemenangan (walaupun sementara) kekuatan pro statusquo akan merugikan kita semua, dan hanya menguntungkan sebagian kecil dan busuk sekali bangsa kita. Pengalaman kita selama masa rezim militer Suharto dkk sudah membuktikannya, dan dengan jelas pula.

Aksi Aksi Subversif Kaum Reformis Gadungan

Sesudah jatuhnya Suharto dan B.J. Habibi dari puncak panggung kekuasaan politik negeri kita, terbentuklah pemerintahan di bawah pimpinan Gus Dur dan Megawati, yang diringi oleh harapan besar rakyat akan adanya perobahan dan perombakan besar terhadap kebobrokan dan kerusakan di berbagai bidang yang diwariskan oleh Orde Baru. Tetapi, karena pemerintahan ini terpaksa dibentuk atas dasar “dagang sapi” antara blantik-blantik (pedagang hewan) yang campur-aduk maka tak terhindarkanlah terjadinya keruwetan dan berbagai persoalan, baik yang gawat dan serius maupun yang tetek-bengek dan remeh-temeh.

Pemilihan Umum, yang dilaksanakan secara bebas dan demokratis memang merupakan kemajuan penting, setelah selama 32 tahun rezim militer Suharto dkk memborgol sembari membungkam rakyat dengan tangan besi yang berdarah. Tetapi, pendukung-pendukung Orde Baru - baik yang tergabung dalam Golkar, PPP maupun yang dalam partai politik lainnya - telah berhasil mendudukkan wakil-wakilnya dalam DPR (dan juga MPR). Mereka ini tadinya mendukung Gus Dur menjadi Presiden, dengan tujuan untuk menghalangi naiknya Megawati ke puncak pimpinan pemerintahan. Tetapi, setelah kelihatan bahwa Gus Dur berusaha menjalankan politik dan langkah-langkah yang tidak menguntungkan kepentingan “mereka” , maka mulailah mereka menggerakkan segala macam aksi-aksi terbuka maupun tertutup untuk menggoyang kedudukan Gus Dur.

Perbenturan antara kekuatan yang mendukung politik Gus Dur dan sisa-sisa kekuatan Orba (yang bersekutu dengan kaum “reformis” gadungan ) agaknya akan berjalan lama, dan bisa membesar mengecil, melewati tawar-menawar, sesuai dengan perkembangan situasi serta mengikuti kebutuhan taktik dan strategi masing-masing. Seandainyapun Gus Dur bisa digulingkan, perbenturan ini pastilah akan berlangsung terus. Bahkan mungkin dalam intensitas, bentuk dan skala yang lebih hebat lagi.

Dalam rangka perhitungan yang demikianlah maka perlu sekali bagi kekuatan pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-rekonsiliasi untuk lebih menyiapkan diri dalam melawan aksi-aksi subversif kaum “reformis” (gadungan), dengan berbagai cara dan bentuk. Kekuatan pro reformasi dan pro-demokrasi ini ada dimana-mana, umpamanya : di universitas, pesantren dan madrasah, sekolah lanjutan, serikat buruh, organisasi tani, organisasi wanita, organisasi pemuda dan mahasiswa, berbagai macam LSM, lembaga bantuan hukum, gerakan koperasi, partai politik, media massa, perkumpulan yang bentuknya macam-macam, bahkan juga perseorangan.

Melawan Reformis Gadungan Demi Ham

Periode gelap Orde Baru yang berjalan begitu lama, dan yang telah memakan korban serta menimbulkan kerusakan besar yang begitu banyak, haruslah menjadi pelajaran bagi kita semua. Ketika, selama itu, sebagian kecil sekali bangsa kita mengecap kenikmatan hidup yang haram dan menggeluti kemewahan yang dihasilkan oleh kejahatan, maka puluhan juta orang dipaksa menguras airmata dan keringat - bahkan juga darah - beserta anggota keluarga mereka. Sekarang ini, sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini (yang bersekongkol dengan kaum “reformis” palsu) berusaha untuk meneruskan kebiasaan lama, dalam situasi baru dan dengan cara-cara lain. Dalam menghadapi situasi yang demikian, seperti yang pernah dirumuskan oleh seorang penyair muda yang bernama Wiji Thukul, hanyalah ada satu kata : “Lawan!”.

Perjuangan untuk menuntaskan reformasi dan menegakkan demokrasi dan menggalang rekonsiliasi adalah mulia. Mengalahkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru (baca : terutama pola berfikir mereka) adalah syarat dan juga tujuan perjuangan bersama ini. Perlulah kiranya jernih dalam fikiran kita bersama, bahwa kemenangan perjuangan ini haruslah bukan hanya untuk satu partai, satu golongan agama, satu kelopok keyakinan politik, satu suku, atau satu kalangan, melainkan untuk kita semua!. Singkatnya, dan padatnya, demi ditegakkannya dan dihormatinya, di bumi Indonesia, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia, seperti yang dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB adalah tujuan perjuangan kita seluruhnya. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia adalah alat perjuangan yang sekaligus juga merupakan payung (pelindung) yang mengayomi kita bersama, tidak peduli dari golongan, aliran politik, agama suku, ras yang manapun juga. Artinya, melawan hal-hal yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia bukanlah hanya perjuangan untuk melindungi diri sendiri, melainkan juga, pada dasarnya dan pada akhirnya, melindungi semua orang yang tidak bersalah. Arti selanjutnya, melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru pun (baca: kaum “reformis” gadungan) haruslah selalu dibimbing oleh semangat menghormati dan menegakkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Maling Teriak Maling

Seperti yang dapat sama-sama kita saksikan, kerusakan-kerusakan yang sudah dibuat oleh Orde Baru (terutama oleh TNI-AD dan Golkar beserta sekongkol mereka di berbagai kalangan) adalah amat berat, terutama sekali di bidang moral atau akhlak kalangan elite politik, elite ekonomi dan elite kalangan lainnya dalam masyarakat. Kerusakan moral inilah yang menjadi sumber (harap catat: sampai SEKARANG) berbagai persoalan serius yang menjamur di berbagai bidang kehidupan bangsa kita. Oleh karenanya, patutlah kiranya kita semua memperhitungkan bahwa perjuangan untuk melawan sisa “kebudayaan” Orde Baru akan makan waktu panjang, bersegi-ganda, dan cukup pelik.

Sebab, menurut pengalaman yang sudah sama-sama kita lewati selama ini, para pelaku beserta pendukung-pendukung setia Orde Baru itu telah melakukan - secara beramai-ramai - pelanggaran berat prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia secara tak segan-segan dan sewenang-wenang pula (antara lain : pembantaian jutaan manusia tahun 65/66, pemenjaraan ratusan ribu orang tak bersalah, pulau Buru, perlakuan terhadap ex-tapol, surat bebas G30S, surat bersih lingkungan, litsus, kasus Aceh, Lampung, Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli, peristiwa Trisakti dan Semanggi, penculikan aktivis-aktivis PRD dll dll) maka jelas dan logislah kiranya bahwa tak mudah bagi mereka ini untuk mengobah diri.

Karena mereka sekarang masih bisa menduduki tempat-tempat penting dalam lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif negara kita, maka bahaya yang mengancam usaha reformasi - yang sungguh-sungguh - tetap ada. Mereka tidak rela bahwa Suharto beserta kroninya diadili. Dengan berbagai cara mereka juga menghalangi pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Untuk bisa lebih leluasa mempertahankan kepentingan mereka yang tidak halal, disebarkanlah berbagai isyu, dan dikobarkanlah berbagai kerusuhan yang bersifat SARA. Semua ini dlakukan untuk menggoyang kedudukan politik Gus Dur sambil sekaligus menaburkan asap untuk menutupi kejahatan-kejahatan besar mereka di masa lalu selama Orde Baru (termasuk selama periode pemerintahan Habibi). Tidak sedikit di antara mereka yang berlagak “sok suci” dan “sok bersih” dan berteriak-teriak lantang mengenai “amanah penderitaan rakyat” (kadang-kadang juga dengan disertai kutipan ayat-ayat suci). Dalam bahasa populernya, maling teriak maling.

Bersiap Siap Untuk Perjuangan Panjang

Mengingat itu semua, maka jelaslah bahwa seluruh kekuatan yang mendambakan reformasi, demokrasi dan rekonsiliasi perlu bersama-sama, dan secara serius, menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bahaya restorasi kekuasaan politik yang korup dan otoriter versi baru masih ada. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan ini, seluruh potensi masyarakat yang pro-demokrasi perlu digalang, dengan berbagai jalan, berbagai bentuk dan berbagai cara yang mungkin. Sebab, nasib reformasi, demokrasi dan rekonsiliasi tidak bisa kita serahkan mentah-mentah haaanya (!) di tangan para pemegang kekuasaan, para elit partai politik, para anggota DPR dan MPR, atau tokoh-tokoh terkemuka saja.

Sudah banyak bukti, terutama akhir-akhir ini, yang menunjukkan bahwa di DPR-pun masih bercokol banyak politisi yang perlu diragukan integritas moral mereka, atau ketulusan mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan negara (kasus di-golkannya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara - KPKPN adalah contoh yang terbaru). Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman di banyak negeri di dunia masyarakat luas juga perlu ikut mengkontrol jalannya pengelelolaan urusan-urusan besar negara dan rakyat. Kita patut merasa gembira bahwa berbagai LSM atau tokoh dari civil society di Indonesia sudah melakukannya. Tetapi, mengingat besarnya bahaya yang datang dari kubu “reformis” (gadungan) yang ingin mengobok-obok situasi guna bisa menguasai panggung kekuasan, maka perlawanan terhadap mereka perlu digencarkan secara lebih ofensif lagi.

Perjuangan memenangkan reformasi dan demokrasi bukanlah berarti hanya untuk membela Gus Dur. Selama Gus Dur tetap memegang teguh garis-garis politiknya yang berwawasan kerakyatan, toleransi, humanis, anti-korupsi, anti-militerisme, dan pro-kemajuan dalam berbagai bidang, maka memang perlulah kita sokong sekuat-kuatnya. Tetapi, bersama Gus Dur atau tanpa Gus Dur, perjuangan berbagai kalangan masyarakat untuk demokrasi dan Hak Asasi Manusia harus dikembangkan terus. Sebab, makin meluasnya secara kokoh perjuangan Hak Asasi Manusia merupakan syarat penting bagi tegaknya demokrasi. Hak Asasi Manusia dan demokrasi adalah saudara kandung. Demokrasi tanpa Hak Asasi Manusia bukanlah demokrasi yang sesungguhnya.

Memenangkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Universal HAM (mohon, baca kembali teksnya yang lengkap) adalah mengalahkan kekuatan para penganut faham Orde Baru dan “reformis” gadungan, yang kebanyakan adalah maling-maling besar dan penjarah kekayaan negara. Mereka ini masih ada yang berbaju kuning, tetapi banyak juga yang sudah mengganti dengan jubah lainnya. Banyak juga di antara mereka yang sambil mengantongi kitab suci (yang mungkin tidak mereka baca, tetapi kalaupun membacanya juga tidak menghayati isi dan pesannya) menghitung-hitung dan mereka-reka bagaimana bisa terus mencuri kekayaan negara dan uang rakyat lebih banyak lagi.

Gerakan Extra-Parlementer Perlu

Perjuangan politik terhadap mereka demi memenangkan reformasi, demokrasi dan rekonsiliasi ini harus digencarkan, lewat berbagai cara, dan dengan menggunakan berbagai bentuk aksi-aksi damai. Kalau reformasi tidak bisa dimenangkan di DPR atau MPR karena sabotase unsur-unsur tertentu, maka berbagai gerakan politik dan tindakan extra-parlementer yang dilancarkan oleh berbagai komponen masyarakat perlu digelar. Mobilisasi politik secara besar-besaran, tetapi tertib dan damai, sangat diperlukan ketika perjuangan parlementer untuk menuntaskan reformasi dibikin mandeg atau macet. Aksi-aksi extra-parmenter untuk perjuangan politik guna membela demokrasi, reformasi dan rekonsiliasi, yang dijalankan secara damai dan tanpa anarchi, adalah perlu, sah, benar dan mulia.

Dalam konteks situasi politik di Indonesia dewasa ini, pengertian reformasi dan rekonsiliasi adalah mengalahkan (untuk tidak menggunakan istilah menghancurkan) pola berfikir, moral, dan kebiasaan Orde Baru. Memenangkan pertempuran politik terhadap sisa-sisa sistem kekuasaan rezim militer Suharto dkk adalah demi kepentingan seluruh rakyat, dan, oleh karenanya, perlu sama-sama kita jaga janganlah gerakan extra-parmenter ini sampai keluar dari koridor dan rambu-rambu Hak Asasi Manusia. Dan karena yang kita perjuangkan adalah tegaknya Hak Asasi Manusia, maka jalan dan cara yang kita tempuh secara beramai-ramai dan besar-besaran pun haruslah yang beradab.